Latar Belakang Masalah Jurnal

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Aksi teror dianggap telah melecehkan nilai-nilai kemanusiaan, martabat bangsa, dan norma-norma agama, karena eskalasi dampak detruktif yang ditimbulkannya telah menyentuh multidimensi kehidupan manusia. 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 menyebutkan bahwa Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Perundang-undangan ini. Aksi teror yang dilakukan para teroris tersebut telah membuat dunia menjadi tidak aman dan menimbulkan ketakutan ditengah-tengah masyarakat. Kejahatan terorisme mampu menimbulkan ketakutan yang sangat luas, termasuk pada mereka yang tidak secara langsung menjadi objek serangan atau sasaran. 2 Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun. Kemudian Pasal 6 menyatakan Tindak Pidana Terorisme sebagai berikut: 3 1 Dikdik M. Arief Mansur, Hak Imunitas Aparat Polri dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme, Pensil-324, Jakarta, 2012, Halaman 2. 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 1 3 Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6 Universitas Sumatera Utara 2 Dari isi Pasal tersebut kita dapat melihat bahwa terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. 4 Melihat ancaman serius yang ditimbulkan oleh aksi terorisme, maka Terorisme merupakan suatu kejahatan yang tidak dapat lagi digolongkan sebagai kejahatan biasa non extra ordinary crime, sebab pengertian “terorisme” itu sendiri dalam perkembangannya telah dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap manusia atau crime against humanity. 5 Upaya pemerintah dalam penanggulangan masalah tindak pidana terorisme di Indonesia terlihat pasca kasus peledakan Bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002. Pemerintah segera melakukan langkah-langkah darurat serta reaksi cepat untuk merespon aksi terorisme tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perppu Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan menyetujui Perppu nomor 1 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Kejahatan terorisme kini telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa extra ordinary crime sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula extra ordinary measures. 4 Muzakkir Samidan Prang, Terorisme dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2011, Hal aman 61. 5 Ibid Halaman 158 Universitas Sumatera Utara 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, dan disahkan serta diundangkan pada tanggal 4 April 2003. Undang-Undang ini melengkapi keterbatasan dari ketentuan yang selama ini dipergunakan dalam pemberantasan aksi terorisme, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dan Undang- Undang Darurat No.12 tahun 1955 6 Pembentukan satuan tugas ini juga merupakan amanat dari pasal 45 Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menyatakan: Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Dasar pembentukan Densus 88 Anti teror adalah surat keputusan Polri No. Pol: Kep30VI2003 tertanggal 20 Juni 2003 yang Upaya pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia tidak hanya dengan mensahkan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut. Segera setelah terjadinya peledakan Bom Bali I Polri membentuk satuan tugas yang terdiri dari anggota Kepolisian Daerah Metro Jaya Polda Metro Jaya dan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Mabes Polri yang dikoordinisikan oleh kepolisian Daerah Bali Polda Bali. Kemudian satuan tugas ini dibakukan dalam satuan Tugas Bom Polri satgas Bom Polri melalui Surat Keputusan Polri No. 2X2002 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Kasus Bom Bali. Satgas Bom Polri ini merupakan cikal bakal dibentuknya Detasemen Khusus Anti Teror densus 88. 6 Didik M.Arief Mansur, Op.cit, Halaman 420-421. Universitas Sumatera Utara 4 dibuat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia saat itu, Jenderal Polisi Da’I Bachtiar. 7 Pada tahun 2016 kinerja Densus 88 menjadi sorotan publik pasca tewasnya seorang warga sipil terduga teroris, Siyono penduduk Klaten. Siyono yang dijemput paksa dalam keadaan sehat dipulangkan kepada keluarganya dengan keadaan meninggal dunia, padahal Siyono masih berstatus terduga teroris. Pihak Polri kemudian mengungkap Siyono tewas karena melakukan perlawanan saat ditangkap pihak Densus 88 yang akhirnya dilumpuhkan hingga tewas. 8 Jika merunut pada Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Densus 88 Anti Teror hanya memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan dengan bukti awal untuk selanjutnya membawa terduga yang telah ditangkap menjalani dan mendapatkan vonis di persidangan. Seringnya terduga teroris tewas ditangan Densus 88 sebelum melalui proses persidangan menuai kritik pakar atau pengamat dan beberapa lembaga keamanan Negara.. Operasi yang dilakukan Densus 88 dianggap operasi yang agresif dan cenderung melanggar prosedur penegakan keamanan bahkan dianggap telah melanggar Hak Asasi Manusia. 9 Protes dan pernyataan yang keluar dari beberapa lembaga penegak kemanan dan pengamat hukum membuat publik mengikuti arus tersebut. Publik 7 Ibid, Halaman 201. 8 http:www.batasnegeri.comdilema-anti-terorisme-antara-densus-88-dan-perbatasan- indonesia diakses pada hari selasa tanggal 5 Juli 2016 Pukul 15.25 WIB 9 http:m.liputan6.comcitizen6read739868mau-hidup-aman-dan-tenang-intelijen- solusinya diakses pada hari jumat tanggal 10 Juni 2016 pukul 13.51 WIB Universitas Sumatera Utara 5 tergiring menuju paradigma yang menyatakan Densus 88 Anti Teror adalah sebuah bentuk teror baru untuk masyarakat, yang berujung pada tuntutan agar Densus 88 dibubarkan. Derasnya desakan untuk membubarkan Densus 88 Anti Teror dari berbagai kalangan adalah suatu hal yang harus segera dicari solusinya. Jika solusinya benar-benar berujung pada dibubarkannya Densus 88 AT, siapa yang akan bertanggung jawab jika setelah itu terjadi ledakan-ledakan bom atau aksi terorisme lainnya di Indonesia? Aksi extra judicial killing pembunuhan di luar proses persidangan yang dilakukan Densus 88 memang patut dipertanyakan, namun tidak menjadi alasan untuk kita menutup mata terhadap alasan-alasan yang dihadapi personil densus 88 dalam pelaksanaan tugasnya sehingga melakukan hal tersebut. Pihak kepolisian menyatakan penembakan yang dilakukan oleh Densus 88 adalah dalam rangka membela diri. Apabila setiap tindakan aparat Densus 88 dalam melaksanakan upaya pemberantasan terorisme selalu dilihat dari perspektif pelanggaran HAM, maka dikhawatirkan bahwa hal ini akan melemahkan performa Densus 88 dalam melaksanakan tugasnya memberantas Tindak Pidana Terorisme. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas menjadi alasan penulis untuk mengkaji bagaimana kewenangan Densus 88 dalam pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia dan judul yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah “ANALISIS YURIDIS KEWENANGAN DENSUS 88 DALAM RANGKA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI” Universitas Sumatera Utara 6

1.2 Perumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan sebagaimana yang telah