Teori Pemrosesan Informasi Pola Komunikasi, Kecerdasan Emosional, Dan Prestasi Belajar Siswa Sma Di Kota Bogor

Ketiga, norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosial. Normal sosial dapat berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan, yaitu pandangan hidup masyarakat secara umum. Namun demikian, setiap keluarga juga mempunyai norma sosial yang spesifik. Misalnya, pembagian tugas dalam rumah tangga, yang merupakan bagian dari struktur keluarga untuk mengatur tingkah laku setiap anggotanya. Sedangkan yang berkaitan dengan aspek fungsional, Megawangi 2005 berpendapat bahwa aspek ini sulit dipisahkan dari aspek struktural karena keduanya saling berkaitan. Seseorang dalam sebuah sistem dengan status sosial tertentu tidak lepas dari peran yang diharapkan. Hal ini berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan pada sistem tersebut. Arti fungsi di sini dikaitkan dengan bagaimana sebuah sistem atau subsistem dalam masyarakat dapat saling berhubungan dan menjadi sebuah kesatuan. Megawangi menggarisbawahi bahwa sebuah sistem mengacu pada kegunaannya untuk memelihara dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada berfungsinya subsistem-subsistem yang lain. Apabila terjadi anomali dalam sebuah subsistem, maka akan memengaruhi fungsi dari sistem tersebut secara keseluruhan. Dalam kerangka pikir teori struktural-fungsional, Ihromi 2004 menjelaskan bahwa masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Analisis terhadap sistem ini adalah, apakah konsekuensi dari setiap bagian dari sistem untuk setiap bagian lainnya dan untuk sistem secara keseluruhan. Sistem dalam pendekatan yang disampaikan Ihromi ini berada pada lapisan individual perkembangan kepribadian, lapisan institusional keluarga, dan lapisan masyarakat. Suatu analisis fungsional terhadap keluarga menekankan pada hubungan antara keluarga dan masyarakat luas, hubungan-hubungan internal di antara subsistem-subsistem yang ada dalam keluarga dan atau hubungan di antara keluarga dan kepribadian dari para anggota keluarga sebagai pribadi. Penerapan teori struktural-fungsional dalam konteks keluarga juga terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Chapman Puspitawati 2006 menyatakan bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar mandiri. Tanpa aturan atau fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tidak memiliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Dengan tidak adanya peraturan, akan tumbuh atau terbentuk generasi penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah. Chapman juga menambahkan bahwa keluarga dalam kebudayaan Barat selama 30 tahun terakhir telah mengalami perubahan yang luar biasa dan sudah kehilangan arah. Hal ini terjadi oleh adanya kebudayaan Barat yang menekankan materialisme dengan fokus pada kepemilikan benda seperti rumah dan mobil, dan lebih mencari kebahagiaan pribadi di atas segalanya. Sedangkan suara dari Timur mengarah pada kesatuan dan seirama dengan alam. Prasyarat dalam teori struktural-fungsional mengharuskan tercapainya suatu keseimbangan sistem, baik pada tingkat masyarakat maupun keluarga. Levy Megawangi 2005 menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, yaitu meliputi: 1. Diferensiasi peran, yaitu alokasi peran atau tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga. Berdasarkan serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu kepada pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor. 2. Alokasi solidaritas, yaitu meliputi distribusi relasi antaranggota keluarga berdasarkan cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antaranggota. Misalnya, keterikatan emosional antara seorang ibu dengan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi yang relatif terhadap relasi lainnya. Demikian pula hubungan antara bapak dengan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan antara suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas adalah kedalaman relasi antaranggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan. 3. Alokasi ekonomi, yang menyangkut distribusi barang dan jasa antaranggota keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Distribusi barang-barang dan jasa dimaksudkan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Dalam hal ini diferensiasi tugas juga ada, terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga. 4. Alokasi politik, yaitu berupa distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi dengan baik, maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu diperlukan. 