Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Terorisme

16 satuan khusus yang disebut dengan Detasemen Khusus 88 Anti Teror atau yang lebih dikenal dengan Densus 88 AT. Pembentukan Densus 88 AT merupakan amanat dari pasal 45 Perppu No.1 Tahun 2002 yang telah diganti menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menyatakan: Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Dasar pembentukan Densus 88 Anti teror adalah surat keputusan Polri No. Pol: Kep30VI2003 tertanggal 20 Juni 2003 yang dibuat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kewenangan densus 88 dalam pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Juga berlaku ketentuan pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dan juga Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Sebagai satuan dari kepolisian kewenangan Densus 88 juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Densus 88 dalam pelaksanaan tugasnya juga tunduk pada Peraturan-Peraturan Kapolri dan Kode Etik Polri.

1.6.2. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Terorisme

Kriminologi ialah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari serta menyelediki maupun membahas masalah kejahatan, baik mengenai pengertiannya, Universitas Sumatera Utara 17 bentuknya, sebab-sebabnya, akibat-akibatnya dan penyelidikan terhadap sesuatu kejahatan maupun hal-hal lain yang ada hubungannya dengan kejahatan itu. 20 Beraneka ragam definisi kriminologi dikemukakan oleh para ahli, antara lain: 21 a. Sutherland mengatakan kriminologi adalah keseluruhan ilmu-ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kejahatan sebagai gejala masyarakat. Termasuk terjadinya undang-undang dan pelanggaran atas ini, b. Michael dan adler merumuskan bahwa kriminologi adalah keseluruhan keterangan tentang perbuatan dan sifat, lingkungan penjahat dan pejabat memperlakukan penjahat serta reaksi masyarakat, terhadap penjahat. c. Wood mengatakan kriminologi mengikuti keseluruhan pengetahuan yang didasarkan pada teori pengalaman yang berhubungan dengan kejahatan dan penjahat, termasuk reaksi-reaksi masyarakat atas kejahatan dan penjahat. d. Seelig merumuskan kriminologi sebagai ajaran dari gejala-gejala nyata gejala-gejala fisik dan fisikhis dari kejahatan. e. Sauer mengatakan kriminologi adalah ilmu pengetahuan dari kejahatan individu-individu dan bangsa-bangsa berbudaya. Sasaran penyelidikan kriminologi kejahatan sebagai fenomena kehidupan. f. Constant melihat kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman yang bertujuan menentukan faktor-faktor penyebab terjadinya 20 H.M.Ridwan, Ediwarman, Azas-azas kriminologi, Universitas Sumatera Utara Press, 1994,Medan halaman.2 21 Noach Simanjuntak, Pasaribu I.L, Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1984, halaman.27 Universitas Sumatera Utara 18 kejahatan dan penjahat aetiologi. Untuk itu diperhatikan baik faktor sosial dan ekonomis, maupun faktor-faktor individu dan psikologis. Pengertian kriminologi dalam arti sempit ialah ilmu pengetahuan yang membahas masala-masalah kejahatan mengenai bentuk-bentuknya, sebab dan akibat-akibatnya, yakni dengan istilah: 22 a. Phaaenomenologi bentuk-bentuk perbuatan jahat Yang dimaksud dengan bentuk-bentuk perbuatan jahat adalah hakikat dari perbuatan jahat itu, misal: membunuh, merampok, mencuri, mencopet, menipu. Bentuk-bentuk dari kejahatan dapat kita kenal dari: 1 Cara melakukan kejahatan itu 2 Luasnya perlakuan kejahatan itu 3 Frekuensi perlakuan kejahatan itu b. Aetiologi sebab-sebab kejahatan Sebab-sebab dari suatu kejahatan dapat dilihat dari faktor: 1 Bakat sipenjahat 2 Alam sekitarnya milieu si penjahat 3 Sprituilkerohanian si penjahat 4 Bakat + sekitar milieu + sprituil sipenjahat, dapat pula merupakan suatu yang kebetulan saja. 22 H.M.Ridwan, Ediwarman, op.cit, halaman 4 Universitas Sumatera Utara 19 c. Penology akibat-akibat kejahatan 23 Penologi ialah ilmu pengetahuan tentang timbulnya dan pertumbuhan hukuman, arti dan faedah oleh W.A. Bonger sebagai akibat-akibat kejahatan dapat tertuju kepada: 1 Korban si penjahat perorangan 2 Masyarakat umum 3 Individu diri si penjahat Kriminologi dalam arti luas ialah semua pengertian kriminologi dalam arti sempit dan ditambah dengan kriminalistik. Kriminalistik ialah ilmu yang mempelajari cara-cara menyelediki perbuatan kejahatan atau pelanggaran hukum, yakni meliputi: a. Penyelidikan perseorangan, misalnya pembicaraan lisan langsung pada penjahat-penjahat, saksi dan korban b. Penyelidikan terhadap bekas ilmu jejak dan alat-alat bukti misalnya: sidik jari, perkara-perkaraalat-alat yang dipakai tulisan-tulisan c. Ilmu racun dan bisa-bisa toksiologi kehakiman d. Ilmu kedokterankhususkehakiman misalnya sebab kematian, penggolongan darah e. Penyelidikan secara massal, misalnya : dengan angket dengan statistik dan penyelidikan opini 23 Ibid hal. 43 Universitas Sumatera Utara 20 Dalam perspektif kriminologi ada beberapa aliran etiologi criminal mengenai faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan, antara lain: 24 a. Aliran antropologi Aliran ini mula-mula berkembang di negara Italia, tokoh aliran