124
berupa laporan intelijen maka pennyelidikan baru bisa dilakukan apabila sudah ada ada penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri.
120
Setiap Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum seperti halnya warga sipil pada umumnya
Kasus Siyono ini menjadi momentum bagi kepolisian untuk mengevaluasi apa yang dilakukan Densus 88 dalam proses penangkapan pelaku tindak pidana
terorisme karena Densus 88 sebenarnya juga aparat penegak hukum yang tunduk pada prinsip-prinsip yang ada pada Undang-Undang maupun Hukum Acara
Pidana. Tidak ada jaminan legal khusus yang memberikan privilege kepada Densus 88 untuk menggunakan tindakan hukum diluar yang diatur di dalam
Undang-Undang. Jika Anggota Densus 88 Terbukti melakukan suatu tindak pidana, maka harus tetap ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang ada.
Berikut kebijakan Hukum Pidana terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Densus 88 dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
4.2.1 Kebijakan Penal
121
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
. Namun, karena profesinya, anggota Polri juga tunduk pada Peraturan Disiplin dan Kode
Etik Profesi yang diatur dalam PP
nomor 2 tahun 2003. Sedangkan, kode etik kepolisian diatur dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia Perkapolri nomor 14 tahun 2011.
120
http:www.hukumonline.comberitabacahol8834yusril-penangkapan-memakai-uu- terorisme-harus-berdasarkan-kuhap diakses pada hari minggu tanggal 31 Juli pukul 16.14wib
121
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 29 ayat 1
Universitas Sumatera Utara
125
Densus 88 yang dalam hal ini juga merupakan bagian dari Polri dalam pelaksanaan tugasnya harus menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara,
Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 3 huruf c PP 22003 dan menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang
berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku secara umum Pasal 3 huruf g PP 22003.
Bagi Anggota Densus 88 yang melakukan Tindak Pidana akan tetap dapat diproses secara pidana. Walaupun sudah ada sanksi dari Satuan Tugasnya. Sebab
Sanksi yang di dapat dari satuan tugas Kepolisian tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota Densus 88 yang melakukan tindak pidana. Pasal 12 ayat
1 PP 22003 jo. Pasal 28 ayat 2 Perkapolri 142011..
Proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum dilakukan menurut hukum acara yang berlaku di
lingkungan peradilan umum. Hal ini diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum
Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia PP No. 3 Tahun 2003.
4.2.2. Kebijakan Non-Penal
Apabila anggota Densus 88 melakukan tindak pidana, ini berarti telah melanggar peraturan disiplin Polri. Pelanggaran Peraturan Disiplin adalah ucapan,
tulisan, atau perbuatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan disiplin Pasal 1 angka 4 PP 22003. Densus 88 sebagai
Universitas Sumatera Utara
126
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
dapat dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin danatau hukuman disiplin Pasal 7 PP 22003.
Tindakan disiplin berupa teguran lisan danatau tindakan fisik Pasal 8 ayat 1 PP 22003. Tindakan disiplin tersebut tidak menghapus kewenangan
Atasan yang berhak menghukum Ankum untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin.
Adapun hukuman disiplin tersebut berupa:
122
a. teguran tertulis;
b. penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 satu tahun;
c. penundaan kenaikan gaji berkala;
d. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 satu tahun;
e. mutasi yang bersifat demosi;
f. pembebasan dari jabatan;
g. penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 dua puluh satu hari.
Penjatuhan hukuman disiplin diputuskan dalam sidang disiplin Pasal 14 ayat 2 PP 22003. pelanggaran terhadap aturan disiplin dan kode etik akan
diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Anggota kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin lebih dari 3 tiga kali
dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Kepolisian
122
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 9
Universitas Sumatera Utara
127
Negara Republik Indonesia, dan dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang
Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
123
123
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 13
Terkait sidang disiplin, tidak ada peraturan yang secara eksplisit menentukan manakah yang terlebih dahulu dilakukan, sidang disiplin atau sidang
pada peradilan umum. Yang diatur hanya bahwa sidang disiplin dilaksanakan paling lambat 30 tiga puluh hari setelah Ankum menerima berkas Daftar
Pemeriksaan Pendahuluan DPP pelanggaran disiplin dari provos atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Ankum Pasal 23 PP 22003 dan Pasal 19 ayat
1 Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: Kep44IX2004 tentang Tata Cara Sidang Disiplin Bagi Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia “Perkapolri 442004”. Sedangkan, untuk sidang Komisi Kode Etik Polri KKEP, jika sanksi administratif yang akan dijatuhkan
kepada Pelanggar KKEP adalah berupa rekomendasi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat “PTDH”, maka hal tersebut diputuskan melalui Sidang KKEP
setelah terlebih dahulu dibuktikan pelanggaran pidananya melalui proses peradilan umum sampai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap Pasal 22 ayat 2 Perkapolri 142011.
Sanksi administratif berupa rekomendasi PTDH dikenakan melalui Sidang KKEP terhadap: Pasal 22 ayat 1 Perkapolri 142011
Universitas Sumatera Utara
128
a. pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman
hukuman pidana penjara 4 empat tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan
b. pelanggar yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21 ayat 3 huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i.
124
Kebijakan hukum pidana penal policy pada hakikatnya tidak hanya mengandung kebijakan mengatur,mengalokasi dan membatasi perbuatan warga
Negaramasyarakat pada umumntya, tetapi juga mengatur perbuatan dalam arti “kewenangankekuasaan penguasaaparat penegak hukum. Dengan demikian
kebijakan pembatasan kewenangankekuasaan Negara dalam penegakan hukum berkaitan dengan eksistensi Densus 88 mempunyai justifikasi teoritis yang jelas.
Selanjutnya, solusi berkaitan dengan eksistensi Densus 88 dapat dilihat dari masalah-masalah yang menjadi sorotan selama ini. Setidaknya terdapat 3 tiga
masalah:
125
Masalah yang pertama berkaitan dengan penentuan seseorang sebagai “terduga” teroris yang belum didasarkan pada parameter yang jelas. Padahal
selama ini dengan status sebagai “terduga”, seseorang sudah dapat dikenai tindakan-tindakan hukum seperti penangkapan, penahanan, penggeladahan,
Pertama, parameter penentuan “terduga teroris” yang belum jelas. Kedua, penggunaan kewenangan eksepsional, dan ketiga, paradigma struktural
terhadap penanganan terorisme.
124
http:www.hukumonline.comklinikdetaillt5508eb055201cpolisi-melakukan-tindak- pidana-sidang-etik-atau-peradilan-umum-dulu, diakses pada hari jumat tanggal 29 Juli 2016 Pukul
09.45 WIB
125
Eksistensi Densus 88, Analisis Evaluasi Dan Solusi Terkait Wacana Pembubaran Densus 88 oeh Zainal Muhtar, Vol.3 No. 1, Juni 2014
Universitas Sumatera Utara
129
penyitaan, pemeriksaaninterogasi, bahkan tindakan luar biasa seperti tindakan penggunaan senjata sampai tindakan extra judicial killing oleh Densus 88. Belum
adanya parameter yang jelas berkaitan dengan penentuan status “terduga” teroris menjadikan adanya celah atau akses negatif untuk terjadinya penyalahgunaan
kekuatan abuse of power, sebab Densus 88 dapat melakukan tindakan-tindakan hukum paksa yang keras kepada siapapun yang ditetapkan secara subyektif
sebagai “terduga”. Penggunaan tindakan-tindakan hukum tersebut bukan merupakan suatu hal
yang sepelesederhana mengingat secara materiil sudah mengandung di dalamnya hakikat pidana punishment, dan pemidanaan sentencing. Tentu merupakan
problem yuridis yang sangat besar dalam penegakan hukum pidana, mengingat selain berpotensi menjadi celah tindakan abuse of power penyalahgunaan
kekuatan juga menjadi ancaman bagi perlindungan HAM setiap warga Negara. Oleh sebab itu perlu adanya kebijakan penghapusan istilah “terduga” teroris demi
menjamin kepastian hukum, atau paling tidak memberikan parameter yang jelas mengenai istilah “terduga” teroris yang relevan dan tidak bertentangan dengan
HAM. Kedua, penting untuk dilakukan evaluasi dan perubahan dalam prosedur
tetap protap dalam melakukan tindakan-tindakan hukum seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaaninterogasi, hingga tindakan
ekesepsional seperti penggunaan senjata. Mengingat selalu saja dalam operasi penumpasan teroris yang dilakukan yang pada akhirnya menyebabkan terduga
teroris tewas. Seharusnya terlepas dari perlawanan yang dilakukan oleh para
Universitas Sumatera Utara
130
terduga teroris ketika hendak ditangkap. Densus 88 sedapat mungkin menangkap hidup-hidup para terduga teroris. Sebagai aparat yang terlatih, Densus 88
seharusnya bisa melumpuhkan, dan bukan justru menembak mati agar dapat diproses untuk kemudian dapat memberikan keterangan di hadapan pengadilan.
Masalah ketiga,berkaitan dengan perlunya reformasi paradigma secara struktural dan sistematis pada Densus 88 dalam melaksanakan kinerjanya sebagai
aparat penegak hukum. Secara esensial, Densus 88 merupakan satuan yang include dalam tubuh Polri yang dibentuk sebagai aparat penegak hukum
penanggulangan teroris di Indonesia, dan bukan satuan militer yang bertugas untuk “berperang” melawan teroris. Selama ini Densus 88 justru lebih
memperlihatkan atribut dominan militer dibandingkan sebagai institusi penegak hukum tindak pidana terorisme. Metode kerja yang digunakan sering berupa
pembasmian dan bukan penangkapan yang lebih sesuai dengan corak penegakan hukum. Kebijakan represif yang dilakukan oleh Densus 88 Justru hanya akan
melahirkan radikalisme baru dan gerakan baru yang sama besar potensisnya dengan terorisme yang telah ditumpas.
Universitas Sumatera Utara
131
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan BAB II