0.42 Karakter Guru yang Disukai
Pendahuluan
Teman sebaya merupakan sumber penting bagi dukungan emosional remaja sekaligus sumber tekanan untuk melakukan perilaku yang tidak disukai orang tua.
Remaja akan merasa senang apabila diterima dan sebaliknya akan merasa sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh teman-teman
sebayanya. Bagi banyak remaja, pandangan teman-teman terhadap dirinya merupakan hal yang paling penting Santrock 2007; Kusdiyati et al. 2010.
Pengaruh dari teman sebaya paling kuat di masa remaja awal, biasanya memuncak di usia 12
–13 tahun lalu menurun selama masa pertengahan dan akhir seiring dengan membaiknya hubungan remaja dengan orang tua. Keterikatan dengan
teman sebaya di masa remaja awal tidak selalu menyebabkan masalah, kecuali jika keterikatan ini terlalu kuat sehingga remaja bersedia untuk mengabaikan
aturan di rumah, lalai mengerjakan tugas sekolah, serta tidak mengembangkan bakat mereka untuk memenangkan persetujuan teman sebaya dan mendapatkan
popularitas Fuligni et al. 2002; Sumter et al. 2009.
Di masa kanak-kanak, kebanyakan interaksi dengan teman sebaya adalah dyadic
atau satu lawan satu, walaupun pengelompokkan yang lebih besar mulai terbentuk di masa anak-anak pertengahan. Saat anak-anak beranjak remaja, sistem
sosial teman sebaya menjadi lebih rumit dan bervariasi. Walaupun remaja tetap memiliki hubungan pertemanan satu lawan satu, klik atau geng
– struktur kelompok pertemanan yang melakukan berbagai hal bersama-sama
– menjadi lebih penting Brown Klute 2003.
Kelompok teman sebaya sangat berbeda posisinya dengan keluarga maupun sekolah Puspitawati 2006. Teman sebaya di samping dapat memberikan
pengaruh yang positif, di sisi lain juga menimbulkan pengaruh negatif bagi remaja. Melalui interaksi dengan teman-teman sebayanya, remaja mempelajari
relasi timbal balik. Remaja mengeksplorasi prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan melalui pengalaman mereka ketika menghadapi perbedaan pendapat
dengan teman-temannya. Mereka juga belajar mengamati dengan minat yang tajam dan memiliki sudut pandang sendiri dalam aktivitas bersama teman-teman.
Ketika menjalin persahabatan yang karib dengan teman-teman terpilih, remaja belajar untuk menjadi mitra yang lebih terampil dan peka. Selanjutnya,
keterampilan ini akan berguna ketika remaja menjalin relasi pacaran dan relasi perkawinan di masa selanjutnya Santrock 2007.
Memiliki banyak teman memungkinkan remaja berbagi pengalaman dan perasaannya, serta belajar bagaimana menyelesaikan konflik. Di sisi lain, remaja
yang tidak memiliki banyak teman menyebabkan dirinya terasing dari kehidupan sosial, sehingga hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengembangkan
hubungan baru dan keterampilan interaksional. Persahabatan juga berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis Ueno 2004, sedangkan pertentangan
dengan teman-teman berhubungan negatif dengan kesehatan Laftman Ostberg 2006. Persahabatan remaja yang sehat dapat memberikan lingkungan yang sesuai
untuk mencapai nilai akademik yang baik Vaquera Kao 2008.
Meskipun sejumlah penelitian menunjukkan hubungan yang positif antara remaja dan teman sebaya, penelitian lain memperlihatkan bahwa pengaruh teman
sebaya dapat berdampak negatif terhadap perilaku remaja. Bagi beberapa remaja, pengalaman ditolak atau diabaikan membuat mereka merasa kesepian dan
bersikap bermusuhan. Pengalaman ditolak dan diabaikan oleh teman-teman sebaya berkaitan dengan masalah kesehatan mental dan kejahatan di masa
selanjutnya. Budaya teman sebaya dapat memengaruhi remaja untuk menyepelekan nilai-nilai dan kendali orang tua, seperti melakukan pelanggaran
Kusdiyati et al. 2010, memperkenalkan remaja kepada perilaku merokok Liem 2014, perkelahiantawuran Puspitawati 2008, minuman keras Glaser et al.
2010; Leunga et al. 2014, serta bentuk-bentuk lain dari perilaku yang dianggap maladaptif oleh orang dewasa Santrock 2007. Pengaruh negatif teman sebaya
juga mengakibatkan remaja kecanduan bermain video gim daring, yaitu sejenis permainan video yang dimainkan pada peramban ramatraya web browser yang
terkoneksi dengan jaringan komputer dan internet Prabowo Juneman 2012.
DePorter 2011 mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang sering dihadapi remaja dan merangkumnya ke dalam tujuh masalah utama remaja, yaitu:
hubungan yang bermasalah, perasaan yang terluka, citra diri negatif, rasa takut akan perubahan besar, nilai-nilai buruk di sekolah, kurang fokus, dan motivasi
yang rendah. Menurut DePorter, ketujuh masalah tersebut terjadi karena remaja dan orang tua sering berbicara melalui dua sudut pandang yang berbeda. Para
orang tua terpaku pada perspektif mereka. Demikian pula sebaliknya, remaja berbicara berdasarkan perspektif dirinya.
Kesenjangan komunikasi dengan orang tua menjadi alasan bagi remaja untuk melekatkan dirinya kepada teman. Kelompok teman sebaya bila
dibandingkan dengan orang tua, memiliki hubungan yang lebih kuat dengan perkembangan kepribadian remaja. Hubungan dengan teman sebaya lebih
menonjol pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan Bester 2007. Temuan Steinberg dan Monahan 2007 menguatkan bahwa anak laki-laki lebih
rentan terhadap pengaruh teman sebaya dibandingkan anak perempuan, baik selama masa remaja dan dewasa muda. Dalam menghadapi pengaruh teman
sebaya, anak perempuan bisa dikatakan lebih tangguh daripada anak laki-laki karena perempuan memiliki kecenderungan lebih besar untuk menyesuaikan diri
Sumter et al. 2009.
Sifat persahabatan remaja perempuan dan laki-laki berbeda, sehingga perbedaan jenis kelamin juga memengaruhi pola komunikasi remaja perempuan
dan laki-laki dengan teman sebayanya. Remaja perempuan senang menghabiskan waktu berbicara dengan teman-teman mereka McNelles Connoly 1999.
Remaja perempuan memiliki hubungan yang lebih intim dengan teman-teman sebayanya dibandingkan remaja laki-laki. Remaja perempuan cenderung untuk
membuka diri dan berinteraksi dua arah, sedangkan remaja laki-laki cenderung menghabiskan waktu di kelompok besar yang difokuskan pada beberapa aktivitas
fisik. Selain itu, jaringan sosial remaja perempuan terutama terdiri dari teman- teman, sedangkan jaringan sosial remaja laki-laki terdiri dari teman-teman dan di
luar lingkungan pertemanan. Perbedaan ini berkontribusi pada keintiman, yang menjadi ciri persahabatan remaja perempuan. Remaja laki-laki melihat
persahabatan sebagai sebuah instrumen, yakni seseorang yang dapat diajak melakukan banyak aktivitas. Sebaliknya, remaja perempuan melihat persahabatan
lebih emosional, yaitu seseorang yang terhubung dengan dirinya. Perempuan cenderung mengekspresikan keintiman melalui keterbukaan diri, sedangkan laki-
laki melalui partisipasi dalam kegiatan bersama Helgeson 2012.
Sebuah penelitian mahasiswa di Amerika Serikat dan Rusia Sheets Lugar 2005 menemukan bahwa perempuan berbagi informasi lebih pribadi
dengan teman-temannya dibandingkan laki-laki, dan laki-laki berbagi kegiatan lebih banyak dengan teman-temannya dibandingkan perempuan. Perbedaan utama
dalam sifat persahabatan laki-laki dan perempuan adalah kegiatan merupakan fokus dari interaksi laki-laki, sedangkan percakapan adalah fokus dari interaksi
perempuan. Perbedaan ini pertama kali muncul selama masa kanak-kanak kemudian berlanjut melalui masa remaja dan dewasa. Hal ini menjelaskan bahwa
persahabatan perempuan lebih komunal daripada laki-laki, sehingga kegiatan bersama lebih intim pada perempuan daripada laki-laki Helgeson 2012. Menurut
Reis dan Shaver 1988, keintiman melibatkan pengungkapan diri yang terdalam. Keintiman bukanlah keadaan statis tetapi sebuah proses. Hal ini berarti
membangun keintiman membutuhkan pengungkapan diri dan tanggapan dari teman terhadap keterbukaan diri.
Pengaruh teman sebaya juga berlangsung di dunia maya melalui media sosial. Data menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan remaja untuk mengakses
media online dari tahun ke tahun selalu meningkat. Hasil penelitian pada anak- anak Amerika berusia 11 sampai 12 tahun memperlihatkan bahwa pada 2009
mereka menggunakan internet sekitar 11 jam seminggu atau meningkat lebih dari 60 persen sejak 2004. Data tersebut belum termasuk waktu yang dihabiskan
seseorang dengan telepon seluler. Rata-rata remaja Amerika mengirimkan atau menerima 2.272 teks setiap bulan. Lebih dari dua triliun pesan instan di seluruh
dunia melintas antartelepon seluler setiap tahun Carr 2011.
Penggunaan internet dan kepemilikan gadget gawai yang canggih juga telah memengaruhi remaja di Indonesia. Menurut data yang dilaporkan oleh
Kementerian Komunikasi dan Informatika Kominfo, setidaknya 30 juta anak dan remaja di Indonesia merupakan pengguna internet, dan media digital saat ini
menjadi pilihan utama saluran komunikasi yang digunakan remaja Kominfo 2014. Peran telepon seluler ponsel dalam kehidupan remaja dan hubungan
keluarga layak diperhatikan. Cara paling ampuh yang dapat merusak interaksi keluarga dan makin mendekatkan remaja dengan teman sebaya adalah komunikasi
individu melalui ponsel. Dalam situasi ini remaja bisa berbicara langsung dengan teman-temannya tanpa penyaring atau pemantauan dari orang tua atau orang lain
di dalam rumah Subrahmanyam Greenfield 2008.
Oleh karena itu orang tua perlu membangun pola komunikasi yang baik dengan remaja. Pola komunikasi keluarga menggambarkan kecenderungan
keluarga dalam mengembangkan komunikasi yang dapat dimengerti oleh semua anggotanya Koerner Fitzpatrick, 2004. Komunikasi remaja dengan orang tua
yang harmonis menjadi penyaring dalam menghadapi pengaruh lingkungan luar yang buruk, sehingga remaja tidak mudah terpengaruh oleh ajakan negatif teman-
temannya Puspitawati 2008. Komunikasi yang intensif antara orang tua dan remaja merupakan faktor pelindung terhadap penggunaan alkohol, tembakau, dan
narkoba Newman et al. 2008. Komunikasi remaja dengan orang tua memiliki dampak yang kuat terhadap kesehatan dan kesejahteraan. Semakin mudah
komunikasi dengan orang tua
, remaja merasa lebih sejahtera Tome’ et al. 2012. Faktor lain yang telah diidentifikasi sebagai faktor kemungkinan penurunan
pengaruh negatif teman sebaya adalah penolakan tegas. Remaja yang mampu
mempertahankan penolakan tegas tidak rentan terhadap pengaruh kelompok teman sebaya Glaser et al. 2010.
Komunikasi dan interaksi yang positif di dalam keluarga juga dapat meningkatkan hubungan antarpribadi Ritchie Fitzpatrick 1990 dan memupuk
kecerdasan emosional remaja Firdanianty et al. 2015. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aviles et al. 2006 bahwa orang tua memainkan peran penting dalam
lingkungan anak dan mendorong pengembangan kompetensi sosial-emosinya. Menurut Waldron et al. 2014, pesan yang paling sering menjadi perhatian orang
tua adalah yang berhubungan dengan etika, menghormati diri sendiri, kejujuran, tindakan yang merugikan, dan kualitas pribadi.
Sebaliknya, komunikasi remaja yang buruk dengan orang tua menjadi prediktor penting dari kenakalan remaja Cernkovich Giordiano 1987.
Semakin tinggi komunikasi remaja dengan orang tua, semakin rendah pelanggaran norma Stattin Kerr 2000 dan kenakalan pada remaja Kerr Stattin 2000.
Ketika hubungan orang tua dan remaja ditandai dengan perilaku yang negatif, remaja mungkin kurang menginternalisasi nilai-nilai dan norma-norma orang tua
Dekovic’ et al. 2004. Lickona 2012 menegaskan bahwa ketika anak-anak dan remaja tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang tua mereka dan tidak
mengenal nilai-nilai yang berlaku dalam keluarga, mereka akan menjadi lebih lemah dalam menghadapi tekanan dari teman-temannya.
Penelitian-penelitian yang membahas tentang pengaruh keterlibatan orang tua dan teman sebaya terhadap remaja serta dampak yang ditimbulkannya telah
banyak dilakukan. Namun demikian, sejauh ini belum banyak yang meneliti mengenai tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya.
Berdasarkan berbagai telaahan di atas, penulis memandang penting penelitian ini karena dapat dikatakan berbeda dengan tipologi yang sudah ada sebelumnya.
Penelitian ini bermaksud memetakan posisi remaja di antara keluarga dan teman sebayanya dalam aktivitas berkomunikasi berdasarkan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif. Tujuan lain dari penelitian ini adalah: 1 menganalisis pola komunikasi remaja-keluarga dan pola komunikasi remaja-teman sebaya berdasarkan kategori
rendah, sedang, dan tinggi, dan 2 menganalisis perbedaan antara pola komunikasi remaja-keluarga dan pola komunikasi remaja-teman sebaya.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode eksplanatoris sekuensial. Penelitian jenis ini dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu: pendekatan kuantitatif dan kualitatif
Creswell 2010. Prosesnya dimulai dengan pengambilan data kuantitatif dilanjutkan dengan data kualitatif. Secara keseluruhan penelitian berlangsung
selama 6 bulan Februari –Juli 2014, dilaksanakan di 4 SMA negeri dan 2 SMA
swasta di Kota Bogor. Tahapan Pertama: Pendekatan Kuantitatif
-
Pengambilan Data Kuantitatif
Penelitian kuantitatif menggunakan metode survei dengan desain cross- sectional study
. Jumlah populasi berasal dari siswa kelas 2 SMA yang terdaftar pada Dinas Pendidikan Kota Bogor tahun ajaran 2013
–2014 sebanyak 4.915
orang. Dari jumlah itu diambil sampel sebanyak 372 orang berdasarkan rumus Slovin dengan toleransi kesalahan yang dipilih sebesar 5 persen. Usia responden
berkisar 15 –18 tahun. Responden dari setiap sekolah sebanyak 2 kelas, yaitu 1
kelas dari jurusan IPA dan 1 kelas lainnya dari jurusan IPS. Kelas dipilih secara acak oleh guru, selanjutnya seluruh siswa di kelas tersebut baik laki-laki maupun
perempuan menjadi responden untuk mengisi kuesioner yang telah disiapkan.
Data kuantitatif diperoleh dari data primer yang meliputi: 1 karakteristik remaja, 2 karakteristik keluarga, 3 karakteristik teman sebaya, 4 pola
komunikasi remaja dengan keluarga, 5 pola komunikasi remaja dengan teman sebaya, dan 6 tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman
sebaya. Data primer didapat dari siswa melalui pengisian kuesioner yang dilakukan sendiri oleh siswa di sekolah.
Instrumen penelitian dibagi menjadi 2 bagian. Pertama, pertanyaan- pertanyaan yang berhubungan dengan karakteristik remaja, keluarga, dan teman
sebaya meliputi: usia, jenis kelamin, urutan lahir, dan uang saku remaja; usia dan pendidikan ayah-ibu, jumlah anak dalam keluarga, dan pendapatan keluarga; serta
usia teman. Kedua, pertanyaan-pertanyaan mengenai pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya yang dikembangkan dan dimodifikasi oleh
peneliti berdasarkan konsep Revised Family Communication Pattern RFCP Ritchie Fitzpatrick 1990 dan telah melalui uji reliabilitas dan validitas.
Instrumen ini menggunakan skala jawaban Likert mulai dari 1 tidak pernah, 2 sekali-sekali, 3 sering, dan 4 selalu. Instrumen yang digunakan ini
mempunyai lima dimensi, yaitu: 1 topik pembicaraan; 2 durasi pembicaraan; 3 frekuensi pembicaraan; 4 media komunikasi; dan 5 situasi komunikasi.
Hasil uji reliabilitas pada masing-masing peubah menunjukkan nilai alpha Cronbach
sebagai berikut: pola komunikasi remaja-keluarga 63 pertanyaan; alpha Cronbach
= 0.941 dan pola komunikasi remaja-teman sebaya 30 pertanyaan; alpha Cronbach = 0.921. Dengan nilai alpha Cronbach di atas 0.6,
dapat dikatakan bahwa instrumen yang digunakan sudah sangat reliabel.
-
Pengolahan dan Analisis Data Kuantitatif
Data dianalisis dengan menggunakan program komputer. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1 analisis deskriptif untuk menjelaskan
karakteristik remaja, keluarga, teman sebaya, dan kategori pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya; 2 analisis independent sample t-test
untuk menguji perbedaan antara pola komunikasi remaja-keluarga dengan pola komunikasi remaja-teman sebaya; dan 3 pemetaan tipologi. Analisis deskriptif,
uji beda, dan tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya menggunakan software spss versi 19.0.
Prosedur analisis statistik yang dilakukan adalah sebagai berikut: Pertama, skor peubah pola komunikasi remaja-keluarga dan pola komunikasi remaja-teman
sebaya dijumlahkan lalu ditransformasi menjadi skala 0 sampai 100. Untuk mengategorikan pola komunikasi remaja-keluarga dan pola komunikasi remaja-
teman sebaya, skor yang telah dijadikan indeks tersebut dikelompokkan menjadi tiga, yakni: 1 kategori r
endah skor ≤ 50.0, 2 kategori sedang skor 50.0– 75.0, dan 3 kategori tinggi skor 75.0.
Kedua, untuk pemetaan tipologi, indeks pola komunikasi remaja-keluarga dan pola komunikasi remaja-teman sebaya dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1
Menengah- Rendah skor 75.0, dan 2 Tinggi skor ≥ 75.0. Setelah itu indeks
dari masing-masing responden pada peubah pola komunikasi remaja-keluarga dan pola komunikasi remaja-teman sebaya dikodifikasi. Jika masuk kategori
menengah-rendah diberi kode 0 dan kategori tinggi diberi kode 1. Data yang sudah dikodifikasi itu kemudian ditabulasi ke dalam sumbu X dan Y, sehingga
menghasilkan 4 tipologi. Sumbu X mewakili pola komunikasi remaja-keluarga, sedangkan sumbu Y adalah pola komunikasi remaja-teman sebaya.
Keempat tipologi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Tipe 1, pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya sama-sama tinggi high
communication pattern with family dan peers ; Tipe 2, pola komunikasi remaja-
keluarga tinggi, tetapi pola komunikasi remaja-teman sebaya menengah-rendah high communication pattern with family, but medium-low communication with
peers ; Tipe 3, pola komunikasi remaja-keluarga dan teman sebaya sama-sama
menengah rendah medium-low communication pattern with family dan peers; dan Tipe 4, pola komunikasi remaja-keluarga menengah-rendah, sebaliknya pola
komunikasi remaja-teman sebaya tinggi medium-low communication pattern with family, but high communication with peers
.
Tahapan Kedua: Pendekatan Kualitatif -
Pendalaman Melalui Focus Group Discussion FGD
Pada tahapan kualitatif, teknik yang digunakan adalah diskusi kelompok inti terpimpinfocus group discussion FGD. Teknik ini dipilih karena
memungkinkan peneliti mengontrol alur tanya jawab Creswell 2010. FGD dimaksudkan untuk menggali informasi lebih dalam dari sejumlah remaja yang
sebelumnya telah mengisi kuesioner mengenai pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya. Partisipan FGD dipilih secara purposive dari 6 SMA,
masing-masing sekolah diwakili 10 orang 5 perempuan dan 5 laki-laki, sehingga total partisipan adalah 60 orang. Jumlah remaja dibatasi agar peneliti dapat
mendalami jawaban dari masing-masing partisipan. FGD dilakukan di setiap sekolah sebanyak 2 kali, sekali pertemuan untuk remaja perempuan dan 1 kali
lainnya untuk remaja laki-laki. Total FGD untuk 60 partisipan adalah 12 kali pertemuan.
Ketika FGD berlangsung, para remaja diminta menyebutkan nama, umur, dan kegiatan mereka sehari-hari sepulang sekolah. Setelah itu, peneliti
mengajukan sejumlah pertanyaan yang telah disiapkan dalam panduan wawancara. Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah, “Kamu merasa lebih
nyaman mengobrol dengan orang tua atau teman?” Pertanyaan lainnya seputar
perbincangan sehari-hari remaja dengan orang tua dan teman sebayanya, seperti “Topik pembicaraan apa yang biasanya dibahas bersama orang tua? Apa yang
biasanya dibicarakan dengan teman?” dan “Bagaimana tanggapan orang tuamu jika kamu berbeda pendapat dengannya?” Semua jawaban direkam dengan alat
perekam tape recorder dan handycam atas persetujuan peserta. Peneliti juga mencatat hal-hal penting yang terjadi selama FGD berlangsung, seperti ekspresi
sedih atau ungkapan gembira ketika peserta memberikan jawaban tertentu.
-
Koding dan Analisis Isi
Hasil rekaman FGD selanjutnya ditranskrip ke dalam bentuk tulisan. Tahapan berikutnya adalah menganalisis hasil wawancara dan memasukkannya ke
dalam tipologi yang telah ditentukan pada penelitian kuantitatif. Analisis hasil wawancara mengikuti langkah-langkah yang dijelaskan oleh Graneheim dan
Lundman 2004. Satu wawancara pada suatu waktu dianalisis dengan memilih unit makna, yang kemudian dikondensasi dan dikodekan. Setelah itu, subkategori,
kategori dan tema diciptakan. Analisis isi dapat menyaring kata-kata ke dalam konten terkait kategori yang lebih sedikit. Hal ini diasumsikan bahwa ketika
diklasifikasikan ke dalam kategori yang sama, kata, frasa dan sejenisnya berbagi arti yang sama Cavanagh 1997.
Hasil
Pola Komunikasi Remaja dengan Keluarga dan Teman Sebaya Pola komunikasi remaja perempuan dengan keluarga sebagian besar
63.1 termasuk kategori sedang. Demikian pula pola komunikasi remaja laki- laki dengan keluarga, lebih dari setengah 51.8 termasuk kategori sedang
Tabel 41.
Tabel 41 Kategori pola komunikasi remaja dengan keluarga
Pola Komunikasi Remaja dengan Keluarga
Perempuan Laki-laki
n n
Rendah ≤ 50 50
24.3 70
42.2 Sedang 50-75
130 63.1
86 51.8
Tinggi 75 26
12.6 10
6.0 Total
206 100
166 100
Pada pola komunikasi remaja perempuan dengan teman sebaya, sebagian besar 61.7 termasuk kategori tinggi. Hal ini berbeda dengan pola komunikasi
remaja laki-laki dengan teman sebaya yang lebih banyak masuk kategori sedang 60.2 Tabel 42.
Tabel 42 Kategori pola komunikasi remaja dengan teman sebaya
Pola Komunikasi Remaja dengan Teman Sebaya
Perempuan Laki-laki
n n
Rendah ≤ 50
8 3.9
27 16.3
Sedang 50-75 71
34.5 100
60.2 Tinggi 75
127 61.7
39 23.5
Total 206
100 166
100
Nilai rata-rata indeks pada 5 dimensi pola komunikasi remaja dengan teman sebaya lebih tinggi dari rata-rata indeks pola komunikasi remaja dengan keluarga
Tabel 43 dan Tabel 44.
Tabel 43 Nilai rata-rata indeks dan uji beda pola komunikasi remaja –keluarga
PKRK dan pola komunikasi remaja –teman sebaya PKRTS pada
remaja perempuan n = 206
No Kategori Dimensi
Rata-rata indeks 0 –100
Uji beda t PKRK Perempuan PKRTS Perempuan
1 Topik
54.09 65.26
-6.98 2
Durasi 62.92
85.32 -11.50
3 Frekuensi
63.89 81.52
-10.22 4
Media 58.76
76.09 -10.43
5 Situasi
60.67 81.85
-16.13 Pola Komunikasi
59.21 75.96
-12.77 Keterangan: berbeda sangat nyata pada P0.01
Tabel 44 Nilai rata-rata indeks dan uji beda pola komunikasi remaja –keluarga
PKRK dan pola komunikasi remaja-teman sebaya PKRTS pada remaja laki-laki n = 166
No Kategori Dimensi
Rata-rata skor indeks 0 –100
Uji beda t PKRK Laki-laki
PKRTS Laki-laki 1
Topik 46.68
52.41 -3.25
2 Durasi
57.35 73.04
-6.27 3
Frekuensi 58.40
74.22 -7.65
4 Media
48.01 61.24
-6.24 5
Situasi 60.72
72.83 -7.20
Pola Komunikasi 53.58
64.74 -7.30
Keterangan: berbeda sangat nyata pada P0.01
Data tersebut menunjukkan bahwa intensitas komunikasi remaja baik perempuan maupun laki-laki cenderung lebih tinggi dengan teman-teman
sebayanya dibandingkan dengan orang tuanya. Analisis independent sample t-test menunjukkan perbedaan yang sangat nyata antara pola komunikasi remaja
perempuan dan laki-laki dengan keluarga dan pola komunikasi remaja perempuan dan laki-laki dengan teman sebaya. Skor pola komunikasi remaja
dengan teman sebaya yang lebih tinggi daripada keluarga membuktikan bahwa remaja lebih dekat dan lebih terikat kepada teman-temannya.
Tipologi Pola Komunikasi Remaja dengan Keluarga dan Teman Sebaya 1.
Pendekatan Kuantitatif
Berdasarkan tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya, terdapat 4 tipe seperti disajikan pada Gambar 8. Tipe 1 menunjukkan
remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya tinggi dan pola komunikasi dengan teman sebayanya juga tinggi. Tipe 2, yaitu remaja yang pola komunikasi
dengan keluarganya tinggi, namun pola komunikasi dengan teman sebayanya menengah-rendah. Tipe 3 adalah remaja yang pola komunikasi dengan
keluarganya menengah-rendah dan pola komunikasi dengan teman sebayanya juga menengah-rendah. Tipe 4 menunjukkan remaja yang pola komunikasi
dengan keluarganya menengah-rendah, namun pola komunikasi dengan teman sebayanya tinggi. Secara total, persentase terbesar tipologi pola komunikasi
remaja-keluarga dan remaja-teman sebaya adalah Tipe 3 52.1. Dilihat berdasarkan gender, remaja perempuan lebih banyak masuk Tipe 4 51.0 dan
sebagian besar remaja laki-laki 71.7 masuk Tipe 3.
Pola Komunikasi Remaja-Teman Sebaya Tinggi
Pola Komunikasi Pola Komunikasi Remaja-Keluarga Remaja -Keluarga
Menengah-Rendah Tinggi
Pola Komunikasi Remaja-Teman Sebaya Menengah-Rendah
Gambar 8 Tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya
Keterangan: Tipe 1 = Remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya tinggi dan pola komunikasi dengan
teman sebayanya juga tinggi interpersonal baik. Tipe 2 = Remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya tinggi, namun pola komunikasi
dengan teman sebayanya menengah-rendah anak mama. Tipe 3 = Remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya menengah-rendah dan pola
komunikasi dengan teman sebayanya juga menengah-rendah interpersonal kurang Tipe 4 = Remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya menengah-rendah, namun pola
komunikasi dengan teman sebayanya tinggi anak gaul