Zaman Kolonial Belanda Sejarah Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

12

BAB II KIPRAH PEREMPUAN DALAM

POLITIK HUKUM DI INDONESIA

A. Sejarah Gerakan Politik Perempuan Di Indonesia

Gerakan politik perempuan Indonesia baru dimulai pada permulaan abad 20, yaitu permulaan bentuk gerakan secara modern. Karena bentuk gerakan tersebut ditandai oleh tumbuhnya organisasi wanita yang diikuti oleh proses perkembangan organisasi gerakan kebangsaan Indonesia pada waktu itu. Dengan begitu banyak organisasi wanita menjadi bagian dari kelompok wanita sebagai organisasi kebangsaan. Bahwa organisasi itu mempunyai pengurus tetap dan mempunyai anggota, mempunyai tujuan yang jelas, disertai rencana pekerjaan berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Sebelumnya kaum wanita berjuang orang perorangan dan belum terorganisasi dalam susunan suatu badan perkumpulan. 15 Namun demikian, perjuangan kaum wanita melawan penjajah Belanda pada waktu itu telah memberikan inspirasi dan dorongan bagi wanita-wanita generasi kemudian, yang berjuang untuk emansipasi kaumnya sekaligus memiliki peranan partisipasi dalam mengisi hasil perjuangan kemerdekaan Indonesia.

