Pendekatan Kualitatif Pola Komunikasi, Kecerdasan Emosional, Dan Prestasi Belajar Siswa Sma Di Kota Bogor
                                                                                Meluasnya  penggunaan  komunikasi  digital  oleh  remaja  untuk  berinteraksi dengan teman sebaya, dalam banyak kasus dapat merusak hubungan dengan orang
tua,  saudara,  dan  anggota  keluarga  lain.  Ada  beberapa  bukti  bahwa  media elektronik  dapat  meningkatkan  hubungan  teman  sebaya  dengan  mengorbankan
keluarga,  terutama  hubungan  orang  tua-anak.  Sebuah  studi  video  selama  empat tahun yang intens pada 30 keluarga berpendapatan ganda ibu dan bapak bekerja
menjelaskan  peran  teknologi  dalam  kehidupan  keluarga  moderen.  Ketika  orang tua pulang ke rumah di malam hari, mereka menemukan bahwa anak-anak sering
begitu asyik dengan apa yang mereka lakukan. Mereka menyapa hanya sebentar, dan  biasanya  dengan  acuh  tak  acuh.  Setelah  itu  anak-anak  mengabaikannya  dan
terus  memantau  berbagai  elektronik  dan  gadget  gawai  mereka.  Elektronik multitasking
telah  merasuk,  kadang-kadang  mengorbankan  interaksi  tatap  muka dengan  keluarga,  antarsaudara  sekandung,  dan  orang  tua  Subrahmanyam
Greenfield 2008.
Simpulan dan Saran
Pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya berbeda sangat nyata.  Intensitas  komunikasi  remaja  dengan  teman  sebaya  lebih  tinggi  daripada
dengan  keluarganya  menunjukkan  bahwa  remaja  lebih  dekat  dan  lebih  terikat kepada  teman-temannya.  Tipologi  pola  komunikasi  remaja  dengan  keluarga  dan
teman sebaya terbanyak pada Tipe 3, yaitu remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya  menengah-rendah  dan  pola  komunikasi  dengan  teman  sebayanya
juga  menengah-rendah.  Berdasarkan  gender,  sebagian  besar  remaja  perempuan termasuk  Tipe  4,  yaitu  remaja  yang  pola  komunikasi  dengan  keluarganya
menengah-rendah, namun pola komunikasi dengan teman sebayanya tinggi.
Untuk  penelitian  ke  depan,  perlu  digali  faktor-faktor  yang  menyebabkan remaja  merasa  lebih  dekat  dengan  teman-temannya  daripada  keluarganya,  dan
pengaruh  kedekatan  remaja  dengan  teman  sebaya  terhadap  pola  komunikasi keluarga.  Penelitian  juga  perlu  diarahkan  untuk  mendalami  pola  komunikasi
remaja  di  media  sosial  seperti  Facebook,  Instagram,  Twitter,  Path,  dan  Ask.fm, serta hubungannya dengan perkembangan karakter remaja.
9 TANTANGAN KOMUNIKASI KELUARGA DI ERA DIGITAL
Challenges of Family Communication in the Digital Edge Abstrak.
Perkembangan  media  digital  yang  pesat  dewasa  ini  mendorong perubahan  sosial  di  segala  bidang.  Di  satu  sisi,  perkembangan  ini  memudahkan
setiap orang untuk membangun hubungan melalui media sosial, namun di sisi lain mengurangi  waktu  komunikasi  antara  orang  tua  dengan  anak.  Penelitian  ini
bertujuan untuk mengidentifikasi pola komunikasi remaja dengan keluarga, serta menganalisis  pengaruhnya  terhadap  kecerdasan  emosional  dan  prestasi  belajar.
Responden  adalah  siswa  kelas  2  SMA  di  Kota  Bogor  berusia  15-18  tahun sebanyak  372  orang.  Penelitian  berlangsung  mulai  Februari  sampai  Juli  2014
dengan  metode  survei.  Temuan  penelitian  menunjukkan  bahwa  pola  komunikasi remaja  dengan  ayah  sebagian  besar  berada  dalam  kategori  rendah  dan  sedang.
