Demikianlah kehidupan dalam masyarakat yang mayoritas penduduknya adalah Syiah Imamiyah. Bagaimana kebobrokan moral terjadi di lingkungan
mereka. Meskipun mereka mengembel-embeli diri mereka sebagai komunitas Islam, masyarakat Islam, atau bahkan negara Islam, maka hakikatnya sangat jauh
sekali dari ajaran Islam. Dan tentunya kita harus menjaga dan saling menasihati kepada kerabat dan teman-teman kita, agar ajaran ini tidak menyebar luas dan
praktek-praktek nikah mut’ah tidak akan dilakukan lagi dilingkungan masyarakat, sebagai bentuk preventif pencegahan terjadinya kerusakan moral bangsa.
145
C. Akibat Hukum Nikah Mut’ah
Jika terjadi pernikahan maka timbullah hak dan kewajiban antara isteri dan suami. Maka akan menimbulkan beberapa akibat hukum, yakni hak dan
kewajiban antara suami dan isteri. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 19 :
146
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”.
Selanjutnya hadist yang terdapat di buku Rahmat hakim mengatakan :
147
“Yang paling baik iman seorang mukmin adalah yang paling baik akhlaknya dan paling baik diantara kamu adalah yang paling baik kepada
isterinya”.
145
http:menujubermartabat.wordpress.com20121013kisah-nikah-mutah. diakses pada tanggal 1 April 2013 pada pukul 21.00 WIB
146
Al-Jumanatul Ali, Op.Cit., hlm.80
147
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, 2000, Bandung, hlm.99
Universitas Sumatera Utara
Dari firman Allah S.W.T tersebut diatas, maka dapat dimengerti bahwa seorang suami memiliki kewajiban untuk menggauli isterinya, demikian pula
sebaliknya seorang isteri memiliki kewajiban untuk melayani suami dengan baik sesuai dengan perintah agama. Selanjutnya selain kewajiban yang telah
diterangkan tersebut di atas, maka kewajiban lain adalah memberi nafkah. Diatas telah dibicarakan tentang sah tidaknya suatu perkawinan secara mut’ah. Jika
perkawinan mut’ah diharamkan, maka jelaslah bahwa akibat hukum dari perkawinan mut’ah tidak ada. Dengan kata lain, perkawinan secara mut’ah tidak
menimbulkan hubungan kewarisan, nasab, dan akibat hukum lainnya yang ada pada pernikahan yang lazim dilaksanakan.
148
Sedangkan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Menurut Hakim Agung Rifyal Ka’bah, dalam kawin kontrak tidak ada akibat hukum, dikarenakan
perkawinan ini menurutnya adalah perzinahan. Hal ini bertentangan dengan filosofi perkawinan, dimana perkawinan harus bersifat langgeng dan untuk
selama-lamanya.
149
Padahal diyakini banyak kalangan, bahwa kawin kontrak menimbulkan kerugian terutama dipihak perempuan dan anak. Nasib anak hasil kawin kontrak
tidak berbeda jauh dengan sang ibu. Si anak tidak akan mendapat warisan apapun karena setelah selesai masa kontrak, maka anak menjadi tanggung jawab ibu. Jadi
perempuan sebagai pihak yang mempunyai potensi dirugikan lebih besar
148
Ibid, hlm.99-100
149
http:www.Hukum.online.com Kontoversi Kawin Kontrak Oleh : Isti Nurwidayanti. diakses pada tanggal 10 April 2013 pada pukul 20.00 WIB
Universitas Sumatera Utara
dibanding pihak laki-lakinya. Dikarenakan peraturan hukum Islam melarang pergaulan laki-laki dengan perempuan secara berlebihan dan dilarangnya hidup
bersama diluar nikah, menyebabkan kawin kontrak dianggap paling aman untuk terhindar dari pelanggaran norma Islam. Sehingga konsep kawin kontrak dianggap
wajar.
150
Selain itu menurut Quraish Shihab mantan Menteri Agama, mengatakan Undang-undang Perkawinan yang ada sekarang sudah cukup baik. Menurutnya
persoalan mengenai keabsahan kawin kontrak ini dapat terjawab dari salah satu Pasal dalam Undang-undang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang berdasarkan agamanya masing-masing. Dengan demikian sebenarnya suatu perkawinan apapun namanya, asalkan perkawinan
tersebut sesuai salah satu Pasal dalam Undang-undang Perkawinan seperti diatas, maka pekawinan itu dianggap sah. Namun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
PBNU menyatakan : “Bahwa kawin kontrak dalam hukum Islam haram dilakukan. Hal ini dikarenakan kawin kontrak diindikasikan sebagai salah satu
bentuk pelacuranperzinahan dengan bungkus agama, dimana perkawinan ini ada batas waktu dan persyaratan mas kawinjumlah uang tertentu.
151
Didalam buku Asaf A.A. Fyzee dituliskan bahwa keturunan yang timbul dari mut’ah adalah sah dan mereka mempunyai hak waris. Jika tidak didapati
perjanjian yang khusus, namun baik suami maupun isteri tidaklah dapat waris mewarisi, tetapi jika didapat perjanjian yang memberikan hak itu, maka ini harus
dilaksanakan. Seorang isteri mut’ah tidak berhak mendapatkan biaya
150
Ibid.
151
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pemeliharaan, karena menurut Sjara’i’u’I-Islam, perkataan isteri tidaklah pada hakekatnya berlaku bagi seorang perempuan yang dikawini dalam bentuk
mut’ah.
152
Untuk itu diperlukan Undang-undang baru yang mengatur tentang nikah mu’ah, karena menurut saya Undang-undang yang sudah ada dinilai tidak bisa
mengurangi praktek nikah mut’ah dan sejenisnya yang sangat merugikan kaum perempuan. Dengan diadakan suatu aturan hukum atau Undang-undang yang
mengatur mengenai nikah mut’ah dengan segala akibatnya, diharapkan dapat mencegah dilecehkan dan dirugikannya kaum perempuan. Sekarang ini dengan
ketiadaan hukum yang mengatur tentang nikah mut’ah, mengakibatkan aparat penegak hukum menggunakan jerat hukum lainnya. Misalnya untuk warga negara
asing yang melakukan nikah mut’ah, biasanya dijerat dengan peraturan soal keimigrasian. Tapi bagaimana warga negara lokal, karena pelaku praktek nikah
mut’ah tidak hanya warga negara asing saja.
152
Asaf A.A. Fyzee, Op.Cit., hlm.151-153
Universitas Sumatera Utara
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan