BAB III PELAKSANAAN PERKAWINAN TERHADAP NIKAH MUT’AH
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM
A. Hukum Melakukan Perkawinan
Bila dituruti ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah yang disajikan dibawah ini dalam hal perkawinan, maka akan kedapatan banyak yang bersifat
perintah atau amar. Maka pada dasarnya adalah perkawinan itu diperintahkan dan dianjurkan. Kalau ditinjau dari segi thabi’at persetubuhan dan syahwat itu adalah
thabi’at pada manusia yang meminta saluran yang sewajarnya.
102
Menurut pendapat ahli fiqih, hukum melakukan perkawinan itu adalah sebagai berikut :
103
1. Wajib
Bagi seorang yang kuat syahwat dan sanggup serta takut akan berbuat jahat. 2.
Haram Bagi seorang yang yakin akan berlaku zhalim dan tidak akan dapat memenuhi
hak kewajiban sebagai suami isteri. 3.
Sunnat Bila seorang sanggup mengendalikan syahwatnya dan mempunyai
kemampuan untuk berumah tangga. 4.
Makruh
102
Nashruddin Thaha, Pedoman Perkawinan Islam : Nikah, Talak, Rudjuk, Bulan Bintang, tth, Jakarta, hlm.11
103
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Bagi yang tidak berhadjat dan sanggup mengendalikan syahwat serta takut tak akan terlaksana hukum Tuhan dalam perkawinan.
5. Mubah
Bila seorang tak mempunyai keinginan seksual dan sanggup memelihara rumah tangga.
Adapun membujang ‘uzubah amat dilarang oleh agama Islam. Juga banyak negara-negara yang melarang membujang itu dengan perantaraan Undang-
unndang. Bahaya membujang memang banyak umpama keruntuhan kesehatan tubuh dan jiwa, kerusakan budi dan ahlak dan tak melanjutkan keturunan.
104
Dasar pensyariatan nikah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah dan Ijma. Namun sebagian ulama berpendapat hukum asal melakukan perkawinan adalah mubah
boleh. Hukum tersebut bisa berubah menjadi sunnah, wajib, makruh dan haram tergantung kepada ‘illah hukum.
105
1. Hukumnya beralih menjadi sunnah
Dengan ‘illah : seseorang apabila dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup
telah ada, maka baginya menjadi sunnahlah untuk melakukan perkawinan. Kalau dia kawin dia mendapat pahala dan kalau dia tidak atau belum kawin,
dia tidak menndapat dosa dan juga tidak mendapat pahala. 2.
Hukumnya beralih menjadi wajib Dengan ‘illah : seseorang apabila dipandang dari segi biaya kehidupan telah
mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat
104
Ibid, hlm.11-12
105
Mardani, Op.Cit., hlm.11
Universitas Sumatera Utara
mendesak untuk kawin, sehingga kalau dia tidak kawin dia akan terjerumus kepada penyelewengan, maka manjadi wajiblah baginya untuk kawin. Kalau
dia tidak kawin dia akan mendapat dosa, baik dia seorang laki-laki atau seorang perempuan.
3. Hukumnya beralih menjadi makruh
Dengan ‘illah : seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk kawin walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada
biaya untuk hidup sehingga kalau dia kawin hanya akan membawa kesengsaraan hidup bagi isteri dan anak-anaknya, maka makruhlah baginya
untuk kawin. Kalau dia kawin dia tidak berdosa dan tidak pula mendapat pahala. Sedangkan kalau dia tidak kawin dengan pertimbangan yang telah
dikemukakan itu tadi, maka dia akan mendapat pahala. 4.
Hukumnya beralih menjadi haram Dengan ‘illah : apabila seseorang laki-laki hendak mengawini seseorang
wanita dengan maksud menganiayanya atau memperolok-olokkannya maka haramlah bagi laki-laki itu kawin dengan perempuan bersangkutan sebagai
ditegaskan dalam Q. IV : 24 dan 25 serta dalam Q. II : 231. Kalau dia kawin juga untuk maksud yang terlarang itu, dia berdosa walaupun perkawinan itu
tetap sah asal telah memenuhi ketentuan-ketentuan formil yang telah digariskan. Sedangkan kalau dia tidak dijadikan perkawinan itu sehingga tidak
langsung perkawinannya dengan maksud yang tidak diijinkan al-Qur’an itu maka dia akan mendapat pahala.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan sedemikian juga berlaku bagi seorang laki-laki yang ingin mengawini seorang perempuan walaupun tidak ada niat dan maksud
memperolok-olokkan atau menganiaya perempuan itu sebagai ketentuan ayat- ayat yang bersangkutan tetapi menurut perhitungan yang wajar dan umum,
bahwa perkawinannya itu akan berakibatkan secara langsung bagi penganiayaan terhadap wanita bersangkutan.
106
Sebagian sarjana Islam lagi berpendapat, bahwa asal hukumnya melakukan perkawinan itu adalah sunnah. Pendapat ini didasarkan kepada hadist
Rasul yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dan berbunyi : “tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka dan kawin; barang siapa tidak menyukai
sunnahku, maka ia bukan ummatku”.
107
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa perkawinan itu hukumnya sunnah dianjurkan, tetapi jika anda takut terjerumus ke lembah perzinahan dan
mampu untuk kawin maka hukumnya wajib dimustikana, dan perkawinan itu haram dilarang jika anda dengan sengaja tidak memberi nafkah kepada isteri,
baik nafkah lahir maupun nafkah batin. Kemudian jika anda kawin hanya untuk sementara waktu saja, untuk satu dua minggu saja mut’ah, maka perkawinan itu
tidak sah.
108
Bahkan ada diantaranya yang berpendapat, bahwa asal hukumnya melakukan perkawinan itu adalah wajib, seperti pendapat Imam Daud Zha hiry.
Salah satu kaidah dalam ilmu usul fiqh berbunyi : “hukum itu beredar atau
106
Sajuti Thalib SH, Hukum Keluarga Indonesia Berlaku Bagi Umat Islam, Cetakan Pertama, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974, Jakarta, hlm.49-50
107
Ibid.
108
Prof.H.Hilman Hadikusuma SH, Op.Cit., hlm.25
Universitas Sumatera Utara
berganti-ganti menurut ‘illahnya, ada ‘illah menjadikan adanya hukum dan tidak adanya ‘illah menjadikan tidak adanya hukum. Kaidah ini sudah diterapkan dalam
hukum melakukan perkawinan itu, menghasilkan perubahan-perubahan hukum diatas untuk perbuatan yang sama yaitu melakukan perkawinan tetapi berbeda
illahnya mengakibatkan berbeda pula hukumnya.
109
B. Bentuk-bentuk Perkawinan Menurut Hukum Islam