Pada  pola  komunikasi  remaja  dengan  ibu,  sebagian  besar  berada  dalam  kategori sedang  dan  tinggi.  Hasil  analisis  dengan  Structural  Equation  Modeling  SEM
memperlihatkan  bahwa  pola  komunikasi  remaja  dengan  keluarga  berpengaruh nyata  terhadap  kecerdasan  emosional  dan  prestasi  belajar  siswa.  Komunikasi
remaja dengan keluarga  berkontribusi terhadap prestasi belajar  yang lebih tinggi dari kecerdasan emosional.
Kata-kata kunci:
kecerdasan emosional, pola komunikasi, prestasi belajar Abstract.
The  rapid  development  of  digital  media  today  to  encourage  social change  in  all  areas.  On  the  one  hand,  this  development  allows  every  person  to
build relationships through social media, but on the other hand to reduce the time of  communication  between  parent  and  child.  This  research  aims  to  identify
patterns of adolescent communication with the family, as well as analyzing their effects  on  emotional  intelligence  and  learning  achievement.  Respondents  were
grade 2
nd
senior high school students in Bogor aged 15 –18 years as many as 372
peoples. The research was conducted from February to  July 2014 with a survey method.  The  research  findings  indicate  that  the  pattern  of  adolescent
communication with fathers was largely at the low and medium categories. In the communication  patterns  of  adolescents  with  mothers,  mostly  in  the  category  of
medium  and  high.  Results  of  analysis  with  Structural  Equation  Modeling  SEM shown  that  adolescent  communication  patterns  with  family  significantly  affect
emotional intelligence and learning achievement. Adolescent communication with family contribute to the learning achievement of higher of emotional intelligence.
Keywords:
communication patterns, emotional intelligence, learning achievement
Pendahuluan
Perkembangan  media  digital  yang  pesat  dewasa  ini  telah  mempercepat perubahan sosial di masyarakat, yang berdampak positif maupun negatif terhadap
kehidupan  keluarga.  Dampak  positif  yang  timbul  dari  perubahan  tersebut  adalah bertambahnya  kecepatan  dan  cara  berpikir  di  berbagai  bidang,  sehingga  hidup
menjadi  lebih  efisien  dan  pragmatis.  Namun  demikian,  perubahan  ini  juga menimbulkan  dampak  negatif,  yaitu  sebagian  masyarakat  mengalami  kesulitan
dalam memahami dan mengikuti perubahan yang kian cepat Friedman 2009.
Banyak  orang  yang  tidak  menyadari  bahwa  pemanfaatan  teknologi informasi  dan  komunikasi  TIK  yang  berlebihan  dapat  memengaruhi
perkembangan  otak  manusia,  serta  berdampak  negatif  terhadap  pola  asuh  dan komunikasi  keluarga  Friedman  2009;  Carr  2011.  Dewasa  ini  anak-anak,
terutama  remaja,  lebih  banyak  menghabiskan  waktunya  dengan  komputer  dan peralatan  gawai  gadget.  Tidak  jarang  berbagai  aktivitas  dilakukan  secara
simultan. Misalnya, siswa sekolah mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah PR sambil mendengar musik dengan pemutar MP3, sambil membalas e-mail di layar
komputer, dan mengetik SMS di ponsel atau memperbarui status di media sosial mereka.
Carr  2011  mengungkapkan  bahwa  waktu  yang  dibutuhkan  seseorang untuk  mengakses  media  online  dari  tahun  ke  tahun  selalu  meningkat.  Hasil
penelitian pada anak-anak Amerika berusia 11 sampai 12 tahun memperlihatkan bahwa  pada  2009  mereka  menggunakan  internet  sekitar  11  jam  seminggu  atau
meningkat lebih dari 60 persen sejak 2004. Data tersebut belum termasuk waktu yang  dihabiskan  seseorang  dengan  telepon  seluler.  Rata-rata  remaja  Amerika
mengirimkan atau menerima 2.272 teks setiap bulan. Di seluruh dunia, lebih dari dua triliun pesan instan melintas antartelepon seluler setiap tahun.
Perubahan  tersebut  bukan  hanya  dapat  menurunkan  daya  konsentrasi seseorang,  tetapi  juga  menghasilkan  budaya  instan  dan  menciptakan  jurang
komunikasi  antara  orang  tua  dan  anak.  Anak-anak  menghabiskan  banyak  waktu untuk  bermain  game  dan  berkomunikasi  di  dunia  maya  dengan  teman-teman
sebayanya,  sehingga  mengurangi  interaksinya  dengan  keluarga.  Padahal,  proses tumbuh  kembang  anak  dipengaruhi  pertama  dan  langsung  oleh  lingkungan
keluarga,  dan  setelah  itu  lingkungan  di  luar  keluarga  dari  mikro  sampai  makro. Apabila  terjadi  penyimpangan  di  dalam  proses  pembentukan  individu,  hal  itu
merupakan  serangkaian  hasil  dari  pengaruh  keluarga  dan  lingkungan  luarnya Bronfenbrenner 1994.
Semiawan  2002  mengatakan  bahwa  lingkungan  keluarga  merupakan media  pertama  dan  utama  yang  secara  langsung  maupun  tidak  langsung
berpengaruh  terhadap  perilaku  anak.  Agar  proses  tumbuh  kembang  anak berlangsung  optimal,  orang  tua  wajib  memenuhi  kebutuhan  dasar  anak  yang
meliputi  kebutuhan  akan  perhatian  dan  kasih  sayang.  Terlebih  ketika  memasuki usia remaja, anak mengalami masa transisi yang ditandai dengan perubahan dalam
segala aspek baik fisik, sosial, psikologi, dan mental. Di masa remaja, kebutuhan untuk  mengekspresikan  diri  dan  bersosialisasi  dengan  teman-teman  sebaya
berkembang  pesat.  Remaja  merasa  dirinya  sudah  mandiri,  memiliki  rasa  ingin tahu yang besar, selalu ingin mencoba banyak hal baru yang belum diketahuinya,
serta tidak ingin ketinggalan dari teman-temannya.
Remaja  juga  menghadapi  kompetisi  pengaruh  antara  keluarga  dengan lingkungan  teman-temannya.  Kelompok  teman  sebaya  ini  sangat  berbeda
posisinya dengan keluarga maupun sekolah Puspitawati 2006. Teman sebaya di samping  dapat  memberi  pengaruh  yang  positif  kepada  remaja,  di  sisi  lain  juga
dapat  menimbulkan  pengaruh  negatif.  DePorter  2011  mengidentifikasi kesulitan-kesulitan  yang  sering  dihadapi  remaja  dan  merangkumnya  ke  dalam
tujuh  masalah  utama  remaja,  yaitu:  hubungan  yang  bermasalah,  perasaan  yang terluka,  citra  diri  negatif,  rasa  takut  akan  perubahan  besar,  nilai-nilai  buruk  di
sekolah, kurang fokus, dan motivasi yang rendah.
Menurut DePorter 2011, ketujuh masalah di atas terjadi karena remaja dan orang  tua  sering  berbicara  melalui  dua  sudut  pandang  yang  berbeda.  Para  orang
tua  terpaku  pada  perspektif  mereka.  Sebaliknya,  remaja  berbicara  berdasarkan perspektif  dirinya.  Melalui  komunikasi  dan  interaksi  yang  positif  di  dalam
keluarga, orang tua dan remaja dapat mempererat hubungan antarpribadi sehingga remaja  tidak  mudah  percaya  apalagi  terpengaruh  oleh  ajakan  negatif  teman-
temannya.  Lickona  2012  menegaskan  bahwa  ketika  anak-anak  tidak  memiliki hubungan  dekat  dengan  orang  tua  mereka  dan  tidak  mengenal  nilai-nilai  yang
berlaku  dalam  keluarga,  mereka  akan  menjadi  lebih  lemah  dalam  menghadapi tekanan dari teman-temannya.
Pola  komunikasi  remaja  dengan  orang  tua  yang  harmonis  dapat meningkatkan hubungan interpersonal  yang baik sekaligus  memupuk kecerdasan
emosional  remaja  Ritchie    Fitzpatrick  1990;  Naghavi    Redzuan  2012. Gottman  1997  menunjukkan  bahwa  orang  tua  yang  baik  tidak  hanya
membutuhkan  kecerdasan  tetapi  juga  melibatkan  emosi.  Bagi  remaja,  pelajaran yang  paling  memberi  pengalaman  tentang  emosi  berasal  dari  keluarga.  Hal  itu
mencakup  kemampuan  untuk  mengontrol  impuls,  menunda  kepuasaan  delay gratification
,  memotivasi,  membaca  isyarat-isyarat  sosial  orang  lain,  dan mengatasi  kesulitan  hidup.  Remaja  yang  orang  tuanya  konsisten  mempraktikkan
pembinaan  emosi  memiliki  kesehatan  fisik  yang  baik  dan  skor  akademis  yang lebih tinggi dari remaja yang keluarganya tidak menawarkan bimbingan Naghavi
Redzuan 2012.
Goleman  1997  menggolongkan  lima  aspek  dalam  mengembangkan kualitas kecerdasan emosional. Pertama, mengenali emosi diri, yaitu kemampuan
untuk  mengetahui  perasaan  sewaktu  perasaan  itu  terjadi  bahagia,  sedih,  marah, takut, bingung yang dialaminya dan dapat mengungkapkan sikap yang dilakukan
untuk  mengutarakan  emosi,  serta  kemampuan  memantau  perasaan  untuk mengambil  keputusan.  Hal  ini  merupakan  dasar  kecerdasan  emosional  dan
merupakan hal yang penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Kedua, mengelola  emosi,  yaitu  kemampuan  seseorang  untuk  menangani  perasaan  agar
perasaan  dapat  terungkap  dengan  baik  dan  berdampak  positif  dalam melaksanakan tugas dan pencapaian suatu tujuan serta kemampuan untuk segera
pulih  dari  tekanan  emosi  yang  dialami.  Kemampuan  ini  sangat  tergantung  pada kesadaran diri yang dimiliki.
Ketiga,  yaitu  memotivasi  diri  sendiri.  Memotivasi  diri  adalah  kemampuan seseorang  dalam  mengatur,  menata  emosi  dalam  mencapai  tujuan,  kemampuan
untuk  berkreasi,  keterampilan  untuk    bertindak  lebih  produktif,  efektif  dan inovatif dalam hal apa pun yang dijalankan. Keempat, mengenali emosi orang lain
empati.  Kemampuan  ini  sangat  diperlukan  dalam  pergaulan  sehari-hari.  Orang
yang  mampu  berempati  akan  dapat  menangkap  tanda-tanda  sosial  yang mengisyaratkan  apa  yang  dibutuhkan  orang  lain.  Kemampuan  ini  akan
menumbuhkan  rasa  saling  percaya  dan  menyesuaikan  diri  dengan  berbagai macam orang.
Kelima,  kemampuan  membina  hubungan.  Aspek  yang  terakhir  ini  adalah kemampuan dalam menangani emosi secara baik ketika seseorang bergaul dengan
orang  lain,  dapat  membaca  situasi  dengan  baik,  berinteraksi  dengan  lancar, memimpin  musyawarah,  menyelesaikan  perselisihan  dengan  baik  serta  mampu
bekerja  sama  dengan  orang  lain.  Keterampilan  ini  menunjang  popularitas, kepemimpinan  dan  keberhasilan  antarpribadi.  Seorang  yang  hebat  dalam
keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan dengan  orang  lain.  Kemampuan  orang  dalam  mengembangkan  keterampilan  ini
berbeda-beda.  Beberapa  orang  terampil  dalam  menangani  kecemasan  diri  tetapi memiliki hambatan dalam menyesuaikan diri dengan orang lain.
Mengingat  pentingnya  perkembangan  emosi  dan  pencapaian  prestasi  di masa remaja, sudah sepantasnya orang tua meluangkan waktu lebih banyak untuk
berkomunikasi dengan remaja. Sering kali kesibukan orang tua merupakan salah satu  sebab  kurangnya  komunikasi  antara  remaja  dan  orang  tua.  Sehubungan
dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1 Mengidentifikasi karakteristik  remaja  dan  karakteristik  keluarga,  dan  2  menganalisis  pengaruh
pola  komunikasi  remaja  dengan  keluarga  terhadap  kecerdasan  emosional  dan prestasi belajarnya.
Metode Waktu, Tempat, dan Desain Penelitian
Penelitian  ini  berlangsung  selama  6  bulan,  yaitu  Februari –Juli  2014,
dilaksanakan di 4  SMA negeri dan 2 SMA swasta di Kota Bogor. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan desain cross-sectional study.
Sampel dan Teknik Penarikan Sampel
Jumlah  sampel  sebanyak  372  orang  diperoleh  berdasarkan  rumus  Slovin. Usia  responden  berkisar  15
–18  tahun.  Responden  dari  setiap  sekolah  diambil sebanyak 2 kelas, yaitu 1 kelas dari jurusan IPA dan 1 kelas lainnya dari jurusan
IPS.  Kelas  dipilih  secara  acak  oleh  guru,  selanjutnya  seluruh  siswa  di  kelas tersebut  baik  laki-laki  maupun  perempuan  menjadi  responden  untuk  mengisi
kuesioner yang telah disiapkan.
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Data  penelitian  ini  diperoleh  dari  data  primer  dan  data  sekunder.  Data primer  terdiri  dari:  1  karakteristik  remaja,  2  karakteristik  keluarga,  3  pola
komunikasi  remaja  dengan  keluarga,  4  kecerdasan  emosional  remaja,  dan  5 prestasi belajar. Data primer didapat dari siswa melalui pengisian kuesioner yang
dilakukan sendiri oleh siswa di sekolah. Data sekunder berupa nilai raport selama 3 semester diperoleh dari sekolah atas izin Kepala Sekolah.
Pola  komunikasi  remaja  dengan  keluarga  menggunakan  instrumen penelitian  yang  dikembangkan  berdasarkan  konsep  Revised  Family
Communication  Pattern RFCP  Ritchie    Fitzpatrick  1990  dan  telah  melalui
uji reliabilitas dan validitas. Instrumen ini menggunakan skala Likert mulai dari 1 tidak pernah, 2 sekali-sekali, 3 sering, dan 4 selalu. Pola komunikasi remaja
meliputi  5  dimensi,  yaitu:  1  topik  pembicaraan;  2  durasi  pembicaraan;  3 frekuensi pembicaraan; 4 media komunikasi; dan 5 situasi komunikasi.
Instrumen kecerdasan emosional berasal dari konsep Kecerdasan Emosional yang  dikeluarkan  oleh  Goleman  1997.  Instrumen  ini  memiliki  5  dimensi,
meliputi:  1  kesadaran  emosi  diri;  2  pengelolaan  emosi;  3  kemampuan memotivasi  diri;  4  kemampuan  empati;  dan  5  kemampuan  membina
hubungan.  Hasil  uji  reliabilitas  pada  masing-masing  peubah  menunjukkan  nilai alpha  Cronbach
sudah  sangat  reliabel,  sebagai  berikut:  dimensi  topik pembicaraan α = 0,868, durasi pembicaraan α = 0,863, frekuensi pembicaraan
α = 0,864, media komunikasi α = 0,728, situasi komunikasi α = 0,752, dan kecerdasan emosional 0,858.
Prestasi  belajar  terdiri  dari  prestasi  akademik  dan  non-akademik.  Prestasi akademik  dilihat  berdasarkan  nilai  raport  dari  4  mata  pelajaran  inti  selama  3
semester, sedangkan prestasi non-akademik di luar nilai raport seperti menjuarai lomba di bidang seni, musik, olahraga, pidato, debat, fotografi, dan menulis.
Pengolahan dan Analisis Data
Data  dianalisis  dengan  menggunakan  program  komputer.  Analisis  yang digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah:  1  analisis  deskriptif  digunakan  untuk
menjelaskan  karakteristik  remaja  dan  keluarga;  dan  2  analisis  Structural Equation  Modeling
SEM  untuk  melihat  pengaruh  pola  komunikasi  remaja dengan  keluarga  terhadap  kecerdasan  emosional  dan  prestasi  belajar.  Analisis
deskriptif  dilakukan  dengan  bantuan  spss  versi  19.0,  sedangkan  analisis  SEM menggunakan program LISREL 8.70.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Remaja dan Keluarga
Jumlah  siswa  perempuan  dalam  penelitian  ini  adalah  206  orang  55.4 lebih  banyak  dibandingkan  siswa  laki-laki  yang  berjumlah  166  orang  44.6.
Tidak  ada  perbedaan  yang  nyata  pada  usia  remaja  perempuan  dan  laki-laki. Sebanyak  67.5  siswa  dalam  penelitian  ini  berusia  16  tahun  atau  berada  di
kelompok  usia  remaja  akhir.  Sebanyak  174  siswa  46.8  adalah  anak  pertama dalam keluarga dan menerima uang saku per bulan rata-rata Rp675 448.
Rata-rata  usia  ayah  lebih  tinggi  daripada  rata-rata  usia  ibu.  Dilihat  lebih rinci, rata-rata usia ayah pada remaja laki-laki lebih tinggi 50.81 tahun daripada
rata-rata usia ayah pada remaja perempuan 49.05 tahun. Demikian pula rata-rata usia ibu pada remaja laki-laki lebih tinggi 46.32 tahun daripada rata-rata usia ibu
pada remaja perempuan 45.04 tahun. Ditemukan perbedaan sangat nyata antara usia ayah dan ibu pada remaja perempuan dan laki-laki.
Kebanyakan  orang  tua  remaja  pada  penelitian  ini  mencapai  jenjang pendidikan  tinggi.  Rerata  pendidikan  ayah  mencapai  15  tahun  lebih,  sedangkan
rerata  pendidikan  ibu  adalah  14  tahun  lebih.  Sebanyak  50  remaja  perempuan dan  44.6  remaja  laki-laki  mempunyai  ayah  dengan  pendidikan  sarjana  S1.
Demikian pula dengan pendidikan ibu, 37.9 remaja perempuan dan 38 remaja
laki-laki  mempunyai  ibu  lulusan  sarjana.  Jumlah  orang  tua  yang  lulus  SD  tidak banyak, yaitu ayah 0.6 dan ibu 1.8.
Lebih  dari  30  persen  remaja  berasal  dari  keluarga  yang  memiliki  2  atau  3 orang anak. Meskipun remaja pada penelitian ini ada  yang berasal dari  keluarga
dengan  anak  lebih  dari  4  orang,  namun  jumlahnya  relatif  sedikit.  Pendapatan keluarga pada penelitian ini memiliki rentang  yang sangat lebar. Nilai minimum
pendapatan keluarga adalah Rp1 000 000 dan maksimum sebesar Rp151 000 000. Dilihat  dari  rata-rata  pendapatan,  orang  tua  remaja  laki-laki  memiliki  rata-rata
pendapatan lebih tinggi Rp14 731 686 dibandingkan dengan remaja perempuan Rp14 507 281. Sebagian besar 59.9 siswa memiliki orang tua berpenghasilan
antara Rp5 050 000 sampai Rp20 000 000.
Pola Komunikasi Remaja dengan Keluarga
Komunikasi keluarga merupakan seperangkat norma  yang mengatur antara informasi  dan  tujuan  relasional  komunikasi  di  dalam  keluarga.  Lingkungan
keluarga dapat diklasifikasikan apakah anak didorong untuk mengembangkan dan mengekspresikan  pendapat  otonom  dan  ide-ide  orientasi  konsep  atau  untuk
mengejar tujuan-tujuan relasional yang sesuai dengan otoritas orang tua orientasi sosial Ritchie  Fitzpatrick 1990. Komunikasi keluarga merupakan cara utama
bagi  anak  untuk  belajar  berkomunikasi  dan  menafsirkan  perilaku  orang  lain, mengalami emosi, dan bertindak dalam hubungan mereka. Motif komunikasi dan
pilihan orang tua memberikan model  yang membentuk keterampilan komunikasi dan  berperilaku  bagi  remaja.  Komunikasi  dalam  keluarga  juga  memengaruhi
perilaku komunikatif dan persepsi dari masing-masing anggota keluarga Barbato et al
. 2009; Koerner  Fitzpatrick 2004; Orrego  Rodriguez 2001. Djamarah  2004  mengartikan  pola  komunikasi  sebagai  hubungan  antara
dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara  yang tepat,  sehingga  pesan  yang  dimaksud  dapat  dipahami.  Komunikasi  keluarga
terjadi karena ada pesan yang ingin disampaikan oleh orang tua kepada anak, dan sebaliknya  dari  anak  kepada  orang  tua.  Jika  komunikasi  berlangsung  dua  arah,
maka kedua pihak
– anak dan orang tua – terlibat dalam komunikasi yang sama- sama  aktif  dan  kreatif  dalam  mengemukakan  berbagai  ide  atau  gagasan,  baik
secara  lisan  maupun  tulisan  melalui  pesan  pendek  di  telepon  pintar,  surat elektronik,  dan  media  sosial.  Dengan  begitu,  komunikasi  keluarga  akan
berlangsung dinamis dan komunikatif.
Menurut  Djamarah  2004,  interaksi  sosial  yang  berlangsung  dalam keluarga  tidak  terjadi  dengan  sendirinya,  tetapi  ada  tujuan  atau  kebutuhan
bersama  antara  ibu,  ayah,  dan  anak.  Komunikasi  dalam  keluarga  dapat berlangsung  secara  vertikal  maupun  horisontal.  Proses  komunikasi  terjadi  silih
berganti antara suami-istri, ayah-ibu atau ibu-ayah; ayah-anak dan ibu-anak, atau sebaliknya, anak-ayah dan anak-ibu; serta anak dengan saudara kandung lainnya.
Namun demikian, penelitian ini dibatasi hanya  mengukur dan menganalisis pola komunikasi yang berlangsung antara remaja-ayah dan remaja-ibu.
Pola Komunikasi Remaja dengan Ayah 1.
Dimensi Topik Pembicaraan
Pada dimensi topik pembicaraan, baik remaja perempuan maupun laki-laki lebih  banyak  menjawab  “sekali-sekali”  dalam  hal  memberitahukan  nilai
ulangannya  ke  ayah,  menceritakan  perihal  teman-teman,  menanyakan  pelajaran sekolah,  mengungkapkan  isi  hati,  mengajak  diskusi  tentang  perkembangan
teknologi informasi, dan membicarakan masalah di sekolah. Lebih dari 30 persen remaja  perempuan  dan  laki-
laki  mengatakan  bahwa  ayah  “selalu”  menjelaskan tentang pengaruh negatif dari masalah kenakalan pelajar seperti tawuran, narkoba,
hubungan  seks  bebas,  dan  merokok.  Dalam  hal  pembicaraan  mengenai  masa depan, sebagian besar remaja perempuan dan laki-
laki juga mengatakan “selalu” memberitahukan  cita-citanya  kepada  ayah.  Persentase  remaja  perempuan  yang
menjawab  “selalu”  tentang  memberitahukan  cita-cita  kepada  ayah  lebih  besar 51.9 dibandingkan dengan remaja laki-laki 38.0.
Temuan  lain,  hampir  setengah  remaja  perempuan  dan  laki-laki mengungkapkan  bahwa  ayah  tidak  pernah  bertanya  soal  pacar.  Hal  ini
menunjukkan  bahwa  baik  remaja  perempuan  maupun  laki-laki  tertutup  untuk membicarakan tentang teman lawan jenisnya pacar kepada ayah. Sebanyak 35.4
persen remaja  perempuan  menjawab  “selalu”  meminta  bantuan  ayah  jika  ada
masalah  keuangan,  dan  8.7  persen  mengataka n  “tidak  pernah”.  Sebaliknya  39.8
persen remaja laki- laki menjawab “sekali-sekali” meminta bantuan ayah jika ada
masalah keuangan, dan 12.0 persen mengaku “tidak pernah”. Dapat disimpulkan
bahwa remaja laki-laki lebih mandiri dalam mengatasi masalah keuangannya.
                