BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM
A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah Islam itu sendiri. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M yang
dibawa oleh pedagang-pedagang arab. Perkembangan hukum Islam di Indonesia menjelang abad XVII, XVIII, XIX, baik dalam tatanan intelektual dalam bentuk
kitab-kitab dan pemikiran juga dalam praktek-praktek keagamaan dapat dikatakan cukup baik. Dikatakan cukup baik karena hukum Islam dipraktekkan oleh
masyarakat dalam bentuk yang hampir dapat dikatakan sempurna, yang mencakup masalah muamalah perkawinan, perceraian, dan warisan, peradilan, dan tentu
saja dalam masalah ibadah. Bukan hanya itu, hukum Islam menjadi suatu sistem hukum yang mandiri yang digunakan bahwa pada masa itu jauh sebelum Belanda
menancapkan kakinya di Indonesia, hukum Islam menjadi hukum yang positif di Indonesia.
43
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat dalam bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC
Vereenigde Oots-Indische Compagnie yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda
terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya dengan hukum adat. Berangkat dari kekuasaan yang dimiliki VOC bermaksud menerapkan hukum Belanda di
43
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media, 2004, hlm.8
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, namun tetap saja tidak berhasil karena umat Islam tetap saja menjalankan syari’atnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di
Indonesia 1602-1800 M hukum Islam dapat berkembang dan diperaktekkan oleh umatnya tanpa adanya hambatan apapun dari VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC
ikut membantu untuk menyusun suatu peraturan yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dan berlaku dikalangan umat Islam.
44
Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka seperti yang terlihat bahwa sikap Belanda berubah terhadap hukum Islam, kendati
perubahan itu terjadi secara perlahan-lahan. Setidaknya perubahan itu dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang
mempunyai sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan proyek Kristenisasi. Ketiga,
keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.
45
Kendatipun terbatas pada pelaksanaan hukum keluarga, hukum Islam telah teraplikasi dalam kehidupan masyarakat Islam walaupun masih dalam lingkup
yang sangat terbatas yaitu hukum kekeluargaan saja. Menarik untuk dicermati, ternyata pemerintah Belanda memberikan perhatian yang serius terhadap
perjalanan hukum Islam. Hal ini dilihat dari instruksi-instruksi yang diterbitkannya kepada bupati dan sultan-sultan berkenaan dengan pelaksanaan
hukum Islam tersebut. Sebagai contoh : melalui Stabl. No 22 Pasal 13,
44
Ibid, hlm.9
45
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
diperintahkan kepada bupati untuk memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai
dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan yang sejenis.
46
Sedangkan perkawinan menurut hukum adat berlaku bagi golongan Pribumi, yang tidak memeluk agama Islam maupun Kristen. Peraturan tentang
perkawinan adat inipun merupakan konsekuensi politik hukum pemerintah Belanda. Sampai abad XIX istilah hukum adat ini dikenal. Istilah ini timbul dalam
pikiran seorang warga Belanda yaitu Snouck Hurgronje yang mendalami kesusilaan dan kebiasaan berbagai penduduk di Indonesia.
47
Perkawinan adat merupakan suatu hidup bersama yang langgeng dan lestari antara seorang pria dengan seorang perempuan yang diakui oleh
persekutuan adat yang diarahkan pada pembentukan sebuah keluarga. Perkawinan adat ini dibagi atas tiga kategori, yaitu :
48
1. Tatanan Patrilineal, yaitu pengaturan menurut hukum ayah yang merupakan
sistem pengaturan kemasyarakatan dimana hanya nenek moyang pria dalam dalam garis pria yaitu ayah, ayah dari ayah kakek dan seterusnya yang
dipandang menentukan dalam menetapkan keturunan dari individu. Melalui pengaturan yang seperti ini, maka di dalam keluarga, kekuasaan dan pengaruh
yang lebih berada pada kaum pria dan bahkan dari pihak ayah.
46
Ibid, hlm.10
47
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, Mandar Maju, 2002, Bandung, hlm.73
48
Ibid, hlm.74-75
Universitas Sumatera Utara
2. Tatanan Matrilineal, yaitu pengaturan menurut hukum ibu terhadap penentuan
keturunan yang justru merupakan kebalikan dari tatanan patrilineal. Ikatan keturunan keluarga hanya ada pada ibu, ibu dari ibu nenek dan seterusnya.
3. Tatanan Parental, yaitu hubungan kekeluargaan dilihat dari kedua belah pihak
yaitu ayah dan ibu. Sejak tahun dua puluhan pada masa di bawah kepemimpinan Belanda, dari
golongan Bumiputera diajukan permohonan dengan hormat agar diadakan pembaharuan hukum perkawinan. Kongres pertama kaum perempuan Indonesia,
yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 22 sampai 24 Desember 1928, telah dihadiri oleh wakil-wakil dari 30 Organisasi Perempuan Bumiputra antara
lain Wanita Oetomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Moehammadiyah bagian Wanita, Serikat Islam bagian wanita. Kongres ini telah berhasil mendirikan
Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia PPPI.
49
Kongres pertama PPPI Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia yang berlangsung sejak tanggal 29 sampai 31 Desember 1929, telah mencurahkan
perhatian yang cukup besar pada masalah-masalah perkawinan. Topik yang dibicarakan adalah antara lain tentang kewajiban perempuan untuk menentang
poligami, perkawinan paksa maupun perkawinan anak-anak. Di sini telah diterima resolusi yang memuat antara lain permohonan untuk mendesak pemerintah
Belanda agar melarang poligami.
50
Pada kongres PPPI yang kedua, yang diadakan pada tanggal 20 sampai 24 juli 1935 di Batavia, kembali masalah perkawinan menjadi topik utama. Pada
49
Ibid, hlm.192
50
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kongres ini, diputuskan bahwa PPPI akan mengadakan penelitian tentang polisi perempuan menurut hukum Islam, dan memperbaiki posisi perempuan tanpa
menyampingkan agama Islam. Pada kongres PPPI yang ketiga yang diadakan di Bandung pada bulan Juli 1938, telah menghasilkan keputusan untuk membentuk
sebuah komisi yang diberi tugas untuk merancang Peraturan Perkawinan yang paling adil dan patut. Pada kongres PPPI yang keempat yang berlangsung di
Semarang pada bulan Juli 1941 yang membahas tentang upaya peningkatan perempuan di dalam masyarakat, menyediakan ruang, dan peluang bagi
perkawinan berikut seluk beluknya.
51
Sehubungan dengan kongres-kongres tersebut dapat disimpulkan bahwa gerakan Perempuan Indonesia yang dimulai pada masa pemerintahan Belanda, di
era pemerintahan Presiden Soekarno sampai pada masa pemerintahan Presiden Soeharto merupakan kelompok penekan yang tidak kenal menyerah terhadap
pembentukan Perundang-Undangan Perkawinan.
52
Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh tempat berpijak yang semakin kokoh, maka desakan untuk membentuk Undang-undang
Perkawinan bukan hanya datang dari pergerakan perempuan saja, tetapi dari kalangan penegak hukum seperti hakim, advokat dan lain-lain juga dengan alasan
bahwa Undang-undang buatan Belanda yang sampai saat itu masih berlaku dianggap tidak sesuai dengan tatanan hukum Indonesia dan Pancasila.
53
Pada akhir tahun 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor B24299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh pemerintah dibentuklah Panitia
51
Ibid.
52
Ibid.
53
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini bertugas meninjau kembali semua peraturan perkawinan dan menyusun
suatu RUU Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Anggotanya terdiri dari
orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Mr.Tengku Hasan.
54
Pada akhir tahun 1952 panitia tersebut selesai membuat suatu Rancangan Undang-Undang RUU Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang
berlaku untuk semua golongan dan agama, dan peraturan-peraturan khusus yang mengatur hal-hal yang hanya mengenai golongan agama masing-masing.
Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 Panitia menyampaikan RUU Perkawinan Umum serta daftar pertanyaan umum yang mengenai Undang-
Undang tersebut kepada organisasi-organisasi dengan permintaan supaya masing- masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soal-soal tersebut.
55
RUU Perkawinan yang dimajukan itu selain berusaha ke arah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan
menetapkan antara lain :
56
1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak,
untuk mencegah kawin paksaan dan ditetapkan batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.
2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
54
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, 2006, Jakarta, hlm.234
55
Ibid.
56
Ibid, hlm.234-235
Universitas Sumatera Utara
3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agamaperdata yang
berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian sehingga dapat memenuhi syarat keadilan.
4. Harta pembawaan dan harta yang diperoleh masing-masing, sendiri
tanpa menjadi milik masing-masing dan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
5. Perceraian diatur dengan keputusan pengadilan negeri, berdasarkan
alasan-alasan tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan yang khusus islam.
6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan
mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.
Dalam rancangan-rancangan yang diajukan oleh komisi ini, terdapat pendapat-pendapat yang menyatakan perlunya suatu Undang-undang umum yang
mengatur perkawinan-perkawinan seluruh warga negara Indonesia dan sekaligus mengatur secara khusus perkawinan berbagai kelompok agama. Walaupun RUU
Perkawinan ini telah berhasil diselesaikan, namun dalam permasalahannya di Parlemen mengalami penundaan. Atas suatu inisiatif yang diprakarsai oleh
sekelompok anggota Parlemen di bawah pimpinan Ny.Soemarnie, maka akhirnya RUU Perkawinan mulai dibahas dalam Parlemen. Pada saat itu telah ada tiga buah
RUU Perkawinan yaitu dua buah RUU berasal dari komisi yang diketuai oleh Mr.Tengku Hasan dan satu buah RUU Ny.Soemarnie dan kawan-kawan. Pada
prinsipnya masih ada persamaan antara RUU Perkawinan yang diusulkan oleh Komisi Hasan dan RUU Perkawinan dari DPR, namun ada dua perbedaan penting
antara pengusulan-pengusulan tersebut :
57
1. RUU Perkawinan yang berasal dari Komisi Hasan menyatakan bahwa di
samping sebuah RUU Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga negara,
57
Wila Chandrawila Supriadi, Op.Cit., hlm.196
Universitas Sumatera Utara
juga peraturan-peraturan yang berlaku bagi kelompok-kelompok yang di dalamnya poligami diperkenankan.
2. Sedangkan dari kelompok Ny.Soemarnie meliputi hanya pemberlakuan suatu
Undang-undang Umum yanng di dalamnya semata-mata hanya mengakui adanya monogami kendatipun demikian RUU Perkawinan yang disebut
terakhir juga memberi ruang dan peluang bagi suatu peraturan perundang- undangan perkawinan untuk kelompok-kelompok keagamaan yang berbeda-
beda, namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang berlaku bagi setiap warga negara.
Satu tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959, RUU Ny.Soemarnie tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, karena kendati
pun memperoleh perhatian besar oleh sejumlah besar anggota DPR, rancangan tersebut nampaknya tidak berpeluang untuk dibicarakan. Para anggota dari partai
Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang dikandung rancangan ini. Nampaknya perlu dikemukakan di sini apa yang
menjadi alasan salah seorang dari kelompok Islam.
58
Mengenai dua buah RUU, yang disusun oleh Komisi Hasan, sementara belum ada keputusan yang diambil oleh Parlemen. Kemudian dalam tahun 1963
sebuah Seminar tentang Hukum Nasional diselenggarakan dan disponsori berturut-turut oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional LPHN, yakni sebuah
badan penguasa untuk meningkatkan perundang-undangan nasional, dan Persatuan Hakim Indonesia Persahi yang cukup berpengaruh pula. Di dalam
58
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
seminar ini diterima sebuah resolusi mengenai keharusan adanya pembentukan suatu Undang-undang Perkawinan yang seragam.
59
Setelah setahun lamanya LPHN tersebut telah menyiapkan sebuah peraturan perkawinan bagi kaum muslimin, dan pada tahun 1968 telah
dirampungkan sebuah rancangan tentang asas-asas dari perkawinan. Sampai dengan berakhirnya tahun parlementer 1971, dua buah rancangan tersebut termuat
dalam agenda DPR, akan tetapi kembali anggota-anggota Parlemen ini tidak berhasil mengambil keputusan.
60
Hampir selama dua dasawarsa telah diikhtiarkan menghasilkan pembentukan sebuah perundang-undangan perkawinan nasional, yang oleh DPR
selama beberapa tahun telah diterima pengusulan dari tiga pihak yang berlainan Komisi Hasan, Kelompok Ny.Soemarnie dan LPHN, telah ditimbang
sebagaimana mestinya, namun dipandang belum memadai adanya. Ketidakberhasilan selama dua puluh tahun itu untuk membentuk sebuah Undang-
undang Perkawinan Indonesia sendiri, terutama diakibatkan oleh pihak Islam di dalam DPR yang tetap mempertahankan dengan gigih asas poligami tersebut.
61
Pada tahun 1972 telah dimulai kembali dengan upaya percobaan keempat pembentukan RUU Perkawinan yang diharapkan memperoleh persetujuan dari
DPR. Dalam hal ini pekerjaan tersebut dilakukan oleh pejabat-pejabat Departemen Kehakiman. Pada pertengahan tahun 1973 RUU yang baru tersebut
telah selesai dan pada tanggal 31 Juli 1973, Presiden Republik Indonesia menyampaikan kepada DPR, bersamaan dengan hal tersebut, RUU tahun 1967
59
Ibid, hlm.197
60
Ibid.
61
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dan 1968 ditarik kembali. Rancangan yang diajukan pada tanggal 31 Juli 1973 tersebut menyebabkan sedikit keributan dalam masyarakat. Kelompok-kelompok
dan individu-individu menyatakan kepuasan maupun keberatan terhadap RUU tersebut, sehingga pelu diadakan pembicaraan yaitu pembicaraan pada tingkat I
yang dilakukan pada tanggal 30 Agustus 1973 di mana pemerintah diwakili oleh dua menteri yaitu Menteri Kehakiman dan Menteri Agama. Kemudian pada
pembicaraan tingkat II tanggal 17 dan 18 September 1973, dimana para anggota DPR memberikan pandangan umumnya atas RUU Perkawinan yang diajukan
pemerintah tersebut. Berbicara pada kesempatan itu sebanyak 9 orang anggota masing-masing seorang dari anggota Fraksi Angkatan Bersenjata, dua orang dari
Fraksi Karya Pembangunan, seorang dari Fraksi Partai Demokrasi Pembangunan dan lima orang dari Fraksi Persatuan Pembangunan. Pemerintah menanggapi
pandangan umum para anggota DPR ini dan tanggapannya disampaikan oleh Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973.
62
Dalam rapatnya pada tanggal 30 November 1973, Badan Musyawarah DPR memutuskan pembicaraan tingkat III akan dilakukan oleh gabungan Komisi
III dan Komisi IX. Dari gabungan Komisi III dan Komisi IX akan dibentuk suatu Panitia Kerja yang bertugas sebagai suatu komisi dengan jumlah anggota
sebanyak 10 orang. Panitia kerja ini dibentuk oleh Rapat Gabungan Komisi III dan Komisi IX pada tanggal 6 Desember 1973 dengan anggota sebanyak 10 orang
yakni dua orang dari Fraksi Angkatan Bersenjata, dua orang dari Fraksi Karya Pembangunan, dua orang dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia dan empat orang
62
Ibid, hlm.198
Universitas Sumatera Utara
dari Fraksi Persatuan Pembangunan, komisi gabungan ini diketuai oleh Djamal Ali, SH.
63
Sebelum tanggal 8 Oktober 1973 Komisi III dan dan Komisi IX telah mengadakan Rapat Gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan
RUU Perkawinan tersebut. Kemudian pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan Komisi III dan Komisi IX mengadakan inventarisasi persoalan yang muncul dari
RUU Perkawinan di bawah koordinator Wakil Ketua DPR Domo Pranoto.
64
Dari tanggal 6 sampai dengan 20 Desember 1973 diadakan pembicaraan tingkat III, di mana panitia kerja yang dibentuk pada tanggal 6 Desember 1973
lalu mempunyai status seperti komisi guna mengadkan pembicaraan bersama dengan pemerintah. Panitia kerja dalam melaksanakan tugasnya melakukan rapat-
rapat intern panitia untuk menjanjikan pendirian masing-masing fraksi sejauh mungkin untuk membulatkan pendapat dalam kalangan panitia dan jika hal
tersebut tercapai maka masalah tersebut akan dibawa ke rapat kerja dengan pemerintah yang sifatnya terbuka. Rapat kerja ini dilakukan apabila hal-hal yang
akan dibahas adalah hal-hal yang bersifat umum. Selanjutnya apabila hal ini telah selesai maka kemudian dilakukan rapat kerja bersama yang bersifat tertutup,
mengenai perumusan-perumusan yang sifatnya konkret dalam bentuk pasal demi pasal. Cara-cara tersebut tercapai dengan baik karena adanya suasana kerja yang
baik, toleransi yang benar, dan kesediaan saling memberi dan menerima dalam musyawarah. Hal ini didukung pula oleh fraksi-fraksi yang menyadari akan
pentingnya masalah yang dibahas dan tanggung jawab sebagai salah satu badan
63
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.241
64
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kelengkapan. Anggota panitia kerja, baik perorangan maupun atas nama fraksinya mendapat kesempatan yang benar untuk mengemukakan pendapatnya masing-
masing dan semua pembicara disemangati oleh cita-cita yang sama, yakni mewujudkan Undang-undang Perkawinan yang sejauh mungkin dapat memenuhi
aspirasi hukum yang hidup di dalam masyarakat sekaligus memberi pengarahan bagi perkembangan hukum di masa depan.
65
Dengan kesadaran dan tujuan yang sama itulah kemudian dimusyawarahkan degan sungguh-sungguh isi RUU Perkawinan agar dapat
menampung segala aspirasi dari masyarakat dan memberikan formulasinya secara teknis yuridis. Dalam membentuk isi dari RUU Perkawinan tersebut diusahakan
dapat mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda, namun hal tersebut tidak dapat dilakukan, maka kemungkinan dengan melakukan suatu pengecualian
dilakukan sebagai suatu pola untuk mangatasi kesulitan tersebut, apabila hal tersebut juga tidak dapat dilakukan maka materi yang menjadi permasalahan tadi
akan dicabut dari RUU Perkawinan. RUU Perkawinan yang telah disetujui oleh DPR tersebut telah mengalami perubahan, penambahan, dan penghapusan
beberapa pasal dari naskah asli yang disampaikan oleh pemerinntah. Pasal-pasal yang mengalami perubahan meliputi Pasal 1 dan Pasal 2, dan Pasal-pasal yang
mengalami penghapusan adalah Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2, Pasal 13,14,43, dan 62. Mengenai asas poligami telah dipertahankan dalam arti masih dimungkinkan
dalam hal-hal tertentu dan dimintakan putusan pengadilan. Demikian juga
65
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
masalah perceraian hanya dimungkinkan apabila alasan-alasannya cukup dan harus melalui prosedur pengadilan.
66
Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973, pada pembicaraan tingkat IV, DPR mengambil keputusan dengan didahului pendapat akhir dari fraksi-fraksi di
DPR, yang menyetujui disahkannya RUU Perkawinan dengan perubahan perumusan dan dihapuskan beberapa pasal yang merupakan hasil panitia kerja
RUU tentang Perkawinan untuk menjadi Undang-undang tentang Perkawinan. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang Perkawinan yang telah
disetujui oleh DPR tersebut disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang baru berlaku secara efektif sejak
tanggal 1 Oktober 1975 karena masih diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974
agar dapat berjalan dengan aman, tertib dan lancar.
67
Dengan berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka telah terjadi perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum barat. Karena Undang-undang
dalam Burgerlijk Wetboek tidak berlaku lagi. Pernyataan ini membawa pengaruh di mana sebagian ketentuan dalam Pasal-pasal dari Buku I Burgerlijk Wetboek
yang mengatur tentang perkawinan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Undang-undang No 1 Tahun 1974 memuat kaedah-kaedah hukum yang berkaitan
dengan perkawinan dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dalam berbagai peraturan pelaksananya. Hal ini berarti Undang-
undang Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi pengaturan hukum
66
Ibid, hlm.242
67
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
perkawinan, perceraian dan rujuk yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia.
68
Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada mulanya dimaksudkan untuk mengkodifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional, disamping
mengkodifikasikan hukum perkawinan. Akan tetapi setelah disahkan, bukan hukum perkawinan yang bersifat nasional yang tercapai, melainkan kompilasi
hukum perkawinan nasional yang bersifat nasional yang belum tuntas dan menyeluruh, sebab Undang-undang Perkawinan masih merujuk dan
memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan yang lama yang ada sebelumnya, termasuk ketentuan hukum adat dan hukum agama atau kepercayaan
masing-masing yang mengatur mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkawinan. Rumusan ketentuan dalam pasal-pasal Undang-
undang Perkawinan mencerminkan teknik kompilasi hukum sebagai modifikasi pelaksanaan unifikasi hukum pekawinan yang bersifat nasional.
69
Dengan demikian, Undang-undang Perkawinan bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan Kebhinekaan
yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan perkawinan yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia. Dengan
sendirinya Undang-undang Pekawinan mengadakan perbedaan kebutuhan hukum perkawinan, yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk warga negara
Indonesia tertentu yang didasarkan pada hukum masing-masing agamanya itu. Bagi umat beragama selain tunduk pada Undang-undang No 1 Tahun 1974, juga
68
Ibid, hlm.245
69
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
belum diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Apa yang diatur dalam Undang- undang Perkawinan terbatas pada mengatur soal-soal perkawinan yang belum
diatur oleh hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya tersebut.
70
Untuk melaksanakan Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan
peraturan-peraturan pelaksana, antara lain yang menyangkut tentang masalah- masalah :
71
1. Pencatatan perkawinan
2. Tata cara pelaksanaan perkawinan
3. Tata cara perceraian
4. Cara mengajukan gugatan perceraian
5. Tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan
6. Pembatalan perkawinan
7. Ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 1 April 1975 oleh pemerintah ditetapkan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang No 1 Tahun 1974. Dalam Peraturan Pemerintah ini, memuat ketentuan tentang masalah-masalah yang dikemukakan diatas, yang diharapkan akan dapat
memperlancar pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974.
72
70
Ibid, hlm.245-246
71
Ibid, hlm.251
72
Ibid, hlm.252
Universitas Sumatera Utara
Apabila dikaji secara seksama, maka kandungan materi Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 mengatur pokok persoalan sebagai berikut :
73
1. Meletakkan beberapa pengertian yang digunakan dalam Peraturan Pemerintah
No 9 Tahun 1975 Pasal 1 2.
Mengatur pejabat pegawai pencatatan perkawinan Pasal 2, pemberitahuan kehendak pelaksanaan perkawinan Pasal 3 sampai dengan Pasal 5, penelitian
syarat-syarat perkawinan oleh pegawai pencatatan perkawinan Pasal 6 dan Pasal 7, dan pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan Pasal 8 dan
Pasal 9 3.
Hal-hal yang berkaitan dengan tata cara perkawinan dan pencatatan perkawinan, termasuk kewajiban penandatanganan akta perkawinan Pasal 10
dan Pasal 11 4.
Mengatur hal-hal yang harus dimuat dalam akta pekawinan Pasal 12 dan Pasal 13
5. Mengatur mengenai tata cara pemeriksaan cerai talak atau perceraian Pasal
14 sampai dengan Pasal 18, alasan-alasan perceraian Pasal 19, tata cara pemeriksaan cerai gugat Pasal 20 sampai dengan Pasal 36
6. Mengatur mengenai pembatalan perkawinan oleh pengadilan Pasal 37,38
7. Mengatur mengenai waktu tunggu bagi seorang janda Pasal 39
8. Mengatur mengenai kewajiban mengajukan permohonan beristeri lebih dari
seorang kepada pengadilan dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemeriksaan permohonan beristeri lebih dari seorang oleh pengadilan dan larangan pegawai
73
Ibid, hlm.253
Universitas Sumatera Utara
pencatat perkawinan untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin dari pengadilan Pasal
40 sampai dengan Pasal 44 9.
Mengatur ancaman sanksi pidana bagi pihak mempelai atau pejabat pencatat perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal-pasal Peraturan Pemerintah No 9
Tahun 1975 Pasal 45 10.
Mendelegasikan kewenangan untuk mengatur secara khusus ketentuan perkawinan dan perceraian bagi anggota Angkatan Bersenjata oleh Menteri
HankamPangab Pasal 46 11.
Pernyataan tidak berlakunya ketentuan-ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Pasal 47 12.
Mendelegasikan kewenangan untuk mengatur petunjuk-petunjuk pelaksanaan bagi kelancaran pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 kepada
Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, baik bersama- sama maupun secara sendiri-sendiri dalam bidang masing-masing Pasal 48
13. Pernyataan mulai berlakunya dan perintah pengundangan Peraturan
Pemerintah No 9 Tahun 1975. Selama ini dalam menyelesaikan perkara-perkara muamalah, hakim
Pengadilan Agama selalu berpedoman pada kitab fiqih yang penggunaannya tergantung pada kemampuan hakim-hakim Pengadilan Agama yang bersangkutan
dalam memahami secara utuh dan menyeluruh terhadap kitab-kitab fiqih tersebut. Sehingga dampaknya tidak tertutup kemungkinan timbul putusan yang berbeda-
Universitas Sumatera Utara
beda terhadap perkara-perkara yang sama. Untuk itu, sudah seyogianya bangsa Indonesia memiliki hukum materil berupa hukum Islam yang berbentuk kodifikasi
yang dapat dijadikan landasan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama
Nomor 7KMA1985 dan Nomor 25 Tahun 1985, maka dibentuk suatu Tim Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi. Dalam rangka
melaksanakan tugas pokoknya, tim tersebut mengadakan penelaahan dan pengkajian kitab-kitab fiqih dari berbagai sumber dan wawancara terhadap para
ulama, yang kemudian hasilnya diseminarkan melalui loka karya yang diadakan di Jakarta dari tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988. Dengan Intruksi
Presiden No 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, maka disebarluaskan Kompilasi Hukum Islam tersebut untuk dapat digunakan oleh instansi pemerintah dan
masyarakat sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan di samping peraturan
perundang-undangan lainnya.
74
B. Asas-Asas Hukum Perkawinan 1. Asas-asas Hukum Perkawinan Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun