Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah

2. Fatwa MUI tentang Nikah Mut’ah

MUI menetapkan keharaman nikah mut’ah pada tanggal 25 Oktober 1997 di Jakarta. Keputusan atau ketetapan tersebut ditandatangani oleh K.H.Ibrahim Hosen Ketua Komisi Fatwa, H.A.Nazri Adlani Sekertaris Umum MUI, dan K.H.Hasan Basri Ketua Umum MUI. 134 Dalam konsideran fatwa MUI terdapat beberapa alasan penetapan fatwa, baik alasan yang bersifat akademik maupun sosial. Pada dasarnya, fatwa MUI tentang hukum nikah mut’ah dikarenakan dua pertanyaan : 135 1 Surat Sekertaris Jenderal Departemen Agama RI Nomor : BVI4PW.0148231996 tanggal 11 Oktober 1996, tentang perlu dikeluarkannya fatwa mengenai hukum kawin nikah mut’ah. 2 Surat dari Dewan Pimpinan Pusat Ittihadul Mubalighin Nomor : 35IMX1997, Oktober 1997 berisi pernyataan tentang Keputusan Bahtsul Masail yang dikeluarkan pada tanggal 3-5 Oktober 1997 di Bogor mengenai nikah mut’ah. Disamping adanya permintaan fatwa dari Departemen Agama dan DPP Ittihadul Mubalighin, fatwa MUI tentang hukum nikah mut’ah juga didasarkan atas 3 tiga pertimbangan yang bersifat sosiologis. 136 1. Pada tahun 1997, nikah mut’ah mulai banyak dilakukan oleh sebagian umat Islam Indonesia, terutama dilakukan oleh kalangan pemuda dan mahasiswa yang hidup di kota-kota besar di Indonesia . 134 Ibid. 135 Ibid. 136 Ibid, hlm.139-140 Universitas Sumatera Utara 2. Praktek nikah mut’ah telah menimbulkan keperhatinan, kekhawatiran, dan keresahan bagi orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumya. 3. Mayoritas umat Indonesia adalah penganut paham Sunni Ahlussunah Wal Jamaah yang tidak mengakui dan menolak paham Syi’ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut’ah secara khusus. MUI menjadikan empat ayat al-Quran sebagai dalil : QS. al-Mu’minum 23:5-7 ; al-Nisa 4:59 ; dan satu buah kaidah fikih. Disamping itu, MUI pun menjadikan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam KHI sebagai alasan. 137 1. QS. al-Mu’minun 23: 5-7 berisi tentang ciri orang beriman, yaitu orang- orang yang dapat memelihara kemaluannya, nafsu biologisnya hanya disalurkan kepada isteri-isterinya atau budak-budak milik mereka jariah, orang-orang yang menyalurkan nafsu biologisnya terhadap selain isteri atau jariahnya termasuk orang melampaui batas melakukan pelanggaran. Menurut QS. al-Mu’minum 23: 5-7 tersebut, jelas MUI, hubungan seksual hanya boleh dilakukan terhadap isteri atau budak yang dimilikinya. Sedangkan nikah mut’ah, tidak termasuk akad perkawinan karena : a. Suami isteri yang melakukan nikah mut’ah tidak dapat salng mewarisi. Sedangkan nikah da’im menjadi sebab saling mewarisi. b. Iddah nikah mut’ah tidak seperti iddah nikah da’im. 137 Ibid, hlm.140-141 Universitas Sumatera Utara c. Dalam nikah da’im jumlah isteri dalam poligami dibatasi hanya empat. Sedangkan dalam nikah mut’ah jumlah isteri tidak dibatasi. d. Seseorang yang melakukan nikah mut’ah tidak dianggap menjadi muhsan terpelihara, karena wanita yang dinikahi mut’ah tidak berkedudukan sebagai isteri dan juga tidak berkedudukan sebagai jariah. Oleh karena itu, seseorang yang melakukan nikah mut’ah telah melakukan pelanggaran hukum. 2. Menurut MUI nikah mutah bertentangan dengan tujuan pensyari’atan nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera dan melahirkan keturunan al-tanasul. 3. Nikah mut’ah bertentangan dengan peraturan perunndang-undangan Negara Republik Indonesia, yaitu Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam KHI. Menurut MUI, Peraturan perundang-undangan mengenai perkawinan wajib ditaati QS. al-Nisa 4: 5 karena pemerintah berkedudukan sebagai ul al-amr yang harus ditaati. 4. Kedudukan hukum atau keabsahan nikah mut’ah diperdebatkan oleh ulama : a. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak boleh secara mutlak. b. Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah hanya boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau darurat c. Sebagian lagi Syi’ah nikah mut’ah boleh dilakukan secara mutlak. Universitas Sumatera Utara Akan tetapi, dalam konteks Indonesia, Undang-undang Perkawinan melarang nikah mut’ah. Dalam kaidah fikih ditetapkan : 138 “Keputusan pemerintah bersifat mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan menghentikan perbedaan pendapat.” Atas dasar garis besar sejumlah pertimbangan-pertimbangan tersebut, MUI menetapkan bahwa : 139 1. Hukum nikah mut’ah adalah haram. 2. Pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Nikah Mut’ah Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 85 104

Undang Undang Nomor I Tahun 1974 dan kaitannya dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama: studi tentang praktek pelaksanaannya di DKI Jakarta

0 5 91

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

Praktek kawin mut’ah di Indonesia dalam tinjauan hukum Islam dan undang-undang perkawinan

0 6 8

NIKAH TAFWIDH MENURUT HUKUM ISLAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

1 5 1

KEDUDUKAN WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN MELALUI MEDIA VIDEOTELECONFERENCE DENGAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 1 1

PENERAPAN ITSBAT NIKAH DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 2

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam

0 0 17

PELAKSANAAN PERKAWINAN TERHADAP NIKAH MUT’AH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM SKRIPSI

0 0 10