Bentuk-bentuk Perkawinan Menurut Hukum Islam

berganti-ganti menurut ‘illahnya, ada ‘illah menjadikan adanya hukum dan tidak adanya ‘illah menjadikan tidak adanya hukum. Kaidah ini sudah diterapkan dalam hukum melakukan perkawinan itu, menghasilkan perubahan-perubahan hukum diatas untuk perbuatan yang sama yaitu melakukan perkawinan tetapi berbeda illahnya mengakibatkan berbeda pula hukumnya. 109

B. Bentuk-bentuk Perkawinan Menurut Hukum Islam

Menurut hukum Islam, suatu perkawinan adalah sah sahih, batal batil, dan tidak sesuai dengan peraturan fasid, berikut akan diuraikan penjelasannya. 110 1. Perkawinan yang sah sahih Perkawinan yang seluruhnya sesuai dengan ketentuan-kententuan hukum adalah sahih, yaitu betul sepanjang memenuhi syarat-syarat hukumnya. Perkawinan itu baru dapat dikatakan sahih, jika di dalamnya tidak didapati larangan-larangan yang berlaku bagi kedua pihak. Larangan-larangan ini, mungkin bersifat sementara atau selama-lamanya. Jika larangan itu bersifat abadi, pekawinan itu adalah batil. Jika bersifat sementara, perkawinan itu adalah fasid. 2. Perkawinan yang batal batil Perkawinan yang tidak menurut aturan-aturan hukum dinyatakan batil. Ini adalah perumpamaan dari perkawinan tanpa ada kenyataannya. Perkawinan juga terlarang karena hubungan darah, seibu atau hubungan ibu dengan bapak 109 Sajuti Thalib SH, Op.Cit., hlm.51 110 Asaf A.A.Frezee, Pokok-Pokok Hukum Islam I, Cetakan Pertama, Tintamas, 1959, Jakarta, hlm.141-142 Universitas Sumatera Utara angkat, adalah batil. Keturunan dari perkawinan yang demikian tidak sah, dan hukum tidak mengetahui proses apapun dengan apa perkawinan itu dapat disahkan. Begitu juga perkawinan dengan isteri orang lain, atau perkawinaan kembali dengan isteri yang telah diceraikan, selama rintangan hukum masih berlaku, adalah batil. Perkawinan yang batal adalah suatu hubungan yang tidak sah yang tidak memberikan hak timbal balik atau kewajiban diantara kedua pihak. Umpamanya, tidak ada hak mendapatkan mas kawin, kecuali jika kehidupan suami isteri telah ditempuh. Kematian seorang dari kedua pihak tidaklah memberikan hak kepada yang lain untuk mendapatkan warisan dari yang mati. Ke-batil-an perkawinan yang demikiian bermula disaat perjanjian itu disetujui, dan perkawinan yang demikian itu dianggap tidak ada sama sekali, baik dalam kenyataan, maupun dimuka hukum. 3. Perkawinan yang tidak sesuai dengan peraturan fasid Perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan adalah sah atau tidak sah. Sifat tidak sahnya perkawinan itu mungkin mutlak atau relatip. Jika sifatnya mutlak, maka perkawinan itu adalah batil. Jika sifatnya relatip, maka perkawinan itu adalah fasid. Perkawinan yang berikut dianggap fasid : a. Perkawinan tanpa saksi b. Perkawinan dengan seorang perempuan yang dalam ‘iddah c. Perkawinan yang terlarang karena perbedaan agama Universitas Sumatera Utara d. Perkawinan dengan dua perempuan bersaudara, atau bertentangan dengan peraturan hubungan janda yang tidak sah e. Perkawinan dengan isteri yang kelima Hukum Syi’ah Ithna ‘Asjari tidaklah mengakui adanya perbedaan- perbedaan antara perkawinan yang batil dengan perkawinan yang tidak sesuai dengan peraturan fasid. Menurut mereka perkawinan, hanyalah ada sah atau batil. Oleh sebab itu, corak perkawinan yang disebutkan diatas menurut mereka adalah batil. 111 Ulama Syafi’iyah menjelaskan delapan macam pernikahan yang termasuk batil : 112 1. Nikah syighar, yaitu pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa mahar. Karena wali yang menikahkan juga menikah dengan anak atau saudara perempuan dari laki-laki yang dinikahkannya juga tanpa mahar; 2. Nikah mut’ah. 3. Nikah bagi seorang yang sedang melakukan ihram. 4. Berbilang suami poliandri. 5. Nikah perempuan yang berada dalam waktu tunggu iddah. 6. Pernikahan perempuan hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya pada waktu anak yang dikandungnya belum dilahirkan. 7. Perkawinan seorang laki-laki muslim dengan perempuan dari kalangan kafirah yang bukan ahli kitab. 8. Perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki dari kalangan orang kafir. 111 Ibid, hlm.143 112 Dr. Jaih Mubarok, M.Ag, Op.Cit., hlm.133 Universitas Sumatera Utara Sedangkan ulama Hanabilah, menjelaskan bahwa pernikahan yang termasuk batil adalah : 113 1. Nikah mut’ah. 2. Nikah muhallil. 3. Nikah syighar. 4. Nikah mu’allaq.

C. Dasar dan Batasan Nikah Mut’ah

Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 85 104

Undang Undang Nomor I Tahun 1974 dan kaitannya dengan perkawinan antar orang yang berlainan agama: studi tentang praktek pelaksanaannya di DKI Jakarta

0 5 91

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

Praktek kawin mut’ah di Indonesia dalam tinjauan hukum Islam dan undang-undang perkawinan

0 6 8

NIKAH TAFWIDH MENURUT HUKUM ISLAM DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

1 5 1

KEDUDUKAN WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN MELALUI MEDIA VIDEOTELECONFERENCE DENGAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 1 1

PENERAPAN ITSBAT NIKAH DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN.

0 0 2

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam

0 0 17

PELAKSANAAN PERKAWINAN TERHADAP NIKAH MUT’AH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM SKRIPSI

0 0 10