Perempuan Dalam Legal Drafting UU Di DPR

Berdasarkan fungsi ini akhirnya kita dapat menarik definisi bahwa partai politik merupakan suatu asosiasi yang terorganisir yang memiliki sistem nilai dan tujuan yang sama yang mana asosisasi ini berperan sebagai media untuk mengekspresikan kepentingan anggotanya mengelola konflik dalam kaitannya dengan upaya untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan termasuk mempengaruhi pembuatan kebijaksanaan umum. Dari segi penyampaian pesan oleh Ramlan Surbakti menyebutkan bahwa sosialisasi politik dibagi atas dua bagian yakni pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pada kenyataanya yang kita lihat di Indonesia konsep pendidikan politik itu masih kurang jelas atau kurang efektif. Bahkan mustahil ada institusi-institusi yang menggambarkan sistem politik dalam materi pendidikan politiknya. Bahkan mungkin ada yang lebih parah sampai kesistem tersebut. Tidak adanya trasparansi politik karena hubungan antar lembaga politik dan lembaga pemerintahan adalah salah satu media pendidikan politik yang sangat nyata. Seorang atau sekelompok orang kaya telah tersentuh program pendidikan politik sangat membutuhkan trasparansi sebagai media evaluasi yang akan merubah sikap partisipasi politiknya apabila kurang sesuai permintaan dari sistem. Akibat yang fatal akibat tidak adanya trasparansi adalah munculnya penyakit-penyakit sosial pada masyarakat yang sudah memahami politik secara umum penyakit tersebut. Misalnya frustasi atau apatis akibatnya adalah kecendrungan masyarakat untuk bertindak deskriptif bahkan anarkis.

B. Perempuan Dalam Legal Drafting UU Di DPR

Perempuan di DPRD RI hasil Pemilu 2009 berjumlah 100 orang atau 18,4 dari 560 anggota DPRD RI periode tahun 2009-2014. Walaupun Perempuan hanya berjumlah 100 orang saja di DPRD RI, tetapi kiprahnya didalam ruang sidang diSenayan menunjukkan kemajuan berpikir dan gerakan yang progresif. Dalam bidang politik perempuan parlemen telah bertenaga untuk bicara mengenai detail masalah. Perempuan parlemen telah berani bicara dengan suara lantang, baik dalam rapat-rapat Komisi maupun Rapat Paripurna DPR RI. Dengan menunjukkan bahwa kemampuan laki-laki dan perempuan adalah sama maka perempuan diparlemen telah berusaha menggapai kekuasaan diparlemen dengan mengisi jabatan-jabatan pimpinan dalam badan-badan alat kelengkapan seperti dikomisi-komisi dan badan-badan parlemen lainnya. Kualitas kepemimpinan perempuan mulai diperhitungkan. Saat ini, tercatat 7 tujuh orang anggota DPRRI perempuan yang memegang pimpinan pada komisi-komisi dan badan alat kelengkapan yaitu: 1. Hj. Ana Mu’awanah, SE, MA Pimpinan Komisi IV 2. Dra.Yasti Soepredjo Mokoagow Pimpinan Komisi V 3. Dra. Hj. Chairunnisa, MA Pimpinan Komisi VIII 4. DR. Ribka Tjiptaning Pimpinan Komisi IX 5. Dra. Hj.Ida Fauziah Pimpinan Badan Legilasi 6. DR. Indrawati Sukadis Pimpinan BURT 7. DR. Nurhayati Ali Asseggaf Pimpinan BKSAP Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai perwujudan Dewan Perwakilan Rakyat selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang- undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dajukan oleh Presiden. Fungsi pengawasan dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Mengamati wajah legislatif dalam persoalan politik kita dewasa ini, terlihat suram dan tidak menarik rakyat. Bersama dengan dua pilar demokrasi lainnya, eksekutif pemerintah dan yudikatif dipandang berada dalam posisi yang tidak stabil. Bila diamati pemberitaan demi pemberitaan media massa, setiap hari terlihat kecendrungan untuk menghantam pemerintah, menghajar parlemen dan dunia peradilan. Pemerintah dihujani protes parlemen diberi julukan yang sangat memperihatinkan murid TK, autis, egois dan lain-lain. Sementara dunia peradilan terpuruk karena dipandang timbangan hukumnya yang timpang pedang hukumnya yang hanya tajam untuk rakyat kecil tetapi tumpul pada orang yang memiliki uang dan kekuasaan. Sekarang ini muncul kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan ekstra parlementer. Mereka mengorginisir diri mengambil bagian dalam mesin- mesin sosial. Mereka hadir dan mengkritisasi berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat. Mereka mengkritik kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak kompeten dalam menjalankan fungsinya terutama dalam bidang legal drafting, pembuatan undang-undang dan bidang budgeting anggaran. Mereka berpendapat karena tidak kompeten dibidang legal drafting dan tidak memahami hukum ketatanegaraan produk legislasi di DPR tidak berkualitas sehingga banyak undang-undang yang harus diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Kondisi ini hendaknya dalam memicu semangat perempuan parlemen untuk mengasah kemampuannya agar bisa memberi kontribusi positif bagi lembaga legislatif agar lebih representative dan partisipatoris. Sekalipun jumlah perempuan dalam parlemen belum signifikan tapi dengan kualitas yang memadai akan mampu memberi warna pada keputusan-keputusan yang dibuat. Kita yakin bahwa perempuan parlemen mendapat merubah keadaan. Hal penting lainnya bagi perempuan diparlemen adalah meningkatkan partisipasi politik perempuan. Perempuan parlemen adalah bagian dari perempuan politik. Yang dimaksud dengan perempuan politik tentu saja bukan hanya perempuan yang aktif dilembaga politik yang ikut mengambil kebijakan publik tetapi juga menyangkut perempuan yang berada diluar lingkup politik formal yaitu perempuan yang berada diormas sipil organisasi perempuan dan organisasi non pemerintahan lainnya. Arti politik dalam konsep perempuan meliputi politik formal dan politik non formal. Sehubungan dengan itu perempuan parlemen perlu mengembangkan berbagai prakarsa untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan kedalam berbagai aktivitas gender untuk merangsang dialog antar berbagai elemen masyarakat baik ditingkat nasional maupun internasional. Perlu menjalin kerjasama dengan perempuan lintas partai politik dan aktivis gerakan masyarakat madani menciptakan jaringan kontak antara masyarakat sipil dengan lembaga- lembaga politik. Persoalan politik dewasa ini sangat kompleks sehingga dituntut seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu menjadi master in complexity dengan cara berpikir yang komprehensif integral. Yang dimaksud dengan cara berpikir komprehensif integral adalah menangkap dengan suatu masalah sebagai sesuatu yang menyeluruh untuk mendapatkan esensi yang tunggal. Sehubungan dengan itu perempuan parlemen diharapkan memiliki kemampuan analisa politik dengan daya pikir yang kuat dan keteguhan hati pada keadilan. Bila memiliki keteguhan hati pada keadilan maka politik tidak lagi dilihat sebagai perburuan, pembesaran dan pelanggengan kekuasaan tetapi adalah untuk pendidikan demokrasi. 49 Persoalan perempuan selalu saja terancamkan setiap hari R. A. Kartini. R. A. Kartini bukan hanya tokoh emansipasi perempuan yang mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia, melainkan tokoh nasional. Dengan ide dan gagasan pembaruannya ia berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional. Ada kesan secara umum perempuan di parlemen seolah-olah belum mampu memperjuangkan hak-hak perempuan. Ditengah masyarakat lainnya masih banyak perempuan yang hak-haknya dikenalkan belum dipersamakan sama dengan hak laki-laki misalnya pekerjaan. R.A.Kartini telah memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan jauh hari sebelum pemerintah mengeluarkan sebuah Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang No.22 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang tentang Anti perdagangan Orang namun kekerasan masih saja terjadi. Sejak pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada bab II Pasal 8 ayat d tersurat partai politik harus menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat kenyataannya keberadaan perempuan masih jauh dibandingkan dengan pria. Jumlah dari keterwakilan perempuan di DPRD Kota Bandung saja baru mencapai 18 persen yaitu 9 dari 50 49 Mardety Mardinsyah, Perermpuan Parlemen Mengubah Wajah Legislatif, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1998, h.265. anggota DPRD Kota Bandung. Dengan keterbatasan itu ke 9 sembilan anggota DPRD perempuan ini benar-benar berjuang untuk mewarnai peraturan-peraturan program dan peraturan-peraturan kebijakan yang disusun agar mengarah pada pengarusutamaan gender yaitu kesetaraan dan keadilan gender dalam sejumlah aspek kehidupan manusia. Pejuangan untuk pengarusutamaan dan kesetaraan gender berujung pada mensejahterakan kaum perempuan sebagaimana cita-cita Kartini tidak bisa dilakukan semudah membalikkan telapak tangan perlu proses dan perjalanan panjang. Masa kerja lima tahun anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak akan cukup untuk mewujudkan hal tersebut jika tidak ada dukungan dan peran serta masyarakat keseluruhan. Hal yang paling penting adalah penguatan peran perempuan dalam menghasilkan perda yang responsif gender dengan peningkatan. 50 Kemampuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam legal drafting, ditambah keterlibatan perempuan dalam pembahasan rancangan perda yang bermuatan gender perlu ditingkatkan Secara harfiah legal dafting dapat diterjemahkan secara bebas, adalah penyusunan atau perancangan Peraturan Perundang-undangan dari pendekatan hukum. Legal drafting adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan sebagai contoh pemerintah membuat Peraturan Perundang-undangan hakim membuat keputusan Pengadilan yang mengikat publik swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti perjanjian atau kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kontrak. Dalam meteri kuliah ini legal drafting dipahami bukan sebagai perancangan hukum dalam arti luas, melainkan hukum dalam arti sempit, yakni undang-undang atau perundang-undangan. Jadi bukan perancangan hukum seperti perjanjian atau kontrak. Legal Drafting merupakan konsep dasar tentang penyusunan peraturan perundang-undangan yang berisi tentang naskah akademik hasil kajian ilmiah beserta naskah awal peraturan perundang-undangan yang diusulkan. Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan 66 Khamami Zada, Fenomena Perempuan Di Parlemen, Republika, 11 Mei 2011, h.24. perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Dapat disimpulkan kegiatan legal drafting disini adalah dalam rangka pembentukan peraturan-perundangan. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 10 tahun 2004, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang- undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan persiapan teknik penyusunan perumusan pembahasan pengesahan perundangan-undangan dan penyebarluasan. Sesuai dengan bunyi pasal 1 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 diatas bahwa proses sebuah peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati beberapa tahap. Adanya legal drafting ada hubungannya dengan konsep negara hukum. Negara hukum menurut Wirjono Prodjodikoro adalah suatu negara yang didalam wilayahnya semua alat perlengkapan negara khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintah dalam setiap tindakannya terhadap warganegara dan dalam berhubungan tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan hukum, dan semua orang dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku. Sedangkan menurut Hartono Mardjono dikatakan negara hukum adalah bilamana dinegara tersebut seluruh warga negara maupun alat-alat perlengkapan dan aparat negaranya tanpa kecuali dalam segala aktifitasnya tunduk kepada hukum equity dan non discrimination. Tujuan Negara Hukum menurut S. Tasrif adalah sebagai: 1. Kepastian hukum tertib atau order 2. Kegunaan kemanfaatan atau utility 3. Keadilan justice. Sedangkan menurut Ahmad Dimyati Tujuan Negara Hukum adalah: 1. Pencapaian keadilan 2. Kepastian hukum 3. Kegunaan kemanfaatan. Kesimpulan : 1. Pencapaian keadilan sesuai dengan asas Ius quia iustum hukum adalah keadilan dan Quid ius sine justitia apalah arti hukum tanpa keadilan 2. Hukum adalah untuk mengatur hubungan, baik warga masyarakat maupun negara, The law is a tool to social control and social engineering 3. Hukum dilaksanakan untuk mencapai kepastian. Unsur-unsur negara hukum : 1. Sistem pemerintahan negara yang berdasarkan atas kedaulatan rakyat. 2. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan. 3. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia warga negara. 4. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. 5. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan rechterlijke controle yang bebas dan mandiri dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh eksekutif. 6. Adanya peran nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk ikut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah. 7. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara. Sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 maka segala aspek kehidupan dan bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum asas legalitas. Konsekuensinya adalah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara tidak terlepas dari peraturan Perundang-undangan sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No. 10 tahun 2004. Untuk itu perlu adanya suatu pemahaman terhadap tatacara penyusunan peraturan Perundang- undangan mulai dari proses, prosedur, dan teknik dalam penyusunan dan pembuatan rancangan peraturan Perundang-undangan. Negara Indonesia sebagai negara hukum dapat dilihat pada : 1. Undang-Undang Dasar 1945 Bab I Pasal 1 ayat 3 tentang Negara Indonesia adalah negara hukum. 2. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dicantumkan dengan kata-kata pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia 3. Undang-Undang Dasar 1945 Bab X Pasal 27 ayat 1 tentang Warga Negara yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan itu dengan dengan tidak ada kecualinya 4. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah dihapus menyatakan bahwa dalam sistem pemerintahan negara, yang maknanya tetap bisa dipakai yaitu Indonesia ialah negara yang berdasarkan azas negara hukum rechtstaat dan tidak berdasarkan atas kekuasaan semata machtstaat 5. Sumpah atau janji Presiden dan Wakil Presiden yang memegang teguh Undang-Undang Dasar 1945 dan segala bentuk Undang-Undang dan Peraturannya dengan selurus-lurusnya 6. Undang-Undang Dasar 1945 Bab X Pasal 28 i ayat 5 tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa untuk penegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia tersebut dijamin, diatur dan dituangkan dalam Peraturan Perundang-Undangan 7. Sistem hukum yang bersifat Nasional 8. Dasar hukum yang tertulis sebagai Konstitusi dan Dasar hukum tak tertulis sebagai Konvensi 9. Tap MPR No. 3 Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan 10. Adanya peradilan bebas. 51 Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie meminta agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP segera direvisi. Ini kabar bagus karena revisi KUHP sudah tertunda dan terlunta-lunta antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Hampir di setiap periode Dewan Perwakilan Rakyat diajukan, tetapi tak kunjung dibahas sampai masa bakti anggota Dewan Perwakilan Rakyat berakhir. Sayangnya, alasan Marzuki Alie meminta revisi KUHP bukan karena seluruh rakyat membutuhkan perbaikan KUHP yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial Hindia dan Belanda. Ketertinggalan KUHP itu antara lain karena pasal-pasal yang dianggap menindas rakyat, terutama ketika menyangkut kritik terhadap penguasa. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat DPR justru ingin agar pasal-pasal pencemaran nama baik itu dilipat gandakan pidananya karena gemas melihat bagaimana menurut George Aditjondro merugikan nama baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan menerbitkan buku Membongkar Gurita Cikeas. Lepas dari apa pun motivasinya dorongan seorang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera merevisi undang-undang yang sudah terbengkalai begitu lama tentu menarik. Kalau Dewan Perwakilan Rakyat di bawah pimpinan Marzuki Alie bisa menyelesaikan revisi KUHP, tentu akan menjadi mahakarya bukan saja bagi parlemen, melainkan juga pemerintah. Gagasan untuk merevisi KUHP sudah muncul sejak tahun 1960-an. Jadi sejak Orde lama, Orde Baru, sampai Orde Reformasi nasib revisi KUHP tetap terkatung-katung. Pada awal persidangan DPR periode tahun 2004-2009, sebagai anggota Komisi III, penulis pernah mengingatkan kepada Menteri Hukum dan HAM pada waktu itu Hamid Awaluddin, agar mengambil momentum untuk mengajukan Undang-Undang berskala besar ini. Bukan saja dari kebesaran skala peran dan pengaruhnya dalam penegakan hukum di Tanah Air melainkan juga dari ruang lingkup materinya secara fisik. Mungkin inilah undang-undang yang paling tebal di Indonesia. Kalau KUHP sekarang terdiri dari 569 pasal, rancangan KUHP baru yang telah diajukan ke DPR terdiri dari 727 pasal. 51 Saepudin, Teknik Penyusunan Perundang-undangan, Republika, 12 Juli 2010, h.19. Inilah sebabnya pembahasannya harus dimulai sejak awal masa tugas Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga sedikitnya tersedia waktu tiga sampai empat tahun untuk menyelesaikannya. Sebab jika sudah mulai digara tetapi tidak selesai harus diulang dari awal oleh DPR periode berikutnya. Mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa DPR tahun 2004-2009 akhirnya tidak mengagendakan pembahasan walau pun rancangan KUHP sudah dikirim oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin ke DPR. Implikasi besar dari revisi KUHP ini, antara lain, pada saat penataan secara sistemik terhadap sanksi pidana yang saat ini tersebar di berbagai undang- undang. Untuk memberi efek jera kepada pelanggar undang-undang, hampir pembuat undang-undang menumpukan pada sanksi pidana. Bahkan, pendapat umum yang berkembang di DPR hampir sama dengan pendapat Ketua DPR Marzuki Alie bahwa makin berat sanksi pidana akan makin efektif untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Akibatnya undang-undang bagai belantara sanksi, yang satu sama lainnya tidak konsisten sehingga para penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim bisa terperosok pada pilihan-pilihan yuridis, bahkan kadang-kadang politis. Kasus tentang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik disatu sisi merupakan realitas hukum yang sah jika diterapkan disisi lain menimbulkan pro dan kontrak dari sisi rasa keadilan yang hidup dimasyarakat. Tidak adanya standar mengenai jenis dan berat ringannya pidana membuat masing-masing pembuat undang-undang merasa bisa mengatur sesuai dengan kewenangan yang dipunyai berdasarkan konstitusi. Padahal latar belakang pembuat undang-undang dan situasi kondisi saat undang-undang dibuat akan sangat berpengaruh pada kualitas undang-undang yang diloloskan. Ada panitia khusus pansus atau komisi yang anggotanya mempunyai latar belakang legal drafting cukup baik. Dengan demikian setiap menetapkan jenis dan berat ringannya pidana mengacu pada undang-undang lain yang sudah ada dan teori-teori hukum pidana yang mutakhir. Tetapi, ada juga yang pengalamannya sebagai legal drafting cukup pas- pasan. Kondisi emosional suatu saat juga bisa melahirkan pasal-pasal geregetan, yang bisa menjadi pintu masuk lahirnya politisasi hukum dalam pembuatan undang-undang. Misalnya kegeraman Ketua DPR yang merasa partai atau presidennya menjadi sasaran sebuah perbuatan yang bisa dikenai pidana, apalagi didukung dengan kekuatan mayoritas diparlemen tentu bisa melahirkan ketentuan pidana yang tidak logis, tidak konsisten, dan tidak sistemik. Di pihak lain juga bermunculan pro dan kontrak mengenai kriminalitas berbagai perbuatan termasuk di kalangan media selain juga mengenai beratnya ancaman pidana. Karena itu KUHP disamping akan menjadi kodifikasi atau penyatuan untuk semua ketentuan pidana juga harus bisa melakukan klasifikasi dan standardisasi untuk penentuan jenis dan berat ringannya pidana. Sangat layak kalau Dewan Perwakilan Rakyat periode tahun 2009-2014 tidak hanya menempatkan rancangan undang-undang atu Rancangan Undang- Undang KUHP dalam prioritas program legislasi nasional tetapi sekaligus meletakkan pada posisi papan atas yang akan segera dimulai pembahasannya pada tahun 2010 ini. Kalau ini terlaksana akan benar-benar menjadi mahkota dalam tugas legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, sekaligus akan menjadi undang-undang landmark yang akan menjadi penanda legislasi satu dekade mendatang. Memang diperlukan komitmen legal drafter yang profesional baik dalam kemampuan rancang bangun undang-undang kesediaan untuk mendengar sebanyak mungkin pihak pemangku kepentingan sehingga undang-undang ini benar-benar menjadi kebanggaan bersama. Jago-jago perancang hukum yang berpengalaman di DPR bersama para ahli dari pemerintah maupun perguruan tinggi hukum di Indonesia diharapkan bisa bersinergi secara maksimal untuk melahirkan mahakarya nasional ini. Masyarakat, dan terutama kalangan media, harus mencurahkan perhatiannya pada proses pembahasan Rancangan Undang- Undang ini. Sebab, KUHP benar-benar merupakan undang-undang sentral yang akan memengaruhi kehidupan warga negara sejak masih dalam kandungan sampai setelah nanti kembali ke alam kubur. Mari kita dukung semangat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera merevisi undang-undang KUHP. Hasil akhirnya tergantung pada komitmen idealistis dari pemerintah dan parlemen serta kesungguhan masyarakat, pers, dan akademisi untuk memantau dan mengkritisi proses pembahasannya.

C. Produk Perundang-Undangan Berkeadilan Gender