Kesimpulan BAB II Jurnal

131 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan BAB II

a. Densus 88 memiliki kewenangan untuk memberantas tindak pidana terorisme sejak dibentuk oleh Kapolri dengan Skep Kapolri No. Pol:Kep30VI2003 tertanggal 20 Juni 2003. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 kewenangan Densus 88 antaralain melakukan penangkapan dengan bukti awal paling lama 7x24 jam, hal ini sesuai dengan Pasal 26 dan 28. Densus 88 juga berwenang melakukan penahanan paling lama 6 bulan sesuai dengan Pasal 25 ayat 2 b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP juga memberikan perlindungan hukum kepada Densus 88 dalam melaksanakan tugasnya, dan memberikan jaminan untuk tidak dipidana atas apa yang telah diperbuatnya, sepanjang perbuatannya dalam rangka melaksanakan perintah jabatan. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 48, Pasal, 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP. c. Sebagai satuan dari Kepolisian, kewenangan Densus 88 juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Dalam Pasal 16 ayat 1 terdapat kewenangan khusus kepolisian dibidang proses pidana yang melekat pada setiap diri Polri. Mengenai kewenangan menggunakan kekuatan senjata api juga dimiliki Densus 88 dan diatur dalam Undang-Undang ini dan Perkap No. 1 Tahun Universitas Sumatera Utara 132 d. 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian. Selain itu, Densus 88 dalam pelaksanaan tugasnya juga tunduk pada seluruh peraturan Kapolri lainnya dan Kode Etik Polri BAB III a. Faktor terjadinya tindak pidana terorisme merupakan hasil dari akumulasi beberapa faktor, bukan hanya oleh faktor psikologis, tetapi juga ekonomi, politik, agama, sosiologis dan budaya. b. Faktornya terjadinya tindak pidana terorisme akibat paham radikalisme merupakan akibat dari aliran yang radikal dalam masyarakat yang menginginkan sebuah perubahan yang mengatasnamakan ideologi perubahan atau keyakinan teokratis dengan tafsir sempit. Umumnya radikalisme muncul akibat rasa kekecewaan dan rasa ketidakadilan. BAB IV a. Kebijakan melalui jalur penal dalam tindak pidana terorisme diatur mulai dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, dan terhadap tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme, diatur dalam pasal-pasal yang tertuang mulai dari Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Kebijakan hukum melalui jalur non-penal dalam penanggulangan tindak pidana terorisme dapat dilakukan dengan cara melalui strategi supremasi hukum, melakukan koordinasi dengan instansi terkait, melakukan pendekatan terhadap tokoh masyarakat menggunakan 4 pilar dalam negeri, Universitas Sumatera Utara 133 menjamin kesejahteraan rakyat, memperkuat program deradikalisasi dan antiradikalisasi. b. Kebijakan penal terhadap anggota Densus 88 yang terbukti melakukan Tiindak Pidana dalam pemberantasan terorisme dapat diproses secara pidana, walaupun sudah ada sanksi dari satuan tugasnya. Sebab Sanksi yang didapat dari satuan tugas kepolisian tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota Densus 88 yang melakukan tindak pidana. Pasal 12 ayat 1 PP no.2 Tahun 2003 jo. Pasal 28 ayat 2 Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011. Kebijakan dengan sarana non penal terhadap anggota Densus 88 yang terbukti melakukan Tindak Pidana dapat berupa tindakan sanksi disiplin danatau hukuman disiplin dari satuan tugasnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tindakan disiplin tersebut dapat berupa teguran lisan danatau tindakan fisik.

5.2. Saran