Pola Komunikasi, Kecerdasan Emosional, Dan Prestasi Belajar Siswa Sma Di Kota Bogor

(1)

DAN PRESTASI BELAJAR SISWA SMA

DI KOTA BOGOR

FIRDANIANTY

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pola Komunikasi, Kecerdasan Emosional, dan Prestasi Belajar Siswa SMA di Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2016

Firdanianty NIM. I362110091


(4)

(5)

FIRDANIANTY. Pola Komunikasi, Kecerdasan Emosional, dan Prestasi Belajar

Siswa SMA di Kota Bogor. Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS, HERIEN PUSPITAWATI dan DJOKO SUSANTO.

Masa remaja merupakan periode transisi yang ditandai dengan perubahan individu dalam segala aspek baik fisik, sosial, psikologi, dan mental. Selama periode ini, kebutuhan remaja untuk mengekspresikan diri dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya berkembang pesat. Di masa ini, komunikasi keluarga berperan penting dalam proses perkembangan remaja. Komunikasi keluarga yang efektif dapat membangun hubungan yang positif antar-anggota keluarga, menyampaikan pengetahuan, mengubah perilaku, dan memecahkan masalah. Keluarga diharapkan dapat memberikan suasana yang kondusif bagi perkembangan intelektual dan emosional remaja. Demikian pula sekolah, sebagai rumah kedua bagi remaja, dituntut dapat memberikan suasana belajar yang nyaman.

Namun demikian, komunikasi remaja dengan orang tua dan guru-guru di sekolah tidak selalu berjalan harmonis. Remaja sering mengalami hambatan komunikasi karena orang tua dan guru tidak memahami kebutuhannya. Akhirnya, remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebayanya. Beberapa kasus menunjukkan bahwa teman sebaya lebih banyak memberikan pengaruh yang negatif kepada perkembangan remaja. Hal ini menunjukkan pentingnya penelitian yang mengangkat masalah komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya, serta pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis perbedaan pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan ayah dan ibu, serta hubungan karakteristik remaja dan karakteristik keluarga dengan pola komunikasi remaja-ayah dan remaja-ibu, (2) Menganalisis pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar, (3) Menganalisis tipologi pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan keluarga dan teman sebaya, dan (4) Menganalisis tantangan komunikasi keluarga di era digital.

Penelitian menggunakan metode campuran, yaitu menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Lokasi penelitian di 6 SMA yang tergolong SMA favorit di Kota Bogor, yaitu 4 SMA negeri dan 2 SMA swasta. Waktu penelitian berlangsung selama enam bulan, mulai Februari hingga Juli 2014. Total responden sebanyak 372 siswa dengan usia berkisar 15 sampai 18 tahun. Data kuantitatif dikumpulkan dengan menyebar kuesioner sebagai alat pengumpulan data. Data kualititatif diperoleh dari hasil diskusi kelompok terpimpin (focus group discussion/FGD) bersama 60 siswa dari enam SMA yang sama. Analisis statistik yang digunakan adalah: (1) analisis deskriptif, (2) korelasi Pearson, (3)

independent sample t-test, (4) Structural Equation Modeling (SEM), dan (5)

analisis isi untuk pendekatan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata pada pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan ayah dan ibu.


(6)

kategori sedang, remaja laki-laki setengahnya termasuk kategori rendah. Pola komunikasi remaja dengan ibu menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen remaja perempuan dan laki-laki termasuk kategori sedang. Pola komunikasi remaja dengan ayah memperlihatkan hubungan nyata positif antara uang saku remaja dengan topik pembicaraan remaja–ayah dan media komunikasi yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi uang saku remaja, semakin besar kemungkinannya digunakan untuk media komunikasi dengan ayah.

Temuan lain memperlihatkan hubungan nyata negatif antara usia ayah dengan topik pembicaraan dan hubungan nyata positif antara pendapatan keluarga dengan media komunikasi yang digunakan. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi usia ayah, semakin sedikit topik yang dibicarakan remaja dengan ayah. Semakin besar pendapatan keluarga, semakin besar pula uang saku remaja yang berdampak langsung terhadap penggunaan gawai (gadget). Penelitian juga

menemukan hubungan nyata negatif antara urutan lahir remaja dan umur ibu dengan topik pembicaraan dan media komunikasi yang digunakan. Temuan ini dapat dimaknai bahwa ibu lebih memberikan perhatian kepada anak-anak yang lebih kecil. Semakin tinggi usia ibu, semakin sedikit pula topik yang dibicarakan remaja dengan ibu.

Hasil analisis SEM memperlihatkan pengaruh nyata antara pola komunikasi remaja dengan keluarga terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Pola komunikasi remaja dengan sekolah juga berpengaruh nyata terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Pola komunikasi remaja dengan teman sebaya berpengaruh nyata terhadap kecerdasan emosional, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap prestasi belajar. Kecerdasan emosional juga berpengaruh nyata terhadap prestasi belajar.

Tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya terbanyak pada Tipe 3, yaitu remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya rendah dan pola komunikasi dengan teman sebayanya juga menengah-rendah. Berdasarkan gender, remaja perempuan lebih banyak masuk Tipe 4, yaitu remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya menengah-rendah namun pola komunikasi dengan teman sebayanya tinggi.

Penelitian juga menemukan bahwa pola komunikasi remaja dengan keluarga berkontribusi lebih besar terhadap prestasi belajar daripada kecerdasan emosional. Hal ini dapat disimpulkan bahwa orang tua lebih mengedepankan aspek akademik remaja dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan emosinya. Ke depan, tantangan komunikasi keluarga semakin besar. Temuan memperlihatkan bahwa remaja sudah dapat mengelola emosinya dengan benar dan mampu membina hubungan baik dengan orang lain, namun kemampuan empati dan kesadaran emosinya masih perlu dikembangkan. Oleh karena itu, orang tua perlu memerhatikan aspek kecerdasan intelektual dan emosional remaja secara seimbang, terutama yang berkaitan dengan kemampuan empati dan kesadaran emosi diri.

Kata-kata kunci: kecerdasan emosional, keluarga, pola komunikasi, prestasi belajar, remaja


(7)

FIRDANIANTY. Communication Patterns, Emotional Intelligence, and Learning

Achievements of Senior High Schools Students in Kota Bogor. Supervised by DJUARA P. LUBIS, HERIEN PUSPITAWATI and DJOKO SUSANTO.

Adolescence is a transitional period characterized by individual changes in all aspects of physical, social, and mental. During the period, the adolescents’ needs in expressing themselves and socializing with their peers grow rapidly. At this time, family communication has significant role in the process of adolescent development. Effective family communication can build positive relationship among family members, as in sharing knowledge, altering behavior, and solving problems. Family is expected to give a conducive atmosphere towards intellectual

development and adolescents’ emotions. As well as schools, as the second home for them, is expected to give a comfortable learning atmosphere.

However, adolescents’ communication with their parents and teachers at

school is not always harmonious. They often have communication barriers because parents and teachers do not understand their needs. Consequently, adolescents will spend more time with their peers. Several cases show that

adolescents’ peers give more negative influence towards the development of

adolescents. This shows the importance of the research in bringing up the issue of

adolescents’ communication with family, school, and peers, as well as its influence towards emotional intelligence and learning achievements.

This research is aimed for: (1) Analyzing the difference of communication pattern of male and female adolescents with their mother and father, as well as the relationship between the characteristics of adolescents and family and the communication pattern of teenager-father and teenager-mother, (2) Analyzing the

influence of adolescents’ communication pattern with the family, school, and

peers towards emotional intelligence and leaning achievement, (3) Analyzing the typology of communication pattern of male and female adolescents with their family and peers, and (4) Analyzing family communication challenges in digital era.

The research used mixed method, which is combining qualitative and quantitative approach. The location of the research is at 6 high schools categorized as favorite schools in Kota Bogor, namely are 4 public high schools and 2 private schools. The time of the research lasted for 6 months, starting from February to July 2014. Respondents total of 372 students in the age of 15 to 18 years old. The quantitative data is collected by spreading questionnaires as the tool of data collecting. The qualitative data is gained from the results of focus group discussion (FGD) along with the students from the same high schools. The statistic analysis used are: (1) descriptive analysis, (2) Pearson Correlation, (3) independent sample t-test, (4) Structural Equation Modeling (SEM), and (5) content analysis for qualitative approach.

The results of the research show that there is a significant difference between the communication pattern of male and female adolescents and their mother and father. The females have more open communication, longer, and more


(8)

The communication pattern of adolescents with the mother shows that more than 50 percent of male and female adolescents are categorized as medium. The communication pattern of adolescents with the father shows positive and significant relationship between the adolescents’ pocket money and topic discussion of adolescent-father and the used communication media. This shows that the higher pocket money adolescents receive the higher possibility to be used as a communication media with the father.

Another finding shows significant and negative relationship between the age of the father and the topic discussions and positive-significant relationship between family incomes and the used communication media. This means that the older the father, the less topics discussed by the father and adolescents. The more family incomes earned, the more pocket money gives direct impact towards the use of gadgets. The research also found significant -negative relationship between

the order of adolescents’ births and the age of the mother and the topic discussions and the used communication media. This finding means that the mother gives more attention to the smaller children. The older the mother, the less topics are discussed.

The analysis results of SEM show that significant relationship between

adolescents’ communication pattern and the family towards emotional intelligence and learning achievements. Adolescents’ communication pattern with the school

also has significant influence towards emotional intelligence and learning

achievements. Adolescents’ communication pattern with their peers also has

significant influence towards emotional intelligence, but not with their learning achievements. Emotional intelligence also gives significant influence towards learning achievements.

The typology of adolescents’ communication pattern with the family and

peers goes to the 3rd Type as the most, namely adolescents with middle-low communication pattern with their family and as well as with their peers. Based on gender, most female adolescents go the to the 4th Type, namely adolescents with middle-low family communication pattern, conversely, the communication pattern with the peers is high.

This research also found that the adolescents’ communication pattern with

the family had greater contributions towards learning achievements more than the emotional intelligence. This can be concluded that parents give more attention to

the adolescents’ academic than the development of the emotions. Ahead, family

communication challenges are greater. The findings show that adolescents are able to manage their emotion accordingly and to build good relationship with others. Therefore, parents need to be more concerned to the aspects of intelligence of intellectual and emotions of their adolescents in well-balance, particularly related with the empathetic ability and self-consciousness of emotions.

