Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Desersi yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Studi Kasus Desersi di Pomal Lantamal I Belawan)

(1)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA

TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT

(STUDI KASUS DESERSI DI POMAL LANTAMAL I BELAWAN)

OLEH

AHMAD AZAHARI

097005095/HK

[

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA

TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT

(STUDI KASUS DESERSI DI POMAL LANTAMAL I BELAWAN)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Dalam Program Studi Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

AHMAD AZAHARI

097005095/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT (STUDI KASUS DESERSI DI POMAL LANTAMAL I BELAWAN)

Nama Mahasiswa : Ahmad Azahari Nomor Pokok : 097005095 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

K e t u a

)

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (

A n g g o t a A n g g o t a

Dr. Marlina, SH, M.Hum)

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah Diuji Pada

Tanggal 20 Januari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS:

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

2. Dr. Marlina, SH, M.Hum 3. Prof. Chainur Arrasyid, SH


(5)

ABSTRAK

Tentara Nasional Indonesia khususnya TNI AL Lantamal I Belawan dibangun dan dikembangkan dengan membentuk tentara yang profesional, berdisiplin tinggi dan patuh terhadap komando berdasarkan kepentingan militer sebagai alat negara di bidang pertahanan dan menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan atau keputusan politik negara. TNI AL Lantamal I Belawan merupakan bagian dari masyarakat yang dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pembelaan negara terhadap ancaman dari negara lain. TNI AL Lantamal I Belawan merupakan kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Namun, apabila anggota TNI AL Lantamal I Belawan melanggar peraturan terkait dengan disiplin militer atau tindak pidana lainnya merupakan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khusus hukum pidana militer. Salah satu tindak pidana dimaksud adalah desersi merupakan salah satu tindak pidana militer murni tidak terkait dengan subjek hukum masyarakat atau sipil.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama: apa faktor-faktor penyebab Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan tindak pidana desersi? kedua, bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan? dan ketiga, apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan?

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis normatif yang mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pidana militer dan putusan pengadilan militer. Sebagai bahan pendukung dilakukan studi lapangan di Pomal Lantamal I Belawan.

Kesimpulan dalam penelitian ini digambarkan bahwa faktor-faktor penyebab anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan tindak pidana desersi umumnya bersifat pribadi (faktor internal) dan pengaruh lingkungan (eksternal). Penegakan hukum atas tindak pidana desersi dilakukan oleh Pomal Lantamal I Belawan terhadap pelaku tindak pidana Prada Marinir Ari Gusman. Hambatan yang ditemukan adalah Pomal Lantamal I Belawan tidak dapat menghadirkan terdakwa di persidangan sehingga terdakwa disidangkan secara peradilan in absensia di Pengadilan Militer Medan.

Diharapkan kepada institusi TNI AL Lantamal I Belawan dalam mencegah anggota militer melakukan tindak pidana desersi perlu pendekatan-pendekatan berupa pembinaan mental (bintal) terhadap krisis kepemimpinan setiap anggota untuk menjadi seorang prajurit Sapta Marga. Dalam melakukan proses hukum terhadap pelaku desersi jika tidak ditemukan harus tetap diupayakan untuk mengetahui alasan-alasannya tidak hadir dalam tugas, paling tidak diperoleh informasi dan alasan yang tepat. Hal seperti ini lebih menjunjung tinggi hak asasi anggota militer.

Kata Kunci: Penegakan Hukum Tindak Pidana Desersi, Anggota TNI AL Lantamal I Belawan, dan Pomal Lantamal I Belawan.


(6)

ABSTRACT

The Indonesian National Army especially the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan was established and developed by forming a professional army with high discipline and compliance to the command based on the military interest as state apparatuses in the field of defense and carry out their duties under the policy and political decision of the state. The Indonesian National Army especially the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan is part of the society specially prepared to defend Indonesia against the thread from other countries. The Indonesian National Army especially the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan is a major force and the people as its supporting force. But, if the member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan breaks the rule related to the military discipline or the other criminal acts which is against the law especially the military criminal law such as desertion which is one of the pure military criminal acts is not related to the subject of civil law.

The problems solved in this study were: first, the causes of why the member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan did a criminal act of desertion; second, how the law against the desertion done by the member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan has been upheld; and third, the constraints faced in the implementation of law upholding against the criminal act of desertion done by the member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan.

This study employed normative juridical method referring to the legal values and norms found in the military criminal regulation of legislation and the decision made by the martial court. To support the material available, a field study was conducted at the Office of Navy Military Police at the Main Naval Base I Belawan.

The conclusion drawn from this study was that, in general, the factors caused the member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan did the criminal act of desertion was personal problem (internal factor) and environmental influence (external factor). Law upholding for the criminal act of desertion was implemented by the Navy Military Police at the Main Naval Base I Belawan to the marine private second class Ari Gusman. The constraint faced was that the Navy Military Police at the Main Naval Base I Belawan could not present the defendant in the trial that he was tried in absentia in the Military (Martial) Court in Medan.

Keywords: Law Upholding, Criminal Act, Desertion, Member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan, Navy Military Police at the Main Naval Base I Belawan


(7)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya yang maha pemurah lagi maha penyayang, penulis dapat menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul penelitian, ”Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Desersi yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Studi Kasus Desersi di Pomal Lantamal I Belawan)”.

Dengan kerendahan hati yang tulus dan ikhlas, penulis ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM). Sp.A (K)Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara,;

2. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak;

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum serta Dr. Marlina, SH, M.Hum selaku Anggota Komisi yang selalu memberikan arahan dan masukan serta perbaikan terhadap penelitian ini sampai dengan selesai;

5. Prof. Chainur Arrasyid, SH dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku komisi Penguji dengan koreksi dan saran yang membangun;

6. Seluruh Guru Besar dan Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Teman-teman angkatan 2009 serta seluruh Staf Akademik dan Pegawai pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang membantu dalam dalam melancarkan segala urusan berkenaan dengan administrasi dan informasi;


(8)

8. Orang Tua ku, Ayahanda: H.M. Irsjad (Alm) dan Ibunda: Umi Salamah, setiap waktu dan sepanjang hari tidak lupa dengan ikhtiar dan do’a agar penulis dapat mencapai cita-cita serta kepada kedua Mertua Bapak H. Drs. Ramli Lubis (Alm) dan Hj. Faridah Hanum Tarihoran (Almh) mudah-mudahan mendapatkan Ridho di sisi-Nya, kepada Istri Rostina Sari Lubis, SH serta kedua anakku Raihan Ramadhan dan Muhammad Farhan atas pengorbanan dan pengertiannya selama ini;

Demikianlah sebagai kata pengantar, mudah-mudahan penelitian ini memberi manfaat bagi semua pihak dan menambah serta memperkaya wawasan ilmu pengetahuan.

Akhir kata, mohon maaf atas ketidaksempurnaan substansi dalam penelitian ini, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi perbaikan ke depannya.

Medan, Januari 2012 Penulis


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Ahmad Azahari, SH

Tempat/Tanggal Lahir : Banda Aceh/01 Oktober 1970.

Jenis Kelamin : Laki-Laki.

Agama : Islam .

Alamat : Jl. Aluminium Raya Tanjung Mulia Komplek TNI

Angkatan Laut Barakuda Blok AL No.4 Medan. Pendidikan Formal : - Sekolah Dasar Negeri Inpres (Lulus Tahun 1983);

- Sekolah Menengah Pertama Swasta Nurul Islam Indonesia (Lulus Tahun 1986);

- Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Dumai (Lulus Tahun 1989);

- S-1 Fakultas Hukum Universitas Medan Area (Lulus Tahun 1994);

- S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (Lulus Tahun 2012).


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 16

1. Kerangka Teori... 16

2. Landasan Konsepsional ... 24

G. Metode Penelitian ... 26

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 27

2. Sumber Data ... 27

3. Teknik Pengumpulan Data ... 28

4. Analisis Data ... 28

BAB II : FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ANGGOTA TNI AL LANTAMAL I BELAWAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI ... 30

A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana ... 30

B. Desersi Merupakan Salah Satu Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Militer ... 36


(11)

C. Tugas dan Fungsi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut

Lantamal I Belawan ... 56

D. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Anggota TNI AL Lantamal I Belawan Melakukan Tindak Pidana Desersi... 68

1. Faktor Internal ... 69

2. Faktor Eksternal ... 71

BAB III : PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI AL DI LANTAMAL I BELAWAN ... 74

A. Sistem Peradilan Pidana ... 74

B. Sistem Peradilan Pidana Militer ... 79

C. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Desersi Dalam Sistem Peradilan Pidana Militer Terhadap Kasus Tindak Pidana Desersi di Lantamal I Belawan ... 93

1. Kronologis Kasus ... 93

2. Fakta-Fakta Kasus ... 95

3. Putusan Peradilan Militer ... 97

4. Analisis Kasus ... 98

BAB IV : HAMBATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DESERSI DI POMAL LANTAMAL I BELAWAN ... 106

A. Hambatan Secara Umum dalam Sistem Peradilan Pidana Militer . 106 B. Hambatan Hukum atas Tindak Pidana Desersi di Pomal Lantamal I Belawan ... 109 C. Solusi Terhadap Hambatan-Hambatan Dalam Penegakan Hukum 112


(12)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 115

A. Kesimpulan ... 115

B. Saran ... 117


(13)

DAFTAR TABEL

1. Nominatif Perkara Tindak Pidana Desersi di Pomal Lantamal I Belawan Periode Triwulan III Tahun 2010 ... 11


(14)

DAFTAR SKEMA

1. Struktur Organisasi Pomal ... 57 2. Struktur Organisasi Pomal Lantamal I Belawan ... 58 Standar Operasional Prosedur (SOP) Perkara Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana


(15)

ABSTRAK

Tentara Nasional Indonesia khususnya TNI AL Lantamal I Belawan dibangun dan dikembangkan dengan membentuk tentara yang profesional, berdisiplin tinggi dan patuh terhadap komando berdasarkan kepentingan militer sebagai alat negara di bidang pertahanan dan menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan atau keputusan politik negara. TNI AL Lantamal I Belawan merupakan bagian dari masyarakat yang dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pembelaan negara terhadap ancaman dari negara lain. TNI AL Lantamal I Belawan merupakan kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. Namun, apabila anggota TNI AL Lantamal I Belawan melanggar peraturan terkait dengan disiplin militer atau tindak pidana lainnya merupakan perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khusus hukum pidana militer. Salah satu tindak pidana dimaksud adalah desersi merupakan salah satu tindak pidana militer murni tidak terkait dengan subjek hukum masyarakat atau sipil.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: Pertama: apa faktor-faktor penyebab Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan tindak pidana desersi? kedua, bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan? dan ketiga, apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan?

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah yuridis normatif yang mengacu kepada nilai-nilai dan norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pidana militer dan putusan pengadilan militer. Sebagai bahan pendukung dilakukan studi lapangan di Pomal Lantamal I Belawan.

Kesimpulan dalam penelitian ini digambarkan bahwa faktor-faktor penyebab anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan tindak pidana desersi umumnya bersifat pribadi (faktor internal) dan pengaruh lingkungan (eksternal). Penegakan hukum atas tindak pidana desersi dilakukan oleh Pomal Lantamal I Belawan terhadap pelaku tindak pidana Prada Marinir Ari Gusman. Hambatan yang ditemukan adalah Pomal Lantamal I Belawan tidak dapat menghadirkan terdakwa di persidangan sehingga terdakwa disidangkan secara peradilan in absensia di Pengadilan Militer Medan.

Diharapkan kepada institusi TNI AL Lantamal I Belawan dalam mencegah anggota militer melakukan tindak pidana desersi perlu pendekatan-pendekatan berupa pembinaan mental (bintal) terhadap krisis kepemimpinan setiap anggota untuk menjadi seorang prajurit Sapta Marga. Dalam melakukan proses hukum terhadap pelaku desersi jika tidak ditemukan harus tetap diupayakan untuk mengetahui alasan-alasannya tidak hadir dalam tugas, paling tidak diperoleh informasi dan alasan yang tepat. Hal seperti ini lebih menjunjung tinggi hak asasi anggota militer.

Kata Kunci: Penegakan Hukum Tindak Pidana Desersi, Anggota TNI AL Lantamal I Belawan, dan Pomal Lantamal I Belawan.


(16)

ABSTRACT

The Indonesian National Army especially the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan was established and developed by forming a professional army with high discipline and compliance to the command based on the military interest as state apparatuses in the field of defense and carry out their duties under the policy and political decision of the state. The Indonesian National Army especially the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan is part of the society specially prepared to defend Indonesia against the thread from other countries. The Indonesian National Army especially the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan is a major force and the people as its supporting force. But, if the member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan breaks the rule related to the military discipline or the other criminal acts which is against the law especially the military criminal law such as desertion which is one of the pure military criminal acts is not related to the subject of civil law.

The problems solved in this study were: first, the causes of why the member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan did a criminal act of desertion; second, how the law against the desertion done by the member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan has been upheld; and third, the constraints faced in the implementation of law upholding against the criminal act of desertion done by the member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan.

This study employed normative juridical method referring to the legal values and norms found in the military criminal regulation of legislation and the decision made by the martial court. To support the material available, a field study was conducted at the Office of Navy Military Police at the Main Naval Base I Belawan.

The conclusion drawn from this study was that, in general, the factors caused the member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan did the criminal act of desertion was personal problem (internal factor) and environmental influence (external factor). Law upholding for the criminal act of desertion was implemented by the Navy Military Police at the Main Naval Base I Belawan to the marine private second class Ari Gusman. The constraint faced was that the Navy Military Police at the Main Naval Base I Belawan could not present the defendant in the trial that he was tried in absentia in the Military (Martial) Court in Medan.

Keywords: Law Upholding, Criminal Act, Desertion, Member of the Indonesian Navy of the Main Naval Base I Belawan, Navy Military Police at the Main Naval Base I Belawan


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan

belaka (machtsstaat).1 Kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang

baik dan adil. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil.2

Secara kelembagaan, sejak tanggal 1 April 1999, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Polri telah dipisahkan sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI da

Hal tersebut mengandung arti bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya ditulis UUD 1945), menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Penegakan keadilan berdasarkan hukum harus dilaksanakan oleh setiap warga negara, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga kenegaraan, dan setiap lembaga kemasyarakatan.

VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Awaloedin Djamin, mengatakan, tanpa semangat perubahan yang demikian, kepercayaan publik atas perubahan fungsi dan peran kedua institusi dimaksud akan terus merosot. Sehingga dengan pemisahan

1

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

2

Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 295.


(18)

itu semakin dapat memperjelas peran dan fungsi TNI dan Polri dalam melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.3

Kondisi yang demikian, berimplikasi pada pandangan selama ini yang mengatakan “TNI sebagai institusi atau pihak yang tidak bisa disentuh”, tidak ada lagi pihak yang bisa diistimewakan, semua menjadi sama akan kedudukan, hak dan juga tanggung jawabnya. Salah satu cara TNI memperbaiki citranya adalah dengan mendekatkan diri terhadap masyarakat secara lebih terbuka dan membiarkan TNI untuk bisa dikontrol oleh masyarakat. Hal yang tidak kalah penting dilakukan TNI adalah membangun komunikasi dengan masyarakat sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi dimana proses check and balance merupakan suatu yang tidak bisa

dihindari.4

Pemisahan itu juga berimplikasi kepada diundangkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat UU TNI) pada tanggal 16 Oktober 2004 yang didalamnya ditegaskan berlakunya Peradilan Umum bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran tindak pidana yang tercantum dalam KUH Pidana seperti yang diamanatkan dalam Tap MPR No: VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri.

Reformasi nasional Indonesia yang didorong oleh semangat bangsa Indonesia untuk menata kehidupan dan masa depan bangsa yang lebih baik telah menghasilkan

3

Awaloedin Djamin, Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, dari Zaman Kuno Sampai Sekarang, (Jakarta: PTIK Press, 2006), hal. 493. Sebelum tahun 1999 ABRI terdiri dari TNI dan Polri, tetapi setelah tahun 1999 TNI dan Polri telah dipisahkan dari ABRI. Sebutan untuk Polri tetap digunakan akan tetapi untuk ABRI diganti dengan TNI.

4

http://www.pandusakti97.com/content/penyidik-bagi-anggota-tni-dalam-peradilan-umum, diakses tanggal 24 Mei 2011.


(19)

perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan kenegaraan. Perubahan tersebut telah ditindaklanjuti antara lain melalui penataan kelembagaan sesuai dengan perkembangan lingkungan dan tuntutan tugas ke depan. Perubahan pada sistem kenegaraan berimplikasi terhadap TNI, yaitu pemisahan TNI dan Polri, yang menyebabkan perlunya penataan kembali peran dan fungsi masing-masing institusi sekaligus menjadi referensi yuridis dalam mengembangkan suatu undang-undang yang mengatur tentang TNI.5

Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat TNI) dibangun dan dikembangkan dengan membentuk tentara yang profesional sesuai dengan kepentingan politik negara Indonesia.6

5

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

TNI merupakan bagian dari masyarakat yang dipersiapkan secara khusus untuk melaksanakan tugas pembelaan negara terhadap ancaman dari negara lain. Ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, yaitu TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan

6

Penjelasan Pasal 2 huruf d Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UUTNI). Tentara profesional adalah tentara yang mahir menggunakan peralatan militer, mahir bergerak, dan mahir menggunakan alat tempur, serta mampu melaksanakan tugas secara terukur dan memenuhi nilai-nilai akuntabilitas. Untuk itu, tentara perlu dilatih dalam menggunakan senjata dan peralatan militer lainnya dengan baik, dilatih manuver taktik secara baik, dididik dalam ilmu pengetahuan dan teknologi secara baik, dipersenjatai dan dilengkapi dengan baik, serta kesejahteraan prajuritnya dijamin oleh negara sehingga diharapkan mahir bertempur. Tentara tidak berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik negara, dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi.


(20)

keputusan politik negara. Selain itu, TNI merupakan kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

TNI dididik dan dilatih untuk melaksanakan tugas dan kewajiban yang berat dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). TNI wajib mematuhi perintah atau komando dari atasan tanpa membantah dan wajib melaksanakan perintah tersebut. TNI sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dan pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Peran, fungsi, dan tugas TNI dinyatakan secara tegas dan sebagai dasar pelaksanaannya dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. TNI sebagai manusia biasa sama dengan masyarakat umumnya, tidak luput dari bentuk pelanggaran dan kejahatan atau tindak pidana. Perbuatan atau tindakan dengan dalih atau bentuk apapun yang dilakukan oleh anggota TNI baik secara perorangan maupun kelompok yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum, norma-norma yang berlaku dalam kehidupan, bertentangan dengan undang-undang, peraturan kedinasan, disiplin, tata tertib di lingkungan TNI pada hakikatnya merupakan perbuatan atau tindakan yang merusak wibawa, martabat dan nama baik


(21)

TNI yang apabila perbuatan tersebut dibiarkan, dapat menimbulkan ketidaktentraman dalam masyarakat dan menghambat pelaksanaan pembangunan.

Setiap anggota TNI wajib tunduk dan taat terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu UU) No.39 Tahun 1947 tentang Hukum Pidana Tentara menyesuaikan Hukum Pidana Tentara (Staatsblad 1934, No. 167) dengan keadaan sekarang (selanjutnya disingkat KUHPM), UU No.26 Tahun 1997 tentang Disiplin Militer Prajurit TNI, UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan peraturan-peraturan lainnya. Peraturan hukum Militer diterapkan kepada anggota TNI yang melakukan suatu tindak pidana yang merugikan kesatuan, masyarakat umum, dan negara yang tidak terlepas dari peraturan lainnya yang berlaku juga bagi anggota TNI termasuk UU No.1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Tindak pidana dalam hal ini adalah tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan.

Desersi merupakan salah satu tindak pidana militer murni. Dikatakan sebagai tindak pidana murni militer karena tindak pidana tersebut hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Tindak pidana desersi sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab KUHPM dan tindak pidana insubordinasi

sebagaimana diatur dalam Pasal 105-109 KUHPM dan lain-lain. Tindak pidana

insubordinasi ini adalah seorang bawahan dengan tindakan nyata mengancam dengan


(22)

dapat berbentuk perbuatan dan dapat juga dengan suatu mimik atau isyarat. Tindak pidana meninggalkan pos penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM.7

Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tindak pidana desersi diatur dalam Pasal 87 KUHPM, yaitu:

1) Diancam karena desersi, militer:

Ke-1, yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.

Ke-2, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari.

Ke-3 yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan dalam Pasal 85 ke-2.

2) Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.

3) Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan.

Rumusan pasal tersebut larangan bagi seorang prajurit untuk menarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinas. Hakikat dari tindak pidana desersi harus dimaknai bahwa pada diri anggota TNI yang melakukan desersi harus tercermin sikap bahwa anggota TNI tersebut tidak berkeinginan lagi menjadi anggota militer. Seorang anggota militer yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dan tanpa ada suatu alasan untuk menghindari bahaya perang dan

7

S.R. Siantury, Hukum Pidana Militer Indonesia, (Jakarta: Alumini AHM PTHM, 1985), hal. 337.


(23)

menyeberang ke wilayah musuh atau dalam keadaan damai tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya.

Desersi dilakukan terhadap perbuatan yang bersangkutan pergi meninggalkan kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 hari secara berturut-turut atau perbuatan menarik diri untuk selama-lamanya. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, seorang anggota militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana seharusnya berada menjalankan tugasnya.

Ketidakhadiran anggota militer pada suatu tempat untuk menjalankan tugas dinas ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan hal yang sangat urgen dari kehidupan militer karena disiplin merupakan tulang punggung dalam kehidupan militer. Lain halnya dengan kehidupan organisasi bukan militer, bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan sebagai pelanggaran disiplin organisasi.8

TNI AL pada hakikatnya sebagai lembaga yang bertugas untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Oleh karena itu, sebagai negara hukum, maka hukum harus ditegakkan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana desersi dalam lingkup militer.

8

Agita Kartika Ayuningtyas, Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Desersi Studi Kasus Putusan Pengadilan Militer III-12 Surabaya NOMOR: PUT/29-K/PM.III-12/AD/II/2009, Tesis, (Surabaya: Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Surabaya, 2010), hal. 20.


(24)

Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai perkataan tindak pidana (strafbaar

feit).9 Dirujuk kepada Pasal 1 KUH Pidana bahwa yang dimaksud tindak pidana itu

menyangkut segala sesuatu yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undang-undang. Istilah strafbaar feit diterjemahkan dengan memakai istilah delik, peristiwa

pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana.10

Norma-norma yang dilanggar anggota TNI tersebut jelas diatur dalam berbagai ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi militer yaitu: Wetboek van

Militair Strafrecht (Staatsblad 1934 Nomor 167 jo UU No.39 Tahun 1947) yang

disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (selanjutnya ditulis KUHPM), Wetboek van Krijgstucht (Staatsblad 1934 Nomor 168 jo UU No.40 Tahun

1947) yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (selanjutnya ditulis KUHDM), UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesa (UU TNI), Peraturan Disiplin Militer dan peraturan-peraturan lainnya. Pelanggaran terhadap berbagai peraturan terkait yang pelakunya anggota TNI dapat

9

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal), (Bogor: Politeia, 1988), hal. 28-29.

10

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 205. Menurut Simons strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dibaginya dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu: unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku dan unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu.


(25)

diselesaikan melalui sistem peradilan pidana militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tenang Peradilan Militer.11

Penegakan hukum terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana desersi merupakan implikasi dari eksistensi negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib. Maka, diperlukan upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong kreativitas, dan peran aktif masyarakat dalam pembangunan. Sebab, hal perbuatan desersi dapat merusak citra atau nama baik TNI pada umumnya dan khususnya TNI AL, dan perbuatan tersangka bertentangan dengan Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan Wajib TNI, serta Tri Sila TNI AL.

Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI dapat berupa tindak pidana murni militer yang didasarkan kepada peraturan terkait militer dan tindak pidana campuran yakni mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama antara pihak sipil dan pihak militer yang dalam hal ini dasarnya kepada undang-undang militer dan KUHAP. Perkara koneksitas sebagaimana diatur dalam Pasal 198 s/d Pasal 203 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan Pasal 89 s/d Pasal 94 KUHAP. Pasal 198 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menegaskan bahwa:

11

Toetik Rahayuningsih, Peradilan Militer Di Indonesia Dan Penegakan Hukum Terhadap Pelakunya, (Surabaya: LPPM Universitas Airlangga, 2002), hal. 3-5.


(26)

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

Ketentuan bunyi Pasal 198 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer di atas, substansinya sama dengan ketentuan yang ditegaskan dalam Pasal 89 ayat (1) KUHAP kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Berbeda dengan tindak pidana desersi yang hanya melibatkan anggota militer secara pribadi tanpa ada kaitannya dengan sipil. Tidaklah mungkin seorang sipil melakukan desersi karena tidak ada hubungannya dengan jabatan dalam militer.12

Anggota TNI yang melakukan tindak pidana murni militer sebagaimana disebutkan dalam hukum pidana militer termasuk pula kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap keamanan negara; kejahatan dalam pelaksanaan kewajiban perang, kejahatan menarik diri dari kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas (desersi); kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan pencurian, penipuan, dan penadahan, kejahatan merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang keperluan angkatan perang.13

12

Munir, Rachland Nashidik, Fajrul Falaakh, Bambang Widjojanto, Riefqi Muna, Rudy Satriyo, Kusnanto Anggoro, Rizal Sukma, dan Edy Prasetyono, Nasakah Akademik Perubahan HUHAP Mengenai Koneksitas, (Jakarta: Indonesian Working Group on Security Sector Reform, 2002), hal. 3.

13

SR. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, 2010), hal. 3-4.


(27)

Hukum harus ditegakkan terhadap anggota TNI yang melakukan tindak pidana desersi. Sebagaimana jumlah kasus tindak pidana Desersi pada tahun 2010 sebanyak 15 kasus yang umumnya melanggar Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM, yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari sebagaimana Pasal 87 ayat (2) karena desersi yang dilakukan dalam waktu damai. Jumlah kasus yang sudah diputus oleh Pengadilan Militer Medan sebanyak 9 (sembilan) kasus dan 4 (empat) kasus masih dalam proses Otmil I-02 Medan.14

Tabel : 1

Nominatif Perkara Tindak Pidana Desersi di Pomal Lantamal I Belawan Periode Triwulan III Tahun 2010

No Nama/Pangkat/ Korps/NRP/ Jabatan/Kesatuan/ Alamat Tempat dan Tanggal Kejadian Pasal yang

Dilanggar Keterangan

1 Agus Hermari Samosir

P. Brandan 07/03/2008

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 2 (dua) tahun

2 Rajawali Purba Belawan

03/03/2008

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer

3 Singgih Wibowo Belawan

01/12//2008

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer

4 Ono Sutrisno Sabang

01/09/2008

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 2 (dua) bulan 15 (lima belas hari)

5 Fadli Dafid Belawan

11/05/2009

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 2 (dua) tahun dan dipecat dari Dinas Militer

6 Juanda Dumai Pasal 87 ayat Penjara 1 (satu)

14

Lampiran Daftar Nominatif Perkara Kejahatan/Pelanggaran Pidana di Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut I tertanggal 30 September 2010.


(28)

24/11/2008 (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

tahun dan dipecat dari Dinas Militer

7 Syamsul Bahri P. Brandan

27/10/2008

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 5 (lima) bulan

8 Anangsyah Belawan

22/07/2009

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 1 (satu) tahun

9 Mochammad

Samlawi Lhokeumawe

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Penjara 1 (satu) bulan 20 (dua puluh) hari

10 Teguh Margono Belawan

21/04/2009

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Dalam Proses Otmil I-02 Medan

11 Olga Mardiat P. Brandan

09/11/2009

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Dalam Proses Otmil I-02 Medan

12 Erwin Sahputra Belawan

22/03/2010

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Dalam Proses Otmil I-02 Medan

13 Tri Buana Sakti

Sinaga Belawan

Pasal 87 ayat (1) ke 2 jo ayat (2) KUHPM

Dalam Proses Otmil I-02 Medan

Penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI, dilakukan oleh Polisi Militer (Pom), khususnya kepada anggota TNI AL Lantamal I Belawan yang melakukan tindak pidana desersi yang menyangkut tindak pidana militer murni.15

15

Tindak pidana militer bersifat murni yaitu tindakan yang dilarang atau diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh anggota militer. Tindak pidana militer bersifat campuran yaitu tindakan yang dilarang atau diharuskan yang sudah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan lain (misalnya dalam KUH Pidana) kemudian diatur lagi dalam kitab undang-undang pidana militer terkait dengan adanya tindak pidana pidana.

Penyidik dalam tindak pidana desersi terdiri dari Atasan yang Berhak Menghukum (selanjutnya disingkat Ankum), Polisi Militer Angkatan Laut (selanjutnya disingkat Pomal), dan Oditur Militer (selanjutnya disingkat Otmil).


(29)

Hakikat pertahanan negara dan TNI sebagaimana Pasal 30 ayat (2) UUD 1945, menegaskan bahwa usaha pertahanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, yaitu bahwa TNI merupakan kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung. TNI sebagai kekuatan utama menurut UU No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah sebagai komponen utama dalam sistem pertahanan negara dimana bahwa TNI merupakan alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Oleh sebab itu, dirasa penting untuk diteliti tentang “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Desersi yang Dilakukan Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Studi Kasus Desersi di Pomal Lantamal I Belawan)”.

B. Perumusan Masalah

Sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang diteliti adalah:

1. Apa faktor-faktor penyebab Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan tindak pidana desersi?

2. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan?

3. Apa hambatan-hambatan dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan?


(30)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam melakukan penelitian ini sebagaimana permasalahan di atas adalah:

1. Untuk mengkaji faktor-faktor penyebab Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan tindak pidana desersi.

2. Untuk mengkaji pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan.

3. Untuk mengakji hambatan-hambatan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL di Lantamal I Belawan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara teoritis maupun secara praktis, manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum mengenai proses penyidikan, aturan pemberian sanksi, dan proses penegakan hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI AL Lantamal I Belawan. Selain itu, penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya, dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai TNI dan Peradilan Militer;


(31)

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi aparat penegak hukum khususnya aparat penegak hukum yakni Polisi Militer (Pom), Oditur (Jaksa Militer), dan Hakim Militer serta bermanfaat pula bagi Hakim Pengawas dan Pengamat (Wasmat) terhadap pola pembinaan narapidana TNI di Masmil.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Berdasarkan hasil penelusuran, ditemukan judul penelitian/tesis yang berjudul “Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia”, oleh: Paul Sihombing, NIM: 067005037, permasalahan yang dibahas adalah: Pertama, menyangkut landasan Filosofis Peradilan Militer berdasarkan

Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer? Kedua, menyangkut

ketentuan perundang-undangan yang mengakomodir penundukan militer pada peradilan umum dalam hal melakukan tindak pidana umum? dan Ketiga, mengenai

kewenangan Peradilan Militer dalam menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negera.

Sementara permasalahan di dalam penelitian ini dibahas adalah: Pertama,

faktor-faktor yang menyebabkan Anggota TNI AL Lantamal I Belawan melakukan tindak pidana desersi, Kedua, penegakan hukum terhadap tindak pidana desersi, dan


(32)

Ketiga, hambatan-hambatan apa yang ditemukan dalam penegakan hukum tindak

pidana desersi di Lantamal I Belawan. Berdasarkan fokus pembahasan dalam penelitian ini, judul dan permasalahan berbeda dengan penelitian sebelumnya. Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Salah satu upaya untuk menegakkan hukum bagi Angota TNI AL yang melakukan tindak pidana desersi adalah dengan mengoptimalkan Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) dan Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagaimana dimaksud dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia junto UU No.1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas UU No.20 Tahun 1982

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia menentukan bahwa Angkatan Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.

Penegakan hukum militer dalam SPP dan SPPM harus melibatkan peran struktur hukum masing-masing institusi terkait dalam sistem hukum (legal system).

Perlu dikaji dalam hal ini teori yang mendasarinya adalah teori legal sistem (legal

system theory). Sistem hukum adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu


(33)

menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan.16 Sistem hukum menurut Sudikno Mertokusumo, adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.17

Sistem hukum lebih jauh diartikan oleh Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, yang pada hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.18 Tiga komponen legal system menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:19

1. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain; 2. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas

hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;

3. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Hukum akan mampu dan efektif di tengah masyarakat, apabila instrumen-instrumen pelaksananya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang

16

R. Subekti, dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

17

Ibid.

18

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 151.

19

Lawrence M. Friedman, dalam Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.


(34)

penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum atau sub sistem sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, dan budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya.20 Ketiga elemen dalam sistem hukum di atas, teorinya berbeda dalam mencapai tujuan hukum antara hukum timur dan hukum barat.21

Teori legal sistem berguna dalam menganalisis peran aparat penegak hukum di lingkungan militer. Sebagaimana dalam perspektif Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat UU No.31 Tahun 1997), menegaskan bahwa Polisi Militer22 (penyidik), Oditur23

20

Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.

(penuntut), dan Hakim

21

Ibid., hal. 212-213. Teori tujuan hukum timur berbeda dengan tujuan hukum barat. Teori tujuan hukum timur umumnya tidak menempatkan ”kepastian” tetapi hanya menekankan pada tujuan yakni, ”Keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian”. Hal ini berbeda dengan tujuan hukum barat yang menghendaki ”kepastian”. Tujuan hukum negara timur misalnya Jepang, tetap menggunakan kultur hukum aslinya. Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan hukum barat, sebab sistem hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”. Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni ”kepastian”.

22

Pasal 1 ayat 11 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: “Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Penyidik adalah Atasan yang Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan”.


(35)

Militer24 (melaksanakan kekuasaan kehakiman militer) adalah institusi yang berhak melakukan penegakan hukum terhadap anggota TNI khususnya anggota TNI AL Lantamal I Belawan yang melakukan tindak pidana. Peran ketiga institusi tersebut bekerja dalam sebuah sistem yang tidak sapat terpisahkan antara satu sama lainnya untuk mencapai tujuan tegaknya hukum militer.25

Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum khususnya penegakan hukum militer, jika salah satu elemen dari tiga kompenen sistem hukum di atas, tidak bekerja dengan baik, berimplikasi kepada terganggunya elemen yang lain dalam sistem hukum tersebut, hingga pada gilirannya mengakibatkan hukum yang tidak efektif. Komponen-komponen sistem hukum di atas dipertegas oleh Soerjono Soekanto

26

23

Pasal 1 ayat 7 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: ”Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini”.

, yang merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.

24

Pasal 1 ayat (4) UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menegaskan bahwa: ”Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan”.

25

Mataramnews.com, Tanggal 20 Januari 2011. Dalam amanat tertulis yang dibacakan Kepala Staf Umum Panglima TNI Marsekal Madya TNI Eddy Hardjoko, mengatakan, sebagai salah satu unsur penegak hukum, Polisi Militer harus menampilkan dan mampu membangun citra positif demi mendukung proses transformasi dan reformasi hukum yang progresif di negeri ini. Proses penegakan hukum yang dilakukan dapat menggerakkan masyarakat untuk bertingkah laku sesuai hukum berlaku, dan sebaliknya penegak hukum dapat memberikan perlindungan dan keadilan bagi masyarakat dan seluruh personel TNI khususnya. Terkait itu, diperlukan aparat penegak hukum yang memiliki sifat ksatria, bermental baik, bijaksana, dan jujur.

26

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.


(36)

Terkait dengan bekerjanya ketiga elemen dalam sistem hukum peradilan militer, khususnya Polisi Militer sebagaimana Pasal 77 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997 menegaskan bahwa:

Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa. Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Dalam SPP terdiri dari Polisi Militer, Oditurat Militer, Peradilan, dan Masyarakat. Tugas Polisi Militer ditegaskan dalam Pasal 77 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 tentang Peradilan Militer, melakukan penangkapan dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, dan tempatnya diperiksa.

Polisi Militer atau Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal) harus berkoordinasi dengan intansi yang bertugas melakukan penuntutan di lingkungan TNI sebagaimana penegasannya diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU No.31 Tahun 1997 yaitu Oditurat (lembaga oditur) merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Setelah diteliti oleh oditur militer, apabila berkas perkara menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, telah memenuhi syarat, maka oditur


(37)

militer menyerahkan kepada ketua pengadilan militer untuk dilakukan proses persidangan. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No.31 Tahun 1997 menegasakan bahwa Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, dan Hakim Militer Utama (selanjutnya disebut Hakim) adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan.

Ketiga-tiga komponen/elemen di atas dalam legal system khusunya di

lingkungan militer, menunjukkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat). Berarti dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hukum merupakan urat nadi dalam aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum, sebagai suatu sistem,27

Tugas Polisi Militer dalam teori legal system, oleh UU No.31 Tahun 1997

tentang Peradilan Militer mengamanahkan tugas di bidang penyidikan sebagai penyidik atas tindak pidana. Secara yuridis, M. Yahya Harahap, menyebutkan bahwa penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terangnya tindak pidana yang dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu penegakan hukum itu adalah Kepolisian sebagai penyidik.

27


(38)

terjadi serta sekaligus menentukan tersangka atau pelaku tindak pidana.28 Penyidikan sama dengan apsporing (Belanda), namun menyidik (apsporing) berarti pemeriksaan

permulaan oleh pejabat-pejabat penyidik yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.29

Hubungan koordinasi ketiga institusi tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang secara organisatoris dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan yang terkait dalam sistem peradilan pidana. Sebagai suatu sistem maka suatu sistem yang utuh terdiri dari sub sistem-sub sistem yaitu penyidik, penuntut, pengadilan (hakim) dan lembaga pemasyarakatan khususnya pemasayarakatan militer (Masmil). Tugas dan wewenang sub sistem tersebut saling terkait dan bertalian satu sama lain, dalam arti adanya suatu koordinasi fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan. Oleh sebab itu, maka hubungan koordinasi instansional dalam sub sitem tersebut dapat berupa: rapat kerja gabungan antar instansi aparat penegak hukum; dan penataran gabungan dan lain-lain.

30

Koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi saling mematuhi ketentuan wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran proses penegakan hukum. Achmad Ali, mangatakan, harus ada dua unsur dalam sistem hukum yaitu: Pertama, Profesionalisme, yaitu merupakan unsur kemampuan dan

28

M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 109.

29

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 121.

30


(39)

keterampilan secara person dari sosok-sosok aparat penegak hukum; dan Kedua,

Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.31

Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan, kekeliruan, tidak profesional, dan tidak memiliki kepemimpinan, pada satu instansi mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum dalam sistem hukum. Konsekuensinya adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani perkara yang tidak berjalan, akan memikul tanggung jawab kelalaian dan kekeliruan tersebut dalam sidang praperadilan. Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, akan tetapi dalam hal melakukan litigasi dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.32

Jauh sebelumnya Plato, menyebutkan, ada 3 (tiga) kekuatan sosial yang sangat mempengaruhi stabilitas suatu negara. Tiga kekuatan sosial itu adalah: militer (angkatan bersenjata); kaum intelektual; dan kaum interpreneur (pengusaha).33

31

Achmad Ali, Op. cit., hal. 204.

Pembangunan di Indonesia dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 beserta amandemennya, apabila ketiga-tiga

32

Soerjono Soekanto, Op. cit., hal. 2.

33

Sanoesi, Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol. B/394/IX/Dislitbang, (Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987), hal. 342.


(40)

kekuatan sosial di atas dapat dijalankan sesuai tugas masing-masing institusi terkait.34

2. Landasan Konsepsional

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa ketiga elemen (Polisi Militer, Oditur, dan Hakim Militer) dalam penegakan hukum harus bekerja sama idealnya sebuah sistem yang bekerja dalam sistem peradilan militer untuk memberikan sanksi yang sesuai kepada anggota TNI khususnya TNI AL yang melakukan tindak pidana.

Landasan konsepsional digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa istilah untuk menghindari kesimpangsiuran dalam memahami dan menafsirkan definisi/pengertian. Landasan konsepsional dimaksud adalah sebagai berkut:

a. Penegakan hukum adalah upaya hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk berperan dalam melaksanakan hukum dengan baik meliputi peran masing-masing institusi dalam sistem peradilan pidana.

b. Tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum

pidana. Tindak pidana dirujuk kepada asas legalitas dalam Pasal 1 KUH Pidana bahwa yang dimaksud tindak pidana itu menyangkut segala sesuatu yang telah dilarang atau sudah diatur dalam undang-undang. Strafbaar feit

diterjemahkan dengan memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana.35

34

Ibid.

35

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 205. Menurut Simons strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Dibaginya dalam 2 (dua) golongan unsur yaitu: unsur subyektif yang berupa kesalahan (schuld) dan kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar) dari pelaku dan unsur obyektif yang berupa tindakan yang dilarang/diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu.


(41)

c. Desersi adalah suatu tindak pidana dengan tidak beradanya seorang atau lebih anggota militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin.36 d. Anggota TNI AL adalah anggota Tentara Nasional Indonesia37 yang bertugas:

melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan; menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.38

e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik TNI dan/atau penyidik pidana umum dalam hal dan menurut cara yang dalam undang-undang (baik KUHAPMIL maupun KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.39

f. Sanksi yang dimaksud mencakup menetapkan jenis sanksi, tidak hanya meliputi sanksi pidana tetapi sanksi tindakan. Penekanan kesetaraan sanksi

36

SR. Sianturi, Op. cit., hal. 257.

37

Pasal 1 angka 7 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

38

Pasal 9 UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

39

Pasal 1 angka 2 KUHAP dan Petunjuk Pelaksana Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Jukal 17/IV2006/Tanggal 7 April 2006, hal. 4.


(42)

pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system,

sesungguhnya terkait bahwa unsur pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama pentingnya.40

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja dalam memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.41 Penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.42 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.43 Metode penelitian hukum adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah hukum berdasarkan metode tertentu.

40

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, (Jakarta: Sofmedia, 2010), hal. 91 dan hal 92. Lihat juga: M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 17. Sanksi tindakan lebih menekankan kepada nilai-nilai kemanusiaan dalam reformasi dan pendidikan kembali pelaku kejahatan sedangkan sanksi pidana lebih menekankan stelsel sanksi dalam hukum pidana yang menyangkut pembuat undang-undang.

41

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

42

Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

43


(43)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.44

2. Sumber Data

Sedangkan sifat penelitiannya adalah kualitatif. Alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif ini adalah didasarkan pada paradigma hubungan yang dinamis antara teori, konsep-konsep, dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Wawancara dilakukan sebagai data data pendukung untuk memperkuat argumentasi-argumentasi dan pemikiran-pemikiran dalam penelitian ini.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dibagi dalam 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:45

1. Bahan hukum primer, yaitu KUH Pidana, KUHPM, KUHAP, KUHAPMIL, UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/01/P/I/1984, tanggal 20 Januari 1984 tentang Organisasi Babinkum TNI. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

44

Bismar Nasution, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. Penelitian doktrinal (doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. Penelitian hukum normatif ini bersifat kualitatif.

45

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 24.


(44)

bahan hukum primer, seperti: buku-buku, makalah hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia).

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan (library research) dengan

melakukan identifikasi data yang ada. Selanjutnya sebagai bahan pendukung dilakukan wawancara kepada pihak-pihak dan instansi terkait melalui studi lapangan (field research). Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan

tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh peraturan dalam perundang-undangan terkait dengan tindak pidana desersi yang dilakukan oleh Anggota TNI AL. Data tersebut kemudian disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.46

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, dan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan. Data yang dianalisis secara kualitatif

46

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 195-196.


(45)

tersebut kemudian disistematisasikan sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dianalisis. Data yang dianalisis tersebut akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya dinyatakan secara deduktif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.


(46)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ANGGOTA TNI AL LANTAMAL I BELAWAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI

A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

Istilah ”peristiwa pidana” atau ”tindak pidana” adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda ”strafbaar feit” yaitu suatu tindakan pada tempat, waktu dan

keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan, dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.47

Beberapa sarjana berusaha memberikan perumusan tentang pengertian dari peristiwa pidana, diantaranya: Moeljatno cenderung lebih suka menggunakan kata ”perbuatan pidana” daripada kata ”tindak pidana”. Menurut beliau kata ”tindak pidana” dikenal karena banyak digunakan dalam perundang-undangan untuk menyebut suatu ”perbuatan pidana”. Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.48

Vos hanya memberikan perumusan yang sangat singkat mengenai tindakan atau perbuatan pidana. Menurut beliau bahwa strafbaar feit ialah kelakuan atau

tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana.

Perumusan peristiwa pidana menurut Profesor Simons adalah “Een

47

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1998), hal. 56.

48


(47)

strafbaargelesetelde, onrechtmatige, met schuld in verband standee handelling van

een teorekeningvatbar person”. Adapun maksud dari perumusan tersebut adalah salah

dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Perumusan simons tersebut menunjukkan unsur-unsur peristiwa pidana diantaranya perbuatan manusia (handeling) dimana perbuatan

manusia tidak hanya perbuatan (een doen) akan tetapi juga melakukan atau tidak

berbuat (een natalen atau niet doen).49

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan produk hukum Indonesia yang isinya dibuat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, sehingga KUHP yang ada saat ini tidak lain adalah hasil alih bahasa yang dilakukan beberapa sarjana Indonesia.50 Hukum pidana menggunakan istilah strafbaar feit dalam menyebut tindak pidana.51 Simons

merumuskan strafbaar feit yaitu, ”strafbaar feit adalah suatu handeling

(tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu

bertanggung jawab”.52 Profesor van Hattum berpendapat bahwa strafbaar feit adalah

tindakan yang membuat seseorang menjadi dapat dihukum.53

49

C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hal. 37.

Kedua pendapat tersebut merujuk kepada penggunaan istilah tindak pidana dalam merumuskan

50

Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet. 21, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hal. 10.

51

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hal. 172.

52

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1989), hal. 205.

53


(48)

strafbaar feit. Berbeda dengan Moeljatno yang mengartikan strafbaar feit sebagai

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangannya. Moeljatno merujuk istilah “perbuatan pidana” untuk merumuskan

strafbaar feit.54

Istilah “tindak pidana” telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strafbaar

feit dalam hukum pidana sebagaimana telah dijelaskan di atas. Istilah strabare feit

sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.55

Berdasarkan pendapat beberapa ahli pidana tersebut di atas, dapat dipahami mengenai tindak pidana itu, sebagaimana S.R. Sianturi mengatakan:56

1. Suatu perbuatan yang melawan hukum.

2. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian.

3. Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.

Sebagai tindak pidana, harus melekat suatu unsur melawan hukum dalam arti melawan hukum secara formil dan secara materil.57

54

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidanai, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 54.

Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Misalnya dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum

55

S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 204.

56

Ibid.

57

J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan (tanpa tempat: Bina Cipta, 1984), hal. 102-103.


(49)

harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum

tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum.58

Unsur kesalahan (schuld) dipersamakan dengan kesengajaan (opzet) atau

kehendak (voornawen). Tiada hukuman tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld)

berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah. Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (dolus/opzet) yakni berbuat

dengan hendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui atau willen en

wetens, sedangkan dalam arti luas berarti dolus dan culpa.

59

Culpa sendiri berarti

kealpaan, dimana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar dapat dipidana, dalam diri subjek atau pelaku pidana tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf. kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.60

Tindak pidana dapat dibagi dengan menggunakan kriteria. Pembagian ini berhubungan erat dengan berat atau ringannya ancaman, sifat, bentuk dan perumusan suatu tindak pidana. Pembedaan ini erat pula hubungannya dengan ajaran-ajaran

58

Ibid.

59

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003), hal. 173.

60


(50)

umum hukum pidana.61 Menurut kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang terdapat dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan (misdrijven)

yang ditempatkan dalam buku ke-II dan pelanggaran (overtredingen) yang

ditempatkan dalam buku ke-III.62

Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Menurut B. Simandjutak, kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Menurut Van Bammelen, kejahatan adalah setiap kelakuan yang bersifat tercela yang merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. Menurut J. E Sahetapy dan Mardjono Reksodipuro, kategorisasi tentang perbuatan sebagai suatu kejahatan (sesuatu yang dilekati sifat jahat) sesungguhnya merupakan suatu hal yang bersifat subyektif, historis dan partikular.63

Pelanggaran dalam buku III merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Pelanggaran Hukum adalah perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang

61

S.R. Siantury, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM PTHM, 1986), hal. 228.

62

Ibid., hal. 230.

63


(51)

menyebutnya sebagai delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan/diharuskan. Contoh: tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan diatur dalam Pasal 522 KUHP; tidak menolong orang yang membutuhkan pertolongan diatur dalam Pasal 531 KUHP.

Sebagai subjek tindak pidana pada mulanya hanyalah orang sebagai

natuurlijke persoonen, sedangkan badan hukum atau rechts persoonen tidak dianggap

sebagai subjek,64 pada perkembangannya terjadi perluasan terhadap subjek tindak pidana. Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik sering memperhitungkan kenyataan manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya, muncul sebagai satu kesatuan dan karena dari itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum/korporasi.65

Subjek dalam hukum pidana saat tidak lagi terbatas pada manusia sebagai pribadi kodrati (natuurlijke persoonen) tetapi juga mencakup manusia sebagai badan

hukum (rechts persoonen). Manusia atau orang sebagai subjek hukum pidana

menyebabkan pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Dalam militer, barang siapa atau setiap anggota TNI yang melakukan tindak pidana, maka orang itulah yang harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. Desersi yang dilakukan oleh anggota TNI adalah tindakan melanggar hukum dan dapat dipidana meneurut hukum militer.

64

Ibid., hal. 219.

65


(52)

B. Desersi Merupakan Salah Satu Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Militer

Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukumnya yaitu militer. Tindak pidana semacam ini disebut tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict). Tindak pidana militer murni adalah suatu tindak

pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Contoh: Tindak pidana desersi sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM); tindak pidana insubordinasi sebagaimana

diatur dalam Pasal 105-109 KUHPM dan lain-lain. Maksudya tindak pidana

insubordinasi ini adalah seorang bawahan dengan tindakan nyata mengancam dengan

kekerasan yang ditujukan kepada atasannya atau komandannya. Tindakan nyata itu dapat berbentuk perbuatan dan dapat juga dengan suatu mimik atau isyarat. Tindak pidana meninggalkan pos penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM. Maksudya: Penjaga yang meninggalkan posnya dengan semuanya, tidak melaksanakan suatu tugas yang merupakan keharusan baginya dimana dia tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai penjaga sebagaimana mestinya diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun.66

Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI murni militer didasarkan kepada peraturan terkait dengan militer. Anggota TNI yang melakukan tindak pidana murni militer sebagaimana disebutkan dalam hukum pidana militer termasuk kejahatan yakni: kejahatan terhadap keamanan negara; kejahatan dalam pelaksanaan

66


(53)

kewajiban perang, kejahatan menarik diri dari kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas (desersi); kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan pencurian, penipuan, dan penadahan, kejahatan merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang keperluan angkatan perang.67

Tindak pidana militer campuran (germengde militaire delict) adalah tindak

pidana mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama antara sipil dan militer yang dalam hal ini dasarnya kepada undang-undang militer dan KUH Pidana. Contoh: tindak pidana pencurian yang dilakukan secara bekerja sama antara sipil dan militer; tindak pidana pembunuhan yang korbannya adalah sipil; dan lain-lain. Tindak pidana campuran ini selalu melibatkan subjek hukum yakni sipil baik pelaku maupun sebagai korban tindak pidana.

68

Salah satu jenis tindak pidana yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah tindak pidana desersi. Tindak pidana desersi ini merupakan contoh tindak pidana murni dilakukan oleh militer. Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, dengan lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin. Perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan

67

SR. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, 2010), hal. 3-4.

68

Munir, Rachland Nashidik, Fajrul Falaakh, Bambang Widjojanto, Riefqi Muna, Rudy Satriyo, Kusnanto Anggoro, Rizal Sukma, dan Edy Prasetyono, Nasakah Akademik Perubahan HUHAP Mengenai Koneksitas, Loc. cit., hal. 3.


(1)

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1998.

______Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet. 21, Jakarta: Bumi Aksara, 2001. ______Asas-Asas Hukum Pidanai, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Mulyadi, Mahmud dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Jakarta: Sofmedia, 2010.

Pound, Roscoe, An Introduction to the Philosophy of Law, New Haven: Yale University Press, 1953.

Rahayuningsih, Toetik, Peradilan Militer Di Indonesia Dan Penegakan Hukum Terhadap Pelakunya, Surabaya: LPPM Universitas Airlangga, 2002.

Rasjidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Mandar Maju, 2003.

Remmelink, Jan, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003.

Salam, Moch. Faisal, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2006.

Sanoesi, Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol. B/394/IX/Dislitbang, Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987.


(2)

Siantury, S.R., Hukum Pidana Militer Indonesia, Jakarta: Alumini AHM PTHM, 1985.

______Hukum Pidana Militer di Indonesia, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, 2010.

______Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1989.

Sihombing, Paul, Kewenangan Peradilan Militer Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Tesis, Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum-Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009.

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali, 1983.

______dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001.

______Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia Hillco, 1990.

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.


(3)

Sholehuddin, M., Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Double Track System & Implementasinya), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.

Subekti, R., dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Suparman, Eman, Kitab Undang-Undang Peradilan Umum, Bandung: Fokusmedia, 2004.

Suseno, Frans Magnis, Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Syahrani, H. Ridwan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Ticoalu, Decky Yance Steven, Kewenangan Penyidikan TNI Al di Perairan Zona Ekonomi Ekslusif, Tesis, Surabaya: Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, 2010.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 1996. Warassih, Esmi, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: Suryandaru


(4)

Yesmi, Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia, Bandung: Widya Padjajaran, 2009.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Petunjuk Pelaksana Kepala Staf Angkatan Laut Nomor Jukal 17/IV2006/Tanggal 7 April 2006.

Petunjuk Pelaksanaan Kasal Nomor: Juklak/14/III/2006 tentang Penyelesaian Administrasi Tindak Pidana Desersi di Lingkungan TNI Angkatan Laut.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.


(5)

C. Makalah, Jurnal, dan Artikel

Dahlan, Burhan, “Pemeriksaan Perkara Desersi Secara In Absensia di Persidangan”, Makalah disampaikan pada Seminar Penegakan Hukum TNI di Jakarta, 2010. Nasution, Bismar, ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”,

Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.

D. Surat Kabar

Mataramnews.com, Tanggal 20 Januari 2011.

E. Internet

http://www.mabesad.mil.id/artikel/artikel1/11903peradilan.htm, diakses tanggal 7 Agustus 2011.

http://www.detiknews.com/read/2010/09/12/055310/1439334/10/telat-kembali-mudik-anggota-tni-bisa-dianggap-desersi, diakses tanggal 9 Agustus 2011. http://info.tnial.mil.id/lantamal1/Postur/Organisasi/tabid/230/Default.aspx, diakses

tanggal 2 Agustus 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Komando_Lintas_Laut_Militer, diakses tanggal 1 Agustus 2011.


(6)

http://wwww.tnial.mil.id/tabid/418/articleType/ArticleView/articleId/111/CAKRAW ALA-nomor-406-tahun-2011.aspx, diakses tanggal 2 Agustus 2011.

http://info.tnial.mil.id/lantamal11/Postur/TugasPokok/tabid/228/Default.aspx, diakses tanggal 2 Agustus 2011.

http://etd.eprints.ums.ac.id/4233/, diakses tanggal 9 Agustus 2011.

http://www.pandusakti97.com/content/penyidik-bagi-anggota-tni-dalam-peradilan-umum, diakses tanggal 24 Mei 2011.

http://www.suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailberita cetak, diakses tanggal 16 Nopember 2011.


Dokumen yang terkait

Penegakan Hukum Oleh Penyidik Tni Al Dalam Penanganan Tindak Pidana ”Illegal Fishing” (Studi Pada Lantamal I Belawan)

3 110 154

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 3 12

SKRIPSI PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 2 13

PENDAHULUAN PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 4 19

PENUTUP PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 2 6

TN TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA.

0 3 12

PENDAHULUAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA.

0 3 13

PENUTUP TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA.

0 3 6

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN DESERSI (Studi Kasus Pengadilan Militer I-03 Padang).

0 0 18

PERAN POLISI MILITER ANGKATAN LAUT DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT (Studi di Denpom Lanal Lampung)

0 0 13