Teori Pemrosesan Informasi Pola Komunikasi, Kecerdasan Emosional, Dan Prestasi Belajar Siswa Sma Di Kota Bogor
                                                                                Ketiga,  norma  sosial  adalah  sebuah  peraturan  yang  menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosial. Normal
sosial dapat berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan, yaitu pandangan hidup masyarakat secara umum. Namun demikian,
setiap keluarga juga mempunyai norma sosial yang spesifik. Misalnya, pembagian tugas  dalam  rumah  tangga,  yang  merupakan  bagian  dari  struktur  keluarga  untuk
mengatur tingkah laku setiap anggotanya.
Sedangkan  yang  berkaitan  dengan  aspek  fungsional,  Megawangi  2005 berpendapat  bahwa  aspek  ini  sulit  dipisahkan  dari  aspek  struktural  karena
keduanya  saling  berkaitan.  Seseorang  dalam  sebuah  sistem  dengan  status  sosial tertentu tidak lepas dari peran yang diharapkan. Hal ini berfungsi untuk menjaga
kelangsungan  hidup  atau  pencapaian  keseimbangan  pada  sistem  tersebut.  Arti fungsi  di  sini  dikaitkan  dengan  bagaimana  sebuah  sistem  atau  subsistem  dalam
masyarakat dapat saling  berhubungan dan menjadi sebuah kesatuan. Megawangi menggarisbawahi  bahwa  sebuah  sistem  mengacu  pada  kegunaannya  untuk
memelihara  dirinya  sendiri  dan  memberikan  kontribusi  pada  berfungsinya subsistem-subsistem  yang lain. Apabila terjadi anomali dalam sebuah subsistem,
maka akan memengaruhi fungsi dari sistem tersebut secara keseluruhan.
Dalam  kerangka  pikir  teori  struktural-fungsional,  Ihromi  2004 menjelaskan  bahwa  masyarakat  dipandang  sebagai  suatu  sistem  yang  dinamis,
yang  terdiri  dari  berbagai  bagian  atau  subsistem  yang  saling  berhubungan. Analisis  terhadap  sistem  ini  adalah,  apakah  konsekuensi  dari  setiap  bagian  dari
sistem  untuk  setiap  bagian  lainnya  dan  untuk  sistem  secara  keseluruhan.  Sistem dalam  pendekatan  yang  disampaikan  Ihromi  ini  berada  pada  lapisan  individual
perkembangan  kepribadian,  lapisan  institusional  keluarga,  dan  lapisan masyarakat.  Suatu  analisis  fungsional  terhadap  keluarga  menekankan  pada
hubungan  antara  keluarga  dan  masyarakat  luas,  hubungan-hubungan  internal  di antara subsistem-subsistem yang ada dalam keluarga dan atau hubungan di antara
keluarga dan kepribadian dari para anggota keluarga sebagai pribadi.
Penerapan  teori  struktural-fungsional  dalam  konteks  keluarga  juga  terlihat dari  struktur  dan  aturan  yang  ditetapkan.  Chapman  Puspitawati  2006
menyatakan  bahwa  keluarga  adalah  unit  universal  yang  memiliki  peraturan, seperti  peraturan  untuk  anak-anak  agar  dapat  belajar  mandiri.  Tanpa  aturan  atau
fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tidak memiliki arti yang  dapat  menghasilkan  suatu  kebahagiaan.  Dengan  tidak  adanya  peraturan,
akan tumbuh atau terbentuk generasi penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih  baik  dan  akan  mempunyai  masalah  emosional  serta  hidup  tanpa  arah.
Chapman juga menambahkan bahwa keluarga dalam kebudayaan Barat selama 30 tahun terakhir telah mengalami perubahan  yang luar biasa dan sudah kehilangan
arah.  Hal  ini  terjadi  oleh  adanya  kebudayaan  Barat  yang  menekankan materialisme dengan fokus pada kepemilikan benda seperti rumah dan mobil, dan
lebih mencari kebahagiaan pribadi di atas segalanya. Sedangkan suara dari Timur mengarah pada kesatuan dan seirama dengan alam.
Prasyarat dalam teori struktural-fungsional mengharuskan tercapainya suatu keseimbangan  sistem,  baik  pada  tingkat  masyarakat  maupun  keluarga.  Levy
Megawangi 2005 menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, yaitu meliputi:
1. Diferensiasi peran, yaitu alokasi peran atau tugas dan aktivitas yang harus
dilakukan  dalam  keluarga.  Berdasarkan  serangkaian  tugas  dan  aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk
setiap  aktor  dalam  keluarga.  Terminologi  diferensiasi  peran  bisa  mengacu kepada pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik
dari masing-masing aktor.
2. Alokasi  solidaritas,  yaitu  meliputi  distribusi  relasi  antaranggota  keluarga
berdasarkan cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan  hubungan  antaranggota.  Misalnya,  keterikatan  emosional
antara  seorang  ibu  dengan  anaknya.  Kekuatan  mengacu  pada  keutamaan sebuah relasi yang relatif terhadap relasi lainnya. Demikian pula hubungan
antara  bapak  dengan  anak  lelaki  mungkin  lebih  utama  daripada  hubungan antara  suami  dan  istri  pada  suatu  budaya  tertentu.  Sedangkan  intensitas
adalah  kedalaman  relasi  antaranggota  menurut  kadar  cinta,  kepedulian, ataupun ketakutan.
3. Alokasi ekonomi, yang menyangkut distribusi barang dan jasa antaranggota
keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Distribusi barang-barang dan jasa dimaksudkan  untuk  mendapatkan  hasil  yang  diinginkan.  Dalam  hal  ini
diferensiasi  tugas  juga  ada,  terutama  dalam  hal  produksi,  distribusi,  dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.
4. Alokasi politik, yaitu berupa distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa
yang  bertanggung  jawab  atas  setiap  tindakan  anggota  keluarga.  Agar keluarga  dapat  berfungsi  dengan  baik,  maka  distribusi  kekuasaan  pada
tingkat tertentu diperlukan.
5. Alokasi  integrasi  dan  ekspresi,  yang  meliputi  cara  atau  teknik  sosialisasi
internalisasi dan pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.
Parsons  dan  Bales  Megawangi  2005  menyadari  akan  adanya
kecenderungan  berpindahnya  beberapa  fungsi  keluarga  ke  luar  rumah,  namun mereka  justru  berargumen  bahwa  institusi  keluarga  pada  zaman  modern  akan
semakin  vital  fungsinya.  Keduanya  optimistis  bahwa  keluarga  akan  menjadi tempat di mana setiap anggota keluarga mendapatkan keintiman. Fungsi keluarga
akan terspesialisasi pada fungsi emosional dan tempat menyiapkan individu untuk dapat  berpartisipasi  dalam  proses  modernisasi,  sehingga  keluarga  menjadi  agen
utama  dan  terpenting  dalam  menghadapi  perubahan  sosial  ke  arah  modernisasi masyarakat.  Terutama  melalui  perannya  dalam  menyiapkan  individu  agar  dapat
menjadi  pribadi  yang  siap  dan  matang  baik  secara  emosional  maupun instrumental.
Meskipun  institusi  keluarga  sudah  banyak  mengalami  perubahan  fungsi, ternyata keluarga tetap hidup, dan keberadaan keluarga inti nuclear family tidak
pernah  berkurang.  Berbicara  tentang  institusi  keluarga  yang  kukuh,  Megawangi 2005 berpendapat bahwa hal itu menyangkut aspek pembenahan ke dalam, atau
nilai-nilai  yang dapat mempersatukan semua individu.  Ini juga berkaitan dengan struktur  keluarga  dengan  segala  fungsinya  yang  dapat  dipertahankan  dan
dijalankan  oleh  masing-masing  individu  agar  tujuan  keluarga  sebagai  kesatuan unit dapat tercapai.
Sekolah
Sekolah  memiliki  pengaruh  yang  besar  bagi  anak-anak  dan  remaja.  Pada saat seorang siswa lulus dari sekolah lanjutan atas, ia telah menghabiskan waktu
lebih dari 10.000 jam di dalam ruang kelas. Pengaruh sekolah sekarang ini lebih kuat  dibandingkan  pada  generasi-generasi  sebelumnya  karena  lebih  banyak
individu yang lebih lama menghabiskan waktunya di sekolah. Sebagai contoh, di tahun  1900  hanya  11,4  persen  dari  individu  berusia  14  hingga  17  tahun  yang
mengecap pendidikan sekolah. Sekarang ini 94 persen dari kelompok usia tersebut merupakan individu yang berada di bangku sekolah Santrock 2003.
Anak-anak  dan  remaja  menghabiskan  waktu  bertahun-tahun  bersekolah sebagai  anggota  dari  suatu  masyarakat  kecil  di  mana  terdapat  beberapa  tugas
untuk  diselesaikan,  orang-orang  yang  perlu  dikenal  dan  mengenal  diri  mereka, serta  peraturan  yang  menjelaskan  dan  membatasi  perilaku,  perasaan,  dan  sikap.
Pengalaman yang diperoleh anak-anak dan remaja di masyarakat ini kemungkinan memiliki  pengaruh  yang  besar  dalam  perkembangan  identitasnya,  keyakinan
terhadap  kompetensi  diri  sendiri,  gambaran  hidup  dan  kesempatan  berkarier, hubungan-hubungan  sosial,  batasan  mengenai  hal  yang  benar  dan  salah,  serta
pemahaman  mengenai  sistem  sosial  di  luar  lingkup  fungsi  keluarga  Santrock 2003.
Santrock  juga  mengemukakan  bahwa  sekolah  yang  menghasilkan  siswa berprestasi  tinggi  dari  golongan  ekonomi  rendah  dikaitkan  tidak  hanya  dengan
jenis  kurikulum  yang  khusus  dan  jumlah  waktu  mengajar,  namun  juga  dengan berbagai  faktor  iklim  dari  sekolah  tersebut  seperti  harapan  guru  terhadap  siswa
dan pola interaksi antara guru dengan siswa. Dengan kata lain, berbagai aspek dari sekolah sebagai suatu sistem sosial berperan terhadap pencapaian prestasi siswa di
sekolah.  Penelitian  mengenai  apakah  sekolah  berpengaruh  terhadap  tingkat prestasi  siswa  menunjukkan  bahwa  pertanyaan  tersebut  tidaklah  sesuai  jika
ditanyakan  tanpa  memerhatikan  sistem  sekolah  yang  bervariasi.  Sekolah  bisa berbeda-beda  antara  satu  sama  lain  walaupun  berada  pada  lingkungan  dan
populasi yang sama.
Santrock  2007  menjelaskan  pendekatan  utama  yang  selama  bertahun- tahun  digunakan  untuk  mendidik  siswa  adalah  pendekatan  instruksi  langsung
direct instruction approach, yaitu suatu pendekatan yang berpusat pada guru, di mana  guru  yang  mengarahkan  dan  mengendalikan,  menguasai  keterampilan
akademis, memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap siswa, serta memaksimalkan waktu  yang  digunakan  untuk  menyelesaikan  tugas-tugas  belajar.  Kendati  sudah
banyak  ditinggalkan,  hingga  sekarang  masih  ada  beberapa  sekolah  yang  tetap menggunakan pendekatan ini. Pendekatan instruksi langsung dinilai tidak relevan
bagi  perkembangan  anak-anak  dan  remaja  karena  menjadikan  individu  sebagai pembelajar  yang  pasif  dan  tidak  cukup  menantang  mereka  untuk  berpikir  kritis
dan kreatif.
Pada  1990-an,  keinginan  untuk  melakukan  reformasi  sekolah  difokuskan pada  pendekatan  konstruktif  kognitif  cognitive  constructivist  approach,  yakni
menekankan  upaya  aktif  dari  anak  untuk  mengkonstruksi  dan  memahami pengetahuan  yang  dilakukan  secara  kognitif.  Guru  berperan  dalam  mendukung
siswa  ketika  mereka  melakukan  eksplorasi  dan  berusaha  memahami  dunianya. Kini  berkembang  pendekatan  konstruksi  sosial  social  constructivist  approach
yang berfokus pada pentingnya kolaborasi dengan orang lain untuk menghasilkan
pengetahuan dan pemahaman John-Steiner  Mahn 2003 dalam Santrock 2007. Implikasinya  adalah,  guru  memberikan  banyak  kesempatan  kepada  para  siswa
untuk  belajar  bersama  guru  dan  teman-teman  sebaya  dalam  menyusun pemahaman.
Dalam  menjalankan  proses  belajar  mengajar,  komunikasi  mewarnai  semua aspek  kehidupan  di  sekolah.  Para  guru  mengajar  dengan  menggunakan  media
lisan,  tulisan,  dan  lainnya  seperti  DVD,  komputer,  internet,  dan  bentuk-bentuk seni. Para siswa memperlihatkan pembelajaran atau hasil belajar mereka melalui
media  yang  sama.  Pengawas  sekolah  dan  kepala  sekolah  juga  menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menjalin komunikasi Hoy  Miskel 2014.
Komunikasi  di  sekolah  memiliki  beragam  tujuan,  seperti  mewujudkan  tujuan
organisasi dan menjalin hubungan yang positif Te‟eni 2001. Para penyelenggara pendidikan  harus  memahami  komunikasi  karena  komunikasi  mendasari  seluruh
proses belajar mengajar di sekolah dan hubungan antarpribadi guru dengan murid, demikian pula sebaliknya murid dengan guru.
Hoy  dan  Miskel  2014  menyebutkan  tiga  keterampilan  komunikasi  yang harus  dikuasai  oleh  tenaga  pendidik,  yaitu  kecakapan  mengirim  pesan,
keterampilan  menyimak,  dan  umpan  balik.  Kecakapan  mengirim  pesan  adalah kemampuan  untuk  menjadikan  diri  seseorang  dipahami.  Kecakapan  mengirim
pesan  dari  para  pendidik  kepada  peserta  didik    bisa  ditingkatkan  melalui  lima metode  berikut  ini.  Pertama,  menggunakan  bahasa  yang  tepat  dan  lugas,  serta
menghindari  jargon  pendidikan  dan  konsep-konsep  yang  pelik.  Untuk membangun  kredibilitas,  bahasa  harus  memperlihatkan  bahwa  pengirim  pesan
adalah  orang  yang  berpengetahuan  luas  tentang  isu-isu  pendidikan.  Kedua, memberikan  informasi  yang  jelas  dan  lengkap  kepada  peserta  didik,  yang
diperlukan  untuk  membangun  dan  mengorganisasikan  ulang  skema  kognitifnya. Ketiga, meminimalkan kebisingan dari lingkungan fisik dan psikologis. Keempat,
menerapkan beragam media yang tepat. Kelima, menggunakan komunikasi tatap muka dan pengulangan ketika menyampaikan pesan yang kompleks.
Keterampilan  menyimak  adalah  kemampuan  individu  untuk  memahami orang lain. Sebagai salah satu faktor kunci dalam berkomunikasi secara kompeten,
menyimak  merupakan  sebuah  bentuk  perilaku  ketika  individu  berupaya memahami  pesan  yang  tengah  disampaikan  oleh  orang  lain  melalui  penggunaan
kata-kata,  tindakan,  dan  benda  DeFleur  et  al.  1993.  Ivey  dan  Ivey  1999 menggambarkan  sejumlah  elemen  penting  dalam  keterampilan  menyimak  yang
efektif:
menaruh perhatian,
mengajukan pertanyaan,
menyemangati, membahasakan ulang, memantulkan perasaan, dan merangkum.
Keterampilan  umpan  balik  adalah  keterampilan  mengirim  dan  menerima pesan  yang  dihasilkan  dari  efek  komunikasi  dan  perilaku  sebelumnya  Hoy
Miskel  2014.  Pemberian  umpan  balik  terdiri  atas  pesan  verbal  dan  nonverbal. Pengajuan  pertanyaan,  pendeskripsian  perilaku,  dan  pembahasan  ulang  pesan
yang  diucapkan  oleh  penutur  merupakan  bentuk-bentuk  umpan  balik  verbal. Kadang-kadang  pesan  nonverbal  terkirim  tidak  sengaja.  Sebagai  contoh,  guru
tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh murid atau guru menerangkan di kelas  dengan  muka  masam.  Penerimaan  umpan  balik  positif  bisa  ditingkatkan
dengan mengungkapkan tujuan, menggunakan informasi yang deskriptif daripada evaluatif, dan menentukan waktu umpan baliknya secara tepat Anderson 1976.