5. Alokasi integrasi dan ekspresi, yang meliputi cara atau teknik sosialisasi internalisasi dan pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku. Parsons dan Bales Megawangi 2005 menyadari akan adanya kecenderungan berpindahnya beberapa fungsi keluarga ke luar rumah, namun mereka justru berargumen bahwa institusi keluarga pada zaman modern akan semakin vital fungsinya. Keduanya optimistis bahwa keluarga akan menjadi tempat di mana setiap anggota keluarga mendapatkan keintiman. Fungsi keluarga akan terspesialisasi pada fungsi emosional dan tempat menyiapkan individu untuk dapat berpartisipasi dalam proses modernisasi, sehingga keluarga menjadi agen utama dan terpenting dalam menghadapi perubahan sosial ke arah modernisasi masyarakat. Terutama melalui perannya dalam menyiapkan individu agar dapat menjadi pribadi yang siap dan matang baik secara emosional maupun instrumental. Meskipun institusi keluarga sudah banyak mengalami perubahan fungsi, ternyata keluarga tetap hidup, dan keberadaan keluarga inti nuclear family tidak pernah berkurang. Berbicara tentang institusi keluarga yang kukuh, Megawangi 2005 berpendapat bahwa hal itu menyangkut aspek pembenahan ke dalam, atau nilai-nilai yang dapat mempersatukan semua individu. Ini juga berkaitan dengan struktur keluarga dengan segala fungsinya yang dapat dipertahankan dan dijalankan oleh masing-masing individu agar tujuan keluarga sebagai kesatuan unit dapat tercapai. Sekolah Sekolah memiliki pengaruh yang besar bagi anak-anak dan remaja. Pada saat seorang siswa lulus dari sekolah lanjutan atas, ia telah menghabiskan waktu lebih dari 10.000 jam di dalam ruang kelas. Pengaruh sekolah sekarang ini lebih kuat dibandingkan pada generasi-generasi sebelumnya karena lebih banyak individu yang lebih lama menghabiskan waktunya di sekolah. Sebagai contoh, di tahun 1900 hanya 11,4 persen dari individu berusia 14 hingga 17 tahun yang mengecap pendidikan sekolah. Sekarang ini 94 persen dari kelompok usia tersebut merupakan individu yang berada di bangku sekolah Santrock 2003. Anak-anak dan remaja menghabiskan waktu bertahun-tahun bersekolah sebagai anggota dari suatu masyarakat kecil di mana terdapat beberapa tugas untuk diselesaikan, orang-orang yang perlu dikenal dan mengenal diri mereka, serta peraturan yang menjelaskan dan membatasi perilaku, perasaan, dan sikap. Pengalaman yang diperoleh anak-anak dan remaja di masyarakat ini kemungkinan memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan identitasnya, keyakinan terhadap kompetensi diri sendiri, gambaran hidup dan kesempatan berkarier, hubungan-hubungan sosial, batasan mengenai hal yang benar dan salah, serta pemahaman mengenai sistem sosial di luar lingkup fungsi keluarga Santrock 2003. Santrock juga mengemukakan bahwa sekolah yang menghasilkan siswa berprestasi tinggi dari golongan ekonomi rendah dikaitkan tidak hanya dengan jenis kurikulum yang khusus dan jumlah waktu mengajar, namun juga dengan berbagai faktor iklim dari sekolah tersebut seperti harapan guru terhadap siswa dan pola interaksi antara guru dengan siswa. Dengan kata lain, berbagai aspek dari sekolah sebagai suatu sistem sosial berperan terhadap pencapaian prestasi siswa di sekolah. Penelitian mengenai apakah sekolah berpengaruh terhadap tingkat prestasi siswa menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut tidaklah sesuai jika ditanyakan tanpa memerhatikan sistem sekolah yang bervariasi. Sekolah bisa berbeda-beda antara satu sama lain walaupun berada pada lingkungan dan populasi yang sama. Santrock 2007 menjelaskan pendekatan utama yang selama bertahun- tahun digunakan untuk mendidik siswa adalah pendekatan instruksi langsung direct instruction approach, yaitu suatu pendekatan yang berpusat pada guru, di mana guru yang mengarahkan dan mengendalikan, menguasai keterampilan akademis, memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap siswa, serta memaksimalkan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas belajar. Kendati sudah banyak ditinggalkan, hingga sekarang masih ada beberapa sekolah yang tetap menggunakan pendekatan ini. Pendekatan instruksi langsung dinilai tidak relevan bagi perkembangan anak-anak dan remaja karena menjadikan individu sebagai pembelajar yang pasif dan tidak cukup menantang mereka untuk berpikir kritis dan kreatif. Pada 1990-an, keinginan untuk melakukan reformasi sekolah difokuskan pada pendekatan konstruktif kognitif cognitive constructivist approach, yakni menekankan upaya aktif dari anak untuk mengkonstruksi dan memahami pengetahuan yang dilakukan secara kognitif. Guru berperan dalam mendukung siswa ketika mereka melakukan eksplorasi dan berusaha memahami dunianya. Kini berkembang pendekatan konstruksi sosial social constructivist approach yang berfokus pada pentingnya kolaborasi dengan orang lain untuk menghasilkan pengetahuan dan pemahaman John-Steiner Mahn 2003 dalam Santrock 2007. Implikasinya adalah, guru memberikan banyak kesempatan kepada para siswa untuk belajar bersama guru dan teman-teman sebaya dalam menyusun pemahaman. Dalam menjalankan proses belajar mengajar, komunikasi mewarnai semua aspek kehidupan di sekolah. Para guru mengajar dengan menggunakan media lisan, tulisan, dan lainnya seperti DVD, komputer, internet, dan bentuk-bentuk seni. Para siswa memperlihatkan pembelajaran atau hasil belajar mereka melalui media yang sama. Pengawas sekolah dan kepala sekolah juga menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menjalin komunikasi Hoy Miskel 2014. Komunikasi di sekolah memiliki beragam tujuan, seperti mewujudkan tujuan organisasi dan menjalin hubungan yang positif Te‟eni 2001. Para penyelenggara pendidikan harus memahami komunikasi karena komunikasi mendasari seluruh proses belajar mengajar di sekolah dan hubungan antarpribadi guru dengan murid, demikian pula sebaliknya murid dengan guru. Hoy dan Miskel 2014 menyebutkan tiga keterampilan komunikasi yang harus dikuasai oleh tenaga pendidik, yaitu kecakapan mengirim pesan, keterampilan menyimak, dan umpan balik. Kecakapan mengirim pesan adalah kemampuan untuk menjadikan diri seseorang dipahami. Kecakapan mengirim pesan dari para pendidik kepada peserta didik bisa ditingkatkan melalui lima metode berikut ini. Pertama, menggunakan bahasa yang tepat dan lugas, serta menghindari jargon pendidikan dan konsep-konsep yang pelik. Untuk membangun kredibilitas, bahasa harus memperlihatkan bahwa pengirim pesan adalah orang yang berpengetahuan luas tentang isu-isu pendidikan. Kedua, memberikan informasi yang jelas dan lengkap kepada peserta didik, yang diperlukan untuk membangun dan mengorganisasikan ulang skema kognitifnya. Ketiga, meminimalkan kebisingan dari lingkungan fisik dan psikologis. Keempat, menerapkan beragam media yang tepat. Kelima, menggunakan komunikasi tatap muka dan pengulangan ketika menyampaikan pesan yang kompleks. Keterampilan menyimak adalah kemampuan individu untuk memahami orang lain. Sebagai salah satu faktor kunci dalam berkomunikasi secara kompeten, menyimak merupakan sebuah bentuk perilaku ketika individu berupaya memahami pesan yang tengah disampaikan oleh orang lain melalui penggunaan kata-kata, tindakan, dan benda DeFleur et al. 1993. Ivey dan Ivey 1999 menggambarkan sejumlah elemen penting dalam keterampilan menyimak yang efektif: menaruh perhatian, mengajukan pertanyaan, menyemangati, membahasakan ulang, memantulkan perasaan, dan merangkum. Keterampilan umpan balik adalah keterampilan mengirim dan menerima pesan yang dihasilkan dari efek komunikasi dan perilaku sebelumnya Hoy Miskel 2014. Pemberian umpan balik terdiri atas pesan verbal dan nonverbal. Pengajuan