49
6. Para narapidana terorisme nantinya akan dibedakan selnya. tidak ada lagi
pencampuran tahanan. Semuanya dikelompokan menjadi kelompok berbeda. Mana yang otak pelaku, mana yang jadi aktor lapangan, dan
mana yang hanya ikut-ikutan.
7. tidak ada poin penambahan kewenangan pada Badan Intelijen Negara
BIN atau TNI. Nantinya, dua lembaga yang sebelumnya digembar- gemborkan akan ditambah kewenangannya ini tetap bekerja sesuai
tupoksinya. Luhut menegaskan, Undang-Undang ini tidak hanya berlaku pada gerakan
radikal yang kerap menyasar para umat Muslim. Bagi siapa saja yang masuk dalam kategori membahayakan Negara, bisa dikenakan pasal ini.
57
2.2 Kewenangan densus 88 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan lex specialis yang menangani atau mengatur
perkara-perkara tindak pidana terorisme, sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan lex generalis. Akan tetapi, bukan berarti bahwa segala
sesuatu atau yang bersifat khusus harus meniadakan atau menghapus yang sifatnya umum, sebab ada kalanya bahwa yang bersifat khusus itu masih
membutuhkan hal-hal yang bersifat umum untuk memperoleh suatu kejelasan tertentu.
58
Oleh sebab itu, ketentuan pada pasal 103 KUHP menyebutkan bahwa:
59
57
http:nasional.republika.co.idberitanasionalhukum160202olvrxi361-ini-7-poin-draf- revisi-uu-terorisme-part3 diakses pada hari rabu tanggal 25 Mei 2016 Pukul 14.36
58
Muzakkir Samidan prang, op.cit, halaman 138
59
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 103
Universitas Sumatera Utara
50
“ketentuan-ketentuan dalam BAB I sampai BAB VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam
dengan pidana, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain.
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut
stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana pokok dengan pidana tambahan.
Adapun pidana pokok meliputi: a.
pidana mati b.
pidana penjara c.
pidana kurungan d.
pidana denda sedangkan pidana tambahan meliputi:
a. pidana pencabutan hak-hak tertentu
b. pidana perampasan barang-barang tertentu
c. pidana pengumuman putusan hakim
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada beberapa jenis alasan penghapus pidana yakni:
60
a. Pasal 44: tidak dapat dipertanggungjawakan.
b. Pasal 48: daya paksa.
60
Serjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Pers, 2008, Jakarta Halaman 124
Universitas Sumatera Utara
51
c. Pasal 49: Ayat 1 pembelaan terpaksa.
d. Pasal 49: Ayat 2 pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
e. Pasal 50: menjalankan peraturan yang sah.
f. Pasal 51: Ayat 1 menjalankan perintah jabatan yang berwenang.
g. Pasal 51: Ayat 2 menjalankan perintah jabatan yang tidak berwenang
jika bawahan itu dengan itikat baik memandang atasan yang bersangkutan sebagai berwenang.
Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini dibeda-bedakan menjadi alasan, pembenar, alasan pemaaf, alasan
penghapus tuntutan. Alasan pembenar yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu
menjadi perbuatan yang patut dan benar. Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap
bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. Alasan penghapus penuntutan disini
persoalannya bukan ada alasan pembenar maupun alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya orang yang melakukan
perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan, yang
menjadi pertimbangan disini ialah kepentingan umum. Jika perkaranya tidak dituntut tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana.
Alasan-alasan peniadaan pidana Straf Uitsluitings Gronden adalah alasan-alasan yang memungkinkan seseorang yang melakukan perbuatan yang
Universitas Sumatera Utara
52
memenuhi rumusan tindak pidana, tetapi tidak dapat dipidana.
61
Pertama dilihat dari segi sumbernya, maka dasar peniadaan pidana dibagi atas dua kelompok,
yaitu yang tercantum di dalam undang-undang dan yang lain terdapat di luar undang-undang diperkenalkan oleh yurisprudensi dan doktrin. Tercantum di
dalam undang-undang dapat dibagi lagi atas yang umum terdapat di dalam ketentuan umum buku I KUHP dan berlaku atas semua rumusan delik. Yang
khusus, tercantum di dalam Pasal tertentu yang berlaku untuk rumusan-rumusan delik itu saja.
62
Kedua istilah “dasar pembenar rechtvaardigingsgronden, dan dasar pemaaf” schulduitsluitingsgronden sangat penting bagi acara pidana, sebab
apabila dasar pembenar itu ada, atau perbuatan itu tidak melawan hukum, sedangkan “melawan hukum” itu merupakan bagian inti bestanddeel delik,
maka putusannya ialah bebas sedangkan kalau kesalahan tidak ada atau dasar pemaaf ada, maka putusannya ialah lepas dari segala tuntutan hukum. Pembedaan
antara dasar pembenar dan dasar pemaaf ini berasal dari sarjana Jerman Von Liszt dan sarjana Perancis Mariauel.
63
Mengenai Daya paksa overmacht tercantum di dalam Pasal 48 KUHP. Undang-undang hanya menyebut tentang tidak dipidana seseorang yang
melakukan perbuatan karena dorongan keadaan yang memaksa. Menurut penjelasan MvT, orang yang karena sebab yang datang dari luar sehingga tidak
61
Prodjodikoro, Wiryoono; Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Jakarta, 2003 Halaman 67
62
Ibid 68
63
Bambang Abimanyu, Teror Bom Di Indonesia, Grafindo, Jakarta, 2005, halaman 69.
Universitas Sumatera Utara
53
dapat dipertanggungjawabkan, yaitu setiap kekuatan, dorongan, paksaan yang orang tidak dapat memberikan perlawanan.
Berdasarkan literatur hukum pidana biasanya daya paksa itu dibagi dua yang pertama daya paksa yang absolut atau mutak, bisa disebut vis absoluta.
Bentuk ini sebenarnya bukan daya paksa yang sesungguhnya, disini pembuat sendiri menjadi korban paksaan fisik orang lain. Jadi ia tidak mempunyai pilihan
lain sama sekali. Menurut Vos, memasukkan vis absoluta ke dalam daya paksa adalah berlebihan overbodig, karena pembuat yang dipaksa secara fisik itu
sebenarnya tidak berbuat. Van Bemmelen mengatakan bahwa daya paksa overmacht itu suatu pengertian normatif. Itu meliputi hal-hal yang seseorang
karena ancaman terpaksa melakukan delik. Yang disebut Van Bemmelen ini adalah bentuk yang sebenarnya daya paksa itu, yang biasa disebut daya paksa
relatif atau vis compul siva.
64
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP memberikan Perlindungan hukum kepada Densus 88 AT dalam pelaksanaan tugasnya, tidak hanya terbatas
Daya paksa relatif ini dibagi dua lagi, yaitu yang pertama daya paksa dalam arti sempit overmacht in engere zin dan daya paksa disebut keadaan
darurat noodtoestand. Daya paksa dalam arti sempit ialah yang disebabkan oleh orang lain seperti contoh Van Bemmelen di muka sedangkan daya paksa yang
berupa keadaan darurat noodtoestand disebabkan oleh bukan manusia. Serangan tidak boleh melampaui batas keperluan atau keharusan. Asas ini disebut asas
subsidiaritas subsidiariteit.
64
Prodjodikoro Wiryono, op.cit, Halaman 75
Universitas Sumatera Utara
54
pada sanksi pidana bagi setiap orang yang berupaya menghalang-halangi tugas polisi, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 212 KUHP dan Peraturan Perundang-
undangan lainnya, tetapi juga meluas sampai dengan diberikannya jaminan untuk tidak dipidana atas apa yang telah diperbuatnya, sepanjang perbuatannya dalam
rangka melaksanakan perintah jabatan Negara.
65
Dikaitkan dengan tugas seorang anggota Densus 88, umumnya anggota Densus 88 tidak berkuasa untuk mengunakan kekuatan senjata api atau melakukan
tembak ditempat begitu saja pada seorang. Namun dalam keadaan tertentu dan sangat memaksa dapat dilakukan sebagaimana tercantum dalam pasal 48 KUHP.
