BAB IV AKIBAT HUKUM DAN HUKUM NIKAH MUT’AH MENURUT ULAMA
INDONESIA DALAM BENTUK FATWA DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM
A. Hukum Nikah Mut’ah Menurut Ulama Indonesia Dalam Bentuk Fatwa dan Undang-undang No 1 Tahun 1974
1. Pendapat Pakar Fikih tentang Nikah Mut’ah
Pakar fikih yang dimaksud adalah para pendiri dan pengikut madzhab fikih yang pendapatnya sering kali dijadikan pegangan oleh sebagian ulama. Oleh
karena itu, pakar fikih yang dimaksud adalah ulama pendiri madzhab atau ulama yang berjasa dalam pembentukan fikih pada madzhabnya. Hartono Ahmad Jaiz
menjelaskan hukum nikah mut’ah dalam pandangan sejumlah pakar fikih dari kalangan Sunni.
132
1 Syams al-Din al-Syarkhasi 490 H, ulama dari kalangan madzhab Hanafi,
berpendapat bahwa nikah mut’ah termasuk nikah bathil menurut ulama madzhab Hanafi. Disamping itu, Imam Ala al-Din al-Kasani 587 H juga
menjelaskan bahwa nikah mut’ah yang bersifat sementara, yaitu nikah mut’ah, tidak boleh dilakukan.
2 Malik Ibn Anas 179 H, berpendapat bahwa nikah yang dibatasi dengan
waktu termasuk nikah yang bathil. Disamping itu, Ibn Rusyd ulama dari kalangan Malikiyah, menjelaskan bahwa hadis-hadis yang mengharamkan
nikah mut’ah mencapai derajat mutawatir.
132
Dr. Jaih Mubarok, M.Ag, Op.Cit., hlm.137-139
Universitas Sumatera Utara
3 Imam Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i 150-204 H menjelaskan bahwa nikah
mut’ah, baik dibatasi dalam durasi yang lama maupun yang sebentar, adalah diharamkan. Imam al-Nawawi mempertegas pendapat Imam al-Syafi’i 676
H, dengan menetapkan bahwa nikah mut’ah tidak dibolehkan karena akad nikah termasuk mutlak. Oleh karena itu, pembatasan waktu dalam akad nikah
tidaklah dibenarkan. 4
Imam Ibn Qudaman al-Maqdisi ulama dari kalangan madzhab Hanbali menukil pendapat Ahmad Ibn Hanbal yang menyatakan bahwa hukum nikah
mut’ah adalah haram. Ibn Qudamah menegaskannya bahwa nikah mut’ah termasuk nikah yang bathil.
Sedangkan ulama Sunni berpandangan dari sejumlah dalil dan komentar mengenai keharaman nikah mut’ah yang dijelaskan oleh al-Sayyid Sabiq secara
panjang lebar.
133
1. Ulama Sunni mengharamkan nikah mut’ah dengan beralasan dengan hadis
yang menceritakan bahwa Nabi Saw. membolehkan nikah mut’ah pada perang penaklukan Mekah; tetapi kemmudian Nabi Saw. mengharamkannya. Dalam
hadis riwayat Ibn Majah, dijelaskan bahwa Nabi Saw. besabda : “Wahai sekalian manusia, aku telah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah
mut’ah; ingatlah, bahwa Allah telah mengharamkan nikah mut’ah untuk selamanya.”
2. Umar Ibn al-Khathab ra. pada zaman kekhalifaannya, mengumumkan diatas
mimbar bahwa hukum nikah mut’ah adalah haram; pendapat Umar ini
133
Ibid, hlm.136-137
Universitas Sumatera Utara
kemudian dikukuhkan dan diikuti oleh para sahabat Nabi Muhammad Saw. menurut Sabiq, tidak mungkin para sahabat mengukuhkan dan mengikuti
pendapat Umar tentang keharaman nikah mut’ah, kalau pendapatnya itu salah. 3.
Al-Khuthabi menjelaskan bahwa hukum nikah mut’ah haram atas dasar ijmak. Selanjutnya al-Khuthabi menjelaskan bahwa alasan Syi’ah mengenai
kebolehan nikah mut’ah yang disandarkan kepada Ali ra., adalah tidak sah kaena alasan itu sudah mansukh dibatalkan oleh dalil lain. Imam al-Baihaqi
menjelaskan bahwa Ja’far Ibn Muhammad ditanya mengenai hukum nikah mut’ah. Ja’far Ibn Muhammad menjelaskan bahwa nikah mut’ah termasuk
zina dengan sendirinya hiya al-zina bi’aynih. 4.
Nikah mut’ah dilakukan hanya untuk menyalurkan syahwat; ia dilakukan bukan dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan al-tanasul dan juga
bukan untuk memelihara anak. Padahal, syari’ah dari perkawinan adalah mendapatkan keturunan dan pemeliharaan anak. Oleh karena itu, Sabiq
menjelaskan bahwa nikah mut’ah serupa atau mirip dengan zina karena dilakukan hanya untuk bersenang-senang penyaluran syahwat atau kebutuhan
biologis. Di samping itu, nikah mut’ah jelas Sabiq, menyulitkan perempuan dalam pengurusan anak.
5. Sabiq juga menjelaskan pendapat Ibn Abbas yang mengatakan bahwa nikah
mut’ah boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa al-hajat atau al-dharurat. Oleh karena itu, nikah mut’ah haram dilakukan dalam keadaan biasa; Ibn
Abbas menganalogikan kebolehan nikah mut’ah dengan bangkai, darah, dan daging babi yang boleh dimakan dalam keadaan terpaksa.
Universitas Sumatera Utara
2. Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah