Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

BAB II FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN ANGGOTA TNI AL

LANTAMAL I BELAWAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI

A. Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana

Istilah ”peristiwa pidana” atau ”tindak pidana” adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda ”strafbaar feit” yaitu suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan, dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. 47 Beberapa sarjana berusaha memberikan perumusan tentang pengertian dari peristiwa pidana, diantaranya: Moeljatno cenderung lebih suka menggunakan kata ”perbuatan pidana” daripada kata ”tindak pidana”. Menurut beliau kata ”tindak pidana” dikenal karena banyak digunakan dalam perundang-undangan untuk menyebut suatu ”perbuatan pidana”. Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. 48 Vos hanya memberikan perumusan yang sangat singkat mengenai tindakan atau perbuatan pidana. Menurut beliau bahwa strafbaar feit ialah kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Perumusan peristiwa pidana menurut Profesor Simons adalah “Een 47 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1998, hal. 56. 48 Ibid. Universitas Sumatera Utara strafbaargelesetelde, onrechtmatige, met schuld in verband standee handelling van een teorekeningvatbar person”. Adapun maksud dari perumusan tersebut adalah salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Perumusan simons tersebut menunjukkan unsur-unsur peristiwa pidana diantaranya perbuatan manusia handeling dimana perbuatan manusia tidak hanya perbuatan een doen akan tetapi juga melakukan atau tidak berbuat een natalen atau niet doen. 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP merupakan produk hukum Indonesia yang isinya dibuat oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, sehingga KUHP yang ada saat ini tidak lain adalah hasil alih bahasa yang dilakukan beberapa sarjana Indonesia. 50 Hukum pidana menggunakan istilah strafbaar feit dalam menyebut tindak pidana. 51 Simons merumuskan strafbaar feit yaitu, ”strafbaar feit adalah suatu handeling tindakanperbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan schuld oleh seorang yang mampu bertanggung jawab”. 52 Profesor van Hattum berpendapat bahwa strafbaar feit adalah tindakan yang membuat seseorang menjadi dapat dihukum. 53 49 C.S.T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 2004, hal. 37. Kedua pendapat tersebut merujuk kepada penggunaan istilah tindak pidana dalam merumuskan 50 Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, cet. 21, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, hal. 10. 51 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990, hal. 172. 52 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1989, hal. 205. 53 P.A.F. Lamintang, Op. cit., hal. 175. Universitas Sumatera Utara strafbaar feit. Berbeda dengan Moeljatno yang mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangannya. Moeljatno merujuk istilah “perbuatan pidana” untuk merumuskan strafbaar feit. 54 Istilah “tindak pidana” telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah strafbaar feit dalam hukum pidana sebagaimana telah dijelaskan di atas. Istilah strabare feit sendiri telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perbuatan yang dapatboleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana. 55 Berdasarkan pendapat beberapa ahli pidana tersebut di atas, dapat dipahami mengenai tindak pidana itu, sebagaimana S.R. Sianturi mengatakan: 56 1. Suatu perbuatan yang melawan hukum. 2. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian. 3. Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras. Sebagai tindak pidana, harus melekat suatu unsur melawan hukum dalam arti melawan hukum secara formil dan secara materil. 57 54 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidanai, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hal. 54. Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Misalnya dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum 55 S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 204. 56 Ibid. 57 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan tanpa tempat: Bina Cipta, 1984, hal. 102-103. Universitas Sumatera Utara harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum. 58 Unsur kesalahan schuld dipersamakan dengan kesengajaan opzet atau kehendak voornawen. Tiada hukuman tanpa kesalahan geen straf zonder schuld berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah. Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan dolusopzet yakni berbuat dengan hendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui atau willen en wetens, sedangkan dalam arti luas berarti dolus dan culpa. 59 Culpa sendiri berarti kealpaan, dimana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek pelaku dari tindak pidana itu sendiri. Agar dapat dipidana, dalam diri subjek atau pelaku pidana tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf. kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan. 60 Tindak pidana dapat dibagi dengan menggunakan kriteria. Pembagian ini berhubungan erat dengan berat atau ringannya ancaman, sifat, bentuk dan perumusan suatu tindak pidana. Pembedaan ini erat pula hubungannya dengan ajaran-ajaran 58 Ibid. 59 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 2003, hal. 173. 60 S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 192. Universitas Sumatera Utara umum hukum pidana. 61 Menurut kitab undang-undang hukum pidana yang berlaku sekarang terdapat dua macam pembagian tindak pidana, yaitu kejahatan misdrijven yang ditempatkan dalam buku ke-II dan pelanggaran overtredingen yang ditempatkan dalam buku ke-III. 62 Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Menurut B. Simandjutak, kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat. Menurut Van Bammelen, kejahatan adalah setiap kelakuan yang bersifat tercela yang merugikan dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. Menurut J. E Sahetapy dan Mardjono Reksodipuro, kategorisasi tentang perbuatan sebagai suatu kejahatan sesuatu yang dilekati sifat jahat sesungguhnya merupakan suatu hal yang bersifat subyektif, historis dan partikular. 63 Pelanggaran dalam buku III merupakan tindak pidana yang sanksinya lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan. Pelanggaran Hukum adalah perbuatan yang disadari oleh masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang 61 S.R. Siantury, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM PTHM, 1986, hal. 228. 62 Ibid., hal. 230. 63 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipa, 2002, hal. 71-72. Universitas Sumatera Utara menyebutnya sebagai delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak melakukan sesuatu yang diperintahkandiharuskan. Contoh: tidak menghadap sebagai saksi di pengadilan diatur dalam Pasal 522 KUHP; tidak menolong orang yang membutuhkan pertolongan diatur dalam Pasal 531 KUHP. Sebagai subjek tindak pidana pada mulanya hanyalah orang sebagai natuurlijke persoonen, sedangkan badan hukum atau rechts persoonen tidak dianggap sebagai subjek, 64 pada perkembangannya terjadi perluasan terhadap subjek tindak pidana. Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik sering memperhitungkan kenyataan manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya, muncul sebagai satu kesatuan dan karena dari itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukumkorporasi. 65 Subjek dalam hukum pidana saat tidak lagi terbatas pada manusia sebagai pribadi kodrati natuurlijke persoonen tetapi juga mencakup manusia sebagai badan hukum rechts persoonen. Manusia atau orang sebagai subjek hukum pidana menyebabkan pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi. Dalam militer, barang siapa atau setiap anggota TNI yang melakukan tindak pidana, maka orang itulah yang harus bertanggung jawab, sepanjang pada diri orang tersebut tidak ditemukan dasar penghapus pidana. Desersi yang dilakukan oleh anggota TNI adalah tindakan melanggar hukum dan dapat dipidana meneurut hukum militer. 64 Ibid., hal. 219. 65 Jan Remmelink, Op. cit., hal. 97. Universitas Sumatera Utara

B. Desersi Merupakan Salah Satu Tindak Pidana Menurut Hukum Pidana Militer

Dokumen yang terkait

Penegakan Hukum Oleh Penyidik Tni Al Dalam Penanganan Tindak Pidana ”Illegal Fishing” (Studi Pada Lantamal I Belawan)

3 110 154

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 3 12

SKRIPSI PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 2 13

PENDAHULUAN PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 4 19

PENUTUP PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAANYA DI PENGADILAN MILITER YOGYAKARTA.

0 2 6

TN TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA.

0 3 12

PENDAHULUAN TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA.

0 3 13

PENUTUP TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI) DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA.

0 3 6

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN DESERSI (Studi Kasus Pengadilan Militer I-03 Padang).

0 0 18

PERAN POLISI MILITER ANGKATAN LAUT DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT (Studi di Denpom Lanal Lampung)

0 0 13