Misalnya, apabila Densus 88 tidak menembak sasaran penjahat kelas kakap seperti teroris yang sangat meresahkan masyarakat, tentu akan mengakibatkan
pelaku lolos dari kejaran. Jika penjahat atau teroris yang sangat berbahaya lolos, akan menimbulkan keresahan pada masyarakat, sehingga aparat kepolisian
dianggap gagal dalam memberikan keamanan pada masyarakat. Dengan kondisi demikian, aparat kepolisian diperkenankan menggunakan kekuatan senjata, dan
apabila akibat penggunaan senjata tersebut menimbulkan kerugian, baik jiwa maupun harta benda, maka berdasarkan pasal 48 KUHP, aparat kepolisian harus
dibebaskan dari melakukan tindak pidana. Pasal 48 KUHP selengkapnya berbunyi: barangsiapa melakukan perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu
kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum.
66
65
Dikdik M. Arief Mansur,op.cit Halaman 38
66
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 48
Universitas Sumatera Utara
55
Dasar pemberian hak kekebalan kepada anggota Densus 88 dapat juga diberikan berdasarkan pada pasal 49 KUHP jika kedudukan atau situasi anggota
Densus 88 sudah sangat terjepit oleh suatu keadaan yang diciptakan oleh orang yang hendak ditangkap misalnya adanya suatu keadaan dimana anggota Densus
88 harus melakukan pembelaan diri karena si pelaku tindak Pidana Terorisme telah mengancam jiwa dan raganya atau orang lain. Pasal 49 KUHP ini dikenal
dengan “pembelaan diri dengan terpaksa, yang menentukan sebagai berikut:
67
a. barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk
mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain dari
serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum
b. Melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan
sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan terguncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.
Pasal lain dalam KUHP yang memberikan kewenangan bebas kepada anggota Densus 88 untuk melaksanakan tugasnya tanpa dapat dipidana adalah
Pasal 50 KUHP yang menyatakan: “Barang siapa yang malakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana”. Terhadap pasal 50
KUHP ini, R. Soesilo memberikan pendapat bahwa dalam pasal 50 KUHP diletakkan suatu prinsip bahwa apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh
suatu undang-undang tidak mungkin untuk diancam hukuman dengan undang- undang yang lain.
68
67
Kitab Undang-Undang hukum Pidana Pasal 49
68
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar, Politea, Bogor 1997, Halaman 25
Universitas Sumatera Utara
56
Selanjutnya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 51 menyatakan:
a. Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan
yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana. b.
Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah
diberikan dengan wewenag dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaan.
Perintah jabatan itu dikatakan sah, apabila terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a.
Antara orang yang memberikan perintah dengan orang yang diberi perintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan subordinasi.
Hubungan itu harus bersifat hukum publik. b.
Kewenangan orang yang memberikan perintah itu harus sesuai dengan jabatannya yang bersifat publik tersebut.
c. Perintah jabatan yang diberikan itu harus termasuk dalam lingkungan
kewenangan jabatannya.
Menurut Vos, mengenai ketentuan Ayat 2 Pasal 51 KUHP itu, perintah jabatan yang diberikan oleh yang tidak berwenang untuk lolos dari pemidanaan,
harus memenuhi dua syarat:
a. Syarat subjektif: pembuat harus dengan itikad baik memandang bahwa
perintah itu datang dari yang berwenang. b.
Syarat objektif: pelaksanaan perintah harus terletak dalam ruang lingkup pembuat sebagai bawahan.
Universitas Sumatera Utara
57
2.3 Kewenangan densus 88 dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Status atau eksistensi kepolisian dalam perspektif Sistem Peradilan pidana SPP yaitu sebagai bagian integral dari Sistem Peradilan Pidana. Status Polri
sebagai komponenunsursubsistem dari SPP sudah jelas terlihat dalam perundang-undangan yang berlaku saat ini baik dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana KUHAP maupun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu sebagai “Penyelidik
dan Penyidik”.
