35
BAB III PEREMPUAN DAN HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN
DALAM HUKUM BERKEADILAN GENDER
A. Definisi, Bentuk Dan Praktek Hukum Berkeadilan Gender
Masalah gender sudah sering dibahas oleh pemerhati gender dalam berbagai pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya
baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui dan
tidak mengerti apa sebenarnya gender tersebut. Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat dilihat dari sejarah, di mana telah mencatat bahwa kaum
perempuan telah mengalami kenyataan pahit dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah dan selalu menjadi
yang kedua. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba berjuang untuk
mendapatkan hak mereka sebagai manusia, mulai dari hal yang sangat kecil yaitu diskriminasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan isinya seperti hak
politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender, yang berarti jenis
kelamin.
32
Dalam Webster New World Of Dictonary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku.
33
Didalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep budaya yang berupaya membuat perbedaan distinction
dalam hal peran, perilaku, mentalitasdan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
34
32 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet.XII, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1998, h.265.
33 Celia Modgil, The Apparent Disparity Between Man And Women In Values And Behavior New York: Webster Of Dictionary, 1984, h.561.
34 Helen Tierney ed, Women’s Studies Encylopedia, Vol. 1, New York: Green Press, 1999, h.153.
Menurut Hilary. M. Lips dalam bukunya yang terkenal, Sexs And Gender An Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan cultural expectations for women and men.
35
Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya tentang kaum feminis seperti menurut
Linda. L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk dalam
bidang kajian gender What a given society defines as masculine or feminism is a component of gender.
36
Menurut H. T. Wilson dalam Seks dan Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan
perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.
37
Sedangkan menurut Elaine Showalter mengartikan jender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi konstruksi sosial budaya. Elaine menekankannya sebagai konsep analisa an analytic concept yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.
38
Meskipun kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah banyak digunakan, khususnya di Kantor
Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan gender. Gender juga dapat diartikannya sebagai interprestasi mental dan budaya terhadap perbedaan kelamin,
yaitu laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
39
Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki- laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, Seks secara umum
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti jenis
35 Hilary M. Lips, Sexs And Gender An Introduction, London: Masyfield Publishing Company, 1993, h.4.
36 Aidit. D.N, Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru, Jakarta: Ilmu Bintang Merah, 1957, h.216.
37 Jaya Wardena, Fenimisme And Nationalisme In Third World In 19th And 20th Centuries, Denmark: The Haqiues, 1982.
38 Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, Cet.I, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2008, h.403-404.
39 Firmanzah, Mengelolah Partai Politik Diera Demokrasi, Cet.I, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004, h. 66.
kelamin.
40
Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologi dan aspek-aspek non biologis lainnya.
41
Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat di lihat dari sejarah, dimana telah mencatat
bahwa kaum perempuan telah mengalami kenyatan pahit dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah
dan selalu menjadi yang kedua. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba
berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia, Mulai dari hal yang sangat kecil yaitu diskrimnasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan lainya
seperti hak politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum. Dalam kaitan dengan pengertian gender ini, Astiti mengemukakan bahwa
gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial.
42
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari dibentuk dan
diubah oleh masyarakat sendiri. Oleh karena itu sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu kewaktu dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan
tempat lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing.
43
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi,
budaya dan hukum baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada
umumnya menunjukan hubungan yang subordinatif yang artinya dimana bahwa kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki-
laki. Hubungan yang subordinatif tersebut dialami oleh kaum perempuan
diseluruh dunia karena hubungan yang subordinatif tidak saja dialami oleh masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga
dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat
40 Echols Dan Shadily, Op.Cit., h.517. 41 Lindsey, Op.Cit., h..2.
42 Astiti, Jender Dalam Hukum Adat, Jakarta: Word Press, 2000, h.1. 43 Mansour Faqih, Analisa Gender Dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996, h.8.
dan lainnya. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-
laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada
situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminis berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang
kehidupan agar terhindar dari keadaan yang subordinatif tersebut. Di Indonesia sebenarnya perjuangan kaum feminis untuk menuntut
kedudukan yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang mana dipelopori oleh R.A.Kartini.
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan R.A.Kartini tersebut mendapat pengakuan yang tersirat pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi
segala warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali.
Disamping itu berbagai produk perundang-undangan yang telah dibentuk sebagai realisasi tuntutan persamaan hak dan kedudukan perempuan dengan laki-
laki, antara lain adanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai
penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Diantara produk perundang-
undangan tersebut yang paling tegas mengatur tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1984.
Meskipun begitu kedudukan subordinasi terhadap perempuan dalam kenyataannya masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan.
Dalam Islam pembicaraan tentang kedudukan wanita dan peran politiknya merupakan polenik dalam jangka waktu yang relatif lama banyak didominasi oleh
perhitungan-perhitungan historis dari prinsip-prinsip Islam Berkaitan dengan peran politik perempuan khususnya dalam Islam, ada dua pendapat yaitu pro dan
kontrak muslim. Kelompok kedua mendukung peran politik perempuan. Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki.
Menambah tentang peran politik perempuan maka secara khusus hak politik perempuan tertuang dalam konvensi PBB tentang penghapusan
Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan CEDAW - The Unconvention On The Elimination Of All Forms Of Dicrimination Against
Women disahkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 yang diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Bila dicermati dalam kancah perpolitikan
perempuan dari segi keterwakilan perempuan baik ditataran eksekutif, yudikatif dan legislatif sebagai badan yang memegang peran kunci menetapkan kebijakan
publik, pengambilan keputusan dan menyusun berbagai piranti hukum, perempuan masih tertinggal jauh dibandingkan dengan laki-laki.
Dengan disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Pemilu yang menyertakan aspirasi kaum perempuan pada Pasal 65 Ayat 1 Undang-
Undang No. 12 Tahun 2003, tercantum setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR baik DPR RI, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten atau kota
untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 .
Partai Keadilan Sejahtera salah satu partai politik yang memainkan peranan yang khas selaku partai yang berasakan Islam. Partai ini menarik untuk
diangkat karena banyak pemberitaan media, seperti pada harian Seputar Indonesia pada tanggal 3 juni 2008. Menurut Hajriyanto. Y. Thohari seorang pengamat
kenegaraan menulis bahwa PKS adalah partai primus inter minus malum, yakni partai yang secara organisasional dan kedisiplinan yang paling baik diantara
semua partai-partai lain yang rata-rata buruk.
44
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-
cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik yang biasanya dengan cara konstitusional untuk
melaksanakan programnya. Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses keputusan
44 Hajriyanto Y. Thohari, Partai Yang Berasakan Islam, Jakarta: Media Seputar Indonesia, 2008, h.15.
khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakekat politik yang dikenal dalam ilmu
politik. Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional dan non konstitusional.
Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik yang modern dan demokratis. Sebagai suatu partai politik secara ideal dimaksudkan untuk
mengaktifkan dan memobilasi rakyat mewakili kepentingan tertentu memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana
sukses kepemimpinan secara legitimasi dan damai Untuk mengetahui apa dan bagaimana partia politik beroperasi, ada baiknya kita melihat kembali literatur
yang terkait dengan partai poltik. Menurut Max Weber dapat dikategorikan sebagai pendiri pemikiran politik modern di Brechon tahun 1999. Dalam bukunya
yang berjudul Economie Et Societe tahun 1959 Menurut Max Weber menekankan aspek profesionalisme dalam dunia politik modern. Partai politik kemudian
didefinisikan sebagai organisasi publik yang bertujuan untuk membawa pemimpinannya berkuasa dan memungkinkan para pendukungnya politisi untuk
mendapatkan keuntungan dari dukungan tersebut. Partai poltik menurut Max Weber sangat berkembang pesat di abad ke-19 karena didukung oleh legitimasi
legal rasional.
45
Banyak sekali definisi mengenai partai politik yang dibuat oleh para sarjana. Para ahli ilmu politik diantaranya Carl.J.Friedrich menuliskannya sebagai
berikut partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan
bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan pada anggota yang partainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materil.
Menurut Sigmun Neumann, dalam buku Modern Political Parties. Mengemukakan definisi partai politik hampir sama dengan Carl.J.Fredrich yang
menekankan adanya kompetisi kekuasaan, ia menyatakan partai politik adalah bahwa organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai
45 Firmanzah, Mengelolah Partai Politik Diera Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008, h.66.
kekuasaan pemerintah serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang
berbeda.
46
Menurut Roger Soltau bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara yang terorganisir yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dengan
memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih bertujuan menguasai pemerintahan dan melakukan kebijakan mereka.
Ensiklopedia populer politik pembangunan pancasila bahwa partai politik adalah sekelompok warga negara yang berkehendak untuk mencapai tujuan-tujuan
politik tertentu dalam rangka yang ditetapkan oleh konstitusi. Setiap partai politik adalah suatu organisasi perjuangan politik yang berusaha supaya kemauan politik
nya dilaksanakan. Karena tujuan ini hanya mungkin dilakukan dengan kekuasaan maka partai mencari, membentuk dan menggunakan kekuasaan bukan tujuan
melainkan saran untuk mewujudkan kesejahteraan bersama menurut pandangan partai tersebut dalam rangka konstitusinal. Dengan melihat beberapa pengertian
partai politik diatas maka dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu wadah yang mampu menghubungkan antara pemerintah dan masyarakat dalam hal ini
mereka yang tidak sepaham dengan orang-orang yang telah duduk didewan maka dengan partai politiklah mereka dapat menggantikan orang tersebut. Dengan kata
lain bahwa partai politik merupakan alat politik untuk memperoleh kekuasaan politik, dan merebut kekuasaan politik. Didalam ilmu politik sosialisasi politik
diartikan sebagai proses dimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia
berada. Biasanya proses berjalan secara berangsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa. Disamping itu sosialisasi politik juga mencakup proses melalui dimana
seseorang atau masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari suatu genersi ke generasi berikutnya.
Menurut Neuman, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga
pemerintahan yang resmi. Ahli lain yang juga turut merintis studi tentang
46 Ibid., h.104.
kepartaian dan membuat definisi adalah Giovanni Sasori yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting. Menurut Sartori A party is any political group
that present at elections, and is capable of placing through elections candidates for public office partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti
pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon- calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
47
Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 sebagai penyempurnaan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 tentang partai poltik yang disebut sebagai
partai politik adalah organisasi yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak cita-cita untuk
memperjuangkan kepentingan anggota masyarakat bangsa dan negara melalui pemilihan.
Menurut Apppadorai mengatakan partai politik adalah sedikitnya satu atau lebih kelompok yang mengorganisasi warga negara bertindak bersama-sama
sebagai satu kesatuan politik, memiliki tujuan sendiri-sendiri dan pertentangan pendapat dalam negara melalui tindakan secara bersama sebagai kesatuan politik
untuk memperoleh kekuasaan pemerintahan. Berdasar pada dua dasar alamiah manusia. Manusia berbeda dalam pendapat mereka mencoba untuk mencapai
tujuan bersama dengan bergabung apa-apa yang mereka tidak bisa wujudkan secara individu.
48
Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilu, partai memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu partai berusaha
menciptakan image bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Disamping menanamkan solidaritas dengan partai politik juga mendidik anggota-anggotanya
menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri dibawah kepentingan nasiaonal. Negara-negara
baru partai politik juga berperan untuk memupuk identitas nasional. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah penerangan, kursus
kader, kursus penataran, media massa dan sebagainya.
47 Ibid., h.404-405. 48 Jimly Asshiddigie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007, h.709.
Berdasarkan fungsi ini akhirnya kita dapat menarik definisi bahwa partai politik merupakan suatu asosiasi yang terorganisir yang memiliki sistem nilai
dan tujuan yang sama yang mana asosisasi ini berperan sebagai media untuk mengekspresikan kepentingan anggotanya mengelola konflik dalam kaitannya
dengan upaya untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan termasuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum.
Dari segi penyampaian pesan oleh Ramlan Surbakti menyebutkan bahwa sosialisasi politik dibagi atas dua bagian yakni pendidikan politik dan indoktrinasi
politik. Pada kenyataanya yang kita lihat di Indonesia konsep pendidikan politik itu masih kurang jelas atau kurang efektif. Bahkan mustahil ada institusi-institusi
yang menggambarkan sistem politik dalam materi pendidikan politiknya. Bahkan mungkin ada yang lebih parah sampai kesistem tersebut. Tidak adanya trasparansi
politik karena hubungan antar lembaga politik dan lembaga pemerintahan adalah salah satu media pendidikan politik yang sangat nyata. Seorang atau sekelompok
orang kaya telah tersentuh program pendidikan politik sangat membutuhkan trasparansi sebagai media evaluasi yang akan merubah sikap partisipasi politiknya
apabila kurang sesuai permintaan dari sistem. Akibat yang fatal akibat tidak adanya trasparansi adalah munculnya penyakit-penyakit sosial pada masyarakat
yang sudah memahami politik secara umum penyakit tersebut. Misalnya frustasi atau apatis akibatnya adalah kecendrungan masyarakat untuk bertindak deskriptif
bahkan anarkis.
B. Perempuan Dalam Legal Drafting UU Di DPR