Teman Sebaya
Sumber penting bagi dukungan  emosional selama masa remaja  yang rumit dan juga sumber tekanan untuk melakukan perilaku yang tidak disukai orang tua,
yaitu  meningkatnya  keterlibatan  remaja  dengan  teman  sebaya.  Santrock  2007 mendefiniskan  teman  sebaya  adalah  anak-anak  atau  remaja  yang  memiliki  usia
atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama. Bagi remaja, kelompok teman sebaya  adalah  sumber  kasih  sayang,  simpati,  pengertian,  dan  tuntunan  moral;
tempat  untuk  melakukan  eksperimen,  serta  sarana  untuk  mencapai  otonomi  dan kemandirian  dari  orang  tua.  Kelompok  teman  sebaya  adalah  tempat  untuk
membentuk hubungan dekat yang berfungsi sebagai “latihan” bagi hubungan yang akan mereka bina di masa dewasa Papalia et al. 2009.
Remaja  akan  merasa  senang  apabila  diterima  dan  sebaliknya  akan  merasa sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan
sebayanya.  Bagi  banyak  remaja,  pandangan  kawan-kawan  terhadap  dirinya merupakan hal yang paling penting Santrock 2007. Pengaruh dari teman sebaya
paling kuat di saat masa remaja awal; biasanya memuncak di usia 12 – 13 tahun
serta  menurun  selama  masa  remaja  pertengahan  dan  akhir,  seiring  dengan membaiknya  hubungan  remaja  dengan  orang  tua.  Keterikatan  dengan  teman
sebaya  di  masa  remaja  awal  tidak  selalu  menyebabkan  masalah,  kecuali  jika keterikatan ini terlalu kuat sehingga remaja bersedia untuk mengabaikan aturan di
rumah  mereka,  lalai  mengerjakan  tugas  sekolah,  serta  tidak  mengembangkan bakat  mereka  untuk  memenangkan  persetujuan  teman  sebaya  dan  mendapatkan
popularitas Fuligni et al. 2002.
Di  masa  kanak-kanak,  kebanyakan  interaksi  antara  teman  sebaya  adalah dyadic
atau  satu  lawan  satu,  walaupun  pengelompokkan  yang  lebih  besar  mulai terbentuk di masa anak-anak pertengahan. Saat anak-anak beranjak remaja, sistem
sosial  teman  sebaya  menjadi  lebih  rumit  dan  bervariasi.  Walaupun  remaja  tetap memiliki  hubungan  pertemanan  satu  lawan  satu,  klik  atau  geng
–  struktur kelompok  pertemanan  yang  melakukan  berbagai  hal  bersama-sama
–  menjadi lebih  penting.  Kelompok  yang  lebih  besar  adalah  crowd  atau  kerumunan,  yang
biasanya  tidak  ada  sebelum  masa  remaja,  terbentuk  bukan  berdasarkan  interaksi personal,  tetapi  berdasarkan  reputasi,  citra,  atau  identitas.  Keanggotaan
kerumunan adalah konstruksi sosial, seperangkat label yang dipakai remaja untuk membedakan  peta  sosial  berdasarkan  daerah  tempat  tinggal,  suku  bangsa,  status
sosial  ekonomi,  atau  faktor-faktor  lain.  Ketiga  tingkatan  dari  pengelompokkan teman sebaya
– pertemanan, kawanan, dan kerumunan – ini mungkin ada secara bersamaan dan beberapa keanggotaan tumpang tindih, yang dapat berubah seiring
dengan berjalannya waktu Brown  Klute 2003. Pengaruh  teman  sebaya  dapat  bersifat  positif  maupun  negatif.  Melalui
interaksi  dengan  teman  sebaya,  remaja  mempelajari  modus  relasi  yang  timbal balik  secara  simetris.  Remaja  mengeksplorasi  prinsip-prinsip  kesetaraan  dan
keadilan  melalui  pengalaman  mereka  ketika  menghadapi  perbedaan  pendapat dengan  teman-teman  sebayanya.  Mereka  juga  belajar  mengamati  dengan  minat
yang  tajam  dan  memiliki  sudut  pandang  sendiri  dalam  aktivitas  bersama  teman- teman.  Di  samping  itu,  ketika  menjalin  persahabatan  yang  karib  dengan  teman-
teman terpilih, remaja belajar untuk menjadi mitra yang lebih terampil dan peka. Selanjutnya,  keterampilan  ini  akan  berguna  dalam  pembentukan  basis  ketika
menjalin  hubungan  yang  lebih  intim,  misalnya  relasi  perkawinan  di  masa  depan Santrock 2007.
Namun  demikian,  Santrock  2007  tidak  menyangkal  bahwa  terdapat sejumlah  teori  yang  menekankan  pengaruh  negatif  teman  sebaya  bagi
perkembangan remaja. Bagi beberapa remaja, pengalaman ditolak atau diabaikan dapat  membuat  mereka  merasa  kesepian  dan  bersikap  bermusuhan.  Pengalaman
tidak  mengenakkan  dengan  teman  sebaya  juga  berkaitan  ddengan  masalah kesehatan mental dan kejahatan di masa selanjutnya. Budaya teman sebaya dapat
memengaruhi  remaja  untuk  menyepelekan  nilai-nilai  dan  kendali  orang  tua, seperti  melakukan  pelanggaran  Kusdiyati  et  al.  2010,  memperkenalkan  remaja
kepada  perilaku  merokok  Liem  2014,  perkelahiantawuran  Puspitawati  2008, minuman keras Glaser et al 2010; Leunga et al. 2014, serta bentuk-bentuk lain
dari perilaku yang dianggap maladaptif oleh orang dewasa Santrock 2007.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan  yang  dikenal  selain  kecerdasan  kognitif  adalah  kecerdasan emosional.  Kecerdasan  emosional  di  kalangan  masyarakat  belum  mendapat
perhatian  yang besar dibanding dengan kecerdasan kognitif, karena menganggap kecerdasan  emosional  hanya  sebagai  keterampilan  memanipulasi  orang  lain,
sedangkan  kecerdasan  kognitif  menghasilkan  pikiran  dan  akal  sehat  Goleman 1997.
Goleman  menjelaskan  bahwa  kecerdasan  emosional  adalah  kemampuan lebih  yang  dimiliki  seseorang  dalam  memotivasi  diri,  ketahanan  dalam
menghadapi  kegagalan,  mengendalikan  emosi  dan  menunda  kepuasan,  serta mengatur  suasana  jiwa.  Menurut  Goleman  1997,  kualitas  emosional  yang
berhubungan  dengan  karakter  dan  emosi  seseorang  meliputi  kemampuan mengungkapkan  dan  memahami  perasaan,  empati,  mengendalikan  amarah,
kemampuan untuk bersikap mandiri, kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan untuk  menjadi  pribadi  yang  disukai  orang  lain,  dan  kemampuan  untuk
memecahkan  masalah  yang  dihadapi  diri  sendiri  maupun  orang  lain,  ketekunan, kesetiakawanan, keramahtamahan, dan sikap hormat kepada orang lain.
Goleman  1997  menggolongkan  lima  aspek  dalam  mengembangkan kualitas kecerdasan emosional. Pertama, mengenali emosi diri, yaitu kemampuan
untuk  mengetahui  perasaan  sewaktu  perasaan  itu  terjadi  bahagia,  sedih,  marah, takut, bingung yang dialaminya dan dapat mengungkapkan sikap yang dilakukan
untuk  mengutarakan  emosi,  serta  kemampuan  memantau  perasaan  untuk mengambil  keputusan.  Hal  ini  merupakan  dasar  kecerdasan  emosional  dan
merupakan hal yang penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Kedua, mengelola  emosi,  yaitu  kemampuan  seseorang  untuk  menangani  perasaan  agar
perasaan  dapat  terungkap  dengan  baik  dan  berdampak  positif  dalam melaksanakan tugas dan pencapaian suatu tujuan serta kemampuan untuk segera
pulih  dari  tekanan  emosi  yang  dialami.  Kemampuan  ini  sangat  tergantung  pada kesadaran diri yang dimiliki.
Ketiga,  yaitu  memotivasi  diri  sendiri.  Memotivasi  diri  adalah  kemampuan seseorang  dalam  mengatur,  menata  emosi  dalam  mencapai  tujuan,  kemampuan
untuk  berkreasi,  keterampilan  untuk    bertindak  lebih  produktif,  efektif  dan inovatif dalam hal apa pun yang dijalankan. Keempat, mengenali emosi orang lain
empati.  Kemampuan  ini  sangat  diperlukan  dalam  pergaulan  sehari-hari.  Orang
yang  mampu  berempati  akan  dapat  menangkap  tanda-tanda  sosial  yang mengisyaratkan  apa  yang  dibutuhkan  orang  lain.  Kemampuan  ini  akan
menumbuhkan  rasa  saling  percaya  dan  menyesuaikan  diri  dengan  berbagai macam orang.
Kelima,  kemampuan  membina  hubungan.  Aspek  ini  adalah  kemampuan dalam menangani emosi secara baik ketika seseorang bergaul dengan orang lain,
dapat  membaca  situasi  dengan  baik,  berinteraksi  dengan  lancar,  memimpin musyawarah, menyelesaikan perselisihan dengan baik serta mampu bekerja sama
dengan  orang  lain.  Keterampilan  ini  menunjang  popularitas,  kepemimpinan  dan keberhasilan  antarpribadi.  Seseorang  yang  hebat  dalam  keterampilan  ini  akan
sukses  dalam  bidang  apa  pun  yang  mengandalkan  pergaulan  dengan  orang  lain. Kemampuan  orang  dalam  mengembangkan  keterampilan  ini  berbeda-beda.
Beberapa  orang  barang  kali  terampil  dalam  menangani  kecemasan  diri  tetapi memiliki hambatan dalam menyesuaikan diri dengan orang lain.
Keberhasilan  seseorang  di  masyarakat  lebih  ditentukan  oleh  kecerdasan emosional  80  dan  hanya  20  ditentukan  oleh  faktor  kecerdasan
intelektualkognitif  IQ  Goleman  1997.  Kecerdasan  emosional  memiliki  efek positif  dan  peka  terhadap  pengaruh  lingkungan.  Bagi  anak-anak,  interaksi
antarmanusia  yang  paling  penting  adalah  dengan  orang  tua  mereka.  Kehangatan dan  pemantauan  orang  tua,  serta  pembinaan  emosi  orang  tua,  berdampak  positif
terhadap  pengaturan  diri  anak,  eksternalisasi  perilaku  yang  lebih  rendah,  harga diri  yang  lebih  tinggi,  dan  penyesuaian  psikologis  yang  lebih  baik,  juga
berkorelasi positif dengan dimensi kecerdasan emosional seperti pengetahuan dan pengertian  emosi  oleh  anak-anak,  dan  regulasi  emosi.  Sebaliknya,  praktik
pengasuhan orang tua yang negatif, seperti pemberian hukuman yang keras, dapat mengakibatkan kesejahteraan emosi yang rendah, gangguan kepribadian, perilaku
prososial yang rendah, kecemasan kognitif, juga terkait dengan pemahaman emosi dan regulasi emosi yang lebih rendah Alegre 2011.
Studi  tentang  kecerdasan  emosional  telah  menjadi  topik  yang  menarik karena banyak manfaatnya. Remaja  yang memiliki kecerdasan emosional tinggi,
ditemukan  secara  fisik  dan  mental  sehat  Seligman  1991  dan  lebih  berhasil daripada  rekan-rekan  mereka  yang  kurang  cerdas  secara  emosional  Cooper
1997.  Remaja  dengan  perkembangan  keterampilan  sosial  yang  berperforma tinggi  lebih  baik  secara  akademis  dari  rekan-rekannya  yang  tidak  memiliki
keterampilan  ini  Grossman    Jones  1997.  Kecerdasan  emosional  mengarah untuk  meningkatkan  perilaku  pro-sosial  dan  keterampilan  manajemen  diri  pada
remaja  Bar-On    Parker  2000.  Penelitian  menunjukkan  bahwa  remaja  yang mampu  mengatur  reaksi  emosi  mereka  dalam  menanggapi  emosi  orang  lain
cenderung  lebih  memiliki  keterampilan  sosial  yang  baik  dan  bertindak  prososial Eisenberg et al. 1997.
Gottman  1997  menunjukkan  bahwa  orang  tua  yang  baik  tidak  hanya membutuhkan  kecerdasan  tetapi  juga  melibatkan  emosi.  Dalam  dekade  terakhir
ini,  ilmu  pengetahuan  telah  menemukan  besarnya  peran  emosi  dalam  kehidupan kita.  Para  peneliti  menemukan  bahwa  kesadaran  emosi  dan  kemampuan  untuk
menangani  perasaan  akan  menentukan  keberhasilan  dan  kebahagiaan  dalam semua  gaya  hidup,  termasuk  hubungan  keluarga.  Bagi  orang  tua,  kualitas
kecerdasan  emosional  ini  berarti  menyadari  perasaan  remaja,  dan  mampu berempati, menenangkan, dan membimbing mereka.
Untuk  masa  remaja  awal,  pelajaran  yang  paling  memberi  pengalaman tentang emosi adalah dari keluarga mereka, hal itu mencakup kemampuan untuk
mengontrol  impuls,  menunda  kepuasaan  delay  gratification,  memotivasi mereka, membaca isyarat-isyarat sosial orang lain, dan mengatasi kesulitan hidup.
Selain itu, remaja yang orang tuanya konsisten mempraktikkan pembinaan emosi memiliki  kesehatan  fisik  yang  baik  dan  skor  akademis  yang  lebih  tinggi  dari
remaja  yang  keluarganya  tidak  menawarkan  bimbingan  Naghavi    Redzuan 2012.
Prestasi Belajar
Di  masa  remaja,  prestasi  belajar  dianggap  sebagai  titik  kritis.  Santrock 2007  menjelaskan  bahwa  tekanan  sosial  dan  akademis  memaksa  remaja  untuk
memegang berbagai peran yang sering kali melibatkan tanggung jawab yang lebih besar. Pada masa inilah, prestasi menjadi persoalan yang lebih serius dan remaja
mulai merasakan bahwa hidup sekarang bukan untuk bermain-main lagi. Mereka bahkan mulai memandang keberhasilan dan kegagalan saat ini sebagai prediktor
bagi  keberhasilan  dan  kegagalan  di  masa  depan  ketika  dewasa  nanti.  Seiring dengan  meningkatnya  tuntutan  yang  diterapkan  pada  remaja,  berbagai  bidang
kehidupan mereka mulai mengalami benturan satu sama lain. Minat sosial remaja dapat berkurang karena mereka harus mengerjakan tugas-tugas akademis.
Tesaurus  Alfabetis  Bahasa  Indonesia  2009  mendefinisikan  prestasi sebagai hasil, kinerja, penampilan, atau performa. Prestasi yang dimaksud dalam
penelitian  ini  erat  hubungannya  dengan  kegiatan  belajar  di  sekolah,  baik  dalam bentuk  prestasi  akademik  maupun  non-akademik.  Mengacu  pada  pengertian
belajar  menurut  aliran  Piaget,  Semiawan  2002b  menjelaskan  bahwa  belajar adalah adaptasi yang holistik dan bermakna yang datang dari dalam diri seseorang
terhadap  situasi  baru,  sehingga  mengalami  perubahan  yang  relatif  permanen. Pendapat  lain  mengenai  prestasi  belajar  dikemukakan  oleh  Dariyo  2013.
Menurutnya, prestasi belajar ialah hasil pencapaian yang diperoleh seorang pelajar siswa  setelah  mengikuti  ujian  dalam  suatu  pelajaran  tertentu.  Prestasi  belajar
diwujudkan dalam laporan nilai yang tercantum dalam buku rapor atau kartu hasil studi KHS. Hasil laporan belajar ini diberikan setiap tengah semester, semester
atau setiap tahun.
Semiawan  2002b  mengungkapkan  bahwa  prestasi  belajar  bukan  saja dipengaruhi  oleh  kemampuan  intelektual  yang  bersifat  kognitif,  tetapi  juga  oleh
faktor-faktor  nonkognitif  seperti  emosi,  motivasi,  kepribadian,  serta  pengaruh lingkungan  yang  membimbing  dan  membentuk  perkembangan  anak.  Santrock
2007  menjelaskan  bahwa  prestasi  bagi  remaja  lebih  besar  pengaruhnya dibandingkan  kemampuan  intelektual  mereka.  Para  siswa  yang  kurang  cerdas
ternyata  dapat  memperlihatkan  pola  motivasi  yang  adaptif.  Sebagai  contoh,  jika remaja tekun dalam tugas dan yakin terhadap kemampuannya untuk memecahkan
masalah, ia akan mampu meraih prestasi yang tinggi. Sebaliknya, beberapa siswa yang  cerdas  justru  memiliki  pola  prestasi  yang  maladaptif,  misalnya  mudah
menyerah  dan  tidak  yakin  akan  keterampilan  akademisnya,  sehingga  memiliki prestasi yang biasa-biasa saja.