69
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada bagian menimbang menyebutkan bahwa pemeliharaan
keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang Susunan dan kedudukan kepolisian negara republik Indonesia
juga dapat kita ketahui dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Polri yang tercantum pada BAB II Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.2 Tahun 2002.
Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap Polisi memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan
penilaian sendiri.
69
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, Halaman 48
Universitas Sumatera Utara
58
meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam hal ini Densus
88 yang juga merupakan satuan tugas dari markas besar Polri berada pada
naungan setiap peraturan Polri.
Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan peradilan umum seperti halnya warga sipil pada umumnya. Demikian yang disebut dalam
Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
70
Pencegahan terjadinya kejahatan sebenarnya merupakan salah satu tugas yang diamanatkan kepada Polri dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002, yang menyatakan tugas pokok kepolisian Republik Indonesia adalah:
71
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Polri dalam rangka menyelenggarakan tugasnya sebagai bagian dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
72
a. menerima laporan danatau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;
70
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Pasal 29
71
Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, USU Press, Medan, 2009, Halaman 31
72
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 15 ayat 1
Universitas Sumatera Utara
59
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa; e.
mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan; g.
melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h.
mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i.
mencari keterangan dan barang bukti; j.
menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k.
mengeluarkan surat izin danatau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m.
menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Dalam Kedudukannya sebagai aparat penegak hukum, pada diri setiap
anggota Polri melekat beberapa kewenangan khusus kepolisian di bidang proses pidana, yang mana menurut Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.2 Tahun 2002
meliputi kewenangan untuk: a.
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b.
melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan; d.
menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi; g.
mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana;
Universitas Sumatera Utara
60
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Densus 88 sebagai satuan khusus Kepolisian Negara Republik Indonesia yang khusus bergerak di bidang pemberantasan tindak pidana terorisme memiliki
wewenang yang sama dengan anggota kepolisian lainnya seperti pada Pasal 16 Ayat 1 diatas kewenangan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledaan,
dan penyitaan ataupun melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan seperti dalam Pasal 16
Ayat 1 huruf b, ataupun membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan, hal-hal lain yang tercantum dalam Pasal 16 Ayat 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 16 Ayat 1 huruf l memberikan wewenang kepada Densus 88 untuk melakukan tindakan yang bertanggung jawab menurut hukum. Lebih jelasnya
Pasal 16 Ayat 1 huruf l berbunyi “mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.” Ketentuan dalam pasal ini memberikan peluang kepada
kepolisian Negara Republik Indonesia untuk bertindak atau melakukan sesuatu yang tidak tertulis dalam ketentuan hukum namun harus memperhatikan unsur
“bertanggung jawab” dengan kata lain undang-undang memberikan kekuasaan atau kewenangan kepada kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan
tindakan lain yang dianggap perlu.
Universitas Sumatera Utara
61
Pasal dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur hal yang hampir sama dengan Pasal 16
Ayat 1 huruf l adalah Pasal 18 Ayat 1, dimana pasal ini mengatur tentang “dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Pasal 18 Ayat 1 undang-undang
kepolisian juga memberikan kekuasaan atau kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk melakukan sesuatu yang tidak diatur dalam undang-undang
seperti yang terdapat dalam Pasal 16 Ayat 1 huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 18 Ayat 1
berbunyi: Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri. Pasal 16 Ayat 1 huruf l mengatur tentang “tindakan lain” yang dapat
dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam proses penyelidikan dan penyidikan, sedangkan dalam Pasal 18 Ayat 1 mengatur
tentang “dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri” dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk kepentingan umum. Dengan Pasal 18 Ayat 1
memberikan kekuasaan atau wewenang yang lebih luas dibandingkan dengan Pasal 16 Ayat 1 huruf l. Pasal 18 inilah yang menjadi dasar dari diskresi
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 18 ayat 1 UU Kepolisian ini ditentukan bahwa yang
dimaksud dengan” bertindak menurut penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya
Universitas Sumatera Utara
62
dan betul-betul untuk kepentingan umum. Dari perkataan “umtuk kepentingan umum” ini, seorang anggota polri dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri
serta dapat diketahui bahwa anggota tersebut memiliki kebebasan untuk menilai apakah dalam keadaan tertentu ia harus bertindak atau tidak.