Keywords: adolescents, emotional intelligence, communication pattern, family, learning achievements


(9)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, pemyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

FIRDANIANTY

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Sarwititi S Agung, MS

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB

2. Dr Ir Diah Krisnatuti, M.Si

Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia IPB

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr Sukiman, M.Pd

Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Kementerian Pendidikan Nasional

2. Dr Ir Sarwititi S Agung, MS

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB


(13)

(14)

dan karunia yang telah diberikan-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Juli 2014 ini adalah pola komunikasi remaja, kecerdasan emosional, dan prestasi belajar.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr Ir Djuara P Lubis, MS, Dr Ir Herien Puspitawati, M.Sc, M.Sc, dan Prof Dr Djoko Susanto, SKM selaku komisi pembimbing yang telah memberikan banyak masukan dan senantiasa memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan karya ilmiah ini. Terima kasih kepada Dekan Pascasarjana, Dekan FEMA, Dr Ir Amiruddin Saleh, MS selaku Wakil Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan (KMP), Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Dr Ir Diah Krisnatuti, MS selaku penguji pada ujian tertutup, Dr Sukiman, M.Pd sebagai penguji dari luar IPB, serta seluruh dosen KMP yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu seluas-luasnya di perguruan tinggi ini.

Terima kasih kepada guru-guru di SMA yang menjadi tempat penelitian serta para siswa yang telah membantu dan memberi inspirasi kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Rina Hartini, S.Stat, MM atas bantuannya dalam mengolahkan data Structural Equation Modeling (SEM). Terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan di program studi Komunikasi Pembangunan, yaitu Bapak Adhi Iman, Bapak Budhi Waskito, Ibu Dame Trully Gultom, Bapak Dwi Agus, Ibu Natalina Nilamsari, Ibu Nurhayati, Ibu Rahmawati, dan Ibu Sri Wahyuni. Terima kasih kepada rekan-rekan di program studi Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak yang setia menemani dan menjadi teman diskusi, yaitu Ibu Diana Berlianti, Ibu Lisnani, Vivi Irzalinda, Atika Rahma, Eka Wulida, Leni Novita, Mbak Rety, Rahmaita, Lastri, Ibu Retno, Ibu Tita Hasanah, dan Ibu Dian Anggari. Terima kasih kepada sekretariat KMP dan Ilmu Keluarga (Mbak Hetti, Mbak Lia, dan Ibu Suryati) yang selalu membantu melancarkan urusan administrasi mahasiswa. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian dengan pahala berlipat ganda. Berkat dukungan dan dorongan semangat dari para sahabat maka penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Ungkapan terima kasih secara khusus penulis haturkan kepada Ayahanda H Pramono Sudibyo dan Ibunda Hj Endang Warastri, serta Bapak Mertua Drs H Majangkara dan Ibu Mertua Hj Soepeni, SH, yang senantiasa mendoakan penulis, serta adik-adik tercinta (Niken, Irma, Iva, Dimas, Isna, dan Candra). Ucapan terima kasih dan syukur yang mendalam penulis berikan untuk suami tercinta, Ir Amin Handaya, MM dan putri tercinta, Nadhira Karima, atas segala doa, dorongan semangat, dan dukungan yang diberikan kepada penulis dengan tulus.

Semoga karya ilmiah ini memberi manfaat sebesar-besarnya bagi siapa pun yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2016


(15)

DAFTAR TABEL xx

DAFTAR GAMBAR xxii

DAFTAR LAMPIRAN xxiii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 7

Manfaat Penelitian 7

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 8

Kebaruan (Novelty) 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 11

Komunikasi 11

Teori Pola Komunikasi Keluarga 14

Remaja dan Perkembangannya 18

Pengertian Remaja 18

Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Remaja 19

Teori-teori Perkembangan Remaja 20

Teori Ekologi 20

Teori Psokoanalisis 22

Teori Kognitif 23

Keluarga 25

Pengertian Keluarga 25

Teori Struktural-Fungsional 27

Sekolah 31

Teman Sebaya 33

Kecerdasan Emosional 34

Prestasi Belajar 36

Penelitian-penelitian Terdahulu 37

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS 43

Kerangka Berpikir 43

Hipotesis Penelitian 46

3 METODE 47

Desain Penelitian 47

Waktu dan Lokasi Penelitian 48

Populasi dan Sampel Penelitian 48

Populasi Penelitian 48

Prosedur Penarikan Sampel 49

Data dan Instrumentasi 50

Data 50


(16)

Peubah, Definisi Operasional dan Pengukurannya 51

Peubah Penelitian 51

Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah 51

Pengumpulan Data 62

Validitas dan Reliabilitas Instrumen 62

Validitas Instrumen 62

Reliabilitas Instrumen 63

Pengolahan dan Analisis Data 65

Pendekatan Kualitatif 65

Pendalaman Melalui Focus Group Discussion (FGD) 65

Koding dan Analisis Isi 66

Tipologi 66

4 LOKASI PENELITIAN, KARAKTERISTIK REMAJA,

KELUARGA, GURU, DAN TEMAN SEBAYA 67

Lokasi Penelitian 67

Karakteristik Remaja, Keluarga, Guru, dan Teman Sebaya 67

Karakteristik Remaja 67

Karakteristik Keluarga 69

Karakteristik Guru 73

Karakteristik Teman Sebaya 76

Kecerdasan Emosional 80

Prestasi Belajar 81

5 POLA KOMUNIKASI REMAJA DENGAN AYAH DAN IBU

PADA SISWA SMA DI KOTA BOGOR 83

Abstrak 83

Pendahuluan 84

Metode 87

Hasil 88

Pembahasan 94

Simpulan dan Saran 96

6 POLA KOMUNIKASI REMAJA DAN PENGARUHNYA TERHADAP

KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SMA DI KOTA BOGOR 99

Abstrak 99

Pendahuluan 100

Metode 102

Hasil 103

Pembahasan 108

Simpulan dan Saran 110

7 PENGARUH POLA KOMUNIKASI REMAJA TERHADAP

KECERDASAN EMOSIONAL DAN PRESTASI BELAJAR PADA

SISWA SMA DI KOTA BOGOR 111

Abstrak 111

Pendahuluan 112


(17)

Hasil 115

Pembahasan 120

Simpulan dan Saran 122

8 TIPOLOGI POLA KOMUNIKASI REMAJA DENGAN KELUARGA DAN TEMAN SEBAYA: PENDEKATAN KUANTITATIF DAN

KUALITATIF 125

Abstrak 125

Pendahuluan 126

Metode 129

Hasil 132

Pembahasan 139

Simpulan dan Saran 142

9 TANTANGAN KOMUNIKASI KELUARGA DI ERA DIGITAL 143

Abstrak 143

Pendahuluan 144

Metode 146

Hasil dan Pembahasan 147

Simpulan dan Saran 158

10 PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASINYA 159

Pembahasa Umum 159

Pendekatan Teori Perkembangan Remaja 160

Pendekatan Teori Keluarga 163

Pendekatan Teori Komunikasi 167

Implikasi Kebijakan 173

Pemerintah 173

Sekolah 174

Keluarga 175

11 SIMPULAN DAN SARAN 177

Simpulan 177

Saran 178

DAFTAR PUSTAKA 179

LAMPIRAN 193


(18)

DAFTAR TABEL

1 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori

pengukuran peubah karakteristik remaja (X1) 52

2 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori

pengukuran peubah karakteristik keluarga (X2) 54 3 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori

pengukuran peubah karakteristik guru (X3) 56

4 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori

pengukuran peubah karakteristik teman (X4) 57

5 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah pola komunikasi remaja dengan keluarga,

sekolah, dan teman sebaya (Y1, Y2, dan Y3) 59 6 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori

pengukuran peubah prestasi belajar (Y4) 60

7 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori

pengukuran peubah kecerdasan emosional remaja (Y5) 61

8 Hasil uji reliabilitas dan validitas 64

9 Jumlah siswa SMA di lokasi penelitian tahun ajaran 2013-2014 67

10 Sebaran siswa berdasarkan usia dan jenis kelamin 68

11 Sebaran siswa per sekolah berdasarkan jenis kelamin 68

12 Sebaran siswa berdasarkan urutan kelahiran 69

13 Sebaran siswa berdasarkan uang saku per bulan 69

14 Sebaran siswa berdasarkan usia ayah dan ibu 70

15 Sebaran siswa berdasarkan pendidikan ayah dan ibu 70

16 Sebaran siswa berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu 71

17 Sebaran siswa berdasarkan suku ayah dan ibu 72

18 Sebaran siswa berdasarkan jumlah anak dalam keluarga 72 19 Sebaran siswa berdasarkan pendapatan orang tua per bulan 73 20 Sebaran siswa berdasarkan umur dan jenis kelamin guru favorit 74 21 Sebaran siswa berdasarkan pendidikan guru favorit 74 22 Sebaran siswa berdasarkan mata pelajaran guru favorit 75

23 Karakter guru yang disukai siswa 76

24 Sebaran siswa berdasarkan umur dan jenis kelamin teman sebaya 77

25 Lokasi pertemanan siswa dengan teman sebayanya 77

26 Lokasi pertemuan siswa dengan teman sebayanya 78

27 Karakter teman sebaya yang disukai siswa 79

28 Sebaran kategori kecerdasan emosional remaja berdasarkan jenis

kelamin 80

29 Sebaran kategori per indikator kecerdasan emosional pada siswa

SMA di Kota Bogor 81

30 Sebaran prestasi non-akademik siswa berdasarkan jenis kelamin 82 31 Sebaran nilai rata-rata raport raport siswa berdasarkan jenis

kelamin 82

32 Nilai rata-rata indeks dimensi pola komunikasi remaja dengan


(19)

33 Nilai rata-rata indeks dimensi pola komunikasi remaja laki-laki-

ayah dan remaja perempuan-ayah, serta koefisien uji beda 90 34 Nilai rata-rata indeks dimensi pola komunikasi remaja laki-laki-

ibu dan remaja perempuan-ibu, serta koefisien uji beda 91 35 Jumlah dan persentase siswa menurut kategori pada pola

komunikasi remaja-ayah dan remaja-ibu berdasarkan jenis kelamin 92 36 Hasil uji korelasi Pearson antara karakteristik remaja dan keluarga

dengan pola komunikasi remaja-ayah 93

37 Hasil uji korelasi Pearson antara karakteristik remaja dan keluarga

dengan pola komunikasi remaja-ibu 94

38 Rata-rata nilai karakteristik remaja menurut jenis kelamin pada

siswa SMA di kota Bogor 104

39 Rata-rata nilai karakteristik remaja menurut jenis kelamin pada

siswa SMA di kota Bogor 115

40 Hasil dekomposisi efek pengaruh komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan

emosional dan prestasi belajar 117

41 Kategori pola komunikasi remaja dengan keluarga 132 42 Kategori pola komunikasi remaja dengan teman sebaya 132 43 Nilai rata-rata indeks dan uji beda pola komunikasi remaja-keluarga

(PKRK) dan pola komunikasi remaja-teman sebaya (PKRTS) pada

remaja perempuan (n = 206) 133

44 Nilai rata-rata indeks dan uji beda pola komunikasi remaja-keluarga (PKRK) dan pola komunikasi remaja-teman sebaya (PKRTS) pada

remaja laki-laki (n = 166) 133

45 Kriteria kesesuaian SEM pengaruh pola komunikasi remaja dengan

keluarga terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar 155 46 Hasil dekomposisi efek pola komunikasi remaja dengan keluarga

terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar 156 47 Tipologi pola komunikasi remaja, kecerdasan emosional, dan


(20)

DAFTAR GAMBAR

1 Lima istilah kunci dalam komunikasi (West dan Turner 2008) 11

2 Teori Ekologi Bronfenbrenner (1994) 21

3 Kerangka konseptual faktor-faktor yang memengaruhi kecerdasan

emosional dan prestasi belajar siswa SMA di Kota Bogor 44 4 Kerangka operasional pengaruh pola komunikasi remaja dengan

keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan

emosional dan prestasi belajar pada siswa SMA di Kota Bogor 45 5 Model struktural pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga,

sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional pada

siswa SMA di Kota Bogor 107

6 Model struktural pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan

prestasi belajar pada siswa SMA di Kota Bogor 118 7 Model second order confirmatory factor analysis (CFA) pada pola

komunikasi remaja 119

8 Tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya 134 9 Model struktural pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sebaran jawaban, total dan rata-rata skor, serta uji beda berdasarkan

jenis kelamin siswa pada peubah pola komunikasi remaja-ayah dan 195 pola komunikasi remaja-ibu

2 Sebaran jawaban, total dan rata-rata skor, serta uji beda berdasarkan

jenis kelamin siswa pada peubah pola komunikasi remaja-sekolah 203 3 Sebaran jawaban, total dan rata-rata skor, serta uji beda berdasarkan

jenis kelamin siswa pada peubah pola komunikasi remaja-teman sebaya 206 4 Sebaran jawaban, total dan rata-rata skor, serta uji beda berdasarkan

jenis kelamin siswa pada peubah kecerdasan emosional 210


(22)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan aset penting suatu bangsa di era globalisasi dan keterbukaan informasi saat ini. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa SDM yang bermutu lebih berharga daripada sumber daya alam yang melimpah. Berdasarkan data Sensus Penduduk yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik tahun 2010, jumlah remaja usia 10–24 tahun sekitar 64 juta atau 27.6 persen penduduk Indonesia yang sebanyak 237.6 juta jiwa (BKKBN 2013). Jika kompetensi remaja dioptimalkan dengan sebaik-baiknya, pada tahun 2028 Indonesia akan menikmati masa keemasan karena memiliki komposisi penduduk yang jumlahnya lebih besar di kelompok usia produktif.

Masa remaja merupakan periode transisi yang ditandai dengan perubahan individu dalam segala aspek baik fisik, sosial, psikologi, dan mental (Hurlock 1990; Santrock 2007). Pada periode ini, kebutuhan remaja untuk mengekspresikan diri dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya berkembang pesat. Remaja merasa dirinya sudah mandiri, memiliki rasa ingin tahu yang besar, selalu ingin mencoba banyak hal baru yang belum diketahuinya, serta tidak ingin ketinggalan dari teman-temannya. Masa remaja memberikan kesempatan untuk tumbuh, tidak hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga kompetensi kognitif dan sosial, otonomi, harga diri, dan keintiman. Periode ini disebut masa kritis, karena sebagian remaja mengalami gejolak emosional, konflik dalam keluarga, perilaku gegabah, dan menolak nilai-nilai orang dewasa (Santrock 2007).

Di bidang akademis, banyak remaja Indonesia yang telah mengukir prestasi hingga ke tingkat dunia, seperti memenangkan lomba Olimpiade Sains, Olimpiade Matematika, dan lain-lain. Namun demikian, secara menyeluruh kemampuan anak Indonesia usia 15 tahun di bidang matematika, sains, dan membaca dibandingkan anak-anak lain di dunia masih dikatakan rendah. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian pelajar internasional atau Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh organisasi untuk kerja sama dan

pengembangan ekonomi. Setiap tiga tahun sekali, anak-anak berusia 15 tahun diukur kecakapannya dalam mengimplementasikan masalah-masalah di kehidupan nyata. Murid yang terlibat sebanyak 510 ribu anak mewakili 28 juta anak usia 15 tahun di sekolah dari 65 negara partisipan. Hasil PISA 2012 mendudukkan Indonesia di peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes tersebut. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Peru yang berada di peringkat terbawah. Rata-rata skor matematika anak-anak Indonesia 375, membaca (396), dan sains (382). Adapun rata-rata skor peserta PISA untuk matematika, membaca, dan sains secara berurutan adalah 494, 496, dan 501 (Kompas 2013). Dengan demikian, rata-rata skor matematika, membaca, dan sains anak-anak Indonesia di bawah rata-rata skor peserta PISA.

Untuk membangun SDM yang berkualitas, lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku anak (Bronfenbrenner 1994; Semiawan 2002a). Fungsi utama keluarga seperti tertuang di dalam resolusi majelis umum PBB adalah wahana untuk mendidik, mengasuh, dan menyosialisasikan anak,


(23)

mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Megawangi 2007). Oleh karena itu, kebiasaan baik atau buruk yang diterapkan orang tua, termasuk kedekatan dan komunikasi yang berlangsung di dalam keluarga, berperan penting dalam pengembangan emosi anak ketika memasuki usia remaja.

Setiap keluarga membutuhkan komunikasi untuk merundingkan tujuan, menanamkan nilai-nilai, menjaga regulasi, dan keseimbangan dalam keluarga. Untuk menemukan tujuan tersebut, anggota keluarga menyediakan masukan-masukan, sedangkan orang tua memperkenalkan peraturan dan rutinitas (Wilson

et al. 1995). Socha (2009) mengemukakan bahwa terdapat dua pendekatan untuk memahami komunikasi keluarga. Pertama, komunikasi keluarga berperan dalam menambah input keluarga yang positif (misalnya, meningkatkan kasih sayang, kreativitas, harapan, dan kebahagiaan). Kedua, komunikasi keluarga menciptakan kondisi yang memfasilitasi pengembangan potensi keluarga, atau menggunakan komunikasi untuk menciptakan kondisi yang optimal bagi pertumbuhan dan pembangunan SDM. Di lain pihak, komunikasi keluarga juga dikembangkan untuk mendidik anggota keluarga menjadi insan-insan berkarakter. Menurut Megawangi (2007), karakter yang baik antara lain ditandai oleh sikap jujur, hormat dan santun, memiliki empati, toleransi, dan mendengarkan orang lain. Oleh karena itu, pendekatan dialogis yang dikaitkan dengan paradigma partisipatif adalah pilihan yang tepat untuk menciptakan lingkungan (keluarga) yang konstruktif (Mefalopulos 2008).

Di samping keluarga, sekolah juga memberi pengaruh yang besar bagi perkembangan anak-anak dan remaja. Pada saat seorang siswa lulus dari sekolah lanjutan atas, ia telah menghabiskan waktu lebih dari 10 000 jam di dalam ruang kelas. Pengaruh sekolah sekarang ini bahkan lebih kuat dibandingkan pada generasi sebelumnya, karena anak-anak dan remaja saat ini lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah (Santrock 2003). Lamanya waktu belajar di sekolah membuat peran guru menjadi sangat penting, dan dalam beberapa hal guru dapat menggantikan peran orang tua yang kini mulai bergeser. Temuan Huan

et al. (2012) mengungkapkan bahwa hubungan guru dan siswa memengaruhi

penyesuaian diri siswa di sekolah. Persepsi hubungan guru dengan siswa memberikan pengaruh yang nyata terhadap prestasi akademik siswa, keterlibatan di sekolah, penyelesaian tugas, dan penghormatan kepada guru.

Seiring dengan perkembangannya, remaja semakin intensif berinteraksi dengan teman sebayanya. Kelompok teman sebaya sangat berbeda posisinya dengan keluarga maupun sekolah (Puspitawati 2006). Teman sebaya di samping dapat memberi pengaruh yang positif kepada remaja, di sisi lain juga menimbulkan pengaruh negatif. Saat ini pengaruh teman bukan hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga berlangsung di dunia maya melalui media sosial. Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengakses media online dari tahun ke tahun

selalu meningkat. Hasil penelitian pada anak-anak Amerika berusia 11 sampai 12 tahun memperlihatkan bahwa penggunaan internet tahun 2009 sekitar 11 jam seminggu atau meningkat lebih dari 60 persen sejak 2004. Data tersebut belum termasuk waktu yang dihabiskan seseorang dengan telepon seluler. Rata-rata remaja Amerika mengirimkan atau menerima 2 272 teks setiap bulan. Lebih dari


(24)

dua triliun pesan instan di seluruh dunia melintas antartelepon seluler setiap tahun (Carr 2011).

DePorter (2011) mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang sering dihadapi remaja dan merangkumnya ke dalam tujuh masalah utama remaja, yaitu: hubungan yang bermasalah, perasaan yang terluka, citra diri negatif, rasa takut akan perubahan besar, nilai-nilai buruk di sekolah, kurang fokus, dan motivasi yang rendah. Ketujuh masalah tersebut terjadi karena remaja dan orang tua sering berbicara melalui dua sudut pandang yang berbeda. Para orang tua terpaku pada perspektif mereka. Demikian pula sebaliknya, remaja berbicara berdasarkan perspektif dirinya. Melalui komunikasi dan interaksi yang positif di dalam keluarga, orang tua dan remaja dapat mempererat hubungan antarpribadi sehingga remaja tidak mudah percaya apalagi terpengaruh oleh ajakan negatif dari teman-temannya.

Lickona (2012) menegaskan bahwa ketika anak-anak dan remaja tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua dan tidak mengenal nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga, remaja akan menjadi lebih lemah dalam menghadapi tekanan dari teman-temannya. Komunikasi yang harmonis antara orang tua dan remaja dapat membangun hubungan interpersonal yang baik, sehingga terjadi pertukaran sosial yang baik pula. Komunikasi remaja dengan keluarga dapat berlangsung timbal balik dan silih berganti dari orang tua ke anak atau dari anak ke orang tua. Demikian pula komunikasi antara remaja dengan guru di sekolah, dan remaja dengan teman sebayanya, akan membentuk pola atau struktur yang tetap. Pola komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat, sehingga pesan yang dimaksud dipahami oleh kedua pihak (Djamarah 2004).

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa komunikasi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi prestasi akademik. Siswa yang mempunyai kemampuan komunikasi yang baik memiliki prestasi akademik yang tinggi (Mushtaq & Khan 2012). Di samping itu, hubungan guru dan siswa yang harmonis dapat memengaruhi prestasi akademik siswa (Ndege et al. 2015). Penelitian Nyagosia et al. (2013) memperlihatkan bahwa sekolah-sekolah menengah favorit di Kenya

Tengah memiliki prestasi akademik yang lebih tinggi dibandingkan sekolah-sekolah yang tidak favorit, karena memiliki iklim yang kondusif untuk proses belajar-mengajar. Sekolah-sekolah ini juga melibatkan orang tua dalam penerapan disiplin dan guru memiliki komitmen yang tinggi, yang ditandai oleh kehadirannya yang teratur dan tepat waktu.

Di samping berpengaruh terhadap prestasi belajar, beberapa studi menunjukkan hubungan negatif antara pola komunikasi keluarga dengan tingkat kecemasan, depresi, takut berkomunikasi, dan sebaliknya berhubungan positif dengan harga diri, kecerdasan emosional, dan kesehatan mental (Hojatkhah et al. 2014; Coll et al. 2010; Kelly et al. 2002). Temuan Hojatkhah et al. (2014)

membuktikan bahwa keluarga dengan skor orientasi dialog (percakapan) yang tinggi membuat anggota keluarga bebas dan sering berkomunikasi satu sama lain tanpa batasan, mengungkapkan perasaan dengan mudah, berkonsultasi dalam mengambil keputusan, berkomunikasi dan berinteraksi yang tinggi, serta fleksibel. Dengan demikian, pola komunikasi keluarga juga berhubungan positif dengan kecerdasan emosional remaja.


(25)

Goleman (1997) mengungkapkan bahwa selain pola asuh orang tua, sifat bawaan (genetik) dan pendidikan emosi yang diperoleh siswa di sekolah juga memengaruhi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Di masa remaja, kecerdasan emosional juga berperan penting dalam pencapaian prestasi. Parker et al. (2004) menjelaskan bahwa kecerdasan emosional berhubungan dengan

pencapaian prestasi akademik. Hasil penelitian Parker et al. (2004) pada pelajar

berusia 14 sampai 18 tahun di Alabama, AS, menunjukkan bahwa mereka yang memiliki kecerdasan emosional lebih tinggi, cenderung berprestasi lebih baik dibandingkan pelajar yang memiliki kecerdasan emosional rendah. Sejauh ini penelitian yang mengaitkan pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar belum banyak ditemukan di Indonesia, sehingga penelitian ini dipandang sangat perlu dilakukan.

Perumusan Masalah

Pertumbuhan penduduk, migrasi perkotaan, dan paparan nilai-nilai alternatif melalui saluran informasi baru, telah menantang keluarga dan masyarakat tradisional. Dalam banyak kasus, adat istiadat dan kehidupan sosial dari dunia modern berada dalam konflik yang berhadapan langsung dengan nilai-nilai tradisional. Hal ini menyebabkan perasaan kebingungan dan keterasingan bagi generasi muda yang mencoba memahami dunia di sekelilingnya (Servaes 2008). Oleh karena itu, anak-anak di masa ini menghadapi tantangan sekaligus godaan yang lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya.

Perubahan sosial dan longgarnya nilai-nilai keluarga perlahan-lahan telah merenggangkan kedekatan dan mengurangi intensitas komunikasi remaja dengan keluarga. Menurut Servaes (2008), ada dua dimensi utama lingkungan yang saling terkait dengan dinamika perubahan yang terjadi saat ini. Pertama, lingkungan keluarga, teman-teman, dan anggota masyarakat. Di lingkungan ini komunikasi interpersonal memberi pengaruh besar pada pembentukan perilaku. Kedua, faktor-faktor di lingkungan yang lebih luas, seperti budaya dan agama, sistem kesehatan dan pendidikan, serta berita dan media hiburan. Kedua lingkungan tersebut memengaruhi dan dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial.

Dalam komunikasi pembangunan, sikap dan perilaku individu dapat diubah secara sukarela melalui teknik persuasi dan penggunaan pesan yang efektif (Mefalopulos 2008). Selama ini pendekatan komunikasi pembangunan yang bertujuan menginformasikan atau membujuk individu untuk mengubah perilaku belum banyak diterapkan pada keluarga. Pendekatan partisipatif yang didasarkan pada model komunikasi dua arah (dialogis), jika diterapkan dalam keluarga, dapat menciptakan lingkungan keluarga yang konstruktif, tempat para anggotanya berpartisipasi menangani masalah dan menemukan solusi. Mefalopulos (2008) mengemukakan bahwa komunikasi pembangunan tidak hanya berbicara tentang cara berkomunikasi dan mendidik, tetapi juga tentang mendengarkan, berbagi pengetahuan dan pendapat, serta menciptakan pengetahuan dalam rangka mencapai hasil yang lebih bermakna dan berkelanjutan. Wilson et al. (1995) menegaskan bahwa komunikasi keluarga yang bermakna membutuhkan sikap saling pengertian dan saling menghormati antar-anggotanya.


(26)

Menilik sejarahnya, Kota Bogor dahulunya adalah daerah agraris. Sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Seiring waktu, Kota Bogor berubah mengikuti perkembangan zaman. Kini lahan pertanian milik penduduk asli menyusut. Sebaliknya, kompleks perumahan yang dihuni oleh kaum pendatang jumlahnya kian banyak dan makin mendesak penduduk asli ke wilayah pinggiran. Secara tidak sadar budaya metropolitan ikut terbawa ke dalam rumah dan memengaruhi nilai-nilai keluarga di Bogor. Perubahan ini ikut memengaruhi pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebayanya.

Bronfenbrenner (1994) menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada keluarga dapat memengaruhi proses sosialisasi dan perkembangan anak. Sering kali keluarga menghabiskan banyak waktu bersama dengan melakukan aktivitas yang tidak memungkinkan adanya komunikasi, seperti menonton televisi (Wilson

et al. 1995). Secara fisik anggota keluarga berada di ruangan yang sama, namun tidak ada komunikasi. Padahal, Gottman (1997) menemukan bahwa orang tua yang terlibat dalam pembinaan emosi dan membesarkan anak-anak dengan kemampuan memecahkan masalah, memiliki anak-anak yang bergaul lebih baik dengan teman-temannya, masalah perilaku lebih sedikit, tidak rentan terhadap tindak kekerasan, lebih mampu menenangkan diri, dan memiliki kegiatan yang produktif.

Temuan Sacks et al. (2014) dan Marzuki et al. (2015) menguatkan Gottman (1997). Hubungan remaja dengan orang tua yang positif ditandai dengan konflik yang rendah, tingginya tingkat dukungan, dan komunikasi terbuka. Remaja yang melaporkan mempunyai hubungan yang baik dengan setidaknya satu orang tua, lebih memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik. Sebaliknya, remaja yang sering mengalami konflik dengan orang tua, ditambah rendahnya dukungan orang tua, besar kemungkinan terlibat dalam perilaku yang berisiko, seperti penggunaan narkoba, minum alkohol, dan merokok, serta harus berjuang dengan gejala depresi (Sacks et al. 2014). Hasil penelitian Marzuki et al. (2015) pada mahasiswa akhir

di 10 perguruan tinggi di Malaysia juga menunjukkan hubungan nyata dan positif antara keterampilan berkomunikasi dan teknologi informasi dengan kecerdasan emosional. Beberapa temuan tersebut menunjukkan bahwa komunikasi keluarga dapat membangun kecerdasan emosional remaja.

Penelitian-penelitian lain di bidang komunikasi keluarga juga menemukan hubungan yang positif antara keterlibatan orang tua dengan prestasi akademik remaja (Caro 2011; Khajehpour 2011; Nyarko 2011; Aviles et al. 2006). Caro

(2011) menemukan bahwa komunikasi orang tua dengan anak dan pendidikan orang tua berhubungan positif dengan prestasi akademik anak. Penelitian Khajehpour (2011) yang dilakukan pada 300 siswa SMA di Teheran, Iran, berusia 15 sampai 18 tahun menunjukkan bahwa hubungan interpersonal orang tua dan remaja dapat meningkatkan prestasi akademik siswa. Demikian pula Nyarko (2011) menemukan bahwa keotoritatifan ibu dan ayah berhubungan positif dengan prestasi akademik siswa. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aviles et al.

(2006) bahwa orang tua memainkan peran penting dalam lingkungan anak, dan dapat mendorong pengembangan kompetensi sosial-emosi anak. Dukungan perkembangan sosial-emosi anak terdiri dari lingkungan pengasuhan yang responsif, antara lain mempersiapkan anak untuk berprestasi secara akademik.


(27)

Masalahnya, keluarga sebagai lingkungan pertama untuk tumbuh dan berkembang, tidak selalu menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi remaja. Penelitian di AS menunjukkan gambaran yang suram mengenai diskoneksi di dalam keluarga. Jumlah keluarga yang mengaku waktunya untuk keluarga kian berkurang oleh karena sibuk mengakses internet naik hampir tiga kali lipat dari 11 persen pada 2006 menjadi 28 persen pada 2011. Karena alasan yang sama – sibuk berinternet – waktu yang dialokasikan untuk keluarga juga berkurang drastis dari 26 jam sebulan menjadi hanya 18 jam sebulan. Anggota keluarga yang merasa terabaikan oleh orang tua yang sibuk dengan perangkat gadget (gawai) naik

hingga 40 persen (Steiner-Adair & Barker 2013).

Penggunaan media sosial merupakan salah satu kegiatan yang paling umum dari anak-anak dan remaja saat ini. Selama lima tahun terakhir, jumlah pra-remaja dan remaja yang menggunakan media sosial telah meningkat drastis. Menurut jajak pendapat yang dilakukan di AS, 22 persen remaja terhubung ke situs media sosial favorit mereka lebih dari 10 kali sehari, dan lebih dari setengah remaja terhubung ke situs media sosial lebih dari sekali sehari. Tujuh puluh lima persen dari remaja mempunyai ponsel sendiri, dan 25 persen menggunakannya untuk media sosial, 54 persen menggunakannya untuk SMS, dan 24 persen menggunakannya untuk pesan instan. Sebagian besar dari perkembangan sosial dan emosional generasi saat ini terjadi di internet dan ponsel (O‟Keeffe et al.

2011).

Penggunaan internet dan kepemilikan gadget yang canggih juga telah memengaruhi remaja Indonesia. Menurut data yang dilaporkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), setidaknya 30 juta anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet, dan media digital saat ini menjadi pilihan utama saluran komunikasi yang mereka gunakan. Dalam studi berjudul Keamanan Penggunaan Media Digital pada Anak dan Remaja di Indonesia yang dilakukan oleh Kominfo bekerja sama dengan UNICEF ditemukan bahwa 80 persen responden yang disurvei merupakan pengguna internet, dengan bukti kesenjangan digital yang kuat antara mereka yang tinggal di wilayah perkotaan dan lebih sejahtera dengan yang tinggal di daerah perdesaan dan kurang sejahtera. Sebagai contoh, hampir semua responden di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, dan Banten adalah pengguna internet. Sementara di Maluku Utara dan Papua Barat, kurang dari sepertiga jumlah responden telah menggunakan internet (Kominfo 2014).

Hasil studi yang dilaporkan Kominfo pada Februari 2014 ini mengambil sampel anak dan remaja usia 10 hingga 19 tahun sebanyak 400 responden, yang tersebar di seluruh negeri dan mewakili wilayah perkotaan dan perdesaan. Penelitian terhadap pola komunikasi anak dan remaja melalui internet mengungkapkan bahwa mayoritas komunikasi mereka dilakukan dengan teman sebaya, diikuti komunikasi dengan guru, dan komunikasi dengan anggota keluarga. Hal ini dapat dimaklumi karena memasuki usia remaja, anak-anak memiliki keterikatan yang besar kepada teman sebayanya. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi diduga ikut memengaruhi pola komunikasi remaja dengan orang tua, sekolah, dan teman-teman sebayanya. Studi ini menyimpulkan bahwa orang tua ketinggalan dari anak-anak mereka dalam hal menguasai dan menggunakan media digital. Selain itu, hanya sedikit orang tua


(28)

yang mengawasi anak-anak mereka ketika mengakses internet dan sedikit pula yang menjadi teman anaknya dalam jejaring sosial.

Penelitian Bester (2007) menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya, bila dibandingkan dengan orang tua, memiliki hubungan yang lebih kuat dengan perkembangan kepribadian remaja. Hubungan pertemanan yang kuat ini, lebih menonjol pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Menurut O‟Keeffe et al. (2011) keterbatasan kapasitas pengaturan diri dan kerentanan

terhadap tekanan teman sebaya, memungkinkan anak-anak dan remaja berhadapan dengan beberapa risiko seperti cyberbullying, masalah privasi, dan

eksperimen seksual. Masalah lain yang muncul sebagai akibat dari kecanduan internet adalah kurang tidur dan merosotnya nilai-nilai pelajaran di sekolah.

Berdasarkan pemaparan di atas, dirumuskan pertanyaan-pertanyaan berikut: 1. Bagaimana pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan ayah

dan ibu? Apakah terdapat perbedaan yang nyata di antara keduanya?

2. Bagaimana pengaruh dan kontribusi pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar?

3. Bagaimana tipologi pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan keluarga dan teman sebayanya?

4. Bagaimana tantangan komunikasi keluarga di era digital?

5. Bagaimana tipologi pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan kecerdasan emosional dan prestasi belajar?

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar pada siswa SMA. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Menganalisis perbedaan pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan ayah dan ibu, serta hubungan karakteristik remaja dan karakteristik keluarga dengan pola komunikasi remaja-ayah dan remaja-ibu.

2. Menganalisis pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar. 3. Menganalisis tipologi pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki

dengan keluarga dan teman sebaya.

4. Menganalisis tantangan komunikasi keluarga di era digital.

5. Menganalisis tipologi pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan kecerdasan emosional dan prestasi belajar.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilandasi kepedulian terhadap perkembangan remaja saat ini, terutama menyangkut komunikasi dengan keluarga dan lingkungan di luar keluarga, yaitu sekolah dan teman sebaya, yang berdampak kepada kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Sehubungan dengan itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Dalam aspek praktis hasil penelitian ini dapat diterapkan oleh keluarga yang memiliki anak usia remaja maupun guru-guru di SMA/SMK.


(29)

2. Secara akademis penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu komunikasi pembangunan, terutama pengembangan sumber daya manusia dalam keluarga dan peningkatan kualitas pendidikan di SMA/SMK.

3. Memberi masukan yang positif bagi pemerintah, khususnya Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI agar menyusun kebijakan yang mendorong orang tua lebih banyak meluangkan waktu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak-anak dan remajanya, serta terlibat aktif dalam proses pendidikan dan perkembangan sosial-emosi putra-putrinya.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga (orang tua), sekolah (guru), dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Responden yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah pelajar kelas 2 dari 6 SMA di Kota Bogor.

Faktor-faktor yang memengaruhi kecerdasan emosional dan prestasi belajar remaja sesungguhnya sangat banyak. Di samping pola komunikasi remaja dengan orang tua dan lingkungan di luar keluarga seperti sekolah dan teman sebaya, faktor-faktor lain yang ikut memengaruhi kecerdasan emosional dan prestasi belajar remaja di antaranya adalah kecerdasan intelektual (IQ) yang diwarisi dari orang tua (faktor keturunan/genetik), asupan gizi yang baik/buruk (faktor makanan), gaya pengasuhan orang tua, lingkungan masyarakat di mana remaja itu tinggal, serta pengaruh teknologi informasi dan komunikasi. Namun demikian, tidak semua faktor tersebut diukur dan diteliti karena keterbatasan waktu dan biaya. Oleh karena itu, masalah penelitian ini dibatasi pada faktor-faktor yang berhubungan dengan komunikasi saja, khususnya komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya.

Di samping faktor-faktor di atas, ruang lingkup studi ini masih terbatas di lingkungan Kota Bogor, belum mencakup Kabupaten Bogor. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, penelitian ke depan diharapkan juga meliputi SMA-SMA di Kabupaten Bogor, terutama remaja-remaja yang secara sosial ekonomi dan akademik tergolong kurang mampu. Dengan demikian, akan diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya, serta pengaruhnya terhadap aspek lain seperti kecerdasan emosional, prestasi belajar, dan pengembangan karakter.

Kebaruan (Novelty)

Penelitian pola komunikasi yang dikaitkan dengan kecerdasan emosional dan prestasi belajar belum banyak dilakukan orang. Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan orang lain menghubungkan komunikasi keluarga dengan masalah perkembangan anak (Sari 2012), pengaruh teman sebaya dan kenakalan remaja (Puspitawati 2008; Palaniswamy & Ponnuswami 2013), perilaku remaja (Mahmud et al. 2013), dan motivasi belajar (Hadijah & Retnaningsih 2007). Penelitian komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya, terutama yang menggali dampaknya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar, sejauh ini belum banyak ditemukan. Kalaupun ada, penelitian tersebut dilakukan secara terpisah, misalnya komunikasi keluarga dihubungkan dengan


(30)

perkembangan emosi remaja (Kelly et al. 2002; Hojatkhah et al. 2014, Marzuki et al. 2015) atau komunikasi keluarga dengan prestasi belajar di sekolah (Caro 2011; Khajehpour 2011).

Penelitian ini bisa dikatakan berbeda dari yang lain, karena menggunakan metode campuran (mixed method), yaitu menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian yang baik sejatinya tidak hanya diungkap berdasarkan data kuantitatif, melainkan juga mampu menampilkan sisi kualitatifnya. Hal ini berimplikasi terhadap teknik pengumpulan data. Oleh karena itu, penelitian diawali dengan metode survei dan dianalisis dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM), dilanjutkan dengan diskusi kelompok terpimpin (focus group discussion/FGD) untuk menggali informasi yang tidak terungkap dalam jawaban kuesioner. Berdasarkan uraian itu, kebaruan atau novelty penelitian ini adalah:

1. Secara substansi, penelitian ini memandang komunikasi sebagai alat dan proses untuk mengangkat peran keluarga, sekolah, dan teman sebaya dalam membentuk SDM, dalam hal ini SDM remaja. Penelitian ini berupaya menggali pola komunikasi remaja dengan menggabungkan tiga bidang keilmuan, yaitu ilmu komunikasi (pola komunikasi), ilmu keluarga (remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya), dan ilmu pendidikan (kecerdasan emosional dan prestasi belajar). Pendekatan dalam penelitian ini dilakukan secara holistik karena menyangkut tiga subsistem, yaitu sistem keluarga, sistem sekolah, dan sistem pertemanan, yang dipotret dalam satu bingkai konseptual.

2. Menemukan bahwa pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya berpengaruh secara langsung dan tidak langsung terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar siswa SMA.

3. Menemukan tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya, yang menggambarkan keterikatan remaja dengan teman-temannya. 4. Mengembangkan instrumen pola komunikasi remaja yang didasari teori

pola komunikasi keluarga (Ritchie & Fitzpatrick 1990) melalui penelusuran: a. Data kuantitatif yang digunakan untuk menganalisis pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar.

b. Penggunaan metode Structural Equation Modeling (SEM) untuk menganalisis seberapa jauh peubah-peubah yang diobservasi memengaruhi faktor-faktor yang dihipotesiskan.

c. Focus group discussion (FGD) terhadap sejumlah remaja untuk menggali informasi yang tidak terungkap pada jawaban kuesioner. Melalui FGD dan analisis data kualitatif, diperoleh temuan-temuan yang berguna untuk memperbaiki dan meningkatkan hubungan yang positif antara remaja dengan orang tua, guru, dan teman sebaya. Hasil FGD juga dapat memetakan tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya.

Metode kombinasi seperti dipaparkan di atas belum banyak dilakukan dalam penelitian komunikasi keluarga dan dapat dikatakan sebagai kebaruan (novelty) disertasi ini.


(31)

(32)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi

Komunikasi adalah proses sosial di mana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungannya (West & Turner 2011). Komunikasi yang dimaksud mencakup komunikasi tatap muka maupun dengan menggunakan media. West dan Turner (2011) mendefinisikan lima istilah kunci dalam komunikasi yaitu: sosial, proses, simbol, makna, dan lingkungan (lihat Gambar 1).

Gambar 1 Lima istilah kunci dalam komunikasi (West & Turner 2011) Komunikasi secara sosial diinterpretasikan selalu melibatkan manusia dan ada interaksi di dalamnya. Setidaknya komunikasi melibatkan dua orang, yaitu pengirim dan penerima. Ketika komunikasi dipandang secara sosial, komunikasi selalu melibatkan dua orang yang berinteraksi dengan berbagai niat, motivasi, dan kemampuan. Komunikasi sebagai proses bersifat berkesinambungan dan tidak memiliki akhir. Komunikasi juga dinamis, kompleks, dan senantiasa berubah. (West & Turner 2011).

Istilah ketiga adalah simbol, yang biasanya telah disepakati bersama dalam sebuah kelompok, tetapi mungkin saja tidak dimengerti di luar lingkup kelompok tersebut. Simbol dikategorikan menjadi dua, yaitu simbol konkret dan simbol abstrak. Simbol konkret adalah simbol yang merepresentasikan benda, sedangkan simbol abstrak adalah simbol yang merepresentasikan suatu pemikiran atau ide.

Di samping proses dan simbol, makna juga memegang peranan penting dalam definisi komunikasi. Makna diambil dari suatu pesan. Dalam suatu komunikasi, pesan dapat memiliki lebih dari satu makna dan bahkan berlapis-lapis makna. Tanpa berbagi makna, orang akan kesulitan menggunakan bahasa yang

Komunikasi

Lingkungan

Sosial

Proses Simbol


(33)

sama atau dalam menginterpretasikan suatu kejadian yang sama. Martin dan Nakayama (2002) menyatakan bahwa makna memiliki konsekuensi budaya.

Istilah terakhir dalam definisi komunikasi adalah lingkungan, yaitu situasi atau konteks di mana komunikasi terjadi. Lingkungan terdiri dari beberapa elemen, seperti waktu, tempat, periode sejarah, relasi, dan latar belakang budaya pembicara dan pendengar. Lingkungan juga dapat dihubungkan. Kini komunikasi dapat terjadi dengan adanya bantuan dari teknologi. Sangatlah mungkin sebagian orang berkomunikasi dalam lingkungan yang difasilitasi oleh media, misalkan melalui email, chat room, atau internet. Lingkungan-lingkungan yang terhubung

ini juga memengaruhi komunikasi antara dua orang. Harus diakui bahwa dalam menjalin hubungan secara elektronis ini, seseorang tidak dapat memerhatikan mata atau perilaku lawan bicaranya, mendengarkan karakter vokalnya, atau memerhatikan gerakan-gerakan tubuhnya. Lingkungan yang difasilitasi oleh media ini adalah area penting (dan termasuk baru) dalam teori komunikasi, namun juga memengaruhi proses komunikasi baik secara langsung maupun tidak.

Proses komunikasi dikatakan efektif apabila latar belakang sosial-budaya orang-orang yang terlibat di dalam komunikasi semakin mirip. Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan orang-orang yang sedang berkomunikasi (Mulyana 2002). Menurut Tubbs dan Moss (1996) komunikasi dikatakan efektif apabila memenuhi lima kriteria berikut ini:

1. Ada pemahaman, yaitu penerimaan yang cermat dari isi stimulasi seperti

apa yang dimaksud oleh komunikator.

2. Menimbulkan kesenangan, yang berarti menjadikan hubungan antarindividu

lebih hangat, lebih akrab, dan menyenangkan.

3. Memengaruhi sikap, artinya komunikasi dilakukan untuk memengaruhi

orang lain, seperti seorang khotib yang ingin membangkitkan sikap keagamaan dan mendorong jamaah dapat beribadah dengan baik, atau seorang politisi yang ingin menciptakan citra yang baik kepada publik pemilihnya.

4. Memperbaiki hubungan. Komunikasi juga ditunjukkan untuk

menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat bertahan hidup sendiri, untuk itu manusia selalu berkeinginan untuk berhubungan dengan orang lain secara positif.

5. Ada tindakan. Tindakan persuasi dalam komunikasi digunakan untuk

memengaruhi sikap persuasif dan diperlukan untuk memperoleh tindakan yang dikehendaki komunikator. Dalam hal ini, efektivitas komunikasi biasanya diukur dari tindakan nyata oleh komunikan.

Kenyataannya, Mulyana (2002) mengungkapkan tidak pernah ada dua manusia yang persis sama, meskipun mereka kembar yang dilahirkan dan diasuh dalam keluarga yang sama, diberi makanan yang sama, dan dididik dengan cara yang sama. Akan tetapi, kesamaan dalam hal-hal tertentu, seperti agama, ras (suku), bahasa, tingkat pendidikan, atau tingkat ekonomi akan mendorong orang-orang untuk saling tertarik. Atas dasar kesamaan tersebut, komunikasi dapat berlangsung efektif. Kesamaan bahasa, khususnya, akan membuat orang-orang yang berkomunikasi lebih mudah mencapai pengertian bersama dibandingkan orang-orang yang tidak berbicara atau memahami bahasa yang sama.

Dalam kaitannya dengan remaja, Fairclough (1999) menekankan pentingnya pendekatan berbasis kebutuhan yang memungkinkan orang untuk menanggapi


(34)

tuntutan komunikasi di masa modern. Males (1996) menjelaskan bahwa anak muda (terutama anak laki-laki) terlalu sering dianggap sebagai komunikator atau pengguna bahasa yang tidak memadai. Tidak jarang terdengar keluhan dari masyarakat tradisional, “Saya tidak mengerti apa yang dikatakan remaja saat ini, mereka seperti menggunakan bahasa yang berbeda!”

Komunikasi antara anak muda dan orang dewasa sering ditafsirkan oleh akademisi dalam wacana publik sebagai komunikasi antarkelompok. Penelitian membuktikan bahwa orang dewasa memiliki kecenderungan umum mempermasalahkan komunikasi remaja (Drury & Dennison 1999; Williams & Garrett 2002). Sebagai contoh, film dokumenter US Public Broadcast Service Frontline berjudul Inside the Teenage Brain yang dipublikasikan pada tahun 2002 mengungkapkan bahwa dalam otak remaja terdapat salah satu bagian yang menjadi pusat permasalahan dalam komunikasi antara remaja dan orang dewasa, dan penelitian ilmiah menjelaskan kemacetan komunikasi berasal dari perbedaan fungsi neurologis (Thurlow 2005).

Selama dekade terakhir, teknologi telah menjadi semakin penting dalam kehidupan remaja. Sebagai kelompok, remaja adalah pengguna berat bentuk komunikasi elektronik baru seperti instant messaging, e-mail, dan pesan teks, serta situs internet yang berorientasi komunikasi seperti blog, jaringan sosial, dan situs untuk berbagi foto dan video. Subrahmanyam dan Greenfield (2008) meneliti hubungan remaja dengan teman sebaya, pacar, orang asing, dan keluarga mereka dalam konteks kegiatan komunikasi online. Hasilnya menunjukkan bahwa remaja menggunakan alat-alat komunikasi terutama untuk memperkuat hubungan yang ada, baik dengan teman sebaya maupun pacar. Semakin banyak mereka mengintegrasikan alat ini ke dunia offline mereka, misalnya menggunakan situs jejaring sosial untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang pendatang baru.

Subrahmanyam dan Greenfield (2008) juga mencatat bahwa interaksi online

remaja dengan orang asing, mungkin memiliki manfaat seperti mengurangi kecemasan sosial. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa konten online bisa

mengandung hal yang positif dan negatif. Meskipun remaja mencari dukungan yang berharga dan informasi di situs, mereka juga dapat menemukan rasisme dan pesan kebencian. Komunikasi elektronik juga dapat memperkuat komunikasi dengan teman sebaya namun mengorbankan komunikasi dengan orang tua, yang mungkin tidak memiliki pengetahuan cukup tentang aktivitas online anak-anak mereka di situs-situs populer.

Kekhawatiran masyarakat berkembang bahwa penggunaan luas komunikasi elektronik oleh remaja untuk berinteraksi dengan teman sebaya dapat merusak hubungan mereka dengan orang tua, saudara, dan anggota keluarga lainnya. Beberapa bukti menunjukkan bahwa media elektronik dapat meningkatkan hubungan teman sebaya dengan mengorbankan keluarga, terutama hubungan orang tua dengan anak. Sebuah studi video selama empat tahun yang intens pada 30 keluarga berpendapatan ganda (ibu dan bapak bekerja) memberikan sekilas peran teknologi dalam kehidupan keluarga moderen. Video itu memperlihatkan bahwa ketika orang tua pulang ke rumah di malam hari, mereka menemukan anak-anak sering begitu asyik dengan apa yang mereka lakukan. Mereka menyapa hanya sebentar, dan biasanya dengan acuh tak acuh. Setelah itu anak-anak mengabaikannya dan terus memantau berbagai elektronik dan gadget mereka.


(35)

tatap muka dengan keluarga, yaitu antarsaudara sekandung dan orang tua (Subrahmanyam & Greenfield 2008).

Rosen (Subrahmanyam & Greenfield 2008) menunjukkan bahwa kemunculan situs jejaring sosial memperlihatkan penggunaan internet telah memengaruhi hubungan sosial. Dalam sebuah studi Rosen menemukan bahwa satu dari tiga orang tua merasa waktu yang dihabiskan remaja di situs jejaring sosial telah mengganggu kehidupan keluarga. Sebaliknya, remaja yang menghabiskan banyak waktu di situs jejaring sosial merasa bahwa mereka kurang mendapat dukungan dari orang tua. Sebuah studi lain oleh Mesch dan Talmud (2006) menemukan bahwa waktu keluarga tidak terpengaruh saat remaja menggunakan komputer untuk tujuan pendidikan. Ketika remaja menggunakannya untuk tujuan sosial, komputer berpengaruh negatif terhadap interaksi keluarga.

Peran telepon seluler (ponsel) dalam kehidupan remaja dan hubungan keluarga juga layak diperhatikan. Serangkaian diskusi kelompok terarah dengan remaja, dewasa muda, dan orang tua di Norwegia menemukan bahwa remaja menggunakan ponsel untuk menetapkan batas-batas generasi (misalnya, panggilan skrining dari orang tua ke voice mail). Selain itu, ritual keluarga, seperti waktu makan dan liburan, juga dirusak karena remaja terlalu asyik berkomunikasi dengan teman-temannya melalui telepon. Mungkin cara yang paling ampuh untuk merusak interaksi keluarga dan lebih mendukung komunikasi remaja dengan teman sebayanya, adalah komunikasi individu melalui ponsel. Ini adalah situasi di mana remaja bisa berbicara langsung dengan teman-temannya tanpa penyaringan atau pemantauan dari orang tua atau orang lain di dalam rumah. Remaja mengendalikan orang-orang dengan siapa mereka berbicara dan memiliki lebih banyak ruang di mana mereka dapat berbagi pemikiran dan pesan (Subrahmanyam & Greenfield 2008).

Teori Pola Komunikasi Keluarga

Sebagian besar sosialisasi kepada generasi selanjutnya berlangsung di dalam keluarga (Haris 1998). Dengan demikian, memahami keluarga, dinamika keluarga, dan komunikasi keluarga akan bermanfaat untuk memahami proses sosial yang lebih besar. Keluarga sebagai suatu institusi berkaitan erat dengan berbagai institusi sosial lainnya. Memahami hal tersebut dan bagaimana kaitannya dengan keluarga akan memberikan wawasan mengenai fungsi keluarga dan dampak psikososial bagi anggota keluarga. Tidak mengherankan jika bagian terpenting dari penelitian komunikasi keluarga berasal dari disiplin ilmu sosiologi, ekonomi, dan kajian keluarga. Penelitian lain mengenai komunikasi keluarga berasal dari disiplin ilmu psikologi, seperti perkembangan anak dan psikologi sosial. Penelitian dalam disiplin ini berfokus pada peran keluarga dalam perkembangan anak dan remaja. Fakta menunjukkan bahwa hubungan keluarga bagi kebanyakan orang adalah hubungan interpersonal yang tahan lama, intim, dan nyata. Hubungan keluarga akan sangat memengaruhi mental dan fungsi psikologis, serta kesejahteraan. Proses dan dinamika keluarga memengaruhi emosi dan fungsi kognitif setiap anggota keluarga, demikian sebaliknya, emosi dan kognitif individu juga memengaruhi proses dan dinamika keluarga (Koerner 2014).


