Pendekatan Kualitatif Pola Komunikasi, Kecerdasan Emosional, Dan Prestasi Belajar Siswa Sma Di Kota Bogor
Meluasnya penggunaan komunikasi digital oleh remaja untuk berinteraksi dengan teman sebaya, dalam banyak kasus dapat merusak hubungan dengan orang
tua, saudara, dan anggota keluarga lain. Ada beberapa bukti bahwa media elektronik dapat meningkatkan hubungan teman sebaya dengan mengorbankan
keluarga, terutama hubungan orang tua-anak. Sebuah studi video selama empat tahun yang intens pada 30 keluarga berpendapatan ganda ibu dan bapak bekerja
menjelaskan peran teknologi dalam kehidupan keluarga moderen. Ketika orang tua pulang ke rumah di malam hari, mereka menemukan bahwa anak-anak sering
begitu asyik dengan apa yang mereka lakukan. Mereka menyapa hanya sebentar, dan biasanya dengan acuh tak acuh. Setelah itu anak-anak mengabaikannya dan
terus memantau berbagai elektronik dan gadget gawai mereka. Elektronik multitasking
telah merasuk, kadang-kadang mengorbankan interaksi tatap muka dengan keluarga, antarsaudara sekandung, dan orang tua Subrahmanyam
Greenfield 2008.
Simpulan dan Saran
Pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya berbeda sangat nyata. Intensitas komunikasi remaja dengan teman sebaya lebih tinggi daripada
dengan keluarganya menunjukkan bahwa remaja lebih dekat dan lebih terikat kepada teman-temannya. Tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan
teman sebaya terbanyak pada Tipe 3, yaitu remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya menengah-rendah dan pola komunikasi dengan teman sebayanya
juga menengah-rendah. Berdasarkan gender, sebagian besar remaja perempuan termasuk Tipe 4, yaitu remaja yang pola komunikasi dengan keluarganya
menengah-rendah, namun pola komunikasi dengan teman sebayanya tinggi.
Untuk penelitian ke depan, perlu digali faktor-faktor yang menyebabkan remaja merasa lebih dekat dengan teman-temannya daripada keluarganya, dan
pengaruh kedekatan remaja dengan teman sebaya terhadap pola komunikasi keluarga. Penelitian juga perlu diarahkan untuk mendalami pola komunikasi
remaja di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, Path, dan Ask.fm, serta hubungannya dengan perkembangan karakter remaja.
9 TANTANGAN KOMUNIKASI KELUARGA DI ERA DIGITAL
Challenges of Family Communication in the Digital Edge Abstrak.
Perkembangan media digital yang pesat dewasa ini mendorong perubahan sosial di segala bidang. Di satu sisi, perkembangan ini memudahkan
setiap orang untuk membangun hubungan melalui media sosial, namun di sisi lain mengurangi waktu komunikasi antara orang tua dengan anak. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi pola komunikasi remaja dengan keluarga, serta menganalisis pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar.
Responden adalah siswa kelas 2 SMA di Kota Bogor berusia 15-18 tahun sebanyak 372 orang. Penelitian berlangsung mulai Februari sampai Juli 2014
dengan metode survei. Temuan penelitian menunjukkan bahwa pola komunikasi remaja dengan ayah sebagian besar berada dalam kategori rendah dan sedang.
Pada pola komunikasi remaja dengan ibu, sebagian besar berada dalam kategori sedang dan tinggi. Hasil analisis dengan Structural Equation Modeling SEM
memperlihatkan bahwa pola komunikasi remaja dengan keluarga berpengaruh nyata terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar siswa. Komunikasi
remaja dengan keluarga berkontribusi terhadap prestasi belajar yang lebih tinggi dari kecerdasan emosional.
Kata-kata kunci:
kecerdasan emosional, pola komunikasi, prestasi belajar Abstract.
The rapid development of digital media today to encourage social change in all areas. On the one hand, this development allows every person to
build relationships through social media, but on the other hand to reduce the time of communication between parent and child. This research aims to identify
patterns of adolescent communication with the family, as well as analyzing their effects on emotional intelligence and learning achievement. Respondents were
grade 2
nd
senior high school students in Bogor aged 15 –18 years as many as 372
peoples. The research was conducted from February to July 2014 with a survey method. The research findings indicate that the pattern of adolescent
communication with fathers was largely at the low and medium categories. In the communication patterns of adolescents with mothers, mostly in the category of
medium and high. Results of analysis with Structural Equation Modeling SEM shown that adolescent communication patterns with family significantly affect
emotional intelligence and learning achievement. Adolescent communication with family contribute to the learning achievement of higher of emotional intelligence.
Keywords:
communication patterns, emotional intelligence, learning achievement
Pendahuluan
Perkembangan media digital yang pesat dewasa ini telah mempercepat perubahan sosial di masyarakat, yang berdampak positif maupun negatif terhadap
kehidupan keluarga. Dampak positif yang timbul dari perubahan tersebut adalah bertambahnya kecepatan dan cara berpikir di berbagai bidang, sehingga hidup
menjadi lebih efisien dan pragmatis. Namun demikian, perubahan ini juga menimbulkan dampak negatif, yaitu sebagian masyarakat mengalami kesulitan
dalam memahami dan mengikuti perubahan yang kian cepat Friedman 2009.
Banyak orang yang tidak menyadari bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi TIK yang berlebihan dapat memengaruhi
perkembangan otak manusia, serta berdampak negatif terhadap pola asuh dan komunikasi keluarga Friedman 2009; Carr 2011. Dewasa ini anak-anak,
terutama remaja, lebih banyak menghabiskan waktunya dengan komputer dan peralatan gawai gadget. Tidak jarang berbagai aktivitas dilakukan secara
simultan. Misalnya, siswa sekolah mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah PR sambil mendengar musik dengan pemutar MP3, sambil membalas e-mail di layar
komputer, dan mengetik SMS di ponsel atau memperbarui status di media sosial mereka.
Carr 2011 mengungkapkan bahwa waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengakses media online dari tahun ke tahun selalu meningkat. Hasil
penelitian pada anak-anak Amerika berusia 11 sampai 12 tahun memperlihatkan bahwa pada 2009 mereka menggunakan internet sekitar 11 jam seminggu atau
meningkat lebih dari 60 persen sejak 2004. Data tersebut belum termasuk waktu yang dihabiskan seseorang dengan telepon seluler. Rata-rata remaja Amerika
mengirimkan atau menerima 2.272 teks setiap bulan. Di seluruh dunia, lebih dari dua triliun pesan instan melintas antartelepon seluler setiap tahun.
Perubahan tersebut bukan hanya dapat menurunkan daya konsentrasi seseorang, tetapi juga menghasilkan budaya instan dan menciptakan jurang
komunikasi antara orang tua dan anak. Anak-anak menghabiskan banyak waktu untuk bermain game dan berkomunikasi di dunia maya dengan teman-teman
sebayanya, sehingga mengurangi interaksinya dengan keluarga. Padahal, proses tumbuh kembang anak dipengaruhi pertama dan langsung oleh lingkungan
keluarga, dan setelah itu lingkungan di luar keluarga dari mikro sampai makro. Apabila terjadi penyimpangan di dalam proses pembentukan individu, hal itu
merupakan serangkaian hasil dari pengaruh keluarga dan lingkungan luarnya Bronfenbrenner 1994.
Semiawan 2002 mengatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung maupun tidak langsung
berpengaruh terhadap perilaku anak. Agar proses tumbuh kembang anak berlangsung optimal, orang tua wajib memenuhi kebutuhan dasar anak yang
meliputi kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang. Terlebih ketika memasuki usia remaja, anak mengalami masa transisi yang ditandai dengan perubahan dalam
segala aspek baik fisik, sosial, psikologi, dan mental. Di masa remaja, kebutuhan untuk mengekspresikan diri dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya
berkembang pesat. Remaja merasa dirinya sudah mandiri, memiliki rasa ingin tahu yang besar, selalu ingin mencoba banyak hal baru yang belum diketahuinya,
serta tidak ingin ketinggalan dari teman-temannya.
Remaja juga menghadapi kompetisi pengaruh antara keluarga dengan lingkungan teman-temannya. Kelompok teman sebaya ini sangat berbeda
posisinya dengan keluarga maupun sekolah Puspitawati 2006. Teman sebaya di samping dapat memberi pengaruh yang positif kepada remaja, di sisi lain juga
dapat menimbulkan pengaruh negatif. DePorter 2011 mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang sering dihadapi remaja dan merangkumnya ke dalam
tujuh masalah utama remaja, yaitu: hubungan yang bermasalah, perasaan yang terluka, citra diri negatif, rasa takut akan perubahan besar, nilai-nilai buruk di
sekolah, kurang fokus, dan motivasi yang rendah.
Menurut DePorter 2011, ketujuh masalah di atas terjadi karena remaja dan orang tua sering berbicara melalui dua sudut pandang yang berbeda. Para orang
tua terpaku pada perspektif mereka. Sebaliknya, remaja berbicara berdasarkan perspektif dirinya. Melalui komunikasi dan interaksi yang positif di dalam
keluarga, orang tua dan remaja dapat mempererat hubungan antarpribadi sehingga remaja tidak mudah percaya apalagi terpengaruh oleh ajakan negatif teman-
temannya. Lickona 2012 menegaskan bahwa ketika anak-anak tidak memiliki hubungan dekat dengan orang tua mereka dan tidak mengenal nilai-nilai yang
berlaku dalam keluarga, mereka akan menjadi lebih lemah dalam menghadapi tekanan dari teman-temannya.
Pola komunikasi remaja dengan orang tua yang harmonis dapat meningkatkan hubungan interpersonal yang baik sekaligus memupuk kecerdasan
emosional remaja Ritchie Fitzpatrick 1990; Naghavi Redzuan 2012. Gottman 1997 menunjukkan bahwa orang tua yang baik tidak hanya
membutuhkan kecerdasan tetapi juga melibatkan emosi. Bagi remaja, pelajaran yang paling memberi pengalaman tentang emosi berasal dari keluarga. Hal itu
mencakup kemampuan untuk mengontrol impuls, menunda kepuasaan delay gratification
, memotivasi, membaca isyarat-isyarat sosial orang lain, dan mengatasi kesulitan hidup. Remaja yang orang tuanya konsisten mempraktikkan
pembinaan emosi memiliki kesehatan fisik yang baik dan skor akademis yang lebih tinggi dari remaja yang keluarganya tidak menawarkan bimbingan Naghavi
Redzuan 2012.
Goleman 1997 menggolongkan lima aspek dalam mengembangkan kualitas kecerdasan emosional. Pertama, mengenali emosi diri, yaitu kemampuan
untuk mengetahui perasaan sewaktu perasaan itu terjadi bahagia, sedih, marah, takut, bingung yang dialaminya dan dapat mengungkapkan sikap yang dilakukan
untuk mengutarakan emosi, serta kemampuan memantau perasaan untuk mengambil keputusan. Hal ini merupakan dasar kecerdasan emosional dan
merupakan hal yang penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Kedua, mengelola emosi, yaitu kemampuan seseorang untuk menangani perasaan agar
perasaan dapat terungkap dengan baik dan berdampak positif dalam melaksanakan tugas dan pencapaian suatu tujuan serta kemampuan untuk segera
pulih dari tekanan emosi yang dialami. Kemampuan ini sangat tergantung pada kesadaran diri yang dimiliki.
Ketiga, yaitu memotivasi diri sendiri. Memotivasi diri adalah kemampuan seseorang dalam mengatur, menata emosi dalam mencapai tujuan, kemampuan
untuk berkreasi, keterampilan untuk bertindak lebih produktif, efektif dan inovatif dalam hal apa pun yang dijalankan. Keempat, mengenali emosi orang lain
empati. Kemampuan ini sangat diperlukan dalam pergaulan sehari-hari. Orang
yang mampu berempati akan dapat menangkap tanda-tanda sosial yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang lain. Kemampuan ini akan
menumbuhkan rasa saling percaya dan menyesuaikan diri dengan berbagai macam orang.
Kelima, kemampuan membina hubungan. Aspek yang terakhir ini adalah kemampuan dalam menangani emosi secara baik ketika seseorang bergaul dengan
orang lain, dapat membaca situasi dengan baik, berinteraksi dengan lancar, memimpin musyawarah, menyelesaikan perselisihan dengan baik serta mampu
bekerja sama dengan orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antarpribadi. Seorang yang hebat dalam
keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan dengan orang lain. Kemampuan orang dalam mengembangkan keterampilan ini
berbeda-beda. Beberapa orang terampil dalam menangani kecemasan diri tetapi memiliki hambatan dalam menyesuaikan diri dengan orang lain.
Mengingat pentingnya perkembangan emosi dan pencapaian prestasi di masa remaja, sudah sepantasnya orang tua meluangkan waktu lebih banyak untuk
berkomunikasi dengan remaja. Sering kali kesibukan orang tua merupakan salah satu sebab kurangnya komunikasi antara remaja dan orang tua. Sehubungan
dengan permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1 Mengidentifikasi karakteristik remaja dan karakteristik keluarga, dan 2 menganalisis pengaruh
pola komunikasi remaja dengan keluarga terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajarnya.
Metode Waktu, Tempat, dan Desain Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan, yaitu Februari –Juli 2014,
dilaksanakan di 4 SMA negeri dan 2 SMA swasta di Kota Bogor. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan desain cross-sectional study.
Sampel dan Teknik Penarikan Sampel
Jumlah sampel sebanyak 372 orang diperoleh berdasarkan rumus Slovin. Usia responden berkisar 15
–18 tahun. Responden dari setiap sekolah diambil sebanyak 2 kelas, yaitu 1 kelas dari jurusan IPA dan 1 kelas lainnya dari jurusan
IPS. Kelas dipilih secara acak oleh guru, selanjutnya seluruh siswa di kelas tersebut baik laki-laki maupun perempuan menjadi responden untuk mengisi
kuesioner yang telah disiapkan.
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian ini diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari: 1 karakteristik remaja, 2 karakteristik keluarga, 3 pola
komunikasi remaja dengan keluarga, 4 kecerdasan emosional remaja, dan 5 prestasi belajar. Data primer didapat dari siswa melalui pengisian kuesioner yang
dilakukan sendiri oleh siswa di sekolah. Data sekunder berupa nilai raport selama 3 semester diperoleh dari sekolah atas izin Kepala Sekolah.
Pola komunikasi remaja dengan keluarga menggunakan instrumen penelitian yang dikembangkan berdasarkan konsep Revised Family
Communication Pattern RFCP Ritchie Fitzpatrick 1990 dan telah melalui
uji reliabilitas dan validitas. Instrumen ini menggunakan skala Likert mulai dari 1 tidak pernah, 2 sekali-sekali, 3 sering, dan 4 selalu. Pola komunikasi remaja
meliputi 5 dimensi, yaitu: 1 topik pembicaraan; 2 durasi pembicaraan; 3 frekuensi pembicaraan; 4 media komunikasi; dan 5 situasi komunikasi.
Instrumen kecerdasan emosional berasal dari konsep Kecerdasan Emosional yang dikeluarkan oleh Goleman 1997. Instrumen ini memiliki 5 dimensi,
meliputi: 1 kesadaran emosi diri; 2 pengelolaan emosi; 3 kemampuan memotivasi diri; 4 kemampuan empati; dan 5 kemampuan membina
hubungan. Hasil uji reliabilitas pada masing-masing peubah menunjukkan nilai alpha Cronbach
sudah sangat reliabel, sebagai berikut: dimensi topik pembicaraan α = 0,868, durasi pembicaraan α = 0,863, frekuensi pembicaraan
α = 0,864, media komunikasi α = 0,728, situasi komunikasi α = 0,752, dan kecerdasan emosional 0,858.
Prestasi belajar terdiri dari prestasi akademik dan non-akademik. Prestasi akademik dilihat berdasarkan nilai raport dari 4 mata pelajaran inti selama 3
semester, sedangkan prestasi non-akademik di luar nilai raport seperti menjuarai lomba di bidang seni, musik, olahraga, pidato, debat, fotografi, dan menulis.
Pengolahan dan Analisis Data
Data dianalisis dengan menggunakan program komputer. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1 analisis deskriptif digunakan untuk
menjelaskan karakteristik remaja dan keluarga; dan 2 analisis Structural Equation Modeling
SEM untuk melihat pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Analisis
deskriptif dilakukan dengan bantuan spss versi 19.0, sedangkan analisis SEM menggunakan program LISREL 8.70.
Hasil dan Pembahasan Karakteristik Remaja dan Keluarga
Jumlah siswa perempuan dalam penelitian ini adalah 206 orang 55.4 lebih banyak dibandingkan siswa laki-laki yang berjumlah 166 orang 44.6.
Tidak ada perbedaan yang nyata pada usia remaja perempuan dan laki-laki. Sebanyak 67.5 siswa dalam penelitian ini berusia 16 tahun atau berada di
kelompok usia remaja akhir. Sebanyak 174 siswa 46.8 adalah anak pertama dalam keluarga dan menerima uang saku per bulan rata-rata Rp675 448.
Rata-rata usia ayah lebih tinggi daripada rata-rata usia ibu. Dilihat lebih rinci, rata-rata usia ayah pada remaja laki-laki lebih tinggi 50.81 tahun daripada
rata-rata usia ayah pada remaja perempuan 49.05 tahun. Demikian pula rata-rata usia ibu pada remaja laki-laki lebih tinggi 46.32 tahun daripada rata-rata usia ibu
pada remaja perempuan 45.04 tahun. Ditemukan perbedaan sangat nyata antara usia ayah dan ibu pada remaja perempuan dan laki-laki.
Kebanyakan orang tua remaja pada penelitian ini mencapai jenjang pendidikan tinggi. Rerata pendidikan ayah mencapai 15 tahun lebih, sedangkan
rerata pendidikan ibu adalah 14 tahun lebih. Sebanyak 50 remaja perempuan dan 44.6 remaja laki-laki mempunyai ayah dengan pendidikan sarjana S1.
Demikian pula dengan pendidikan ibu, 37.9 remaja perempuan dan 38 remaja
laki-laki mempunyai ibu lulusan sarjana. Jumlah orang tua yang lulus SD tidak banyak, yaitu ayah 0.6 dan ibu 1.8.
Lebih dari 30 persen remaja berasal dari keluarga yang memiliki 2 atau 3 orang anak. Meskipun remaja pada penelitian ini ada yang berasal dari keluarga
dengan anak lebih dari 4 orang, namun jumlahnya relatif sedikit. Pendapatan keluarga pada penelitian ini memiliki rentang yang sangat lebar. Nilai minimum
pendapatan keluarga adalah Rp1 000 000 dan maksimum sebesar Rp151 000 000. Dilihat dari rata-rata pendapatan, orang tua remaja laki-laki memiliki rata-rata
pendapatan lebih tinggi Rp14 731 686 dibandingkan dengan remaja perempuan Rp14 507 281. Sebagian besar 59.9 siswa memiliki orang tua berpenghasilan
antara Rp5 050 000 sampai Rp20 000 000.
Pola Komunikasi Remaja dengan Keluarga
Komunikasi keluarga merupakan seperangkat norma yang mengatur antara informasi dan tujuan relasional komunikasi di dalam keluarga. Lingkungan
keluarga dapat diklasifikasikan apakah anak didorong untuk mengembangkan dan mengekspresikan pendapat otonom dan ide-ide orientasi konsep atau untuk
mengejar tujuan-tujuan relasional yang sesuai dengan otoritas orang tua orientasi sosial Ritchie Fitzpatrick 1990. Komunikasi keluarga merupakan cara utama
bagi anak untuk belajar berkomunikasi dan menafsirkan perilaku orang lain, mengalami emosi, dan bertindak dalam hubungan mereka. Motif komunikasi dan
pilihan orang tua memberikan model yang membentuk keterampilan komunikasi dan berperilaku bagi remaja. Komunikasi dalam keluarga juga memengaruhi
perilaku komunikatif dan persepsi dari masing-masing anggota keluarga Barbato et al
. 2009; Koerner Fitzpatrick 2004; Orrego Rodriguez 2001. Djamarah 2004 mengartikan pola komunikasi sebagai hubungan antara
dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Komunikasi keluarga
terjadi karena ada pesan yang ingin disampaikan oleh orang tua kepada anak, dan sebaliknya dari anak kepada orang tua. Jika komunikasi berlangsung dua arah,
maka kedua pihak
– anak dan orang tua – terlibat dalam komunikasi yang sama- sama aktif dan kreatif dalam mengemukakan berbagai ide atau gagasan, baik
secara lisan maupun tulisan melalui pesan pendek di telepon pintar, surat elektronik, dan media sosial. Dengan begitu, komunikasi keluarga akan
berlangsung dinamis dan komunikatif.
Menurut Djamarah 2004, interaksi sosial yang berlangsung dalam keluarga tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi ada tujuan atau kebutuhan
bersama antara ibu, ayah, dan anak. Komunikasi dalam keluarga dapat berlangsung secara vertikal maupun horisontal. Proses komunikasi terjadi silih
berganti antara suami-istri, ayah-ibu atau ibu-ayah; ayah-anak dan ibu-anak, atau sebaliknya, anak-ayah dan anak-ibu; serta anak dengan saudara kandung lainnya.
Namun demikian, penelitian ini dibatasi hanya mengukur dan menganalisis pola komunikasi yang berlangsung antara remaja-ayah dan remaja-ibu.
Pola Komunikasi Remaja dengan Ayah 1.
Dimensi Topik Pembicaraan
Pada dimensi topik pembicaraan, baik remaja perempuan maupun laki-laki lebih banyak menjawab “sekali-sekali” dalam hal memberitahukan nilai
ulangannya ke ayah, menceritakan perihal teman-teman, menanyakan pelajaran sekolah, mengungkapkan isi hati, mengajak diskusi tentang perkembangan
teknologi informasi, dan membicarakan masalah di sekolah. Lebih dari 30 persen remaja perempuan dan laki-
laki mengatakan bahwa ayah “selalu” menjelaskan tentang pengaruh negatif dari masalah kenakalan pelajar seperti tawuran, narkoba,
hubungan seks bebas, dan merokok. Dalam hal pembicaraan mengenai masa depan, sebagian besar remaja perempuan dan laki-
laki juga mengatakan “selalu” memberitahukan cita-citanya kepada ayah. Persentase remaja perempuan yang
menjawab “selalu” tentang memberitahukan cita-cita kepada ayah lebih besar 51.9 dibandingkan dengan remaja laki-laki 38.0.
Temuan lain, hampir setengah remaja perempuan dan laki-laki mengungkapkan bahwa ayah tidak pernah bertanya soal pacar. Hal ini
menunjukkan bahwa baik remaja perempuan maupun laki-laki tertutup untuk membicarakan tentang teman lawan jenisnya pacar kepada ayah. Sebanyak 35.4
persen remaja perempuan menjawab “selalu” meminta bantuan ayah jika ada
masalah keuangan, dan 8.7 persen mengataka n “tidak pernah”. Sebaliknya 39.8
persen remaja laki- laki menjawab “sekali-sekali” meminta bantuan ayah jika ada
masalah keuangan, dan 12.0 persen mengaku “tidak pernah”. Dapat disimpulkan
bahwa remaja laki-laki lebih mandiri dalam mengatasi masalah keuangannya.