Kebebasan dalam pengertian ini tidak berarti bahwa seorang anggota kepolisian bebas sepenuhnya tanpa suatu batasan dalam bertindak, tetapi dibatasi
oleh peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi kepolisian. Dalam pelaksanaan Tugas Densus 88 Misalnya, pertimbangan untuk menggunakan
senjata api yang ada padanya harus didasarkan kepada suatu keadaan yang sangat perlu atau bersifat darurat. Keadaan yang sangat perlu dan darurat dapat diartikan,
bahwa tidak ada lagi tindakan lain yang dapat dilakukan oleh anggota Densus 88 untuk menghadapi situasi atau keadaan yang sedang dialami atau yang harus
diatasinya, dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang untuk memberantas Tindak Pidana terorisme.
73
Kewenangan untuk menggunakan senjata api memang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan dimiliki oleh setiap aparat penegak hukum yustisia, tak terkecuali aparat Densus 88. Namun
kewenangan tersebut hanya boleh dilakukan ketika polisi termasuk aparat Densus 88 berada dalam kondisi genting dan terdesak sebagaimana yang disyaratkan
dalam aturan kepala kepolisian dan standard operasional prosedure SOP.Kemendesakan ini harus menjadi tolak ukur setiap aparat Densus 88.
73
Dikdik M. Arief Mansur, op.cit, Halaman 313-314
Universitas Sumatera Utara
63
Jangan sampai kewenangan khusus yang melekat pada institusi anti-teror ini digunakan secara semena-mena.
Dalam code of conduct for law enforcement officials 1979, hal melakukan perbuatan untuk mempertahankan dirinya, khususnya dengan penggunaan senjata
api untuk alasan membela diri telah diatur. Bahkan, code of conduct menguraikan secara lengkap keadaan-keadaan yang mana penggunaan senjata api dibolehkan,
yaitu: a.
senjata api hanya boleh dipakai dalam keadaan keadaan khusus b.
senjata api hanya boleh dipakai untuk membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka-luka berat
c. untuk mencegah terjadinya kejahatan berat yang melibatkan ancaman
terhadap nyawa; atau d.
untuk menahan atau mencegah larinya seseorang yang membawa, mengancam dan yang sedang berupaya melawan usaha untuk
menghentikan ancaman tersebut; dan e.
dalam setiap kasus, hanya jika tindakan-tindakan yang lebih lunak terbukti tidak memadai
f. penggunaan kekerasan dan sejata api dengan sengaja, hanya dibolehkan
bila benar-benar tidak dapat dihindari untuk melindungi nyawa manusia.
74
74
Ibid Halaman 315-316
Universitas Sumatera Utara
64
Selain itu dalam Pasal 1 Ayat 9 Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas
Negara Republik Indonesia menyatakan:
“Kekuatan adalah segala daya dan kemampuan kepolisian berupa kemampuan profesional peroranganunit dan peralatan Polri yang dapat digunakan
untuk melakukan tindakan yang bersifat pemaksaan dalam rangka pelaksanaan tugas kepolisian sesuai ketentuan yang berlaku”
75
a. tahap 1: kekuatan yang memiliki dampak deterrentpencegahan;
Mengenai penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api dalam Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam
Tindakan Kepolisian Perkap No. 12009. Pasal 5 ayat 1 Perkap No.1 Tahun 2009 menyebutkan ada enam 6 tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan
kepolisian, yang terdiri dari:
b. tahap 2: perintah lisan;
c. tahap 3: kendali tangan kosong lunak
d. tahap 4: kendali tangan kosong keras;
e. tahap 5: kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata,
semprotan cabe atau alat lain sesuai standar polri f.