Hal itu terjadi karena di dalam berprestasi terdapat sejumlah proses motivasi yang  terlibat  di  dalamnya.  Santrock  memaparkan  dua  macam  motivasi,  yaitu
motivasi  intrinsik  dan  motivasi  ekstrinsik.  Motivasi  intrinsik  didasarkan  pada
faktor-faktor  internal  seperti  determinasi-diri,  rasa  ingin  tahu,  tantangan  dan usaha.  Sedangkan  motivasi  ekstrinsik  melibatkan  insentif  eksternal  seperti
penghargaan  dan  hukuman.  Pendekatan  humanistik  dan  kognitif  menekankan pentingnya  motivasi  intrinsik  dalam  prestasi  Oka  2005  dalam  Santrock  2007.
Beberapa remaja bersedia belajar keras karena secara internal mereka termotivasi untuk mencapai standar yang tinggi dalam pekerjaan mereka motivasi intrinsik.
Sementara  beberapa  remaja  lainnya  bersedia  belajar  keras  karena  mereka  ingin memperoleh nilai yang baik atau menghindari celaan dari orang tuanya.
Guru  diharapkan  dapat  mendorong  siswa  agar  memiliki  motivasi  intrinsik dan menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendukung keterlibatan kognitif
dan  tanggung  jawab  diri  siswa  untuk  belajar.  Hal  itu  berarti,  bukan  hanya motivasi intrinsik yang harus dibangun dalam diri remaja. Sekolah
– dalam hal ini guru
–  juga  harus  mampu  menciptakan  suasana  belajar  yang  kondusif  dan memberikan apresiasi yang semestinya, sehingga para siswa terpacu untuk meraih
prestasi belajar yang lebih baik lagi. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa siswa  yang  berada  di  sekolah  dengan  hubungan  interpersonal  yang  penuh
perhatian dan dukungan, mempunyai sikap dan nilai akademis yang lebih positif dan merasa lebih puas terhadap sekolah. Salah satu faktor penting dalam motivasi
dan  prestasi  siswa  adalah  persepsi  mereka  tentang  hubungan  positif  mereka dengan para guru Santrock 2009.
Penelitian-penelitian Terdahulu
Berikut  ini  beberapa  penelitian  terdahulu  terkait  dengan  aspek  komunikasi keluarga,  sekolah,  dan  teman  sebaya  terhadap  prestasi  belajar  dan  kecerdasan
emosional remaja. 1.
Marzuki  et  al.  2015  meneliti  tentang  Emotional  Intelligence:  Its Relationship  with  Communication  and  Information  Technology  Skills
. Penelitian  ini  mencoba  untuk  menguji  hubungan  antara  kecerdasan
emosional,  keterampilan  komunikasi,  dan  teknologi  informasi  di  kalangan mahasiswa  di  Malaysia.  Total  responden  yang  dikirimi  kuesioner  berjumlah
4.000 orang dari 10 perguruan tinggi negeri di Malaysia dipilih secara acak. Namun  demikian,  kuesioner  yang  kembali  hanya  3.250  orang.  Dari  jumlah
tersebut,  140  kuesioner  dikeluarkan  karena  tidak  memenuhi  persyaratan. Jumlah  akhir  kuesioner  yang  dipakai  adalah  3.101  terdiri  dari  769  laki-laki,
2.290  perempuan,  dan  42  tidak  menyebutkan  identitasnya  secara  spesifik. Hasil  analisis  korelasi  Pearson  menunjukkan  bahwa  komponen  komunikasi
interpersonal,  komunikasi  kelompok,  dan  berbicara  di  depan  umum berhubungan  nyata  dengan  kecerdasan  emosional.  Penelitian  menemukan
hubungan  antara  kecerdasan  emosional  dan  semua  komponen  komunikasi interpersonal  yaitu  motivasi,  pengetahuan,  dan  keterampilan.  Studi  ini
menunjukkan  pentingnya  kecerdasan  emosional  dengan  setiap  aspek keterampilan komunikasi mahasiswa.
2. Palaniswamy dan Ponnuswami 2013 meneliti tentang  Social Changes and
Peer  Group  Influence  among  the  Adolescents  Pursuing  Under  Graduation .
Penelitian  yang  dilakukan  di  India  ini  menguji  konsep  dampak  perubahan sosial  dan  pengaruh  teman  sebaya  selama  masa  remaja.  Dari  segi  ekologi,
perkembangan  remaja  dipengaruhi  oleh  lingkungan  keluarga,  teman  sebaya,
sekolah, dan tempat kerja remaja. Peran dan hubungan dalam mikrosistem ini membentuk  dasar  interaksi  sehari-hari  antara  remaja  dan  lingkungan  sosial
yang,  dari  waktu  ke  waktu,  membentuk  perkembangan  individu.  Penelitian menunjukkan bahwa remaja menghabiskan waktu lebih sedikit dengan orang
tua  mereka  daripada  yang  yang  mereka  habiskan  ketika  masih  anak-anak. Selain  itu,  38  persen  responden  memiliki  1-5  teman  dan  28  persen  dari
mereka  memiliki  6-8  teman.  Hubungan  teman  sebaya  memberikan  konteks tidak  hanya  untuk  akuisisi  dan  pemeliharaan  persahabatan  dan  jaringan
pertemanan, tetapi juga untuk pengembangan keterampilan sosial, pemecahan masalah,  dan  empati.  Studi  ini  menunjukkan  bahwa  52  persen  responden
memiliki hubungan yang intim dan 39 persen dari mereka memiliki hubungan yang  sangat  baik  dengan  teman-teman  mereka.  Penelitian  ini  juga
memperlihatkan bahwa sementara orang tua terus memberikan dukungan bagi remaja  mereka  selama  usia  ini,  teman  sebaya  tampaknya  justru  menjadi
sumber utama dalam bersosialisasi.
3. Naghavi  dan  Redzuan  2012  meneliti  tentang  The  Moderating  Role  of
Family Ecological Factors Family Size on the Relationship between Family Environment  and  Emotional  Intelligence.
Hasilnya  menunjukkan  bahwa lingkungan  keluarga  memupuk  kecerdasan  emosional  para  remaja.
Selanjutnya,  temuan  menunjukkan  bahwa  ukuran  keluarga  memoderasi hubungan  antara  lingkungan  keluarga  dan  kecerdasan  emosional.  Secara
khusus,  remaja  cenderung  menunjukkan  kecerdasan  emosional  yang  lebih tinggi dari lingkungan keluarga yang memiliki anggota lebih sedikit. Temuan
ini menggarisbawahi perlunya untuk fokus pada peran ukuran keluarga ketika menilai  hubungan  antara  lingkungan  keluarga  dan  kecerdasan  emosional
remaja.  Para  peneliti  telah  menunjukkan  bahwa  dalam  fungsi  keluarga  yang berhubungan  dengan  emosi  remaja,  selain  keluarga  dan  karakter  mereka,
ukuran keluarga juga sangat penting dalam kehidupan remaja.
4. Charoenthaweesub  dan  Hale  2011  meneliti  tentang  Thai  Family
Communication  Patterns:  Parent-Adolescent  Communication  and  the  Well- Being  of  Thai  Families
. Beberapa  temuan  dari  penelitian  ini  yaitu:  pertama, Kesenjangan  Komunikasi  Keluarga:  32.6  persen  dari  peserta  remaja
melaporkan  bahwa  mereka  memiliki  kesenjangan  komunikasi  kecil  dengan ayah  mereka,  23.6  persen  melaporkan  celah  kecil  dengan  ibu  mereka.
Mayoritas  remaja  melaporkan  bahwa  tidak  ada  kesenjangan  komunikasi dalam  keluarga  mereka.  Dengan  hormat  kepada  orang  tua,  sebagian  besar
orang tua dilaporkan memiliki kesenjangan komunikasi dengan  anak remaja mereka,  sementara  34.6  persen  orang  tua  melaporkan  memiliki  celah  kecil.
Kedua,  Kepuasan  Komunikasi  Keluarga:  51.6  persen  orang  tua  melaporkan bahwa  mereka  cukup  puas  dengan  komunikasi  keluarga  secara  keseluruhan,
sementara 42.4 persen dilaporkan sangat puas, tidak puas 3.9 persen, dan 0.5 persen  sangat  tidak  puas.  Dan  ketiga,  topik  yang  paling  sulit  dibicarakan:
Mayoritas orang tua yang berpartisipasi melaporkan bahwa pendidikan yang lebih  tinggi  dan  masa  depan  karier  merupakan  topik  yang  sulit  untuk
didiskusikan. Mayoritas  remaja  yang berpartisipasi melaporkan bahwa topik yang  paling  sulit  bagi  mereka  adalah  hidup  mereka,  kebutuhan,  keinginan,
dan masalah pribadi seperti hubungan dengan lawan jenis dan seksualitas.
5. Khajehpour  2011  mengenai  Relationship  between  Emotional  Intelligence,
Parental  Involvement  and  Academic  Performance  of  High  School  Students .
Studi  ini  memperlihatkan  hubungan  positif  antara  kecerdasan  emosional, keterlibatan  orang  tua,  dan  kinerja  akademik  pada  300  siswa  SMA  di
Teheran,  Iran.  Para  peserta  berusia  15  hingga  18  tahun.  Hasil  penelitian menunjukkan  bahwa  baik  kecerdasan  emosional  dan  keterlibatan  orang  tua
bisa  memprediksi  prestasi  akademik  siswa  SMA.  Demikian  pula,  ada hubungan  positif  yang  nyata  antara  kecerdasan  emosional  dan  prestasi
akademik,  dan  antara  keterlibatan  orang  tua  dan  prestasi  akademik.  Harus diakui  bahwa  penelitian  ini  memiliki  beberapa  keterbatasan.  Meskipun
demikian, temuan studi ini telah menyediakan kebutuhan lebih lanjut tentang cara  memperbaiki  nilai  akademis  siswa.  Secara  khusus,  studi  ini  telah
menunjukkan  bahwa  perhatian  orang  tua  dan  kesejahteraan  emosional  tidak dapat  lebih  ditekankan  pada  keberhasilan  akademis.  Temuan  ini  memiliki
beberapa  implikasi.  Pertama,  hubungan  interpersonal  orang  tua  dan kepentingan  langsung  pada  akademisi  anak-anak  mereka  bisa  membawa
prestasi akademik yang lebih baik. Dengan demikian, upaya harus dilakukan oleh orang tua untuk meningkatkan akademis anak. Kedua, baik di rumah dan
di sekolah perlu ada kerja sama dalam membuat peserta didik menyesuaikan diri dengan baik secara emosional karena hal ini dapat meningkatkan prestasi
akademik siswa.
6. Mahmud  et  al.  2011  mengenai  Family  Communication,  Sibling  Position
and Adolescents’ Sense of Responsibility ini menguji hubungan posisi saudara dan  komunikasi  keluarga  dengan  rasa  tanggung  jawab  di  antara  903  remaja
Malaysia.  Rasa  tanggung  jawab  yang  ditemukan  berhubungan  dengan komunikasi  keluarga  tetapi  tidak  untuk  posisi  saudara.  Wawancara
mengungkapkan  bahwa  anak  yang  lahir  di  tengah  dapat  bertanggung  jawab ketika  mereka  diberi  tanggung  jawab.  Studi  ini  menunjukkan  partisipasi
orang  dewasa  dalam  mendorong  orang  muda  untuk  menanamkan  rasa tanggung  jawab.  Penelitian  ini  menyimpulkan  bahwa  remaja  Malaysia
memiliki  rasa  tanggung  jawab  yang  baik.  Mereka  mampu  mendefinisikan tanggung jawab yang berbeda dan posisi saudara mereka tidak memengaruhi
rasa  tanggung  jawab  mereka.  Penelitian  ini  juga  menegaskan  bahwa komunikasi  keluarga  merupakan  elemen  penting  dalam  menanamkan  rasa
tanggung  jawab  di  kalangan  remaja.  Penelitian  ini  menunjukkan  bahwa sekolah memiliki keterkaitan dalam pembangunan keluarga dan masyarakat,
yaitu  dengan    mengembangkan  program-program  khusus  yang  dapat membantu  orang  tua  meningkatkan  hubungan  dan  menciptakan  komunikasi
yang lebih baik dengan anak-anak mereka, sehingga anak-anak menjadi orang yang lebih bertanggung jawab.
7. Coll  et  al.  2010  mengenai  Family  Functioning  and  the  Development  of
Trust  and  Intimacy  Among  Adolescents  in  Residential  Treatment.
Dalam penelitian  ini  remaja  yang  melaporkan  keterlibatan  keluarga  tingkat  rendah
menggambarkan keluarga mereka yang kaku atau tidak fleksibel. Keterlibatan keluarga  dan  fleksibilitas  secara  nyata  terkait  dengan  fungsi  psikososial
sehubungan dengan kepercayaan dan keintiman. Studi ini juga menunjukkan bahwa  remaja  yang  secara  emosional  memiliki  hubungan  emosi  yang  jauh
dan  negatif,  serta  pola  komunikasi  yang  membingungkan,  menampilkan perasaan cemas, kemarahan, dan konflik antaranggota keluarga.
8. Bester  2007  mengenai  Personality  Development  of  The  Adolescent:  Peer
Group  versus  Parents ,  hasil  penelitiannya  menunjukkan  bahwa  kelompok
teman sebaya bila dibandingkan dengan orang tua, memiliki hubungan yang lebih  kuat  dengan  perkembangan  kepribadian  remaja.  Hubungan  yang  kuat
ini lebih menonjol pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Dalam penelitian ini, gender tidak memainkan peran.
9. Mesch  GS  dan  Talmud  I  2006  meneliti  tentang  Online  Friendship
Formation, Communication Channels, and Social Closeness . Penelitian yang
dilakukan  di  Israel  ini  melibatkan  987  remaja  dengan  rata-rata  usia  15,49 tahun. Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki sifat hubungan sosial online.
Hasil  temuan  menunjukkan  bahwa  remaja  saat  ini  menggunakan  internet untuk  tujuan  komunikasi,  hanya  persentase  yang  relatif  kecil  dari  mereka
yang  melaporkan  bahwa  mereka  bertemu  teman  pertama  melalui  internet. Remaja  melaporkan  tingkat  konflik  yang  lebih  tinggi  dengan  orang  tua
mereka  dan  kurang  kedekatan  dengan  teman-teman  yang  bertemu  muka dengan  mereka.  Temuan  yang  paling  menonjol  dari  analisis  ini  adalah  efek
positif  dari  konflik  remaja-orang  tua  pada  kemungkinan  membuat  teman online
.  Remaja  yang  melaporkan  konflik  tingkat  tinggi  dengan  orang  tua mereka  kemungkinan  lebih  tinggi  juga  pembentukan  persahabatan  online-
nya.Temuan  ini  juga  menyoroti  pentingnya  mencapai  keintiman  dalam hubungan  interpersonal  sebagai  prasyarat  untuk  pembentukan  ikatan  yang
kuat. Keintiman diperlukan untuk membangun kepercayaan dan timbal balik dalam  setiap  hubungan  dekat.  Penelitian  ini  juga  menunjukkan  bahwa
hubungan  tatap  muka  lebih  kuat  daripada  hubungan  online.  Hal  ini  berarti melalui  interaksi  tatap  muka  remaja  mencapai  keintiman  dalam  hubungan
interpersonal mereka.
10. Puspitawati 2006 mengenai Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman
dan  Sekolah  Terhadap  Kenakalan  Pelajar  di  Sekolah  Lanjutan  Tingkat  Atas SLTA  di  Kota  Bogor  memperlihatkan  bahwa  remaja  yang  mempunyai
keterikatan  tinggi  dengan  teman  berpeluang  untuk  melakukan  kenakalan kriminal  1,157  kali  lebih  besar  dibandingkan  remaja  yang  mempunyai
keterikatan yang rendah dengan teman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku  agresif  dan  kenakalan  remaja  yang  tinggi  dipengaruhi  secara
langsung  oleh  komunikasi  yang  rendah  antara  orang  tua  dan  remaja,  dan keterikatan  teman  yang  tinggi.  Perilaku  kenakalan  remaja  juga  berpengaruh
negatif terhadap pencapaian nilai-nilai di sekolah. Penelitian ini menemukan bahwa  komunikasi  orang  tua  dan  anak  menentukan  pola  hubungan  antara
orang  tua  dengan  remaja,  sehingga  dapat  memengaruhi  orientasi  remaja secara  subyektif  dengan  teman-temannya.  Hasil  penelitian  ini  membuktikan
bahwa  komunikasi  antara  orang  tua  dan  anak  dapat  dijadikan  buffer  atau penyaring  terhadap  pengaruh  lingkungan  luar  yang  tidak  terhindarkan.
Dengan kata lain, pengaruh orang tua
yang positif dapat dijadikan „rem‟ oleh remaja  agar  terhindar  dari  pengaruh  teman  yang  mengarah  kepada  perilaku
antisosial. 11.
Setyowati  2005  meneliti  hubungan  pola  komunikasi  keluarga  dengan perkembangan  emosi  anak.  Penelitian  studi  kasus  pada  keluarga  berlatar
budaya Jawa yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif ini menyimpulkan bahwa  penerapan  pola  komunikasi  keluarga  sebagai  bentuk  interaksi  antara
orang  tua  dengan  anak  maupun  antaranggota  keluarga  memiliki  implikasi terhadap  perkembangan  emosi  anak.  Penelitian  ini  memperlihatkan  bahwa
pola  komunikasi  yang  demokratis  dan  interaktif  secara  kultural  akan menentukan  keberhasilan  proses  sosialisasi  pada  anak.  Di  dalam  proses  ini
akan terjadi transfer nilai-nilai yang positif dari orang tua kepada anak, yang pada  gilirannya  memberikan  pengaruh  yang  positif  bagi  pembentukan  dan
perkembangan  emosi  anak.  Nilai-nilai  budaya  Jawa  yang  mendukung perkembangan emosi yang positif  bagi anak antara lain adalah: sikap hormat
kepada  orang  tua,  tata  krama  atau  sopan-santun,  kesabaran  dalam menyelesaikan  berbagai  masalah,  serta  toleransi  yang  menjadi  dasar
terbentuknya  sikap  empati  pada  anak.  Dengan  demikian,  anak-anak  akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cerdas, baik secara intelektual
maupun emosional, yang akan menjadi dasar bagi kecerdasan yang lain, yaitu kecerdasan sosial, moral, dan spiritual.
12. Lukiati  et  al.  2005  mengenai  Pola  Komunikasi  Keluarga  di  Desa  Manis
Kidul Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, dengan metode deskriptif menemukan bahwa keterpaduan bapakibu dan anak dapat dilihat dari adanya
keterkaitan  emosi,  penghargaan  individu  dan  adanya  kesepakatan  dalam pengambilan keputusan. Adaptasi bapak, ibu, dan anak juga dapat dilihat dari
adanya konsistensi, dialogis dan penerapan peraturan serta bersedia menerima kritik dan saran.
13. Fujioka  dan  Austin  2002  meneliti  tentang  The  Relationship  of  Family
Communication  Patterns  to  Parental  Mediation  Styles.
Penelitian  ini bertujuan untuk menguji hubungan antara pola komunikasi keluarga dan gaya
mediasi  orang  tua.  Temuan  dari  penelitian  ini  menunjukkan  bahwa  gaya komunikasi dan efek media berhubungan dengan fungsi bagaimana orang tua
menerjemahkannya  ke  dalam  strategi  diskusi  mengenai  pesan-pesan  media. Untuk  menyelidiki  hubungan  antara  norma-norma  komunikasi  keluarga  dan
televisi-spesifik  perilaku,  diuji  hubungan  antara  hipotesis  konstruksi  pola komunikasi  keluarga  dan  strategi  mediasi  orang  tua,  coviewing,  dan
penggunaan  sistem  peringkat  televisi.  Seperti  hipotesis,  orientasi  konsep sering  digunakan  orang  tua  untuk  berdiskusi  masalah-masalah  yang  lebih
umum. Sedangkan orientasi sosial sering digunakan untuk mediasi positif dan coviewing
. Orang tua yang menggunakan pola komunikasi berorientasi sosial melaporkan  lebih  sering  menggunakan  sistem  peringkat  TV  dalam
menyeleksi program TV untuk anak. 14.
Kelly et al. 2002 meneliti tentang Family Communication Patterns and the
Development  of  Reticence.
Hasil  studi  menunjukkan  bahwa  keluarga  yang rendah  pada  orientasi  percakapan  memiliki  komunikasi  yang  kurang  antara
orang  tua  dan  anak  tentang  pikiran,  kejadian  setiap  hari,  serta  rencana  dan harapan untuk masa depan. Orang tua dalam keluarga tersebut kurang terbuka
tentang  emosi  mereka  dan  cenderung  mendorong  anak-anak  mereka  untuk mengekspresikan sendiri perasaan mereka.
Berdasarkan pemaparan  di atas, dapat disimpulkan bahwa  perkembangan remaja dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tempat
kerja  remaja.  Peran  dan  hubungan  dalam  mikrosistem  ini  membentuk  interaksi
sehari-hari  antara  remaja  dan  lingkungan  sosialnya  Palaniswamy  dan Ponnuswami  2013.  Penelitian  Charoenthaweesub  dan  Hale  2011  menemukan
adanya  kesenjangan  komunikasi  di  keluarga  Thailand.  Persentasenya  cukup tinggi, yaitu 32.6 persen remaja melaporkan bahwa mereka memiliki kesenjangan
komunikasi  kecil  dengan  ayah  mereka  dan  23.6  persen  melaporkan  celah  kecil dengan  ibu  mereka.  Penelitian  Mahmud  et  al.  2011  menyimpulkan  bahwa
komunikasi  keluarga  merupakan  elemen  penting  dalam  menanamkan  rasa tanggung jawab di kalangan remaja.
Penelitian Fujioka dan Austin 2002 menunjukkan bahwa gaya komunikasi dan efek media berhubungan dengan fungsi bagaimana orang tua menerjemahkan
pesan-pesan  media  ke  dalam  strategi  diskusi.  Penelitian  lain  yang  juga berhubungan  dengan  media  menunjukkan  bahwa  remaja  sekarang  banyak
menggunakan internet untuk tujuan komunikasi Mesch GS dan Talmud I 2006.
Studi  yang  dilakukan  oleh  Coll  et  al.  2010  membuktikan  bahwa  remaja yang  memiliki  hubungan  emosi  jauh  dan  negatif,  serta  pola  komunikasi  yang
membingungkan,  menampilkan  perasaan  cemas,  kemarahan,  dan  konflik antaranggota keluarga. Temuan ini menguatkan penelitian Naghavi dan Redzuan
2012  bahwa  lingkungan  keluarga  dapat  memupuk  kecerdasan  emosional  para remaja.  Ukuran  keluarga  memoderasi  hubungan  antara  lingkungan  keluarga  dan
kecerdasan  emosional  remaja.  Remaja  cenderung  menunjukkan  kecerdasan emosional  yang  lebih  tinggi  dari  lingkungan  keluarga  yang  memiliki  anggota
jumlah  anak  lebih  sedikit.  Penelitian  Marzuki  et  al.  2015  juga  menemukan hubungan  yang  positif  antara  kecerdasan  emosional  dengan  komponen
komunikasi interpersonal, yaitu motivasi, pengetahuan, dan keterampilan.
Selain  itu,  terdapat  hubungan  positif  yang  nyata  antara  kecerdasan emosional dan prestasi akademik, serta antara keterlibatan orang tua dan prestasi
akademik Khajehpour 2011. Penelitian Setyowati 2005 pada keluarga berlatar budaya Jawa menyimpulkan bahwa penerapan pola komunikasi keluarga sebagai
bentuk  interaksi  antara  orang  tua  dengan  anak  maupun  antaranggota  keluarga memiliki implikasi terhadap perkembangan emosi anak.
Hasil penelitian Bester 2007 menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya bila dibandingkan dengan orang tua, memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap
perkembangan kepribadian remaja. Hubungan yang kuat ini lebih menonjol pada anak  laki-laki  dibandingkan  anak  perempuan.  Penelitian  Bester  sejalan  dengan
Puspitawati 2006 yang menemukan bahwa remaja mempunyai keterikatan tinggi dengan teman sebanyanya. Hasil penelitian Puspitawati juga menunjukkan bahwa
perilaku  agresif  dan  kenakalan  remaja  yang  tinggi  dipengaruhi  secara  langsung oleh komunikasi yang rendah antara orang tua dan remaja, dan keterikatan teman
yang tinggi.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir
Penelitian ini didasari  fakta bahwa remaja adalah generasi penerus bangsa. Di tangan generasi muda masa depan bangsa dan negara Indonesia dipertaruhkan.
Remaja  yang  menjadi  harapan  bangsa  adalah  yang  memiliki  kemampuan intelektual IQ memadai disertai kemampuan emosional EI yang baik. Di masa
remaja,  seseorang  mencari  identitas  dirinya,  menggali  tujuan  hidupnya,  dan menetapkan  cita-citanya.  Gunarsa  dan  Gunarsa  1990  mengungkapkan  bahwa
ada  dua  faktor  dominan  yang  memengaruhi  proses  tumbuh  kembang  remaja sebagai  individu.  Pertama  adalah  faktor  khusus  endogen  yang  terjadi  pada
individu, yang meliputi segala kecenderungan dan kemampuan yang berkembang di kemudian hari seperti karakteristik individu dan IQ. Faktor endogen ini sudah
ada sejak seorang manusia dilahirkan. Kedua adalah faktor yang berasal dari luar individu  faktor  eksogeneksternal  yang  meliputi  lingkungan  keluarga,  sosial,
sekolah  dan  geografis,  juga  fasilitas  yang  tersedia  seperti  makanan  dan kesempatan belajar. Dalam hal ini, kecerdasan emosi lebih banyak dibentuk oleh
lingkungan luar.
Di  antara  faktor-faktor  tersebut,  keluarga  orang  tua  memainkan  peran paling  penting  dalam  proses  pembentukan  remaja  menjadi  seseorang  yang
memiliki  keseimbangan  antara  prestasi  akademik,  kecerdasan  emosional,  dan spiritual.  Untuk  membangun  SDM  berkualitas,  lingkungan  keluarga  merupakan
media  pertama  dan  utama  yang  secara  langsung  maupun  tidak  langsung berpengaruh  terhadap  perilaku  anak  Bronfenbrenner  1994;  Semiawan  2002a.
Lingkungan  keluarga  yang  kondusif  salah  satunya  ditandai  dengan  komunikasi yang  harmonis.  Di  samping  keluarga,  sekolah  dan  teman  sebaya  juga  memiliki
pengaruh  yang  kuat  dalam  kehidupan  remaja.  Teman  sebaya  dapat  memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap remaja. Namun demikian, komunikasi
keluarga  yang  harmonis  dapat  menangkal  remaja  dari  pengaruh  negatif  teman sebaya.
Pendekatan  teoritis  yang  melatarbelakangi  studi  ini  adalah  teori  struktural fungsional, yang menyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat
Puspitawati  2006.  Teori  struktural  fungsional  juga  menyangkut  teori  sistem yang  menjelaskan  adanya  komponen-komponen  yang  saling  bergantung  antara
satu  dengan  yang  lain  Klein  dan  White  1996.  Apabila  keluarga  mempunyai struktur  yang  kokoh  dan  menjalankan  semua  fungsinya  dengan  optimal,  maka
akan  menghasilkan  keluaran  yang  baik  bagi  seluruh  anggota  keluarganya Puspitawati  2006.  Di  era  globalisasi  ini,  teknologi  informasi  dan  komunikasi
ikut  berperan  dalam  membentuk  jati  diri  remaja.  Keterlibatan  remaja  dalam komunikasi  di  media  sosial  dapat  memberikan  pengaruh  yang  positif  maupun
negatif terhadap perkembangan dirinya. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi dan  interaksi  yang  positif  antara  remaja-orang  tua  dan  sebaliknya  orang  tua-
remaja  agar  dapat  meminimalkan  pengaruh  negatif  yang  berasal  dari  luar. Komunikasi  keluarga  berperan  penting  dalam  menjembatani  hubungan  antar-
anggota keluarga agar berlangsung harmonis.
Berlandaskan  pemaparan  di  atas,  disusun  kerangka  konseptual  sebagai berikut Gambar 3.
Berdasarkan  kerangka  konseptual  tersebut,  disusun  peubah  bebas  yang diteliti  dalam  penelitian  ini,  yaitu:  1  Karakteristik  remaja,  2  Karakteristik
keluarga,  3  Karakteristik  guru,  dan  4  Karakteristik  teman  sebaya.  Peubah terikat pertama yang diteliti adalah: 1 Pola komunikasi remaja dengan keluarga,
2  Pola  komunikasi  remaja  dengan  sekolah,  dan  3  Pola  komunikasi  remaja dengan teman sebaya. Peubah terikat kedua, yaitu: 1 Kecerdasan emosional, dan
2 Prestasi belajar. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini kerangka operasional pola komunikasi  remaja  dengan  keluarga,  sekolah,  dan  teman  sebaya  terhadap
kecerdasan emosional dan prestasi belajar.
PPol
Gambar 4 Kerangka operasional pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi
belajar pada siswa SMA di Kota Bogor
Karakteristik Remaja X1:
X1.1 Jenis kelamin X1.2 Usia
X1.3  Urutan
kelahiran X1.4 Uang saku
Karakteristik Keluarga X2:
X2.1 Umur orang tua X2.2 Pendidikan
orang tua X2.3 Pekerjaan orang
tua X2.4 Pendapatan
orang tua X2.5.Suku orang tua
X2.6 Jumlah anak
Karakteristik Guru X3:
X3.1 Umur X3.2 Jenis kelamin
X3.3 Pendidikan X3.4 Mata pelajaran
yang diampu
Karakteristik Teman Sebaya X4:
X4.1 Jenis kelamin X4.2 Umur
POLA KOMUNIKASI REMAJA
Kecerdasan Emosional
Remaja Y4: Y4.1 Mengenali
emosi diri Y4.2 Mengelola
emosi Y4.3 Kemampuan
memotivasi diri
Y4.4 Kemampuan empati
Y4.5 Kemampuan membina
hubungan
Prestasi Belajar Y5:
Y5.1 Prestasi
akademik Y5.2 Prestasi
non- akademik
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan  asumsi  pada  kerangka  pemikiran  di  atas,  maka  penelitian  ini diarahkan  untuk  melihat  tiga  peubah  terikat  Y1,  Y2,  dan  Y3,  yaitu  pola
komunikasi  remaja  dengan  keluarga,  sekolah,  dan  teman  sebaya  terhadap  dua peubah  terikat  lainnya  Y4  dan  Y5,  yakni  kecerdasan  emosional  dan  prestasi
belajar.
Hipotesis umum yang diajukan pada penelitian ini sebagai berikut: •  H1: Terdapat pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah,
dan  teman  sebaya  yang  nyata  terhadap  kecerdasan  emosional  dan  prestasi belajar siswa di 6 SMA di Kota Bogor.
Di  samping  menguji  hipotesis  umum  di  atas,  penelitian  ini  juga  menguji
beberapa hipotesis khusus sebagai berikut: •  H2: Terdapat hubungan nyata antara karakteristik remaja dan karakteristik
keluarga dengan pola komunikasi remaja-ayah dan pola komunikasi remaja- ibu.
•  H3: Terdapat pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya yang nyata terhadap kecerdasan emosional.
•  H4: Terdapat pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya yang nyata terhadap prestasi belajar.
•  H5: Terdapat pengaruh nyata antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar.
•  H6:  Terdapat  perbedaan  nyata  antara  pola  komunikasi  remaja  dengan keluarga dan teman sebaya.
3 METODE
Desain Penelitian
Penelitian  ini  menggunakan  metode  campuran  mixed  method,  yaitu menggabungkan  pendekatan  kuantitatif  dan  kualitatif.  Pendekatan  kuantitatif
menggunakan  metode  survei  dengan  desain  penelitian  cross  sectional  study penelitian  yang  dilakukan  pada  satu  waktu  tertentu  dan  satu  kali.  Untuk
mencapai  tujuan  itu,  penelitian  dirancang  bersifat  menerangkan  explanatory research
. Menurut Babbie 2004 explanatory research adalah penelitian survei yang  bertujuan  menjelaskan  pengaruh  dan  hubungan  antarpeubah  melalui
pengujian hipotesis. Metode  survei  digunakan  untuk  pengumpulan  data  dari  seluruh  anggota
populasi.  Ciri  khas  pengumpulan  data  melalui  survei  adalah  data  dikumpulkan dari  sejumlah  responden  dengan  menggunakan  kuesioner.  Keuntungan  utama
metode  survei  adalah  dimungkinkannya  membuat  generalisasi  untuk  populasi berdasarkan  analisis  terhadap  sampel  yang  berasal  dari  populasi  tersebut.  Selain
itu,  metode  survei  tidak  memerlukan  kelompok  kontrol  seperti  halnya  pada metode eksperimen Siregar 2010.
Di  samping  pendekatan  kuantitatif,  juga  digunakan  pendekatan  kualitatif untuk menggali informasi-informasi penting yang tidak terlihat pada pengukuran
kuantitatif.  Sehubungan  dengan  itu  digunakan  metode  focus  group  discussion FGD. Menurut Baxter dan Babbie Turner dan West 2006, wawancara kualitatif
paling  utama  digunakan  untuk  lima  tujuan  spesifik.  Pertama,  peneliti  kualitatif menggunakan wawancara untuk mengerti fenomena komunikatif  yang tidak bisa
diteliti  secara  langsung.  Kedua,  satu  wawancara  dapat  menolong  jika  peneliti ingin memahami pikiran dan perasaan dari orang yang diwawancara berdasarkan
satu  subyek  tertentu  atau  pengalaman.  Ketiga,  peneliti  kualitatif  dapat menggunakan  wawancara  untuk  mengetahui  bagaimana  seorang  partisipan
menggunakan  bahasa  di  lingkungan  sekitarnya.  Keempat,  wawancara  dapat digunakan  sebagai  satu  elemen  dari  triangulasi.  Dengan  kata  lain,  wawancara
dapat  digunakan  sebagai  validasi  dari  perilaku  yang  telah  diteliti  atau  sebagai suplemen  bagi  wawancara  sebelumnya.  Terakhir,  wawancara  kualitatif  dapat
mempertimbangkan  suatu  pertunjukan  yang  memberikan  contoh  gaya komunikatif orang yang diwawancarai.
Kelebihan  menggunakan  metode  campuran  dibandingkan  memilih  salah satu  metode,  antara  lain  adalah  dapat  menerapkan  teori  secara  deduktif  ataupun
induktif  Creswell  2010.  Di  samping  itu,  metode  campuran  kombinasi  dapat menutupi  kekurangan  yang  ada  pada  pengukuran  kuantitatif  dan  kualitatif
Sugiyono  2013.  Dengan  menggunakan  metode  ini,  diperoleh  data  yang  lebih luas,  mendalam,  akurat,  lengkap,  dan  bermakna.  Namun  demikian,  metode
campuran  juga  memiliki  kelemahan.  Sugiyono  2013  menyebutkan  kelemahan metode  campuran  adalah  penelitian  menjadi  lebih  sulit  dan  sering  memerlukan
waktu, biaya, dan tenaga yang lebih lama.
Strategi  yang cukup populer dalam penelitian metode campuran dan sering kali  digunakan  oleh  para  peneliti  yang  lebih  condong  pada  proses  kuantitatif
adalah  strategi  eksplanatoris  sekuensial.  Strategi  ini  diterapkan  dengan pengumpulan  dan  analisis  data  kuantitatif  pada  tahap  pertama,  diikuti  oleh
pengumpulan  dan  analisis  data  kualitatif  pada  tahap  kedua  yang  dibangun berdasarkan  hasil  awal  kuantitatif.  Bobotprioritas  lebih  diberikan  pada  data
kuantitatif. Dua jenis data ini terpisah, namun tetap berhubungan Creswell 2010.
Penelitian  juga  dilengkapi  uji  validitas  konstruk  dengan  menggunakan Structural Equation Modeling
SEM, juga disebut a covariance structure model. Metode ini digunakan untuk menguji model-model empiris sekaligus menjelaskan
varian  dan  korelasi  antara  suatu  set  peubah-peubah  yang  diobservasi  observed dalam suatu sistem kausal sebab akibat dari faktor-faktor yang tidak diobservasi
unobserved.  Dengan  demikian  pengukuran  model  menspesifikasikan  seberapa jauh peubah-peubah yang diobservasi berhubungan dengan suatu set faktor-faktor
yang  dihipotesiskan.  Software  yang  digunakan  adalah  Program  LISREL  atau Linear Structural Relationships
Puspitawati 2006. Analisis  SEM  diperlukan  untuk  mengkaji  pengaruh  baik  secara  langsung
maupun tidak langsung dari peubah-peubah laten endogenous maupun exogenous. SEM  juga  dapat  diartikan  sebagai  Path  Analysis  yang  merupakan  suatu  teknik
ordinary  least  square yang  digunakan  untuk  mengetahui  model-model  kausal
berdasarkan  riset  terdahulu  dan  juga  pertimbangan  teoritis.  Peubah    exogenous adalah peubah yang variabilitasnya diasumsikan dipengaruhi oleh peubah di luar
model kausal, sedangkan peubah endogenous adalah peubah yang variabilitasnya diasumsikan  dipengaruhi  oleh  peubah  exogenous  dan  peubah-peubah  di  dalam
sistem Pedhazur 1982 yang dikutip oleh Puspitawati 2006.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di enam SMA yang tergolong SMA favorit di Kota Bogor,  yaitu  empat  SMA  negeri  dan  dua  SMA  swasta,  terdiri  dari  SMAN  A,
SMAN  B,  SMAN  C,  SMAN  D,  SMA  EF,  dan  SMA  GH.  Pemilihan  lokasi penelitian  dilakukan  berdasarkan  masukan  dari  Dinas  Pendidikan  Kota  Bogor.
Keenam  SMA  dikatakan  favorit  karena  beberapa  alasan.  Pertama,  sekolah tersebut  termasuk  sekolah  yang  memiliki  prestasi  akademik  dan  non-akademik
tinggi.  Kedua,  jumlah  siswa  yang  mendaftar  ke  sekolah  tersebut  dari  tahun  ke tahun termasuk tinggi atau melebihi jumlah kelas yang disediakan.
Waktu pelaksanaan penelitian mulai dari mengurus surat perizinan ke Dinas Pendidikan  Kota  Bogor,  penjajakan  ke  lokasi  penelitian  dan  uji  coba  kuesioner,
penyempurnaan  kuesioner,  sampai  dengan  tahap  pengumpulan  data  primer  dan data sekunder, serta pelaksanaan FGD berlangsung selama enam bulan, yaitu dari
bulan Februari sampai Juli 2014.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi Penelitian Populasi  adalah  wilayah  generalisasi  yang  terdiri  atas  obyeksubyek  yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari  dan  kemudian  ditarik  kesimpulannya  Sugiyono  2012.  Populasi  yang
dimaksud  pada  penelitian  ini  adalah  siswa  kelas  2  SMA  di  Kota  Bogor. Selanjutnya dipilih 6 SMA, yaitu 4 SMA negeri dan 2 SMA swasta favorit yang
banyak  diminati.  Bogor  dipilih  karena  merupakan  kota  penyangga  yang lokasinya  berdekatan  dengan  Ibu  Kota  Jakarta,  sehingga  budaya  metropolitan
dengan mudah masuk ke kota ini. Di samping itu, remaja yang tinggal di wilayah
perkotaan  pada  umumnya  lebih  mudah  terpengaruh  oleh  budaya  metropolitan dibanding  remaja  yang  tinggal  di  wilayah  kabupaten  perdesaan.  Berdasarkan
data  yang  diperoleh  dari  Dinas  Pendidikan  Kota  Bogor,  jumlah  populasi  siswa SMA kelas 2 di Kota Bogor yang terdaftar pada tahun ajaran 2013
– 2014 adalah 4.915 orang.
Prosedur Penarikan Sampel
Sampel  adalah  bagian  dari  jumlah  dan  karakteristik  yang  dimiliki  oleh populasi  Sugiyono  2012.  Pengambilan  sampel  dalam  penelitian  ini  dilakukan
dengan  metode  gugus  bertahap.  Effendi  dan  Tukiran  2012  menjelaskan  bahwa pengambilan sampel gugus bertahap dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Satu
populasi dapat dibagi-bagi dalam  gugus tingkat  pertama, kemudian  gugus-gugus tingkat pertama ini dapat pula dibagi dalam gugus-gugus tingkat kedua, dan gugus
tingkat  kedua  masih  dapat  pula  dibagi  dalam  gugus-gugus  tingkat  yang  lebih lanjut.
Jumlah  responden  yang  dijadikan  sampel  dalam  penelitian  ini  ditentukan berdasarkan  besarnya  populasi  dengan  tingkat  kesalahan  tertentu.  Dalam  hal  ini
tingkat  kesalahan  yang  dipilih  adalah  5  persen.  Jumlah  sampel  dalam  penelitian ini  ditentukan  dengan  menggunakan  rumus  Slovin  Sevilla  et  al.  1993  dengan
formulasi sebagai berikut:
n = {N[1 + Ne
2
]}
Keterangan: n   = ukuran sampel
N  = ukuran populasi e
2
= nilai kritis sebesar 5 persen Berdasarkan rumus Slovin, diperoleh angka sampel sebagai berikut:
n = {4.915[1 + 4.915 0,05
2
n = {4.9151 + 12,29} n = 4.91513,29
n = 369,8 atau dibulatkan menjadi 370 orang. Dengan  menggunakan  rumus  Slovin,  diperoleh  jumlah  sampel  sebanyak
370  siswa.  Namun  demikian,  dalam  penelitian  ini  sampel  yang  diperoleh berjumlah 372 siswa. Seluruh siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini
berasal dari keluarga utuh, yaitu keluarga yang memiliki orang tua lengkap ayah dan  ibu.  Pemilihan  sampel  pada  keluarga  utuh  didasari  pertimbangan  bahwa
keluarga  utuh  memiliki  hubungan  intim  yang  lebih  baik  daripada  keluarga  tidak utuh. Di samping itu, orang tua  pada keluarga utuh biasanya memiliki pengaruh
yang  lebih  kuat  dalam  sikap  berkomunikasi  dibandingkan  keluarga  tidak  utuh Koerner  Fitzpatrick 2004.
Secara  operasional,  penentuan  jumlah  sampel  di  masing-masing  sekolah ditentukan  sebanyak  1  kelas  IPA  dan  1  kelas  IPS.  Hal  ini  dilakukan  agar  data
yang diperoleh lebih beragam mengingat ada perbedaan karakteristik pada siswa IPA  dan  IPS.  Pemilihan  kelas  2  yang  mewakili  sekolah  dipilih  secara  acak  oleh
guru dan selanjutnya seluruh siswa di kelas tersebut baik laki-laki dan perempuan secara otomatis menjadi responden untuk mengisi kuesioner yang telah disiapkan.
Usia sampel berkisar 15 hingga 18 tahun.
Data dan Instrumentasi
Data Data  merupakan  kumpulan  angkahuruf  yang  berasal  dari  hasil  penelitian
terhadap sifatkarakteristik yang diteliti Hastono 2006. Data yang dikumpulkan dalam  penelitian  ini  meliputi  data  primer  dan  data  sekunder,  yang  dilakukan
dengan  menggunakan  pendekatan  kuantitatif  dan  kualitatif.  Supranto  2004 menyatakan bahwa data kuantitatif merupakan data yang berbentuk angka-angka,
sehingga  gejala-gejala dalam penelitian diukur dengan skala-skala dan dianalisis menggunakan  metode  statistik.  Data  kuantitatif  diperoleh  dalam  bentuk  mentah
dari kuesioner.
Data  primer  adalah  data  yang  didapat  langsung  dari  responden  dan  hasil observasi  di  lapangan.  Data  ini  dikumpulkan  melalui  kuesioner  yang  dibagikan
dan diisikan langsung oleh responden. Sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap yang diperoleh dari manajemen sekolah.
Penelitian  ini  mengambil  dua  jenis  data,  yaitu  data  primer  dan  data sekunder. Data primer terdiri dari:
a Karakteristik  remaja  siswa  SMA  meliputi:  umur,  jenis  kelamin,  urutan
kelahiran, dan uang saku b
Karakteristik orang tua meliputi: umur, pendidikan,  pekerjaan, pendapatan, suku, dan jumlah anak
c Karakteristik  guru  meliputi:  umur,  jenis  kelamin,  pendidikan,  mata
pelajaran yang diampu d
Karakteristik teman meliputi: umur dan jenis kelamin teman. e
Pola komunikasi remaja dengan keluarga f
Pola komunikasi remaja dengan sekolah g
Pola komunikasi remaja dengan teman sebaya h
Kecerdasan emosional i
Prestasi belajar Data  primer  dikumpulkan  dari  siswa  kelas  2  di  6  SMA  di  Kota  Bogor,
sedangkan data sekunder berupa profil siswa dan guru didapat dari pihak sekolah. Instrumentasi
Instrumen  penelitian  adalah  suatu  alat  yang  dapat  digunakan  untuk memperoleh,  mengolah,  dan  menginterpretasikan  informasi  yang  diperoleh  dari
responden  yang  dilakukan  dengan  menggunakan  pola  ukur  yang  sama.  Suatu instrumen  penelitian  dikatakan  baik  paling  tidak  harus  memenuhi  lima  kriteria,
yaitu validitas, reliabilitas, sensitivitas, obyektivitas, dan fisibilitas Siregar 2010. Instrumen harus memenuhi persyaratan akademis sehingga dapat digunakan untuk
mengukur  suatu  obyek  ukur  atau  mengumpulkan  data  mengenai  suatu  peubah
Muljono  2012.  Dalam  penelitian  sosial,  instrumen  yang  digunakan  berupa kuesioner  yang  berisi  pertanyaan-pertanyaan  terstruktur  yang  disusun  atas  dasar
peubah-peubah penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Setiap peubah terdiri dari  beberapa  indikator,  masing-masing  dikonstruks  menjadi  parameter  sebagai
alat ukur Kerlinger 2006.
Sehubungan dengan itu, instrumen penelitian ini dikelompokkan menjadi  9 bagian.  Pertama,  pertanyaan-pertanyaan  yang  berkaitan  dengan  karakteristik
remaja. Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik orang tua.  Ketiga,  pertanyaan-pertanyaan  yang  berkaitan  dengan  karakteristik  guru.
Keempat,  pertanyaan-pertanyaan  yang  berkaitan  dengan  karakteristik  teman. Kelima,  pertanyaan-pertanyaan  tentang  peubah  pola  komunikasi  remaja  dengan
keluarga.  Keenam,  pertanyaan-pertanyaan  tentang  peubah  pola  komunikasi remaja  dengan  sekolah.  Ketujuh,  pertanyaan-pertanyaan  tentang  peubah  pola
komunikasi remaja dengan teman sebaya. Kedelapan, pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan  dengan  peubah  kecerdasan  emosional  remaja.  Kesembilan,
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan peubah prestasi belajar.
Instrumen  pola  komunikasi  remaja  dengan  keluarga,  sekolah,  dan  teman sebaya  dibuat  dan  dikembangkan  berdasarkan  konsep  Revised  Family
Communication  Pattern RFCP  Ritchie    Fitzpatrick  1990.  Instrumen  lain
yaitu  kecerdasan  emosional  dikeluarkan  oleh  Goleman  1997,  merupakan instrumen  yang  sudah  distandarisasi  dan  sering  digunakan  dalam  penelitian.
Namun  demikian,  butir-butir  pertanyaan  dalam  instrumen  tersebut  dimodifikasi sesuai  kebutuhan  penelitian  kronologis  instrumen  pola  komunikasi  remaja,
kecerdasan emosional, dan prestasi belajar dapat dilihat pada Lampiran 5.
Peubah, Definisi Operasional dan Pengukurannya Peubah Penelitian
Tujuan  pengukuran  peubah  pada  intinya  adalah  untuk  mengetahui  dan menjelaskan  hubungan  antarkonsep  dan  realitas  sebagai  pengujian  atas  hipotesis
penelitian.  Model  hipotesis  yang  akan  diuji  dalam  penelitian  ini  terdiri  dari beberapa  bentuk  hubungan  antarpeubah,  yaitu  peubah  bebas  independen
variable
dan peubah terikat dependen variable. Peubah bebas  yang akan diuji terdiri  dari  karakteristik  remaja  X1,  karakteristik  orang  tua  X2,  karakteristik
guru  X3,  dan  karakteristik  teman  sebaya  X4.  Peubah  terikat  terdiri  dari  pola komunikasi  remaja  dengan  keluarga  Y1,  pola  komunikasi  remaja  dengan
sekolah  Y2,  pola  komunikasi  remaja  dengan  teman  sebaya  Y3,  kecerdasan emosional Y4, dan prestasi belajar Y5.
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah
Definisi  operasional  merupakan  unsur  penelitian  yang  digunakan  untuk mengukur  indikator  dan  parameter  dari  peubah  penelitian.  Agar  peubah-peubah
penelitian yang diteliti mudah dipahami dan memiliki makna yang sesuai dengan tujuan  penelitian,  perlu  dilakukan  konseptualisasi  atau  diberi  ketepatan  makna
sehingga  tidak  terjadi  ambigu  atau  asosiasi  yang  berbeda-beda  Sevilla  et  al. 1993;  Yunita  2011.  Selanjutnya  agar  konsep  tersebut  dapat  diukur  maka
diberikan  penjelasan  lebih  lanjut  yang  bersifat  operasional.  Kerlinger  2006
menyebutnya sebagai measured operational definition definisi operasional yang dapat diukur.
Definisi  operasional  dan  pengukuran  terhadap  setiap  peubah  yang digunakan dalam rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik  remaja  adalah  sifat-sifat  atau  ciri-ciri  dari  aspek  sosial  dan
psikologi yang melekat pada diri remaja, seperti jenis kelamin, umur, urutan kelahiran,  dan  uang  saku.  Adapun  definisi  operasional  dari  masing-masing
indikator karakteristik remaja X1 sebagai berikut: a
Jenis  kelamin  adalah  identitas  responden  sesuai  perkembangan  biologis atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki-laki dan perempuan, menggunakan
skala nominal. b
Umur adalah usia responden yang dihitung sejak lahir sampai ke tahun terdekat  pada  waktu  penelitian  dilakukan.  Dinyatakan  dalam  satuan
tahun dan menggunakan skala rasio. c
Urutan  kelahiran  adalah  urutan  anak  atau  peringkat  seseorang berdasarkan usia di antara saudara-saudara sekandungnya di mana umur
tertinggi sebagai anak pertama dan umur terendah sebagai anak terakhir. Dinyatakan  dengan  angka  berdasarkan  urutan  kelahiran,  menggunakan
skala rasio.
d Uang  saku  adalah  jumlah  uang  yang  diterima  seorang  anak  dari  orang
tuanya  untuk  memenuhi  kebutuhan  di  sekolah.  Dinyatakan  dalam Rupiah, menggunakan skala interval.
Parameter  dan  pengukuran  setiap  indikator  karakteristik  remaja  X1 disajikan pada Tabel 1.
Tabel  1  Indikator,  definisi  operasional,  parameter  pengukuran,  dan  kategori pengukuran peubah karakteristik remaja X1
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran Kategori Pengukuran
Jenis kelamin X
1.1
Identitas responden sesuai biologis atau
fisiknya. Dinyatakan dengan
laki-laki atau perempuan.
1. Laki-laki 2. Perempuan
Umur X
1.2
Lama masa kehidupan seseorang
sejak tahun kelahiran dan dibulatkan
hingga penelitian dilakukan.
Dihitung sejak lahir hingga tahun terdekat
saat penelitian dilakukan, dinyatakan
dalam tahun. 1. 15 tahun
2. 16 tahun 3. 17 tahun
4. 18 tahun
Urutan kelahiran
X
1.3
Urutan anak saat dilahirkan di antara
saudara-saudara sekandungnya.
Diukur berdasarkan urutan kelahiran anak
1,2,3,4, dan seterusnya. Anak ke:
1. 2.
3.
Uang saku X
1.4
Jumlah uang yang diterima anak dari
orang tuanya. Dihitung per bulan 30
hari dan dinyatakan dalam rupiah.
1. ≤ 300 000 2. 301 000 - 500 000
3. 501 000 - 750 000 4.
751 000 - 1 000 000
5.  1 000 000
2. Karakteristik orang tua adalah adalah ciri-ciri dari aspek sosial dan ekonomi
yang  melekat  pada  suami  isteri,  seperti  umur,  pendidikan,  pekerjaan pendapatan, suku, dan jumlah anak. Definisi operasional dari masing-masing
indikator karakteristik orang tua X2 sebagai berikut: a
Umur adalah lama masa kehidupan seseorang  yang dihitung sejak lahir sampai  ke  tahun  terdekat  pada  waktu  penelitian  dilakukan.  Dinyatakan
dalam  satuan  tahun,  menggunakan  skala  rasio  dan  dikelompokkan menjadi tiga kategori.
b Pendidikan adalah jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh, mulai
dari  sekolah  dasar  hingga  pendidikan  terakhir  pada  waktu  penelitian dilakukan.  Dinyatakan  sesuai  jenjang  pendidikan  formal  mulai  dari SD,
SMP,  SMA,  Diploma,  Sarjana,  dan  Pascasarjana,  menggunakan  skala rasio.
c Pekerjaan adalah jenis aktivitas yang menghasilkan uangpendapatan dan
digunakan untuk membiayai hidup. Dinyatakan berdasarkan profesi yang digeluti  seperti  PNS,  gurudosen,  dokter,  TNI,  karyawan  swasta,
pengacara, wirausaha, dan lain-lain, menggunakan skala nominal.
d Pendapatan  adalah  jumlah  uang  yang  diterima  suatu  keluarga  dalam
sebulan  baik  yang  dihasilkan  dari  pekerjaan  tetap  maupun  usaha  lain- lain. Dinyatakan dalam Rupiah, menggunakan skala interval.
e Suku  adalah  identitas  budaya  yang  ditentukan  berdasarkan  daerah  asal
keluarga.  Dinyatakan  berdasarkan  daerah  asal  nenek  moyang  seperti Ambon, Batak, Betawi, Dayak, Jawa, Makasar, Menado, Minang, Papua,
Sunda, dan lain-lain, menggunakan skala nominal.
f Jumlah  anak  adalah  banyaknya  anak  yang  dimiliki  oleh  suami  isteri
dalam  satu  keluarga.  Dinyatakan  dalam  angka  1,  2,  3,  dan  seterusnya, menggunakan skala rasio.
Parameter  dan  pengukuran  setiap  indikator  karakteristik  orang  tua  X2 disajikan pada Tabel 2
Tabel  2    Indikator,  definisi  operasional,    parameter  pengukuran,  dan  kategori pengukuran peubah karakteristik keluarga X2
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran Kategori
Pengukuran Umur X
2.1
Lama masa kehidupan seseorang sejak tahun
kelahiran dan dibulatkan hingga penelitian
dilakukan. Dihitung sejak lahir
hingga tahun terdekat saat penelitian
dilakukan, dinyatakan dalam tahun.
1.  ≤ 40 tahun 2.  41
– 58 tahun 3.  ≥ 59 tahun
Pendidikan X
2.2
Jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh,
mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan
terakhir pada waktu penelitian dilakukan.
Diukur berdasarkan jenjang sekolah formal
yang pernah ditempuh 1.  SD
2.  SMP 3.  SMA
4.  D1 5.  D2
6.  D3 7.  S1
8.  S2 9.  S3
Pekerjaan X
2.3
Jenis aktivitas yang mengha-silkan
uangpendapatan dan digunakan untuk
membiayai hidup. Diukur berdasarkan
profesi yang digeluti. 1.  PNS
2.  Karyawan swasta
3.  BUMN 4.  Dosenguru
5.  TNI dan Polri 6.  Pejabat
pemerintah 7.  Profesional
8.  Wirausaha 9.  Pensiunan
10. Tidak bekerja
Pendapatan X
2.4
Jumlah uang yang diterima suatu keluarga
dalam sebulan baik yang dihasilkan dari pekerjaan
tetap maupun usaha lain- lain.
Diukur berdasarkan nilai uang yang
diterima dalam mata uang Rupiah.
1.  ≤ 5 000 000 2.   5 000 000
– 20 000 000
3.   20 000 000
Suku X
2.5
Identitas budaya yang ditentukan berdasarkan
daerah asal keluarga. Diukur berdasarkan
daerah asal nenek moyang.
1. Jawa, Sunda, dan Betawi
2. Sumatera 3. Sulawesi dan
Maluku 4. Kalimantan
5. CinaTionghoa 6. Campuran 2 suku
7. Lain-lain.
Jumlah anak X
2.6
Banyaknya anak yang dimiliki oleh suami isteri
dalam satu keluarga. Dihitung dalam angka.  1, 2, 3, 4, dan
seterusnya.
3. Karakteristik  guru  adalah  sifat-sifat  atau  ciri-ciri  dari  aspek  sosial  dan
psikologi  yang  melekat  pada  diri  guru,  seperti  umur,  jenis  kelamin, pendidikan,  dan  mata  pelajaran  yang  diampu.  Adapun  definisi  operasional
dari masing-masing indikator tersebut sebagai berikut:
a Umur  adalah  lama masa kehidupan seseorang  yang dihitung sejak lahir
sampai  ke  tahun  terdekat  pada  waktu  penelitian  dilakukan.  Dinyatakan dalam  satuan  tahun,  menggunakan  skala  rasio  dan  dikelompokkan
menjadi 8 kategori.
b  Jenis  kelamin  adalah  identitas  seseorang  sesuai  perkembangan  biologis atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki-laki dan perempuan, menggunakan
skala nominal. c
Pendidikan adalah jumlah tahun sekolah formal yang pernah ditempuh, mulai dari sekolah dasar hingga jenjang pendidikan terakhir pada waktu
penelitian  dilakukan.  Dinyatakan  dalam  satuan  tahun,  menggunakan skala rasio dan dikelompokkan menjadi tiga kategori.
d Mata  pelajaran  yang  diampu  adalah  jenis  pelajaran  yang  menjadi
keahlian  guru  dan  diajarkan  kepada  siswa  di  kelas.  Dinyatakan  dalam jenis  pelajaran  yang  diajarkan  di  sekolah  seperti  Agama  Islam,  Agama
Kristen,  Bahasa  Indonesia,  Bahasa  Inggris,  Bahasa  Sunda,  Biologi, Fisika,  Kimia,  Matematika,  Geografi,  EkonomiAkuntansi,  Sosiologi,
Bimbingan KonselingKesiswaan, PKn, Seni Budaya, Olahraga, Sejarah, Bahasa  Arab,  TIKKomputer,  Bahasa  Perancis,  dan  Administrasi,
menggunakan skala nominal.
Parameter dan pengukuran setiap indikator karakteristik  guru X3 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3  Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah karakteristik guru X3
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran  Kategori Pengukuran
Umur X
3.1
Lama masa kehidupan seseorang sejak tahun
kelahiran dan dibulatkan hingga penelitian
dilakukan. Dihitung sejak lahir
hingga tahun terdekat saat penelitian
dilakukan, dinyatakan dalam tahun.
1. ≤ 25 tahun 2. 26 - 30 tahun
3. 31 - 35 tahun 4. 36 - 40 tahun
5. 41 - 45 tahun 6. 46 - 50 tahun
7. 51 - 55 tahun 8. 56 - 60 tahun
Jenis kelamin X
3.2
Identitas responden sesuai biologis atau fisiknya.
Dinyatakan dengan laki- laki atau perempuan.
1. Laki-laki 2. Perempuan
Pendidikan X
3.3
Jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh,
mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan terakhir
pada waktu penelitian dilakukan.
Diukur berdasarkan jenjang sekolah formal
yang pernah ditemouh. 1. SD 6 tahun
2. SMP 9 tahun 3. SMA 12 tahun
4. D1 13 tahun 5. D2 14 tahun
6. D3 15 tahun 7. S1 16 tahun
8. S2 18 tahun 9. S3 21 tahun
Mata pelajaran
yang diampu X
3.4
Jenis pelajaran yang menjadi keahlian guru dan
diajarkan kepada siswa di kelas.
Berdasarkan jenis pelajaran yang diajarkan
guru di sekolah. 1.  Agama Islam
2.  Agama Kristen 3.  Bahasa Indonesia
4.  Bahasa Inggris 5.  Bahasa Sunda
6.  Biologi 7.  Fisika
8.  Kimia 9.  Matematika
10. Geografi 11. Ekonomiakuntansi
12. Sosiologi 13. BKKesiswaan
14. PKn 15. Seni Budaya
16. Olahraga 17. Sejarah
18. Bahasa Arab 19. TIKKomputer
20. Bahasa Perancis 21. Administrasi
4. Karakteristik  teman  sebaya  adalah  ciri-ciri  dari  aspek  sosial  dan  ekonomi
yang  melekat  pada  teman  yang  dimiliki  oleh  remaja,  seperti  jenis  kelamin dan  umur  teman,  serta  lokasi  pertemanan.  Adapun  definisi  operasional  dari
masing-masing indikator tersebut sebagai berikut:
a Jenis kelamin adalah identitas responden sesuai perkembangan biologis
atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki-laki dan perempuan, menggunakan skala nominal.
b Umur adalah lama masa kehidupan seseorang yang dihitung sejak lahir
sampai  ke  tahun  terdekat  pada  waktu  penelitian  dilakukan.  Dinyatakan dalam  satuan  tahun,  menggunakan  skala  rasio  dan  dikelompokkan
menjadi tiga kategori.
c Lokasi  berteman  adalah  tempat  seseorang  menjalin  hubungan
pertemanan.  Dinyatakan  dengan  menunjukkan  tempat  seperti  sekolah, rumah, organisasi, dan media sosial, menggunakan skala nominal.
d  Lokasi  bertemu  adalah  tempat  yang  ditunjuk  oleh  seseorang  untuk melakukan  pertemuan  dengan  orang  lain,  dalam  hal  ini  dengan  teman
sebayanya.  Dinyatakan  dengan  menunjukkan  tempat  seperti  sekolah, rumah,  tempat  kursusbimbingan  belajar,  restorankafe,  dan  mal,
menggunakan skala nominal.
Parameter  dan  pengukuran  setiap  indikator  karakteristik  teman  sebaya  X4 disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4   Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah karakteristik teman sebaya X4
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran Kategori
Pengukuran
Umur X
4.1
Lama masa kehidupan seseorang sejak tahun
kelahiran dan dibulatkan hingga penelitian dilakukan.
Dihitung sejak lahir hingga tahun terdekat saat
penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun.
1. 15 - 17 tahun 2. 18 - 20 tahun
3.  20 tahun Jenis kelamin
X
4.2
Identitas responden sesuai biologis atau fisiknya.
Dinyatakan dengan laki- laki atau perempuan.
1. Laki-laki 2. Perempuan
Lokasi berteman X
4.3
Tempat seseorang menjalin hubungan pertemanan.
Dinyatakan berdasarkan nama tempat.
1. Sekolah 2. Rumah
3. Kegiatan luar 4. Tempat les
5. Media sosial 6. Lain-lain
Lokasi bertemu X
4.4
Tempat yang ditunjuk seseorang untuk melakukan
pertemuan dengan orang lain.
Dinyatakan berdasarkan nama tempat.
1. Sekolah 2. Rumah sendiri
3. Rumah teman 4. Tempat ibadah
5. Tempat les 6. Media sosial
7. Malresto 8. Lain-lain
5. Pola  komunikasi  remaja  dengan  keluarga  adalah  bentuk  proses  pertukaran
dan  penyampaian  informasi,  sikap,  pikiran  atau  perasaan  melalui  bahasa, pembicaraan, pendengaran, gerak tubuh atau ungkapan emosi yang dilakukan
antara  remaja  dengan  orang  tuanya.  Peubah  komunikasi  remaja  dengan keluarga  Y1  memiliki  5  indikator,  yaitu:  topik  pembicaraan,  durasi
pembicaraan,  frekuensi  pembicaraan,  media  komunikasi,  dan  situasi komunikasi.
6. Pola komunikasi remaja dengan sekolah adalah bentuk proses pertukaran dan
penyampaian  informasi,  sikap,  pikiran  atau  perasaan  melalui  bahasa, pembicaraan, pendengaran, gerak tubuh atau ungkapan emosi yang dilakukan
antara  remaja  dengan  gurunya.  Peubah  komunikasi  remaja  dengan  sekolah Y2  memiliki  5  indikator,  yaitu:  topik  pembicaraan,  durasi  pembicaraan,
frekuensi pembicaraan, media komunikasi, dan situasi komunikasi.
7. Pola  komunikasi  remaja  dengan  teman  sebaya  adalah  bentuk  proses
pertukaran dan penyampaian informasi, sikap, pikiran atau perasaan melalui bahasa,  pembicaraan,  pendengaran,  gerak  tubuh  atau  ungkapan  emosi  yang
dilakukan antara remaja dengan teman-teman sebayanya. Peubah komunikasi remaja  dengan  teman  sebaya  Y3  memiliki  5  indikator,  yaitu:  topik
pembicaraan, durasi pembicaraan, frekuensi pembicaraan, media komunikasi, dan situasi komunikasi.
Definisi  operasional  dari  masing-masing  indikator  pola  komunikasi  remaja dengan  keluarga,  sekolah,  dan  teman  sebaya  Y1,  Y2,  dan  Y3  sebagai
berikut:
a Topik  pembicaraan  adalah  suatu  pokok  atau  tema  pembicaraan  yang
menjadi  landasan  dalam  proses  komunikasi.  Pengukuran  dinyatakan dengan  skor  persepsi  responden  dan  menggunakan  skala  ordinal,
kemudian  dikelompokkan  menjadi  tiga  kategori  rendah,  sedang,  dan tinggi.
b Durasi  pembicaraan  adalah  waktu  yang  digunakan  untuk  melakukan
komunikasi. Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan menggunakan  skala  ordinal,  kemudian  dikelompokkan  menjadi  tiga
kategori rendah, sedang, dan tinggi.
c Frekuensi  pembicaraan  adalah  seberapa  sering  komunikasi  dilakukan.
Pengukuran  dinyatakan  dengan  skor  persepsi  responden  dan menggunakan  skala  ordinal,  kemudian  dikelompokkan  menjadi  tiga
kategori rendah, sedang, dan tinggi.
d Media  komunikasi  adalah  perantara  dalam  penyampaian  informasi  dari
komunikator  kepada  komunikan  yang  dilakukan  melalui  alatperangkat tertentu.  Pengukuran  dinyatakan  dengan  skor  persepsi  responden  dan
menggunakan  skala  ordinal,  kemudian  dikelompokkan  menjadi  tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi.
e Situasi  komunikasi  adalah  suasana  yang  terjadi  saat  proses  komunikasi
antarpribadi berlangsung secara dialogis. Pengukuran dinyatakan dengan skor  persepsi  responden  dan  menggunakan  skala  ordinal,  kemudian
dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi.
Parameter  dan  pengukuran  setiap  indikator  pola  komunikasi  remaja  dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya Y1, Y2, dan Y3 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5  Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran  peubah  pola  komunikasi  remaja  dengan  keluarga,
sekolah, dan teman sebaya Y1, Y2, dan Y3
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Kategori Pengukuran
Topik pembicaraan Y
1.1
; Y
2.1
; Y
3.1
Suatu pokok atau tema pembicaraan yang menjadi
landasan dalam proses komunikasi.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden. 1. Rendah  ≤ 50.0
2. Sedang  50.0 - 75.0
3. Tinggi  75.0
Durasi pembicaraan Y
1.1
; Y
2.1
; Y
3.1
Waktu yang digunakan untuk berkomunikasi.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden. 1. Rendah  ≤ 50.0
2. Sedang  50.0 - 75.0
3. Tinggi  75.0
Frekuensi pembicaraan Y
1.1
; Y
2.1
; Y
3.1
Seberapa sering komunikasi dilakukan.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden. 1. Rendah  ≤ 50.0
2. Sedang  50.0 - 75.0
3. Tinggi  75.0
Media komunikasi Y
1.1
; Y
2.1
; Y
3.1
Perantara dalam penyampaian informasi
dari komunikator kepada komunikan yang dilakukan
melalui alatperangkat tertentu.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden. 1. Rendah  ≤ 50.0
2. Sedang  50.0 - 75.0
3. Tinggi  75.0
Situasi komunikasi Y
1.1
; Y
2.1
; Y
3.1
Suasana yang terjadi saat proses komunikasi
antarpribadi berlangusng secara dialogis.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden. 1. Rendah  ≤ 50.0
2. Sedang  50.0 - 75.0
3. Tinggi  75.0
8. Prestasi belajar adalah pencapaian yang diperoleh seorang siswa yang berasal
dari nilai rapor maupun di luar nilai pelajaran, seperti prestasi akademik dan prestasi  non-akademik.  Adapun  definisi  operasional  dari  masing-masing
indikator tersebut sebagai berikut:
a Prestasi akademik adalah pencapaian yang diperoleh seorang siswa yang
dilihat  dari  nilai  rapor.  Pengukuran  dinyatakan  dalam  angka, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan menjadi empat kategori.
b Prestasi non-akademik adalah pencapaian yang diperoleh seorang siswa
di luar nilai rapor. Pengukuran dinyatakan dengan menggunakan satuan angka dan menggunakan skala nominal.
Parameter  dan  pengukuran  setiap  indikator  prestasi  belajar  Y4  disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6  Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah prestasi belajar Y4
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran Kategori
Pengukuran Prestasi
akademik Y
4.1
Pencapaian atau keberhasilan siswa dilihat
dari nilai rapor per semester.
Diukur berdasarkan angka di rapor.
1. 60.0 - 69.9 2. 70.0 - 79.9
3. 80.0 - 89.9 4.  90.0
Prestasi non- akademik
Y
4.2
Pencapaian atau keberhasilan siswa di luar
nilai rapor. Diukur berdasarkan
pernyataan berprestasi atau tidak berprestasi.
1. Ya 2. Tidak
9. Kecerdasan emosional remaja adalah kemampuan untuk menguasai kualitas-
kualitas emosional dan mengatasi masalah saat kemampuan lain tidak dapat mengatasi  gejolak  emosi  yang  timbul,  seperti  mengenali  emosi  diri,
mengelola  emosi,  kemampuan  memotivasi  diri,  kemampuan  empati,  dan kemampuan  membina  hubungan.  Definisi  operasional  dari  masing-masing
indikator kecerdasan emosional Y5 sebagai berikut:
a    Mengenali  emosi  diri  adalah  kemampuan  untuk  mengetahui  apa  yang dirasakan  waktu  perasaan  itu  terjadi,  memiliki  kepekaan  akan  perasaan
diri  dan  menggunakannya  untuk  memandu  pengambilan  keputusan. Pengukurannya  dinyatakan  dalam  skor  persepsi  responden  terhadap  diri
sendiri,  dengan  menggunakan  skala  ordinal  kemudian  dikategorikan menjadi tiga kategori.
b    Mengelola  emosi    adalah  kemampuan  dalam  menangani  dan  mengatur emosi yang berdampak positif kepada pelaksanaan tugas dan pencapaian
suatu  tujuan  serta  kemampuan  untuk  dapat  pulih  dari  tekanan  emosi. Pengukurannya  dinyatakan  dalam  skor  persepsi  responden  terhadap  diri
sendiri,  dengan  menggunakan  skala  ordinal  kemudian  dikategorikan menjadi tiga kategori.
c   Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan mengatur emosi untuk mencapai  suatu  tujuan,  memotivasi  diri  sendiri  dan  berkreasi.
Kemampuan  ini  membantu  individu  dalam  mengambil  inisiatif  dan bertindak  efektif  serta  bertahan  ketika  menghadapi  kegagalan.
Pengukurannya  dinyatakan  dalam  skor  persepsi  responden  terhadap  diri sendiri,  dengan  menggunakan  skala  ordinal  kemudian  dikategorikan
menjadi tiga kategori.
d    Kemampuan  empati  adalah  kemampuan  merasakan  apa  yang  dirasakan oleh  orang  lain,  mampu  memahami  perspektif  mereka,  menumbuhkan
rasa  saling  percaya  dan  menyesuaikan  diri  dengan  berbagai  macam orang.  Pengukurannya  dinyatakan  dalam  skor  persepsi  responden
terhadap  diri  sendiri,  dengan  menggunakan  skala  ordinal  kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori.
e    Kemampuan    membina    hubungan    adalah    kemampuan      menangani emosi secara baik ketika berhubungan dengan orang lain, dapat membaca
situasi, berinteraksi
dengan lancar,
kemampuan memimpin,
bermusyawarah,  menyelesaikan  perselisihan  dengan  baik  serta  mampu
bekerja sama dengan orang lain. Pengukurannya  dinyatakan dalam skor persepsi  responden  terhadap  diri  sendiri,  dengan  menggunakan  skala
ordinal kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori.
Parameter  dan  pengukuran  setiap  indikator  kecerdasan  emosional  Y5 disajikan pada Tabel 7.
Tabel  7   Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah kecerdasan emosional remaja Y5
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Kategori Pengukuran
Mengenali emosi diri Y
5.1
Kemampuan untuk mengetahui apa yang
dirasakan waktu perasaan itu terjadi, memiliki kepekaan
akan perasaan diri dan menggunakannya untuk
memandu pengambilan keputusan.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden terhadap diri sendiri.
1. Rendah  ≤ 50.0 2. Sedang  50.0 -
75.0 3. Tinggi  75.0
Mengelola emosi Y
5.2
Kemampuan dalam menangani dan mengatur
emosi yang berdampak positif kepada pelaksanaan
tugas dan pencapaian suatu tujuan serta kemampuan
untuk dapat pulih dari tekanan emosi.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden terhadap diri sendiri.
1. Rendah  ≤ 50.0 2. Sedang  50.0 -
75.0 3. Tinggi  75.0
Kemampuan memotivasi diri
Y
5.3
Kemampuan mengatur emosi untuk mencapai suatu tujuan,
memotivasi diri sendiri dan berkreasi.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden terhadap diri sendiri.
1. Rendah  ≤ 50.0 2. Sedang  50.0 -
75.0 3. Tinggi  75.0
Kemampuan empati Y
5.4
Kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang
lain, mampu memahami perspektif mereka,
menumbuhkan rasa saling percaya dan menyesuaikan
diri dengan berbagai macam orang.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden terhadap diri sendiri.
1. Rendah  ≤ 50.0 2. Sedang  50.0 -
75.0 3. Tinggi  75.0
Kemampuan membina
hubungan Y
5.5
Kemampuan menangani emosi secara baik ketika
berhubungan dengan orang lain, dapat membaca situasi,
berinteraksi dengan lancar, kemampuan memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan
dengan baik serta mampu bekerja sama dengan orang
lain. Diukur berdasarkan
skor persepsi responden terhadap
diri sendiri. 1. Rendah  ≤ 50.0
2. Sedang  50.0 - 75.0
3. Tinggi  75.0
Pengumpulan Data
Data  dalam  penelitian  ini  terdiri  dari  data  primer  dan  data  sekunder. Pengumpulan  data  primer  dilakukan  melalui  1  kuesioner,  2  focus  group
discussion FGD,  3  pengamatan  di  lapangan,  dan  4  dokumentasi.  Cara
pengumpulan data primer sebagai berikut: 1.
Kuesioner, yaitu sejumlah pertanyaan yang diajukan untuk mengukur peubah penelitian  yang  diisi  sendiri  oleh  sejumlah  responden.  Pengisian  kuesioner
dipandu  oleh  peneliti.  Kuesioner  disusun  berdasarkan  skala  nominal,  rasio, interval,  dan  ordinal.  Untuk  kepentingan  pengujian  secara  statistik,  data
tersebut  ditransformasi  menjadi  skala  interval  atau  rasio.  Transformasi  ini dilakukan  untuk  menghitung  nilai  keragaman  yang  terjadi  dalam  setiap
peubah penelitian.
2. Focus group discussion FGD atau diskusi kelompok terpimpin merupakan
metode yang dipakai untuk menggali data kualitatif dari sekelompok individu mengenai pendapat mereka terhadap suatu isu atau tema yang terkait dengan
penelitian.  Pertanyaan  dilontarkan  dalam  grup  interaktif  yang  akan  dijawab secara  bebas  oleh  masing-masing  peserta  diskusi.  Peserta  diskusi  juga
diberikan  kesempatan  untuk  menanggapi  atau  menyanggah  pernyataan  atau pendapat  peserta  lain.  Metode  ini  cukup  efektif  untuk  mengumpulkan
pandangan secara kolektif dari berbagai sumber yang relevan.
3. Pengamatan  di  lapangan,  yaitu  aktivitas  mengamati  yang  dilakukan  secara
langsung di lokasi penelitian terhadap situasi dan kondisi fisik SMA, suasana belajar, dan perilaku siswa di sekolah tersebut.
4. Dokumentasi adalah kegiatan mendokumentasikan materi yang berhubungan
dengan  penelitian,  seperti  pemotretan  di  lokasi  penelitian,  pengambilan gambar serta rekaman saat melakukan FGD dan wawancara mendalam.
Di  samping  pengumpulan  data  primer,  juga  dilakukan  pengumpulan  data
sekunder  yaitu  dengan  cara  penelusuran  dokumen  sekolah  yang  terkait  dengan penelitian, seperti profil sekolah, serta profil siswa dan guru di 6 lokasi penelitian.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Sebelum  instrumen  penelitian  kuesioner  wawancara  dipergunakan  dalam pengumpulan  data,  kuesioner  tersebut  terlebih  dahulu  diuji  validitas  dan
reliabilitasnya  agar  diperoleh  data  yang  valid  atau  sahih,  serta  memiliki konsistensi yang tinggi sehingga menghasilkan data yang tepat dan akurat.
Validitas Instrumen
Validitas  atau  kesahihan  menunjukkan  sejauh  mana  suatu  alat  ukur  mampu mengukur  apa  yang  ingin  diukur.  Suatu  instrumen  pengukuran  dikatakan
memiliki  validitas  yang  tinggi  apabila  alat  tersebut  menjalankan  fungsi  ukur secara  tepat  atau  memberikan  hasil  ukur  yang  sesuai  dengan  maksud
dilakukannya  pengukuran  tersebut.  Konsep  validitas  instrumen  dapat  dibedakan atas tiga macam yaitu validitas isi content validity, validitas konstruk construct
validity
, dan validitas empiris atau validitas kriteria Muljono 2012. Dalam  penelitian  ini  dilakukan  pengujian  terhadap  validitas  isi  content
validity . Validitas isi content validity menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur
dalam  tes  atau  instrumen  mampu  mewakili  semua  dimensi  atau  aspek  dan
kerangka  konsep.  Suatu  instrumen  dikatakan  valid  apabila  pertanyaan  atau  butir tes  itu  mencerminkan  keseluruhan  konten  atau  materi  yang  diujikan  atau  yang
seharusnya dikuasai secara proporsional Muljono 2012.
Teknik  uji  validitas  adalah  total  butir  dikorelasikan  dengan  masing-masing butir  dengan  menggunakan  uji  korelasi  Product  Moment  Correlation  Pearson
dengan rumus sebagai berikut:
r
xy  = N ∑ xy
-
∑xy ∑y
√ {
n ∑x
2
– ∑ x
2
}{
n ∑ y
2
– ∑ y
2
}
Keterangan:  r     =  koefisien korelasi
x     =  peubah bebas independen N    =  banyaknya kasus
y     =  peubah terikat dependen Semakin  tinggi  nilai  koefisien  korelasi  maka  semakin  kecil  kesalahan
pengukuran. Untuk memudahkan pengukuran, digunakan program SPSS versi 19. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas  atau  keterandalan  merupakan  indeks  alat  ukur  yang  digunakan untuk menunjukkan bagaimana suatu pengukuran relatif konsisten apabila diulang
dua kali atau lebih Singarimbun  Effendi 2010. Suatu hasil pengukuran hanya dapat  dipercaya  apabila  dalam  beberapa  kali  pelaksanaan  pengukuran  terhadap
kelompok  subyek  yang  sama,  diperoleh  hasil  pengukuran  yang  relatif  sama, selama aspek  yang diukur dalam diri subyek belum berubah.  Konsep  reliabilitas
dalam  arti  reliabilitas  alat  ukur  berkaitan  erat  dengan  masalah  eror  pengukuran. Eror  pengukuran  sendiri  menunjukkan  sejauh  mana  inkonsistensi  hasil
pengukuran  terjadi  apabila  dilakukan  pengukuran  ulang  terhadap  kelompok subyek yang sama. Sementara konsep reliabilitas dalam arti reliabilitas hasil ukur
berkaitan  erat  dengan  eror  dalam  pengambilan  sampel  yang  mengacu  pada inkonsistensi hasil ukur apabila pengukuran dilakukan ulang pada kelompok yang
berbeda Muljono 2012.
Menurut  Kerlinger  2006  terdapat  tiga  pendekatan  untuk  mengukur reliabilitas, yaitu:
1 Suatu  alat  ukur  dikatakan  reliabel  apabila  alat  ukur  dimaksud  digunakan
berulang kali dan menunjukkan hasil yang sama. 2
Suatu  alat dikatakan reliabel  apabila  alat ukur  tersebut  dapat  mengukur  hal yang sebenarnya dari yang diukur, dan
3 Reliabilitas suatu alat ukur dapat dilihat dari galat error pengukurannya.
Penelitian ini mengambil secara acak 56 responden atau sampel di luar lokasi penelitian  tetapi  memiliki  tingkat  kesamaan  kondisi  dengan  lokasi  yang  diteliti,
yaitu  di  salah  satu  SMA  swasta  di  Bogor.  Uji  keterandalan  yang  dipakai  pada penelitian  ini  adalah  reliability  analysis  scale  alpha  Cronbach  alpha  dengan
menggunakan  program  SPSS  versi  19.0.  Metode  tersebut  digunakan  untuk kuesioner  yang  memiliki  banyak  pilihan  jawaban.  Setelah  memastikan  bahwa
hasil uji reliabilitas tersebut memadai, dilakukan pengambilan data di lapangan.
Menurut  Keyton  2006,  secara  umum  para  peneliti  komunikasi  sepakat bahwa  koefisien  alpha
dinyatakan  reliabel  apabila  ≥  0.7.  Namun  demikian, ketentuan  tersebut  bukan  sesuatu  yang  mutlak.  Sugiyono  2012  mengatakan
bahwa suatu instrumen sudah dianggap reliabel apabila nilai koefisien alpha ≥ 0.6. Ukuran  kemantapan  alpha  berdasarkan  Keyton  2006  dapat  diinterpretasikan
sebagai berikut:
1. Nilai koefisien alpha berkisar  0.20 berarti kurang reliabel.
2. Nilai koefisien alpha berkisar 0.20–0.40 berarti agak reliabel.
3. Nilai koefisien alpha berkisar  0.40–0.70 berarti cukup reliabel sedang.
4. Nilai koefisien alpha berkisar 0.70–0.90 berarti reliabel.
5. Nilai koefisien alpha berkisar  0.90 berarti sangat reliabel.
Berdasarkan  kriteria  tersebut,  nilai  koefisien  alpha  pada  penelitian  ini tergolong  cukup  reliabel  hingga  sangat  reliabel  berkisar  0.662
–0.941.  Data reliabilitas  dan  validitas  turun  lapang  dari  6  SMA  yang  diteliti  disajikan  pada
Tabel 8.
Tabel 8 Hasil uji reliabilitas dan validitas
Peubah Jumlah
Pertanyaan Skala
Ordinal Reliabilitas
Cronbach α
Validitas Isi Nilai r
Komunikasi Remaja-Keluarga: 63
1 – 4
0.941 1.    Dimensi Topik Pembicaraan
20 1
– 4 0.868
0.376 – 0.671
2.    Dimensi Lama Pembicaraan 8
1 – 4
0.863 0.656
– 0.746 3.    Dimensi Frekuensi Pembicaraan
12 1
– 4 0.864
0.536 – 0.687
4.    Dimensi Media Komunikasi 9
1 – 4
0.728 0.363
– 0.725 5.    Dimensi Situasi Komunikasi
14 1
– 4 0.752
0.153 – 0.671
Komunikasi Remaja-Sekolah: 26
1 – 4
0.890 1.    Dimensi Topik Pembicaraan
7 1
– 4 0.688
0.357 – 0.706
2.    Dimensi Lama Pembicaraan 3
1 – 4
0.816 0.845
– 0.848 3.    Dimensi Frekuensi Pembicaraan
5 1
– 4 0.740
0.620 – 0.772
4.    Dimensi Media Komunikasi 5
1 – 4
0.662 0.534
– 0.705 5.    Dimensi Situasi Komunikasi
6 1
– 4 0.715
0.442 – 0.769
Komunikasi Remaja-Teman Sebaya: 30
1 – 4
0.921 1.    Dimensi Topik Pembicaraan
10 1
– 4 0.816
0.480 – 0.739
2.    Dimensi Lama Pembicaraan 4
1 – 4
0.827 0.753
– 0.851 3.    Dimensi Frekuensi Pembicaraan
5 1
– 4 0.809
0.685 – 0.825
4.    Dimensi Media Komunikasi 4
1 – 4
0.739 0.722
– 0.782 5.    Dimensi Situasi Komunikasi
7 1
– 4 0.727
0.021 – 0.541
Kecerdasan Emosional Remaja: 35
1 – 4
0.858 1.    Kesadaran Emosi Diri
7 1
– 4 0.704
0.466 – 0.755
2.    Pengelolaan Emosi 7
1 – 4
0.666 0.418
– 0.655 3.    Kemampuan Memotivasi Diri
7 1
– 4 0.722
0.316 – 0.758
4.    Kemampuan Empati 7
1 – 4
0.735 0.338
– 0.692 5.    Kemampuan Membina  Hubungan
7 1
– 4 0.746
0.567 – 0.686
Pengolahan dan Analisis Data
Data kuantitatif  yang terdiri dari karakteristik remaja, karakteristik orang tua, karakteristik guru, karakteristik teman, pola komunikasi remaja dengan keluarga,
sekolah,  dan  teman  sebaya,  serta  kecerdasan  emosional  dan  prestasi  belajar ditabulasi dan dianalisis. Dalam menentukan kualitas data, dilakukan uji validitas
dan reliabilitas kuesioner. Butir-butir pertanyaan pada kuesioner pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya, serta kecerdasan emosional
dan  prestasi  belajar  diuji  validitasnya,  dilanjutkan  dengan  uji  reliabilitas  dengan metode alpha Cronbach yang tersedia pada program komputer SPSS versi 19.0.
Analisis  kuantitatif  dalam  penelitian  ini  terdiri  dari:  1  analisis  statistik deskriptif, dan 2 analisis statistik inferensial. Analisis  statistik deskriptif, yakni
statistik yang berfungsi mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang  diteliti  remaja  tanpa  membuat  kesimpulan  yang  berlaku  secara  umum.
Analisis  statistik  inferensial,  yakni  statistik  yang  berfungsi  mengeneralisasikan hasil  penelitian  sampel  bagi  populasi  Sugiyono  2010.  Analisis  statistik
inferensial yang digunakan adalah analisis korelasi Pearson.
Model  yang  digunakan  untuk  mengukur  peubah-peubah  yang  diobservasi apakah berhubungan dengan faktor-faktor yang dihipotesiskan, dilakukan melalui
uji  konstruk  berupa  Structural  Equation  Modeling  SEM.  Software  yang digunakan  adalah  Program  LISREL  atau  linear  structural  relationships.  Data
kualitatif berupa catatan lapangan yang dihasilkan dari FGD, selanjutnya diproses menggunakan koding dan analisis konten.
Pendekatan Kualitatif Pendalaman Melalui
Focus Group Discussion FGD
Pada  tahap  kualitatif,  teknik  yang  digunakan  adalah  diskusi  kelompok terpimpinfocus  group  discussion  FGD.  Teknik  ini  dipilih  karena
memungkinkan  peneliti  mengontrol  alur  tanya  jawab  Creswell  2010.  FGD dimaksudkan  untuk  menggali  informasi  lebih  dalam  dari  sejumlah  remaja  yang
sebelumnya  telah  mengisi  kuesioner  mengenai  pola  komunikasi  remaja  dengan keluarga,  sekolah,  teman  sebaya,  dan  kecerdasan  emosional.  Partisipan  FGD
dipilih secara purposive dari 6 SMA, masing-masing sekolah diwakili 10 orang 5 perempuan  dan  5  laki-laki,  sehingga  total  partisipan  adalah  60  orang.  Jumlah
remaja  dibatasi  agar  peneliti  dapat  mendalami  jawaban  dari  masing-masing partisipan.
Pemilihan tersebut didasari pada hasil kuesioner yang telah diisi responden. Skor  pada  setiap  peubah  dijumlahkan,  kemudian  dilihat  siapa  responden  yang
memiliki  total  skor  tertinggi  dan  terendah  dari  masing-masing  peubah.  FGD dilakukan di setiap sekolah tempat penelitian berlangsung sebanyak 2 kali, sekali
pertemuan  untuk  remaja  perempuan  dan  1  kali  lainnya  untuk  remaja  laki-laki. Total FGD untuk 60 partisipan adalah 12 kali pertemuan.
Ketika  FGD  berlangsung,  para  remaja  diminta  menyebutkan  nama,  umur, dan  kegiatan  mereka  sehari-hari  sepulang  sekolah.  Setelah  itu,  peneliti
mengajukan  sejumlah  pertanyaan  yang  telah  disiapkan  dalam  panduan wawancara.  Salah  satu  pertanyaan  yang  diajukan  ada
lah,  “Kamu  merasa  lebih nyaman  mengobrol  dengan  orang  tua  atau  teman?”  Pertanyaan  lainnya  seputar
perbincangan  sehari-hari  remaja  dengan  orang  tua,  guru,  dan  teman  sebayanya, seperti “Topik pembicaraan apa yang biasanya dibahas bersama orang tua? Apa
yang biasanya  dibicarakan  dengan  teman?”  dan  “Bagaimana  tanggapan  orang
tuamu jika kamu berbeda pendapat dengannya?” Semua jawaban direkam dengan alat  perekam  tape  recorder  dan  kamera  tangan  handycam  atas  persetujuan
peserta.  Peneliti  juga  mencatat  hal-hal  penting  yang  terjadi  selama  FGD berlangsung,  seperti  ekspresi  sedih  atau  ungkapan  gembira  ketika  peserta
memberikan jawaban tertentu. Koding dan Analisis Isi
Hasil  rekaman  FGD  selanjutnya  ditranskrip  ke  dalam  bentuk  tulisan. Tahapan berikutnya adalah menganalisis hasil wawancara dan memasukkannya ke
dalam  tipologi  yang  telah  ditentukan  pada  penelitian  kuantitatif.  Analisis  hasil wawancara  mengikuti  langkah-langkah  yang  dijelaskan  oleh  Graneheim  dan
Lundman  2004.  Satu  wawancara  pada  suatu  waktu  dianalisis  dengan  memilih unit  makna  kemudian  dikodekan.  Setelah  itu,  dibuat  subkategori,  kategori  dan
tema.  Analisis  isi  dapat  menyaring  kata-kata  ke  dalam  konten  terkait  kategori yang  lebih  sedikit.  Hal  ini  diasumsikan  bahwa  ketika  diklasifikasikan  ke  dalam
kategori yang sama, kata, frasa dan sejenisnya berbagi arti yang sama Cavanagh 1997.
Tipologi
Prosedur  untuk  mengolah  data  menjadi  tipologi  pola  komunikasi  remaja dengan  keluarga  dan  teman  sebaya  dilakukan  sebagai  berikut:  indeks  pola
komunikasi  remaja-keluarga  dan  pola  komunikasi  remaja-teman  sebaya  dibagi menjadi  dua  bagian,  yaitu:  1  Menengah-rendah  skor    75.0,  dan  2  Tinggi
skor ≥ 75.0. Setelah itu indeks dari masing-masing responden pada peubah pola komunikasi  remaja-keluarga  dan  pola  komunikasi  remaja-teman  sebaya
dikodifikasi.  Jika  masuk  kategori  menengah-rendah  diberi  kode  0,  sedangkan kategori  tinggi  diberi  kode  1.  Data  yang  sudah  dikodifikasi  itu  kemudian
ditabulasi ke dalam sumbu X dan Y, sehingga menghasilkan 4 tipologi. Sumbu X mewakili  pola  komunikasi  remaja-keluarga,  sedangkan  sumbu  Y  adalah  pola
komunikasi remaja-teman sebaya.
Keempat  tipologi  yang  dihasilkan  adalah  sebagai  berikut:  Tipe  1,  pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya sama-sama tinggi;  Tipe 2,
pola  komunikasi  remaja-keluarga  tinggi,  tetapi  pola  komunikasi  remaja-teman sebaya  menengah-rendah;  Tipe  3,  pola  komunikasi  remaja-keluarga  dan  teman
sebaya  sama-sama  menengah  rendah;  dan  Tipe  4,  pola  komunikasi  remaja- keluarga  menengah-rendah,  sebaliknya  pola  komunikasi  remaja-teman  sebaya
tinggi.
4 LOKASI PENELITIAN, KARAKTERISTIK REMAJA, KELUARGA, GURU, DAN TEMAN SEBAYA
Lokasi Penelitian
Penelitian  ini  dilakukan  di  4  SMA  negeri  SMAN  dan  2  SMA  swasta  di Kota  Bogor  dengan  inisial  sebagai  berikut:  SMAN  A,  SMAN  B,  SMAN  C,
SMAN  D,  SMA  EF,  dan  SMA  GH.  Keenam  SMA  tersebut  berada  di  wilayah Kota  Bogor  dan  termasuk  sekolah  yang  paling  diminati  oleh  pelajar  karena
banyak  mengukir  prestasi  di  bidang  akademik  maupun  non-akademik. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, keenam SMA ini dipilih berdasarkan
rekomendasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bogor. Di samping itu, penulis  melihat  tingginya  animo  pelajar  lulusan  SMP  yang  mendaftar  ke  SMA-
SMA  tersebut.  Atas  dasar  itulah  penulis  memilih  keenam  SMA  tersebut  sebagai tempat penelitian.
Saat penelitian berlangsung, jumlah siswa  yang  mengikuti kegiatan belajar mengajar  di  keenam  SMA  itu  pada  tahun  ajaran  2013
–2014  dapat  dilihat  pada Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah populasi siswa SMA di lokasi penelitian tahun ajaran 2013 –2014
Sekolah Kelas 1
Kelas 2 Kelas 3
Jumlah Siswa Total Siswa
N L
P L
P L
P L
P SMAN A
153 207
156 181
140 192
448 581
1.029 SMAN B
150 186
168 162
147 166
465 514
979 SMAN C
103 176
129 217
108 178
340 571
911 SMAN D
161 196
180 216
165 188
506 600
1.106 SMA EF
42 32
50 49
35 41
127 122
249 SMA GH
166 149
164 141
143 136
473 426
899
Karakteristik Remaja, Keluarga, Guru, dan Teman Sebaya
Karakteristik Remaja 1.
Usia dan Jenis Kelamin Responden
Usia remaja berkisar 15 sampai 18 tahun. Menurut Hurlock 1990, kisaran usia  remaja  yaitu  13  sampai  18  tahun.  Mengacu  kepada  penggolongan  Hurlock,
usia  responden  dapat  dikategorikan  ke  dalam  dua  kelompok,  yaitu  remaja  awal 13
–15  tahun  dan  remaja  akhir  16–18  tahun.  Pendapat  Berk  2012  sedikit berbeda dengan Hurlock. Berk berpendapat bahwa usia remaja awal dimulai dari
12  sampai  14  tahun,  remaja  tengah  14 –16  tahun,  dan  remaja  akhir  16–18
tahun.  Tabel  10  menunjukkan  bahwa  lebih  dari  setengah  responden  sebanyak 67.5 berusia 16 tahun atau berada di kelompok usia remaja akhir.
Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan usia dan jenis kelamin
Usia Responden Tahun Perempuan
Laki-laki Total
n n
n 15
2 1.0
3 1.8
5 1.3
16 142
68.9 109
65.7 251
67.5 17
61 29.6
52 31.3
113 30.4
18 1
0.5 2
1.2 3
0.8 Total
206 100.0
166 100.0
372 100.0
Rata-rata + Std.Deviasi tahun 16.30 + 0.49
16.32 + 0.53 16.31 + 0.51
Minimum-maksimum tahun 15
– 18 15
– 18 15
– 18
Dilihat dari jenis kelaminnya, persentase responden perempuan lebih besar daripada responden laki-laki Tabel 11. Jumlah responden perempuan di 6 SMA
yang diteliti adalah 206 orang 55.4 , sedangkan responden laki-laki berjumlah 166  orang  44.6  .  Hal  ini  dapat  dimaklumi  karena  penarikan  sampel  tidak
melihat jenis kelamin siswa. Responden yang mengisi kuesioner berasal dari kelas yang  dipilih  secara  acak.  Pada  penelitian  ini,  perbandingan  antara  responden
perempuan  dan  laki-laki  masih  seimbang  karena  perbedaan  jumlahnya  tidak terlampau jauh.
Tabel 11 Sebaran siswa per sekolah berdasarkan jenis kelamin
No. Nama SMA
Perempuan Laki-laki
Total n
n n
1. SMAN A
31 54.4
26 45.6
57 100.0
2. SMAN B
33 54.1
28 45.9
61 100.0
3. SMAN C
36 63.2
21 36.8
57 100.0
4. SMAN D
47 55.3
38 44.7
85 100.0
5. SMA EF
27 52.9
24 47.1
51 100.0
6. SMA GH
32 52.5
29 47.5
61 100.0
Total 206
55.4 166
44.6 372
100.0
                