ini C.Lamroso, beliau menyatakan bahwa ciri khas seorang penjahat dapat dilihat dari keadaan fisiknya yang berbeda dengan manusia lainnya genus hemodelinguens seperti kelainan-kelainan pada tengkorak, roman muka yang lebar, mukanya menceng, hidungnya pesek tidak simetris tulang dahinya melengkung kebelakang, rambutnya tebal dan kalau sudah tua lekas botak dibagian tengah kepalanya. b. Aliran lingkungan Aliran ini semula berkembang di negara Perancis dengan tokohnya Lanmark, Tarde dan Monourier serta A. Lacassagne. Menurut aliran ini seseorang melakukan kejahatan karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan di sekitarnyalingkungan ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan serta kebudayaan termasuk perkembangan dengan dunia luar serta penemuan- penemuan teknologi baru. c. Aliran biososiologi Tokoh aliran ini adalah A.D. Prins, Van Humel, D.Simons dan Fern. Aliran Bio sosiologi ini sebenarnya merupakan perpaduan dari aliran antropologi dan aliran sosiologi, oleh karena ajarannya didasarkan bahwa tiap-tiap kejahatan itu timbul karena: 24 Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi, Genta Publishing, Yogyakarta, 2014, Halaman 26-27 Universitas Sumatera Utara 21 1 faktor individu seperti keadaan psikis dan fisik dari si penjahat dan juga karena faktor lingkungan. Faktor individu yang diperoleh sebagai warisan dari orangtuanya, keadaan badannya, kelamin, umur, intelek, tempramen kesehatan dan minuman keras. 2 faktor keadaan lingkungan yang mendorong seseorang melakukan kejahatan itu meliputi keadaan alam geografis dan klimatologis keadaan ekonomi, tingkat peradaban dan keadaan politik suatu Negara, misalnya meningkatnya kejahatan menjelang pemilihan umum atau menghadapi sidang MPR dan lain-lain, d. Aliran spritualisme Tokoh dari aliran ini adalah F.A.K. Krauss dan M. De Baets. Menurut para tokoh aliran tersebut bahwa tidak beragamanya seseorang tidak masuk sebuah agama mengakibatkan salah satu faktor penyebab terjadinya kejahatan, dalam arti seseorang menjadi jahat karena tidak beragama, atau kurang Beragama, jadi terdapat hukum sebab akibat dalam aliran ini. Menurut A. Ridwan Halim berbagai latar belakang kehidupan seseorang yang bisa “mengantarkannya” ke alam kejahatan, misalnya: 25 a. Latar belakang keluarga asalnya b. Latar belakang adat istiadatkebiasaan yang dianutnya 25 Ridwan Halim, Pengantar Hukum Indonesia dalam Tanya jawab, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, Halaman 223 Universitas Sumatera Utara 22 c. Latar belakang kebudayaan orang-orang dan masyarakat sekitar kehidupannya yang membawa pengaruh secara sosiokultural bagi orang itu. d. Latar belakang kehinaan orang tersebut e. Sifat dan tipe kejiwaan orang tersebut f. Berbagai indeterminitas dan determinitas orang tersebut g. Sifat dan tipe temperamen yang dimiliki orang tersebut yang sangat memengaruhinya dalam menyikapi suatu keadaaan tertentu yang dihadapinya h. Berbagai “score” tindak pidana kejahatan yang sudah pernah dilakukan oleh orang tersebut selama ini. i. Berbagai hal lainnya yang turut memengaruhi “kadar” kriminologi dalam diri orang tersebut. Pada umumnya sekarang orang menganggap bahwa dengan adanya kriminologi di samping ilmu hukum pidana, pengetahuan tentang kejahatan menjadi lebih luas. Karena dengan demikian orang lalu mendapat pengertian baik tentang penggunaan hukumnya terhadap kejahatan maupun tentang pengertiannya mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya, sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk kebaikan masyarakat dan penjahat itu sendiri. Ilmu hukum pidana dan kriminologi seperti dalam pandangan di atas, merupakan pasangan dwitunggal. Yang satu melengkapi yang lain. Kedua ilmu ini Universitas Sumatera Utara 23 di Jerman dicakup dengan nama Die Gesammte Strafrechts wissenschaft, dan dalam negeri-negeri Angelsaks disebut Criminal science. 26 Berbicara mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya tindak Pidana terorisme, hal ini juga merupakan kejahatan yang banyak menyedot perhatian para kriminolog. Dari sudut pandang kriminologi latar belakang tindak kejahatan, terorisme dianggap sebagai tindakan kriminal yang tidak hanya merugikan orang lain tetapi juga melanggar prinsip-prinsip asas kemanusiaan. Terorisme telah menjadi istilah yang sangat populer akhir-akhir ini untuk menyebut suatu tindakan menakut-nakuti, mengancam, dan menyerang pihak lain secara terselubung. Meskipun demikian, banyak pihak yang menyangsikan penggunaan istilah tersebut. Sebab penggunaan kata terorisme telah bias dengan berbagai kepentingan. 27 Jika dipahami secara jernih, kejahatan terorisme merupakan hasil dari akumulasi beberapa faktor, bukan hannya oleh faktor psikologis, tetapi juga ekonomi, politik, agama, sosiologis, dan masih banyak lagi yang lain. Karena itu terlalu simplistik kalau menjelaskan suatu tindakan terorisme hanya berdasar satu penyebab saja misalnya psikologis. Konflik etnik, agama dan ideology, kemiskinan, tekanan modernisasi, ketidak adilan politik, kurangnya saluran komunikasi dana, tradisi kekejaman, lahirnya kelompok-kelompok revolusioner, kelemahan dan ketidakmampuan pemerintah, erosi kepercayaan daripada rezim, dan perpecahan yang begitu mendalam diantara pemerintahan dan elit politik juga 26 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bhineka Cipta, Jakarta, 1993, halaman.15 27 Abdul Wahid, MA.Sunardi,Muhammad Imam Sidik, Op.cit, Halaman 16 Universitas Sumatera Utara 24 menjadi penyebab lahirnya terorisme. Menurut pakar Psikologi, Kent Layne Oots dan Thomas C. Wiegele, seseorang berubah dari berpotensi sebagai seorang teroris melalui suatu proses yakni psikologis, filosofis, dan politik. 28 a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat 1.6.3. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Wewenang yang Dilakukan Densus 88 dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana”ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law policy” atau “strafrechts politiek”. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof.Sudarto “politik Hukum” adalah: b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Bertolak dari pengertian demikian Prof. Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan 28 Ibid, Hal 17 Universitas Sumatera Utara 25 untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang- undangan pidana yang baik. 29 Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum khususnya penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum law enforcement policy. 30 Pengertian Politik Kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by society usaha rasional kontrol kejahatan oleh masyarakat. Definisi tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels yang menyatakan, criminal policy is the rational organization of the sosial reaction to crime. politik kriminal adalah usaha rasional dari reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Hal ini berarti, politik kriminal dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. 31 Sebagai usaha untuk penanggulangan kejahatan, politik kriminal dapat mengejawantah dalam berbagai bentuk. Bentuk yang pertama adalah bersifat 29 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, Halaman 26 30 Muladi, Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 2007, Halaman .9 31 Teguh prasetyo, Abdul Halim Berkatullah, Politik Hukum Pidana dan dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005 Halaman 12 Universitas Sumatera Utara 26 represif yang menggunakan sarana penal, yang sering disebut sebagai sistem peradilan pidana criminal justice system. Dalam hal ini secara luas sebenarnya mencakup pula proses kriminalisasi. Yang kedua berupa usaha-usaha prevention without punishment tanpa menggunakan sarana penal dan yang ketiga adalah mendayagunakan usaha-usaha pembentukan opini masyarakat tentang kejahatan dan sosialisasi hukum melalui mass media secara luas. Menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana. Penal police atau politik kebijakan hukum pidana, pada intinya, bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang kebijakan legislatif, kebijakan aplikasi kebijakan yudikatif, dan pelaksanaan hukum pidana kebijakan eksekutif. 32 Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Sedangkan pengertian penanggulangan kejahatan, menurut Mardjono Reksodiputro, adalah usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Lebih lanjut dikatakan Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum khususnya hukum pidana. Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Lebih lanjut, Barda Nawawi menandaskan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana merupakan bagian integral dari politik 32 Ibid, Halaman. 2-3 Universitas Sumatera Utara 27 sosial. Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Dari uraian di atas terdapat 2 dua masalah sentral yang perlu diperhatikan dalam kebijakan hukum pidana penal policy, khususnya dalam tahap formulasi, yaitu masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Pada dasarnya kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan sarana penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik kriminil secara makro, non penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non- penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah menangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana. Salah satu kebijakan dalam hal penanggulangan kejahatan politis seperti terorisme adalah kebijakan pidana criminal policy. Untuk penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal, tidak lain dasarnya adalah apa yang diatur dalam KUHP, khususnya dalam Pasal 10 yang mengatur jenis-jenis hukuman. Disamping itu penggunaan sanksi pidana dapat juga dilakukan melalui peraturan perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di dalamnya, sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 103 KUHP. Dilihat dalam arti luas, Universitas Sumatera Utara 28 kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materil, di bidang hukum pidana formil dan di bidang hukum pelaksanaan hukum pidana. Sedangkan dengan menggunakan upaya non penal dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. 33

1.7.1 Spesifikasi Penelitian Metode Penelitian Hukum