tahap 6: kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang
dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
75
Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat
9
Universitas Sumatera Utara
65
Pengertian “Tahap” disini bukan berarti sesuatu yang harus berurutan, sebab Pasal 5 ayat 2 Perkap No.1 tahun 2009 berbunyi:
“anggota Polri harus memilih tahapan penggunaan kekuatan sebagaimana dimaksud ayat 1, sesuai tingkatan bahaya ancaman dari pelaku kejahatan atau
tersangka”
76
a. Pada setiap tahapan penggunaan kekuatan yang dilakukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 dapat diikuti dengan komunikasi lisanucapan dengan cara membujuk, memperingatkan dan memerintahkan
untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka. Lebih jelasnya mengenai penggunaan kekuatan senjata api dapat kita lihat
dalam Peraturan Kapolri No 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dalam Pasal 7 dan 8 yang menyatakan:
Pasal 7
b. Setiap tingkatan bahaya ancaman terhadap anggota Polri atau masyarakat
dihadapi dengan tahapan penggunaan kekuatan sebagai berikut: 1
tindakan pasif dihadapi dengan kendali tangan kosong lunak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 huruf c;
2 tindakan aktif dihadapi dengan kendali tangan kosong keras
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 huruf d; 3
tindakan agresif dihadapi dengan kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata atau semprotan cabe, atau alat lain
sesuai standar Polri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 huruf e;
4 tindakan agresif yang bersifat segera yang dilakukan oleh pelaku
kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota
Polri atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, seperti: membakar stasiun pompa bensin,
meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjataamunisi, atau menghancurkan objek vital, dapat dihadapi dengan kendali
senjata api atau alat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat 1 huruf f.
76
www.hukumonline.comklinikdetaillt5305f2a8cc383kapan-polisi-boleh-menggunakan- senjata-api diakses pada hari minggu 12 Juni 2016 Pukul 19.17
Universitas Sumatera Utara
66
Pasal 8
a. Penggunaan kekuatan dengan kendali senjata api atau alat lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat 2 huruf d dilakukan ketika: 1
tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau
masyarakat;
2 anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan
masuk akal untuk menghentikan tindakanperbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
3 anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau
tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
4 Penggunaan kekuatan dengan senjata api atau alat lain
sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka.
5 Untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka
yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, dapat dilakukan
penggunaan kendali senjata api dengan atau tanpa harus diawali peringatan atau perintah lisan.
Dengan melihat penjabaran di atas dapat kita ketahui bahwa mengenai aturan tembak mati di tempat oleh Densus 88 pada pelaku kejahatan terorisme
diatur dalam KUHP dan KUHAP, dalam undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia serta dalam Peraturan Kapolri Nomor 1
Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam Tindakan Kepolisan serta Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar
Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik Indonesia. Mengenai pidana polisi, tidak dapat diminta pertanggungjawabannya
karena dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur sehingga ada alasan pembenar dan dapat diminta pertanggungjawabannya apabila dalam melakukan
tugasnya tidak sesuai dengan prosedur. Anggota Densus 88 yang juga merupakan satuan tugas dari Polri dapat
diproses secara pidana melalui Peradilan umum jika terdapat melakukan
Universitas Sumatera Utara
67
kewenangannya dengan menyalahi prosedur yang ada. Selain itu juga dianggap telah melanggar Kode Etik Profesi. Sanksi yang dijatuhkan kepada anggota Polri
yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik profesi, berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006 tentang
kode etik profesi kepolisian Negara Republik Indonesia yang terdapat pada pasal 11 ayat 2, meliputi:
77
a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela
b. Kewajiban pelanggar untuk meminta maaf secara terbatas ataupun secara
langsung c.
Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi d.
Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesifungsi kepolisian.
Sanksi sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 ayat 2 huruf d, yaitu sanksi administratif berupa rekomendasi untuk:
78
a. Dipindahkan tugas ke jabatan yang berbeda
b. Dipindahkan tugas ke wilayah yang berbeda
c. Pemberhentian dengan hormat
d. Pemberhentian tidak dengan hormat
77
Peraturan Kapolri No. Pol: 7 Tahun 2006 tentang kode etik kepolisian pasal 11 ayat 2
78
Peraturan Kapolri No. Pol: 7 Tahun 2006 tentang kode etik kepolisian pasal 12 ayat 4
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah