1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah gender sudah sering dibahas oleh pemerhati dalam berbagai pertemuan-pertemuan, diskusi-diskusi, seminar-seminar dan lain-lainnya baik
pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional bahkan pada tingkat inetrnasional. Walaupun demikian masih banyak orang tidak mengetahui dan
tidak mengerti apa sebenarnya gender tersebut. Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu aspek hukum adat, pidana,
pajak, perdata, tata negara, aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya. Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu gender, yang berarti jenis
kelamin.
1
Dalam Webster New World Of Dictonary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku.
2
Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep budaya yang berupaya membuat perbedaan distinction
dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
3
Menurut Hilary. M. Lips dalam bukunya yang terkenal, Sexs And Gender An Introduction mengartikan jender sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan cultural expectations for women and men.
4
Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya tentang kaum feminis seperti menurut Linda.
L. Lindsey, yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk dalam bidang kajian
1 John M. Echols Dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet.XII, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,1998, h.265.
2 Celia Modgil, The Apparent Disparity Between Man And Women In Values And Behavior New York: Webster Of Dictionary, 1984, h.561.
3 Helen Tierney ed, Women’s Studies Encylopedia, Vol. 1, New York: Green Press, h.153.
4 Hilary M. Lips, Sexs And Gender An Introduction, London: Masyfield Publishing Company, 1993, h.4.
gender What a given society defines as masculine or feminism is a component of gender.
5
Menurut H.T. Wilson dalam Seks dan Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan
pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.
6
Sedangkan menurut Elaine Showalter mengartikan jender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
konstruksi sosial budaya. Elaine menekankannya sebagai konsep analisa an analytic concept yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.
7
Meskipun kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah banyak digunakan, khususnya di Kantor
Menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan gender. Gender juga dapat diartikannya sebagai interprestasi mental dan budaya terhadap perbedaan kelamin,
yaitu laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan.
8
Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki- laki dan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, Seks secara umum
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah seks dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti jenis
kelamin.
9
Sementara itu, gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologi dan aspek-aspek non biologis lainnya.
10
Pada hal tidaklah demikian karena masalah gender dapat di lihat dari sejarah, dimana telah mencatat
bahwa kaum perempuan telah mengalami kenyatan pahit dari zaman dahulu hingga sekarang ini. Mereka dianggap sebagai kaum yang tidak berdaya, lemah
dan selalu menjadi yang kedua. Berbagai bentuk diskriminasi dan perlakuan yang
5 Aidit. D.N, Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru, Jakarta: Ilmu Bintang Merah, 1957, h.216.
6 H.T.Wilson, Analisis Seks Dan Gender, Cet.1, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, h.57. 7 Miriam Budiardjo, Dasar Dasar Ilmu Politik, Cet.I, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka
Utama, 2008, h.403-404. 8 Firmanzah, Mengelolah Partai Politik Diera Demokrasi, Cet.I, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004, h. 66. 9 Echols Dan Shadily, Op.Cit., h.517.
10. Lindsey, Op.Cit., h.2.
tidak adil diterima oleh kaum perempuan. Kaum perempuan kemudian mencoba berjuang untuk mendapatkan hak mereka sebagai manusia, Mulai dari hal yang
sangat kecil yaitu diskrimnasi di lingkungan hingga berbagai permasalahan lainya seperti hak politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum.
Dalam kaitan dengan pengertian gender ini Astiti mengemukakan bahwa gender adalah hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial.
11
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan hidup sehari-hari dibentuk dan
diubah oleh masyarakat sendiri. Oleh karena itu sifatnya dinamis, artinya dapat berubah dari waktu kewaktu dan dapat pula berbeda dari tempat yang satu dengan
tempat lainnya sejalan dengan kebudayaan masyarakat masing-masing.
12
Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender KKG, di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara GBHN Tahun 1999, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional PROPENAS Tahun 2000-2004 dan
dipertegas dalam Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender PUG dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Disamping itu pengarusutamaan gender juga merupakan salah satu dari
empat key cross cutting issues dalam Propenas. Pelaksanaan PUG diisntruksikan kepada seluruh departemen maupun lembaga pemerintah dan non departemen di
pemerintah nasional, propinsi maupun di kabupaten atau kota, untuk melakukan penyusunan program dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi
dengan mempertimbangkan permasalahan kebutuhan, aspirasi perempuan pada pembangunan dalam kebijakan, program atau proyek dan kegiatan.
Disadari bahwa keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat tergantung
dari peran serta laki-laki dan perempuan sebagai pelaku dan pemanfaat hasil pembangunan. Pada pelaksanaannya sampai saat ini peran serta kaum perempuan
11 Astiti, Jender Dalam Hukum Adat, Jakarta: Word Press, 2000, h.1. 12 Mansour Faqih, Analisa Gender Dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996, h.8.
belum dioptimalkan. Oleh karena itu program pemberdayaan perempuan telah menjadi agenda bangsa dan memerlukan dukungan semua pihak.
Penduduk wanita yang jumlahnya 49.9 102.847.415 dari jumlah total 206.264.595 penduduk Indonesia sensus penduduk tahun 2000 merupakan
sumber daya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif wanita dalam setiap proses pembangunan akan mempercepat tercapainya tujuan pembangunan.
Kurang berperannya kaum perempuan akan memperlambat proses pembangunan atau bahkan perempuan dapat menjadi beban pembangunan itu sendiri.
Kenyataannya dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif. Hal ini disebabkan karena kondisi dan posisi yang kurang
menguntungkan dibanding laki-laki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumber daya pembangunan, sistem
upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan.
Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki,
ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki- laki. Bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada. Hal ini
menunjukkan bahwa hak-hak perempuan memperoleh manfaat secara optimal belum terpenuhi sehingga pembangunan nasional belum mencapai hasil yang
optimal, karena masih belum memanfaatkan kapasitas sumber daya manusia secara penuh.
Faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender yaitu tata nilai sosial budaya masyarakat, umumnya lebih mengutamakan laki-laki daripada perempuan
ideologi patriarki. Peraturan perundang-undangan masih berpihak pada salah satu jenis kelamin dengan kata lain belum mencerminkan kesetaraan gender.
Penafsiran ajaran agama yang kurang komprehensif atau cenderung tekstual kurang kontekstual, cenderung dipahami parsial kurang kholistik. Kemampuan,
kemauan dan kesiapan perempuan sendiri untuk merubah keadaan secara konsisten dan konsekwen. Rendahnya pemahaman para pengambil keputusan di
eksekutif, yudikatif, legislatif terhadap arti, tujuan, dan arah pembangunan yang responsif gender.
Adanya kesenjangan pada kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan menyebabkan perempuan belum dapat menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam
mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan selain pembangunan. Selain itu rendahnya kualitas perempuan turut
mempengaruhi kualitas generasi penerusnya, mengingat mereka mempunyai peran reproduksi yang sangat berperan dalam mengembangkan sumber daya
manusia masa depan. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dalam
berbagai bidang kehidupan antara lain dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan hukum baik hukum tertulis maupun tidak tertulis. Hubungan sosial
antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukan hubungan yang subordinatif yang artinya dimana bahwa
kedudukan perempuan lebih rendah bila dibandingkan dengan kedudukan laki- laki.
Hubungan yang subordinatif tersebut dialami oleh kaum perempuan di seluruh dunia karena hubungan yang subordinatif tidak saja dialami oleh
masyarakat yang sedang berkembang seperti masyarakat Indonesia, namun juga dialami oleh masyarakat negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat
dan lainnya. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari idiologi patriarki yakni idiologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-
laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis selama ini selalu berada pada
situasi dan keadaan yang tertindas. Oleh karenanya kaum feminis berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang
kehidupan agar terhindar dari keadaan yang subordinatif tersebut. Di Indonesia sebenarnya perjuangan kaum feminis untuk menuntut
kedudukan yang sama dengan laki-laki atau terhadap kekuasaan patriarki sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka yang mana dipelopori oleh R.A. Kartini.
Setelah Indonesia merdeka, perjuangan R.A. Kartini tersebut mendapat pengakuan
yang tersirat pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat 1 yang berbunyi segala warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintahan
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecuali. Di samping itu, berbagai produk perundang-undangan yang telah
dikeluarkan sebagai realisasi tuntutan persamaan hak dan kedudukan perempuan dengan laki-laki, antara lain Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di antara produk perundang-undangan tersebut yang paling tegas mengatur tentang penghapusan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1984. Meskipun begitu kedudukan subordinasi terhadap perempuan dalam
kenyataannya masih tetap ada dalam berbagai bidang kehidupan. Hak politik perempuan di dunia public sebenarnya telah ada dan tertuang
dalam konvensi PBB tentang penghapusan Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan CEDAW - The Unconvention On The
Elimination Of All Forms Of Dicrimination Against Women yang disahkan dan diterima oleh Dewan Umum PBB pada tahun 1979. Sebagai ratifikasi dari
konvensi tersebut muncul Undang-Undang Pemilu No. 12 Tahun 2003
tentang kuata keterwakilan perempuan yang mencapai 30 di parlemen. Data berikut
penjelaskan kompisisi anggota DPR RI berdasarkan jenis kelamin. Tabel 1.1 Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004.
13
No Partai
Perempuan Persen
Laki-Laki Persen
Jumlah
1 GOLKAR
18 14
110 86
128 2
PDIP 12
11 97
89 109
3 PPP
3 5,17
55 94,82
58 4
DEMOKRAT 6
10,52 49
89,47 55
5 PKB
7 13,46
45 86,53
52
13 Sulistyowati Irianto, Jumlah Anggota DPR RI hasil Pemilu Tahun 2004, Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2004.
6 PAN
7 13,46
46 86,53
57 7
PKS 3
6,66 42
93,33 45
8 PBR
2 15,38
12 84,61
14 9
PBB 11
100 11
10 PDS
3 25
9 75
13 11
PDK 4
100 4
12 PKPB
2 100
2 13
PELOPOR 1
33 2
66 3
14 PKPI
1 100
1 15
PNI 1
100 101
16 PPDI
62 11,27
487 88,73
550 Jumlah
62 11,27
487 88,73
550 Dengan disahkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Pemilu
yang menyertakan aspirasi kaum perempuan pada Pasal 65 Ayat 1 Undang- Undang No. 12 Tahun 2003, maka setiap partai politik harus mengajukan calon
anggota DPR baik DPRRI, DPR Propinsi dan DPR Kabupaten atau kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 .
14
Untuk mengetahui salah persepsi dan berbagai pengertian, penulis ingin mengetahui lebih jauh dan mengkaji penelitian penulis berdasarkan literatur-
literatur yang ada. Akhirnya penulis memberikan judul dalam penelitian adalah
”Peran Politisi Perempuan PKS Dalam Memperjuangkan Hukum Berkeadilan Gender”.
B. Identifikasi Masalah