penjajahan asing dan memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Salah satu tindakannya yang pertama ialah Jepang melarang semua organisasi yang ada dan
membubarkannya. Dengan bantuan orang-orang bekas pegawai dinas rahasia Belanda yang bernama Politiek Inlichtingen Dienst menangkapi elemen-elemen
anti fasis di kalangan bangsa Indonesia tidak dikecualikan organisasi-organisasi wanita juga dibubarkan. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan
dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Dengan sendirinya organisasi-organisasi yang tidak mau masuk
perangkap kerjasama dengan penguasa fasis, terpaksa bergerak dibawah tanah. Taktik Jepang merangkul Bangsa Indonesia dengan cara Bahasa Belanda dilarang
dan bahasa Indonesia secara resmi digunakan sebagai bahasa komunikasi umum, sistem sekolah Belanda seperti ELS, HIS, HCS dan lainnya dibubarkan dan
diganti dengan sekolah Rakyat 6 tahun. Ketika pusat tenaga rakyat akhirnya dilebur dalam organisasi baru
Himpunan Kebaktian Rakyat Jawa, maka Fujinkai dijadikan bagian wanitanya dengan cabang didaerah-daerah. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-
urusan kewanitaan dan peningkatan ketrampilan domestik selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para wanita yang
mempunnyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi dikalangan
aktivis wanita yaitu mereka yang bekerjasama dengan pemerintah Balatentara Dai Nippon dan yang tidak bekerjasama serta memilih bergerak diam-diam dibawah
tanah.
3. Replublik Indonesia 1945-1990
Pada zaman Republik Indonesia ini pergerakan perempuan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu :
a. Periode 1945-1965 Revolusi Agustus 1945 mendobrak ikatan-ikatan adat dan tradisi yang
sebelumnya menghambat gerak maju wanita. Penderitaan dan penghinaan selama penjajahan sudah cukup berat dan kini sewaktu revolusi, urusan-urusan yang tidak
pokok tidak dihiraukan lagi. Seluruh rakyat merasa terpanggil untuk ikut berjuang membela dan mempertahankan kemerdekaan. Organisasi-organisasi wanita pada
umumnya diwaktu itu mengutamakan usaha-usaha perjuangan, baik di garis belakang dengan mengadakan dapur umum dan pos-pos Palang Merah maupun di
garis depan dengan nama suatu badan perjuangan maupun tergabung dengan organisasi-organisasi lain. Timbul laskar-laskar perempuan di mana tugas-tugas
mereka sangat luas, digaris depan, dimedan pertempuran, melakukan kegiatan intel, jadi kurir, menyediakan dan mengirimkan makanan kegaris depan,
membawa kaum pengungsi dan memberi penerangan. Dalam kesibukan revolusi fisik maupun dalam bidang sosial politik,
pergerakan wanita berbenah diri untuk menggalang persatuan yang kuat. Kongres pertama diadakan di Klaten pada bulan Desember 1945, dengan maksud
menggalang persatuan dan membentuk badan persatuan. Persatuan Wanita Indonesia dan Wanita Negara Indonesia dilebur menjadi badan fusi dengan nama
Persatuan Wanita Republik Indonesia. Pada bulan Februari 1946 di Solo, lahirlah Badan Kongres Wanita
Indonesia. Pada bulan juni 1946 diselenggarakan Kongres Wanita Indonesia di Madiun, yang merupakan Kongres Wanita Indonesia ke 5. Sesuai dengan
kebijaksanaan pemerintah untuk menembus blokade ekonomi dan politik, Kongres memutuskan antara lain mulai mengadakan hubungan dengan luar
negeri. Maka dari itu Kongres Wanita Indonesia menjadi anggota Womens International Democratic Federation. Di jiwai oleh tekad untuk ikut serta dalam
pembangunan jaringan kerjasama Internasional, mendukung pergerakan wanita selanjutnya menyusun program kerja, yang tidak hanya meliputi bidang
pembelaan negara, tetapi juga bidang sosial, politik, pendidikan dan lainnya sesuai dengan derap perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik pada
waktu itu. Sesudah tahun 1950 masalah-masalah politik semakin banyak minta
perhatian. Bermacam persoalan yang berkaitan dengan masalah penyusunan kekuatan partai-partai politik. Perhatian masyarakat mulai di sita oleh persiapan
penyelenggaraan pemilihan umum pertama yang akan diadakan pada tahun
1955. Makin banyak kegiatan kaum perempuan yang ditujukan kepada masalah- masalah politik, mengingat usaha masing-masing aliran politik untuk tampil
sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Tapi tidak dilupakan juga, masalah rutin sebelumnya seperti memperjuangkan peraturan perkawinan yang tidak
merugikan kaum perempuan. Organisasi-organisasi yang berafiliasi pada partai politik sibuk membantu partai induknya mempersiapkan diri menghadapi pemilu
sampai tahun 1965 dapat dikatakan bahwa lingkup perhatian dan wawasan kaum perempuan cukup luas dan mendunia, di samping merupakan cerminan dari aliran
politik ditingkat nasional. b. Periode Diktator Militer 1965-1990
Sejak golongan militer mendominasi panggung kekuasaan pemerintahan Orde Baru, partisipasi politik masyarakat melalui organisasi politik dan organisasi
sosial semakin terbatas dan dikendalikan. Karena itu, nampaknya tidaklah terlalu meleset jika dinyatakan bahwa arti sebenarnya dari istilah demokrasi Pancasila
tersebut adalah semakin dominannya peran pemerintah dalam hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Atas nama tuntutan pembangunan ekonomi yang
dinyatakan sebagai sarat utama membutuhkan stabilitas politik, pemerintah menerapkan beberapa kebijakan bagi organisasi-organisasi massa termasuk
organisasi perempuan. Dalam hal ini, kebijakan utama yang dikenakan pada organisasi perempuan adalah dilakukannya penyempitan jumlah, pemusatan
organisasi, penyatuan koordinasi, dan uniti jenis program. Ekspansi
gerakan organisasi bentukan pemerintah diatas dan lembaga
resmi yang mengkoordinasikannya, ditunjang oleh peraturan pemerintah sebagai kekuatan dominan. Keberadaan kekuatan dominan tersebut telah menyulitkan
daya hidup dan ruang gerak organisasi-organisasi perempuan yang telah sejak lama hidup dimasyarakat. Dengan demikian, akhirnya pada masa Orde Baru ini
muncul dua jenis organisasi perempuan, yaitu organisasi pemerintah dan non pemerintah. Perkembangan terakhir ini menandai terjadinya polarisasi secara
tegas dalam gerakan perempuan serta berlangsungnya proses penyempitan ruang gerak berorganisasi bagi kaum perempuan.
c. Periode Reformasi Bila sistem pemerintahan yang semakin demokratis dianggap paling
kondusif bagi pemberdayaan perempuan, maka di era reformasi ini semestinya pemberdayaan perempuan di Indonesia semakin menemukan bentuknya. Bila
ukuran telah berdayanya perempuan di Indonesia dilihat dari kuantitas peran di sejumlah jabatan strategis, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
Hanya saja harus tetap diakui bahwa angka-angka peranan perempuan di sektor strategis tersebut tidak secara otomatis menggambarkan kondisi perempuan
di seluruh tanah air. Bukti nyata adalah angka kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Bila pada jaman lampau kekerasan masih berbasis kepatuhan
dan dominasi oleh pihak yang lebih berkuasa dalam struktur negara dan budaya termasuk dalam rumah tangga, maka kini diperlengkap dengan adanya basis
industrialisasi yang mensuport perempuan menjadi semacam komoditas.
21
B. Bentuk Dan Karakteristik Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia