BAB IV HAMBATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK
PIDANA DESERSI DI POMAL LANTAMAL I BELAWAN
A. Hambatan Secara Umum dalam Sistem Peradilan Pidana Militer
Secara umum bahwasanya hambatan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh Pomal TNI AL meliputi hambatan internal dan hambatan eksternal.
Hambatan internal dapat berupa sumber daya yang minim serta sarana dan prasarana yang kurang memadai serta keterbatasan wewenang yang dimiliki, sedangkan
hambatan eksternal yaitu pada tataran penanganan yang bersifat sistematik, maka jika menyangkut sistem hukum legal system, konteks yang dibicarakan adalah
menyangkut tentang tiga komponen utama dan penting dalam sistem hukum yaitu legal structur, legal substance, dan legal culture.
149
Belum adanya kewenangan penyidik umum Polri melakukan penyidikan di lingkungan markas TNI berkaitan dengan tindak pidana umum yang menyangkut atau
terjadi di dalam markaspangkalankapalpesawat military property dan lain-lain merupakan suatu hambatan dalam penyidikan. Realita selama ini, peradilan militer
lebih banyak mengadili tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI dari pada tindak pidana militer yang murni, seperti desersi atau insubordinasi, sehingga
149
Decky Yance Steven Ticoalu, Kewenangan Penyidikan TNI Al di Perairan Zona Ekonomi Ekslusif, Tesis, Surabaya: Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, 2010, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana umum tersebut seringkali selalu bersinggungan dengan kepentingan sipil sehingga kepentingan sipil lebih banyak dirugikan.
150
Selain itu, putusan yang dijatuhkan oleh peradilan militer dirasakan tidak efektif oleh sebagian besar masyarakat sipil, sehingga ada kesan peradilan militer
digunakan sebagai sarana untuk melindungi anak buahprajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum, dan berkaitan dengan SPPM, maka hal ini tidak bisa semata-
mata dibebankan kepada hakim dalam SPPM, karena peradilan militer tidak berdiri sendiri. Perdilan militer bagian dari SPPM, terdiri dari komponen sub sistem
Ankum, Papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer, dan Petugas Pemasyarakatan Militer.
151
Belum adanya definisi hukum militer secara baku yang dapat dipahami semua pihak, membuat setiap orang memaknai sendiri-sendiri sesuai pengetahuannya,
sehingga Ketetapan MPR RI Nomor: VIIMPR2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 3 ayat
4 huruf a telah kehilangan maknanya. Namun apabila tetap dipaksakan, maka banyak kesulitan dalam penerapannya dan jurisdiksi Peradilan Militer hanya menjadi
Oleh sebab itu, maka legal structur, legal substance, dan legal culture, harus diutamakan oleh setiap sub sistem dalam SPPM sehingga
kepentingan umum didahulukan daripada kepentingan individu atau kepentingan institusi.
150
http:www.mabesad.mil.idartikelartikel111903peradilan.htm, diakses tanggal 7 Agustus 2011. Oleh: Kapten Chk W. Indrajit, Artikel Lepas, Pengaruh Diadilinya Prajurit TNI yang
Melakukan Tindak Pidana Umum di Peradilan Umum Terhadap Eksistensi Peradilan Militer.
151
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana militer murni saja, seperti desersi atau insubordinasi, sehingga akan mempengaruhi eksistensi Peradilan Militer, dimana peradilan Militer akan mengecil,
sehingga tidak berbeda jauh dengan Mahkamah Pelayaran.
152
Hukum militer akan mampu dan efektif, apabila instrumen-instrumen pelaksananya dalam SPPM dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam
bidang penegakan hukum dengan menjunjung tinggi hukum moral dan etika. Sehubungan dengan itu, hukum menurut Lawrence M. Friedman, tersusun dari sub
sistem hukum sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur
hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, dan
budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya.
153
Ketiga-tiga elemen dalam sistem hukum di atas, teorinya berbeda dalam mencapai tujuan hukum antara hukum timur dan hukum barat. Teori tujuan hukum
timur berbeda dengan tujuan hukum barat. Teori tujuan hukum timur umumnya tidak menempatkan ”kepastian” tetapi hanya menekankan pada tujuan yakni, ”Keadilan
adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah kedamaian”. Hal ini berbeda dengan tujuan hukum barat yang menghendaki ”kepastian”. Tujuan hukum negara timur
misalnya Jepang, tetap menggunakan kultur hukum aslinya. Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan hukum barat, sebab sistem
152
Ibid.
153
Lawrence M. Friedman, dalam Achmad Ali, Loc. cit., hal. 204.
Universitas Sumatera Utara
hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”. Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan
konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat,
namun dengan adanya perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni ”kepastian”.
154
B. Hambatan-Hambatan Hukum atas Tindak Pidana Desersi di Pomal Lantamal I Belawan