(36)

Teori umum yang mendasari penelitian komunikasi keluarga adalah Teori Pola Komunikasi Keluarga atau Family Communication Patterns Theory (FCPT) (Ritchie & Fitzpatrick 1990; Koerner & Fitzpatrick 2004; Koerner & Fitzpatrick 2006). Menurut teori ini, komunikasi keluarga tidak terjadi secara acak, tetapi sangat berpola berdasarkan skema-skema tertentu yang menentukan bagaimana anggota keluarga saling berkomunikasi. Skema-skema ini terdiri atas pengetahuan tentang: (1) seberapa dekat keluarga tersebut; (2) tingkat individualitas dalam keluarga; dan (3) faktor-faktor eksternal terhadap keluarga, misalnya teman, jarak geografis, pekerjaan, dan masalah-masalah lain di luar keluarga (Littlejohn & Foss 2011).

Berdasarkan teori kognitif, FCPT mengemukakan bahwa menciptakan realitas sosial merupakan proses fundamental dalam fungsi keluarga yang mendefinisikan hubungan keluarga dan menentukan bagaimana keluarga berkomunikasi. Realitas sosial dalam keluarga diciptakan melalui dua perilaku komunikasi, yaitu: orientasi percakapan dan orientasi keselarasan, yang secara bersama-sama menentukan pola komunikasi keluarga. Orientasi percakapan merujuk pada keterbukaan dan frekuensi komunikasi antara orang tua dan anak, tujuannya adalah untuk menemukan dan menentukan bersama makna obyek yang membentuk realitas sosial. Hal tersebut berhubungan dengan kehangatan dan komunikasi yang suportif, yang dicirikan dengan perhatian terhadap satu sama lain. Orientasi keselarasan, sebaliknya, merujuk pada komunikasi yang lebih terbatas antara orang tua dan anak di mana pihak yang memiliki otoritas, biasanya orang tua, menentukan realitas sosial keluarga. Orientasi keselarasan berhubungan dengan pengasuhan yang lebih otoriter dan kurangnya perhatian terhadap pemikiran dan perasaan anak (Koerner 2014).

Koerner dan Fitzpatrick (2004) membagi empat tipe keluarga: konsensual, pluralistis, protektif, dan laissez-faire atau toleran. Masing-masing keluarga ini memiliki tipe-tipe orang tua tertentu yang ditentukan oleh cara-cara mereka menggunakan ruang, waktu, dan energi mereka serta tingkatan mengungkapkan perasaan mereka, menggunakan kekuasaan, dan membagi filosofi yang umum tentang pernikahan mereka. Sebuah tipe skema keluarga tertentu yang digabungkan dengan orientasi komunikasi atau kesesuaian akan menghasilkan tipe pernikahan tertentu. Tipe-tipe pernikahan yang dimaksud adalah: tradisional, mandiri, dan terpisah. Setiap tipe pernikahan bekerja dengan cara-cara yang sangat berbeda.

Tipe keluarga pertama, konsensual, memiliki tingkat percakapan dan kesesuaian yang tinggi. Keluarga konsensual sering berbicara, tetapi pemimpin keluarga – biasanya salah satu orang tua – yang membuat keputusan. Keluarga ini mengalami tekanan dalam menghargai komunikasi yang terbuka, sementara mereka juga menginginkan kekuasaan orang tua yang jelas. Para orang tua biasanya menjadi pendengar yang baik bagi anak-anak mereka, tetapi mengambil keputusan dan selanjutnya menjelaskannya kepada anak-anak sebagai usaha untuk membantu mereka memahami pemikiran di balik keputusan tersebut.

Orang tua dalam keluarga konsensual cenderung memiliki orientasi pernikahan tradisional. Hal ini berarti mereka akan lebih konvensional dalam memandang pernikahan, serta lebih menempatkan nilai pada stabilitas dan kepastian dalam hubungan peran daripada keragaman dan spontanitas. Mereka memiliki ketergantungan yang kuat dan memiliki banyak teman. Walaupun


(37)

mereka tidak bersifat tegas dalam pertentangan, mereka tidak menghindari konflik. Menurut Fitzpatrick (Littlejohn & Foss 2011), seorang istri yang tradisional akan memakai nama suaminya. Pasangan tersebut akan memiliki perasaan yang kuat tentang ketidaksetiaan dalam hubungan mereka serta mereka akan membagi banyak ruang dan waktu. Mereka akan menghabiskan waktu bersama-sama sebanyak mungkin serta tidak akan memiliki ruang yang terpisah untuk kegiatan mereka sendiri.

Tipe keluarga kedua, pluralistis, memiliki ciri-ciri tinggi dalam percakapan tetapi rendah dalam kesesuaian. Tipe keluarga ini memiliki banyak kebebasan dalam percakapan, tetapi pada akhirnya setiap orang akan membuat keputusan sendiri tentang tindakan apa yang harus diambil berdasarkan pada pembicaraan tersebut. Orang tua tidak merasa perlu untuk mengendalikan anak-anaknya; malahan, opini dinilai berdasarkan segi kelayakannya dan setiap orang ikut serta dalam pengambilan keputusan keluarga.

Orang tua dari keluarga pluralistis cenderung digolongkan sebagai orang tua yang mandiri, karena mereka biasanya tidak kaku dalam memandang pernikahan. Kemandirian membuat suami dan istri tidak terlalu saling bergantung dan cenderung menghasilkan anak-anak yang berpikiran mandiri. Walaupun orang tua tipe ini menghabiskan waktu bersama dan banyak berbagi, mereka menghargai otonomi masing-masing dan sering kali memiliki ruangan yang berbeda di rumah untuk kegiatan sendiri. Mereka juga mungkin memiliki minat dan teman-teman yang berbeda di luar keluarga.

Tipe keluarga ketiga, protektif. Ciri-ciri keluarga yang protektif adalah cenderung rendah dalam percakapan, tetapi tinggi dalam kesesuaian. Akan ada banyak kepatuhan tetapi sedikit komunikasi. Orang tua dalam tipe keluarga ini tidak melihat perlunya menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan segala sesuatu. Mereka juga tidak memberikan penjelasan pada anak-anaknya tentang apa yang mereka putuskan. Untuk alasan ini, orang tua seperti itu cenderung digolongkan sebagai orang tua yang terpisah. Mereka nampaknya saling bertentangan dalam peran dan hubungan mereka. Mereka memiliki pandangan pernikahan yang konvensional, tetapi mereka tidak terlalu bergantung dan tidak banyak berbagi. Fitzpatrick (Littlejohn & Foss 2011) menyebut orang tua yang terpisah sebagai “bercerai secara emosional”. Mereka memiliki opini sendiri dan sering bertengkar, tetapi pertengkarannya tidak akan lama karena mereka cepat pulih dari konflik. Dalam beberapa kasus, ada sedikit konflik hanya karena mereka tidak menyelaraskan tindakan mereka cukup lama dan juga tidak dapat memperpanjang konfliknya. Usaha mereka untuk memperoleh kepatuhan jarang sekali menggunakan anjuran hubungan dan sering kali menyebutkan hal-hal buruk yang akan terjadi jika pasangannya tidak patuh. Tipe pasangan ini memiliki sikap waspada. Mereka banyak bertanya, tetapi hanya memberikan sedikit nasihat. Oleh sebab itu, dapat ditebak bahwa mereka tidak ekspresif dan tidak memahami emosi pasangan mereka dengan baik.

Tipe keluarga keempat, laissez-faire atau toleran. Keluarga seperti ini tidak

suka ikut campur dan memiliki keterlibatan yang rendah. Anggota keluarga ini sangat tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anggota keluarga yang lain dan mereka benar-benar tidak mau membuang-buang waktu untuk membicarakannya. Orang tua dalam tipe keluarga ini cenderung memiliki orientasi yang bercampur, yaitu mereka tidak memiliki skema yang sama. Mereka


(1)

D. Kemampuan Empati

1. Saya termasuk orang yang dapat menjaga rahasia teman. 0.0 4.4 39.8 55.8 1.2 15.1 41.0 42.8 0.5 9.1 40.3 50.0 3.51 3.25 3.780 0.000** 2.

Saya membantu orang lain yang membutuhkan tanpa

meminta imbalan. 1.0 1.5 40.3 57.3 0.0 10.8 50.6 38.6 0.5 5.6 44.9 48.9 3.54 3.28 4.102 0.000** 3. Saya tidak memerhatikan

teman yang sedang bicara. 1.0 5.8 46.1 47.1 5.4 14.5 49.4 30.7 3.0 9.7 47.6 39.8 3.39 3.05 4.469 0.000** 4.

Menurut saya tidak ada gunanya memikirkan orang

lain. 5.3 9.7 35.4 49.5 10.8 8.4 40.4 40.4 7.8 9.1 37.6 45.4 3.29 3.1 2.012

0.045* 5. Saya tidak dapat menerima

pendapat orang lain. 1.9 5.3 41.7 51.0 4.8 9.6 44.6 41.0 3.2 7.3 43.0 46.5 3.42 3.22 2.588 0.010* 6.

Saya tidak menyadari ketika ada teman yang mengalami musibah.

1.9 5.8 51.0 41.3 4.2 13.3 45.2 37.3 3.0 9.1 48.4 39.5 3.32 3.16 2.070 0.039* 7.

Saya akan memaksa orang lain untuk membantu saya

meskipun dia sedang sibuk. 3.4 3.4 35.9 57.3 4.8 10.8 36.7 47.6 4.0 6.7 36.3 53.0 3.47 3.27 2.461

0.014* Total skor Kemampuan

Empati (7-28) 23.94 22.33 4.877 0.000**

E. Kemampuan Membina Hubungan 1. Saya senang mempunyai

teman baru. 0.0 10.2 35.0 54.9 0.6 12.7 36.1 50.6 0.3 11.3 35.5 53 3.45 3.37 1.089 0.277 2. Saya senang berorganisasi. 4.9 32.0 33.0 30.1 7.8 34.3 30.7 27.1 6.2 33.1 32.0 28.8 2.88 2.77 1.176 0.240

3. Saya mendamaikan teman

yang bermusuhan. 3.9 41.7 43.7 10.7 4.2 42.8 37.3 15.7 4.0 42.2 40.9 12.9 2.61 2.64 -0.416 0.678 4. Saya berteman dengan siapa

saja dari kalangan mana pun. 0.0 7.8 28.2 64.1 0.6 13.9 25.9 59.6 0.3 10.5 27.2 62.1 3.56 3.45 1.632 0.103 5. Saya mengucapkan terima

kasih kepada siapa pun. 0.0 2.4 26.7 70.9 0.0 7.2 29.5 63.3 0.0 4.6 28.0 67.5 3.68 3.56 2.097 0.370 6. Saya bekerja sama dengan


(2)

7. Saya mudah menyesuaikan diri

di lingkungan baru. 3.4 30.6 33.5 32.5 3.0 25.9 39.8 31.3 3.2 28.5 36.3 32.0 2.95 2.99 -0.475 0.635 Total skor Kemampuan Membina Hubungan (7-28) 22.55 22.08 1.391 0.165

Keterangan: 1 = Tidak pernah; 2 = Sekali-sekali; 3 = Sering; 4 = Selalu **Berbeda sangat nyata pada P < 0.01; *berbeda nyata pada P < 0.05


(3)

Lampiran 5

Kronologis Instrumen

Pola Komunikasi Remaja dengan Keluarga, Sekolah, dan Teman Sebaya

Pola komunikasi keluarga menggambarkan kecenderungan keluarga dalam mengembangkan komunikasi yang dapat dimengerti oleh semua anggotanya (Koerner & Fitzpatrick 2004). Teori Pola Komunikasi Keluarga mengemukakan bahwa menciptakan realitas sosial merupakan proses fundamental dalam fungsi keluarga dan menentukan bagaimana keluarga berkomunikasi. Realitas sosial dalam keluarga diciptakan melalui dua perilaku komunikasi, yakni: orientasi percakapan dan kesesuaian (keselarasan), yang bersama-sama menentukan pola komunikasi keluarga. Orientasi percakapan merujuk pada keterbukaan dan frekuensi komunikasi antara orang tua dan anak. Komunikasi keluarga bertujuan untuk menemukan dan menentukan bersama makna obyek yang membentuk realitas sosial. Hal tersebut berhubungan dengan kehangatan dan komunikasi yang suportif, yang dicirikan dengan sikap saling menghormati dan saling memberi perhatian. Sebaliknya orientasi kesesuaian (keselarasan) merujuk pada komunikasi antara orang tua yang memiliki otoritas dengan anaknya. Orientasi kesesuaian berhubungan dengan pengasuhan yang lebih otoriter dan kurangnya perhatian terhadap pemikiran dan perasaan anak (Koerner 2014).

Berdasarkan teori tersebut, Ritchie & Fitzpatrick (1990) mengembangkan instrumen pola komunikasi yang dinamakan Revised Family Communication Pattern (RFCP). Sebagaimana konsep pola komunikasi keluarga yang telah dijelaskan di atas, instrumen RFCP terbagi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi percakapan dan dimensi kesesuaian. Dimensi percakapan terdiri dari 13 butir pertanyaan yang berhubungan dengan tema/topik pembicaraan sehari-hari, sedangkan dimensi kesesuaian terdiri dari 10 butir pertanyaan yang berhubungan dengan suasana yang berlangsung saat komunikasi antara remaja dan keluarga dilakukan. Berikut ini butir-butir pertanyaan RFCP.

Tabel Instrumen Revised Family Communication Pattern (RFCP) yang dikembangkan oleh Ritchie dan Fitzpatrick (1990)

Orientasi percakapan

1. Saya sering membahas topik umum seperti politik dan agama bersama orang tua saya. 2. Saya sering mengungkapkan pada orang tua saya apa yang saya pikirkan.


(4)

4. Saya sering membicarakan perasaan dan emosi saya kepada orang tua.

5. Saya sering mengobrol lama dan santai dengan orang tua saya tentang apa pun.

6. Saya senang berbicara dengan orang tua saya meskipun saya tidak selalu setuju dengan pendapat mereka.

7. Orang tua saya sering mengatakan bahwa setiap anggota keluarga harus berani berpendapat. 8. Orang tua saya sering meminta pendapat saya dan mendorong saya untuk mengeluarkan ide. 9. Orang tua saya sering mengatakan bahwa saya harus melihat suatu masalah dari dua sisi. 10.Orang tua saya selalu mendengar pendapat saya sampai selesai, meskipun mereka tidak selalu

setuju dengan saya.

11.Orang tua saya mendorong saya untuk mengungkapkan perasaan saya.

12.Orang tua saya sering mengungkapkan emosi mereka, sehingga saya tahu bila orang tua saya sedang senang atau sedih.

13.Orang tua saya dan saya sering membahas rencana kami dan harapan untuk masa depan. Orientasi kesesuaian

1. Orang tua saya sering mengatakan bahwa saya akan tahu lebih baik ketika saya sudah dewasa. 2. Orang tua saya sering mengatakan bahwa ide saya benar, sehingga saya tidak perlu bertanya

lagi padanya.

3. Orang tua saya sering mengatakan bahwa seorang anak tidak perlu berdebat dengan orang tua. 4. Orang tua saya sering mengatakan bahwa ada beberapa hal yang tabu untuk dibicarakan. 5. Orang tua saya sering mengatakan bahwa saya harus mengalah daripada saya menjadi celaka. 6. Orang tua saya berharap saya menaati peraturan tanpa banyak tanya.

7. Di rumah kami, semua keputusan ada di tangan orang tua saya.

8. Orang tua saya kadang-kadang kesal dengan saya jika berbeda pandangan dari mereka. 9. Jika orang tua saya tidak setuju, mereka tidak ingin mendengar alasannya.

10.Saya diharapkan menjadi anak yang patuh pada orang tua.

Berdasarkan instrumen RFCP, penulis kemudian mengembangkannya menjadi Pola Komunikasi Remaja dengan Keluarga, Sekolah, dan Teman Sebaya, dengan menambahkan 3 dimensi baru, yaitu dimensi frekuensi pembicaraan, durasi pembicaraan, dan media komunikasi. Penulis menganggap perlu menambahkan ketiga dimensi ini karena instrumen RFCP secara eksplisit belum memperhitungkan frekuensi, durasi, dan media komunikasi yang digunakan. West dan Turner (2011) berpendapat bahwa komunikasi di masa kini telah berkembang sesuai perkembangan di bidang teknologi informasi, sehingga komunikasi juga berlangsung dengan memanfaatkan perangkat (media) komunikasi. Dua dimensi yang sudah ada sebelumnya, yaitu dimensi percakapan diubah namanya menjadi topik pembicaraan, dan dimensi kesesuaian diganti menjadi situasi komunikasi.

Instrumen Pola Komunikasi Remaja ini diukur dengan menggunakan skala jawaban Likert mulai dari 1 (tidak pernah), 2 (sekali-sekali), 3 (sering), dan 4 (selalu). Bukan hanya dimensinya yang bertambah, jumlah butir pertanyaan pun berkembang menjadi 63 butir pertanyaan untuk instrumen Pola Komunikasi Remaja dengan Keluarga, 26 butir pertanyaan untuk Pola Komunikasi Remaja dengan Sekolah, dan 30 butir pertanyaan untuk Pola komunikasi Remaja dengan Teman Sebaya, sehingga totalnya berjumlah 119 butir pertanyaan.


(5)

Selanjutnya, hasil penjumlahan skor masing-masing dimensi pada Pola Komunikasi Remaja dengan Keluarga, Sekolah, dan Teman Sebaya diubah ke dalam indeks yang dihitung dengan cara sebagai berikut:

Indeks = Skor yang diperoleh – skor minimum x 100% Skor maksimum – skor minimum

Hasil i deks ke udia dikelo pokka e jadi kategori re dah ≤ 50.0%), sedang (>50.0%–75.0%), dan tinggi (>75.0%).

Kecerdasan Emosional

Instrumen Kecerdasan Emosional dikembangkan berdasarkan teori kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Goleman (1997). Namun demikian, butir-butir pertanyaan dalam instrumen tersebut dimodifikasi sesuai kebutuhan penelitian yang unit analisisnya adalah remaja. Instrumen ini memiliki 5 dimensi, yaitu: (1) Kesadaran emosi diri, (2) Kemampuan mengelola emosi, (3) Kemampuan memotivasi diri, (4) Kemampuan empati, dan (5) Kemampuan membina hubungan.

Instrumen Kecerdasan Emosional dalam penelitian ini berisi 35 butir pertanyaan dan diukur dengan menggunakan skala jawaban Likert mulai dari 1 (tidak pernah), 2 (sekali-sekali), 3 (sering), dan 4 (selalu). Selanjutnya, hasil penjumlahan skor masing-masing dimensi Kecerdasan Emosional diubah ke dalam indeks yang dihitung dengan cara sebagai berikut:

Indeks = Skor yang diperoleh – skor minimum x 100% Skor maksimum – skor minimum

Hasil i deks ke udia dikelo pokka e jadi kategori re dah ≤ 50.0% , sedang (>50.0%–75.0%), dan tinggi (>75.0%).

Prestasi Belajar

Instrumen prestasi belajar merujuk kepada pencapaian akademik dan non-akademik. Prestasi non-akademik diukur dengan instrumen yang berisi


(6)

pertanyaan-pertanyaan mengenai pencapaian non-akademik, seperti memenangkan lomba di bidang olahraga, seni, debat, menulis, fotografi, pidato, dan komputer. Pilihan jawaban yang disediakan adalah YA atau TIDAK. Selanjutnya jawaban tersebut ditabulasi dan dihitung frekuensinya.

Prestasi akademik diukur berdasarkan nilai raport dari 4 mata pelajaran inti selama 3 semester. Mata pelajaran inti yang dimaksud disesuaikan dengan jurusan IPA dan IPS. Untuk jurusan IPA, mata pelajaran intinya adalah matematika, fisika, biologi, dan kimia; sedangkan untuk jurusan IPS meliputi matematika, sosiologi, geografi, dan ekonomi. Selanjutnya nilai raport siswa dirata-ratakan dan dikelompokkan menjadi 4 kategori, yaitu: 1) 60.0–69.9; 2) 70.0–79.9; 3) 80.0–89.9; dan 4) > 90.0.


Dokumen yang terkait

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP

2 15 13

Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa pada Pelajaran PAI (Penelitian Korelasional pada Siswa Kelas VIII MTs Al-Hidayah Arco Sawangan Depok)

0 7 97

Pengaruh tingkat kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar siswa SMA Triguna Utama Ciputat

0 6 87

Hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam: Studi Penelitian di Kelas XI SMA PGRI 109 Tangerang

2 10 112

Pengaruh Tingkat Kecerdasan Emosional Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Pada Siswa Smp Muhammadiyah 17 Ciputat

1 48 98

Analisis Gaya Pengasuhan, Kecerdasan Emosional, Aktivitas Ekstrakurikuler, dan Prestasi Belajar Siswa di SMA Muhammadiyah Cirebon

0 5 191

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS XI Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas Xi Sma Negeri 1 Bangsri Tahun Ajaran 2011/2012.

0 0 19

PENGARUH KECERDASAN INTELEKTUAL, KECERDASAN EMOSIONAL, DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA SMA NEGERI DI SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2012/ 2013.

0 0 18

PENGARUH COMPUTER ANXIETY DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DI SMA NEGERI 1 KARANGNONGKO.

0 0 118

POLA KOMUNIKASI REMAJA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SMA DI KOTA BOGOR

0 0 11