1. Zaman Kolonial Belanda

Pada zaman kolonial belanda pergerakan perempuan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa periode, yaitu : a. Periode Perintis 1880 - 1910 Kedatangan Vereenigde Oost Indische Compagnie V.O.C pada abad ke- 18 adalah untuk berdagang dengan menggunakan moncong meriam di kepulauan Indonesia sejak semula membawa malapetaka untuk rakyat Indonesia. Melalui penindasan, eksploitasi, pengurasan sumber ekonomi adalah untuk memperkaya 15 Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, Jakarta: Kolektif Coup, 1978. Belanda hingga saat ini. Pemindahan kekuasaan dari Vereenigde Oost Indische Compagnie V.O.C kepada Bataafse Republiek sama sekali tidak merubah situasi saat itu, akan tetapi hanyalah meneruskannya saja dengan cara yang berbeda. Hak monopoli perdagangan dan hak monopoli pelayaran antar pulau diseluruh Nusantara yang mematikan daya hidup dan daya materiil rakyat Indonesia dilanjutkan oleh Pemerintah Pusat Negara Monarkhi di Belanda dengan staatsmonopoli. Penunjukan posisi Gubernur Jendral Van den Bosch di negara jajahan Nederlands Indie langsung memberlakukan kebijakan Cultuurstelsel pada tahun 1830 sampai tahun 1870, yaitu suatu sistem pengetrapan tanam paksa berbagai jenis tanaman seperti kopi, gula, tembakau dan tanaman lainnya di atas 15 seper lima tanah pedesaan untuk kepentingan pasaran dunia barat. 16 Misi VOC, sebagai perpanjangan tangan pemerintah Belanda mempunyai dua fungsi. Pertama sebagai pedagang dan kedua sebagai badan pemerintah. Sebagai upaya pemantapan pelaksanaan kedua fungsi tersebut, maka VOC menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan Belanda. Didaerah- daerah yang kemudian satu persatu dapat dikuasai colonial akhirnya membentuk badan-badan peradailan. Upaya ini tidak mulus berjalan dalam penerapannya mengalami hambatan. Atas dasar berbagai pertimbangan VOC membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat untuk berjalan sebagaiman sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat setempat. Konsekuensinya VOC terpaksa memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari. 17 Sejak saat itulah pemberontakan timbul di mana-mana, hingga hampir setiap tahun Batavia mengirimkan ekspedisi-ekspedisi militer keberbagai tempat di Nusantara untuk menumpas perlawanan rakyat. Pada masa itu belum diketemukan cara perjuangan Nasional. Periode Perintis meliputi masa sebelum tahun 1908, yaitu tahun dimulainya fase kebangkitan kesadaran nasional, dengan 16 Baroroh Baried, Citra Wanita Dalam Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Seminar Nasional Fakta Dan Citra, 23-25 agustus 1984. 17 Prof. Mohammad Daud Ali.S.H, Kedudukan Hukum Islam Dan Peradilan Agama, Cet.1, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1977, h.212. berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Periode Perintis masih juga meliputi masa permulaan politik etis Belanda di Indonesia. Para tokoh Perintis perjuangan wanita belum mempunyai perkumpulan atau organisasi wanita, dengan kata lain berjuang orang perorangan, akan tetapi dalam kenyataan bahwa mereka mengangkat senjata bahu membahu dengan kaum pria melawan penjajah Belanda, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka merupakan sumber inspirasi bagi generasi wanita berikutnya untuk berjuang melawan penindasan dan ketidakadilan. Para tokoh perintis dalam masa sesudah diterapkannya politik etis Belanda di Indonesia, memberikan teladan dan dorongan kepada generasi kaumnya untuk meneruskan jejak langkah mereka, juga berjuang untuk emansipasi dan partisipasi untuk membangun kemandirian kaumnya, kemajuan bangsanya dan kemerdekaan tanah airnya karena ciri utamanya ialah menekankan kepada pendidikan atau lebih khususnya pendidikan model Barat, sebagai bekal untuk memajukan kaumnya dan bangsanya. Gerakan pendidikan kebanyakan diprakarsai oleh kalangan elite bangsawan, karena mereka lebih dahulu diberi kesempatan oleh pemerintah untuk bisa memasuki sekolah- sekolah khusus untuk warga Eropa. Pejuang-pejuang Perintis pada masa itu, diantaranya Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai Achmad Dahlan. b. Periode Kebangkitan Kesadaran Nasional 1911 - 1928 Masa kebangkitan kesadaran nasional ditandai dengan munculnya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Jakarta, organisasi pertama diantara bangsa Indonesia yang dibentuk secara modern. Dengan bentuk modern diartikan bahwa organisasi mempunyai pengurus tetap, anggota, tujuan, rencana pekerjaan dan seterusnya berdasarkan peraturan-peraturan yang dimuat di Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Pengurus Budi Utomo terdiri dari para Priyayi dan dalam waktu singkat organisasi tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada akhir tahun 1909 Budi Utomo telah mempunyai 40 cabang dengan lebih kurang 10.000 anggota. Kemudian berdiri partai-partai politik yang tidak terbatas pada daerah berkebudayaan Jawa saja seperti Budi Utomo akan tetapi yang beraliran Indisch Nasionalisme radikal, beraliran nasionalisme demokratis dengan dasar agama dan beraliran marxisme. 1. Gerakan Perempuan Dan Kebangkitan Nasionalisme Pada periode Budi Utomo pejuang gerakan perempuan baru terbatas pada kedudukan sosial saja. Soal-soal politik perempuan belum dalam jangkauannya. Apalagi kemerdekaan tanah air masih terlalu jauh dari penglihatan dan pemikirannya. Kesibukan-kesibukan pada periode perintis dibidang pendidikan, pengajaran, kerumah tanggaan masih berlanjut. Pengaruh warisan cita-cita Kartini untuk emansipasi perempuan berkumandang menembus batas-batas kamar pingitannya dan perhatian kaumnya. Sehingga pada periode kebangkitan dan Kesadaran Nasional ini mulai untuk meningkatkan kaum perjuangan perempuan. Ini dibuktikan dengan munculnya organisasi perempuan yang pertama di Jakarta pada tahun 1922 bernama Putri Mardika atas bantuan Budi Utomo. Perkumpulan Kartini Fonds yang bertujuan mendirikan sekolah-sekolah Kartini berdiri diberbagai tempat di Jawa, Keutamaan Istri didirikan di banyak tempat di Jawa Barat bahkan dikota Padang Panjang, Kerajinan Amai Setia di kota Gedang, Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya berdiri pada tahun 1917 di Manado. Kesemuanya itu baik organisasi perempuan dari organisasi partai umum maupun organisasi lokal kesukuan atau kedaerahan bertujuan menggalakkan pendidikan dan pengajaran bagi perempuan dan perbaikan kedudukan sosial dalam perkawinan dan keluarga serta meningkatkan kecakapan sebagai ibu dan pemegang rumah tangga. Ada beberapa hal yang menjadi fokus pejuang gerakan perempuan pada masa itu yaitu gerak kemajuan pada tahun-tahun sebelum 1920 dapat dikatakan lamban. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sekolah-sekolah untuk wanita pribumi, tidak adanya izin dari orang tua di kalangan atas atau diperlukan tenaganya untuk membantu orang tua di kalangan bawah. Di samping itu adat dan tradisi sangat menghambat kemajuan wanita. 18 18 Umi Sardjono, Meningkatkan Peranan Wanita Dalam Perjuangan Untuk Hak-Hak Demokrasi, Jakarta: Sidang DPP Pleno, 1955. Dalam Sarekat Islam terikat divisi peperangan adalah bernama Wanudiyo Utomo dan kemudian Sarekat Perempuan Islam Indonesia. Dalam Kongres Sarekat Islam pada bulan April 1929 di Surabaya, Sarekat Perempuan Islam Indonesia bertentangan dengan Persatuan Puteri Indonesia mengenai poligami. Bagian Wanita Muhammadiyah adalah Aisiyah yang juga tidak ikut mencampuri masalah persoalan politik seperti ibu perkumpulannya yaitu Muhammadiyah. Mengenai masalah poligami menurut Aisiyah sependirian dengan bagian Wanita Sarekat Islam. Mereka juga menentang keras adat Barat seperti pakaian, tata rambut, cara hidup, kesenangan dan sebagainya karena dianggapnya bertentangan dengan adat Islam. Wanita Perti sebagai bagian dari Persatuan Tarbiyah Islamiyah di dirikan pada tahun 1928. Bagian Wanita Sarekat Ambon adalah Ina Tuni membantu aksi Sarekat Ambon dikalangan militer Ambon. Bagian Wanta ini berhaluan politik seperti Sarekat Ambon juga. Perhimpunan perempuan lainnya ialah organisasi pemudi terpelajar, seperti Puteri Indonesia dan Jong Islamieten Bond Dames Afdeling, Jong Java Meisjeskring, Organisasi Taman Siswa. Kemajuan gerakan Wanita sesudah tahun 1920, terlihat juga dengan makin banyaknya perkumpulan-perkumpulan Wanita kecil yang berdiri sendiri. Hampir di semua tempat yang agak penting ada pekumpulan wanita. Seperti pada masa sebelum 1920, perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk belajar masalah kepandaian putri yang khusus. Menjelang tahun 1928, organisasi wanita berkembang lebih pesat. Sikap yang dinyatakan oleh organisasi-organisasi wanita pada waktu itu, umumnya lebih tegas, berani dan terbuka. Perkembangan kearah politik makin tampak terutama yang menjadi bagian dari Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia dan Persatuan Muslimin Indonesia. Gerakan Perempuan Indonesia pada fase ini sudah lebih matang untuk menyetujui anjuran dan panggilan kebangsaan, faham Indonesia bersatu yang di hidup-hidupkan antara lain oleh Perhimpunan Indonesia dan Partai Nasional Indonesia. Maka berlangsunglah Kongres Perempuan Indonesia yang pertama di Jogyakarta pada tanggal 22-25 Desember 1928. Kongres ini merupakan lembaran sejarah baru bagi gerakan wanita Indonesia, di mana organisasi wanita menggalang kerjasama untuk kemajuan wanita khususnya dan masyarakat pada umumnya. Ciri utama kesatuan pergerakan perempuan Indonesia pada masa ini ialah berasaskan kebangsaan dan menjadi bagian pergerakan kebangsaan Indonesia. Pokok-pokok permasalahan yang dibicarakan di antaranya ialah kedudukan perempuan dalam perkawinan, poligami dan koedukasi. Masalah politik nasional melawan penjajahan tidak menjadi pokok bahasan dan Kongres berpendirian berhaluan kooperasi terhadap pemerintah Belanda Nederlands Indie. 19 Kongres menghasilkan keputusan dibentuknya badan permufakatan organisasi-organisasi wanita dengan nama Perserikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia dan bertujuan untuk memberi penerangan dan menjadi forum komunikasi antar organisasi perempuan. Kongres tersebut menghasilkan tiga buah mosi yang ditujukan kepada pemerintah Belanda Nederlands Indie yaitu menambah sekolah-sekolah untuk anak perempuan, memberikan keterangan nikah mengenai taklik janji dan syarat perceraian serta membuat peraturan untuk memberi sokongan kepada janda-janda dan anak-anak piatu pegawai pemerintah. 2. Gerakan Perempuan Dan Media Massa Gerakan Perempuan Indonesia sejak semula menyadari pentingnya media massa bagi perjuangannya. Alat media massa seperti surat kabar dan majalah berfungsi untuk menyebarkan gagasan kemajuan wanita dan juga sebagai sarana praktis pendidikan dan pengajaran. Tulisan dan karangan ditulis dalam bahasa Melayu, Belanda dan Jawa. Sebagian besar pengarang dan yang membantu penerbitan majalah Gerakan Wanita pada periode itu adalah guru-guru wanita yang berpendidikan Barat. Guru wanita ketika itu merupakan kaum elite di bidang kebudayaan. Majalah pertama Putri Hindia terbit pada tahun 1909 di Bandung, dalam dua kali sebulan oleh golongan atas seperti R.A. Tjokroadikusumo. Hingga tahun 19 Aidit D. N, Wanita Komunis Pejuang Untuk Masyarakat Baru, Jakarta: Bintang Merah, 1957, h.266. 1925 sudah di terbitkan sebelas macam media massa seperti koran dan majalah yang tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Surat kabar Sunting Melayu terbit pada 10 Juli 1912 di Padang. Surat kabar Sunting Melayu ini terbit tiga kali seminggu. Surat kabar ini merupakan pusat kegiatan pemudi, putri maupun wanita yang telah bersuami yang berisi masalah politik, anjuran kebangkitan wanita Indonesia dan cara menyatakan pikiran para penulisnya dalam bentuk prosa dan puisi. Sampai tahun 1920 pemimpin redaksinya ialah Hohana Kudus. Kemudian surat kabar Wanito Sworo terbit pada tahun 1913 di Pacitan sebuah kota kecil di pantai samudera indonesia di Madiun yang dipimpin oleh Siti Sundari dengan huruf dan bahasa Jawa, tetapi kemudian sebagian berbahasa Melayu. Media lain yang tersebut adalah majalah Putri Mardika terbit pada tahun 1914 di Jakarta Majalah bulanan ini berisikan artikel-artikel yang ditulis dalam bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan berhaluan maju seperti masalah permaduan, pendidikan campuran laki-laki dan wanita, kelonggaran bergerak bagi kaum wanita, kesempatan pendidikan dan pengajaran. Penuntun Isteri edisi Sunda terbit tahun 1918 di Bandung. Isteri Utomo terbit di Semarang. Suara Perempuan dengan redaksi seorang guru wanita bernama Saada terbit di Padang. Perempuan Bergerak terbit pada tahun 1920 di Medan dengan pimpinan redaksi Satiaman Parada Harahap diperkuat oleh Rahana. c. Periode Kesadaran Nasional 1928 - 1941 Pada periode sebelumnya lingkup kegiatan hampir semua organisasi wanita masih terbatas pada masalah emansipasi dan usaha menjadikan wanita lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionilnya sebagai wanita. Namun pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan melebihi lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya. Padahal sebelumnya semua organisasi yang bergabung dalam Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia menolak mencampuri urusan politik dan agama. Perkembangan terakhir ini sebenarnya telah dirintis jauh sebelumnya, yaitu pada tahun 1919 ketika Siti Soendari mendirikan organisasi Putri Budi Sejati di Surabaya Organisasi ini merupakan organisasi wanita yang cukup besar serta berdikari, dan mendasarkan perjuangannya pada cita-cita kebangsaan. Arah baru ini diikuti oleh Isteri Sedar yang didirikan di Bandung pada tahun 1930. Isteri Sedar berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dimana penghargaan dan kedudukan wanita dan laki-laki sama dan sejajar. Organisasi ini juga bersikap kritis terhadap norma-norma adat, tradisi dan agama yang pada prakteknya merugikan kaum wanita. Isteri sedar bersikap anti dan selalu dengan pedas menyerang imperialisme dan kolonialisme. 20 Pada kongresnya yang kedua tahun 1935, ketiga tahun 1938 dan keempat tahun 1941, Perikatan perkumpulan Perempuan Indonesia membicarakan sekitar kewajiban kebangsaan walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban menjadi Ibu Bangsa, masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan kota, serta beberapa masalah politik lainnya.

2. Zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang 1942 - 1945