pertanyaan, pendeskripsian perilaku, dan pembahasan ulang pesan yang diucapkan oleh penutur merupakan bentuk-bentuk umpan balik verbal. Kadang-kadang pesan nonverbal terkirim tidak sengaja. Sebagai contoh, guru tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh murid atau guru menerangkan di kelas dengan muka masam. Penerimaan umpan balik positif bisa ditingkatkan dengan mengungkapkan tujuan, menggunakan informasi yang deskriptif daripada evaluatif, dan menentukan waktu umpan baliknya secara tepat Anderson 1976. Teman Sebaya Sumber penting bagi dukungan emosional selama masa remaja yang rumit dan juga sumber tekanan untuk melakukan perilaku yang tidak disukai orang tua, yaitu meningkatnya keterlibatan remaja dengan teman sebaya. Santrock 2007 mendefiniskan teman sebaya adalah anak-anak atau remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama. Bagi remaja, kelompok teman sebaya adalah sumber kasih sayang, simpati, pengertian, dan tuntunan moral; tempat untuk melakukan eksperimen, serta sarana untuk mencapai otonomi dan kemandirian dari orang tua. Kelompok teman sebaya adalah tempat untuk membentuk hubungan dekat yang berfungsi sebagai “latihan” bagi hubungan yang akan mereka bina di masa dewasa Papalia et al. 2009. Remaja akan merasa senang apabila diterima dan sebaliknya akan merasa sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan sebayanya. Bagi banyak remaja, pandangan kawan-kawan terhadap dirinya merupakan hal yang paling penting Santrock 2007. Pengaruh dari teman sebaya paling kuat di saat masa remaja awal; biasanya memuncak di usia 12 – 13 tahun serta menurun selama masa remaja pertengahan dan akhir, seiring dengan membaiknya hubungan remaja dengan orang tua. Keterikatan dengan teman sebaya di masa remaja awal tidak selalu menyebabkan masalah, kecuali jika keterikatan ini terlalu kuat sehingga remaja bersedia untuk mengabaikan aturan di rumah mereka, lalai mengerjakan tugas sekolah, serta tidak mengembangkan bakat mereka untuk memenangkan persetujuan teman sebaya dan mendapatkan popularitas Fuligni et al. 2002. Di masa kanak-kanak, kebanyakan interaksi antara teman sebaya adalah dyadic atau satu lawan satu, walaupun pengelompokkan yang lebih besar mulai terbentuk di masa anak-anak pertengahan. Saat anak-anak beranjak remaja, sistem sosial teman sebaya menjadi lebih rumit dan bervariasi. Walaupun remaja tetap memiliki hubungan pertemanan satu lawan satu, klik atau geng – struktur kelompok pertemanan yang melakukan berbagai hal bersama-sama – menjadi lebih penting. Kelompok yang lebih besar adalah crowd atau kerumunan, yang biasanya tidak ada sebelum masa remaja, terbentuk bukan berdasarkan interaksi personal, tetapi berdasarkan reputasi, citra, atau identitas. Keanggotaan kerumunan adalah konstruksi sosial, seperangkat label yang dipakai remaja untuk membedakan peta sosial berdasarkan daerah tempat tinggal, suku bangsa, status sosial ekonomi, atau faktor-faktor lain. Ketiga tingkatan dari pengelompokkan teman sebaya – pertemanan, kawanan, dan kerumunan – ini mungkin ada secara bersamaan dan beberapa keanggotaan tumpang tindih, yang dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu Brown Klute 2003. Pengaruh teman sebaya dapat bersifat positif maupun negatif. Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja mempelajari modus relasi yang timbal balik secara simetris. Remaja mengeksplorasi prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan melalui pengalaman mereka ketika menghadapi perbedaan pendapat dengan teman-teman sebayanya. Mereka juga belajar mengamati dengan minat yang tajam dan memiliki sudut pandang sendiri dalam aktivitas bersama teman- teman. Di samping itu, ketika menjalin persahabatan yang karib dengan teman- teman terpilih, remaja belajar untuk menjadi mitra yang lebih terampil dan peka. Selanjutnya, keterampilan ini akan berguna dalam pembentukan basis ketika menjalin hubungan yang lebih intim, misalnya relasi perkawinan di masa depan Santrock 2007. Namun demikian, Santrock 2007 tidak menyangkal bahwa terdapat sejumlah teori yang menekankan pengaruh negatif teman sebaya bagi perkembangan remaja. Bagi beberapa remaja, pengalaman ditolak atau diabaikan dapat membuat mereka merasa kesepian dan bersikap bermusuhan. Pengalaman tidak mengenakkan dengan teman sebaya juga berkaitan ddengan masalah kesehatan mental dan kejahatan di masa selanjutnya. Budaya teman sebaya dapat memengaruhi remaja untuk menyepelekan nilai-nilai dan kendali orang tua, seperti melakukan pelanggaran Kusdiyati et al. 2010, memperkenalkan remaja kepada perilaku merokok Liem 2014, perkelahiantawuran Puspitawati 2008, minuman keras Glaser et al 2010; Leunga et al. 2014, serta bentuk-bentuk lain dari perilaku yang dianggap maladaptif oleh orang dewasa Santrock 2007. Kecerdasan Emosional Kecerdasan yang dikenal selain kecerdasan kognitif adalah kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional di kalangan masyarakat belum mendapat perhatian yang besar dibanding dengan kecerdasan kognitif, karena menganggap kecerdasan emosional hanya sebagai keterampilan memanipulasi orang lain, sedangkan kecerdasan kognitif menghasilkan pikiran dan akal sehat Goleman 1997. Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur suasana jiwa. Menurut Goleman 1997, kualitas emosional yang berhubungan dengan karakter dan emosi seseorang meliputi kemampuan mengungkapkan dan memahami perasaan, empati, mengendalikan amarah, kemampuan untuk bersikap mandiri, kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan untuk menjadi pribadi yang disukai orang lain, dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi diri sendiri maupun orang lain, ketekunan, kesetiakawanan, keramahtamahan, dan sikap hormat kepada orang lain. Goleman 1997 menggolongkan lima aspek dalam mengembangkan kualitas kecerdasan emosional. Pertama, mengenali emosi diri, yaitu kemampuan untuk mengetahui perasaan sewaktu perasaan itu terjadi bahagia, sedih, marah, takut, bingung yang dialaminya dan dapat mengungkapkan sikap yang dilakukan untuk mengutarakan emosi, serta kemampuan memantau perasaan untuk mengambil keputusan. Hal ini merupakan dasar kecerdasan emosional dan merupakan hal yang penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Kedua, mengelola emosi, yaitu kemampuan seseorang untuk menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan baik dan berdampak positif dalam melaksanakan tugas dan pencapaian suatu tujuan serta kemampuan untuk segera pulih dari tekanan emosi yang dialami. Kemampuan ini sangat tergantung pada kesadaran diri yang dimiliki. Ketiga, yaitu memotivasi diri sendiri. Memotivasi diri adalah kemampuan seseorang dalam mengatur, menata emosi dalam mencapai tujuan, kemampuan untuk berkreasi, keterampilan untuk bertindak lebih produktif, efektif dan inovatif dalam hal apa pun yang dijalankan. Keempat, mengenali emosi orang lain empati. Kemampuan ini sangat diperlukan dalam pergaulan sehari-hari. Orang yang mampu berempati akan dapat menangkap tanda-tanda sosial yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang lain. Kemampuan ini akan menumbuhkan rasa saling percaya dan menyesuaikan diri dengan berbagai macam orang. Kelima, kemampuan membina hubungan. Aspek ini adalah kemampuan dalam menangani emosi secara baik ketika seseorang bergaul dengan orang lain, dapat membaca situasi dengan baik, berinteraksi dengan lancar, memimpin musyawarah, menyelesaikan perselisihan dengan baik serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antarpribadi. Seseorang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan dengan orang lain. Kemampuan orang dalam mengembangkan keterampilan ini berbeda-beda. Beberapa orang barang kali terampil dalam menangani kecemasan diri tetapi memiliki hambatan dalam menyesuaikan diri dengan orang lain. Keberhasilan seseorang di masyarakat lebih ditentukan oleh kecerdasan emosional 80 dan hanya 20 ditentukan oleh faktor kecerdasan intelektualkognitif IQ Goleman 1997. Kecerdasan emosional memiliki efek positif dan peka terhadap pengaruh lingkungan. Bagi anak-anak, interaksi antarmanusia yang paling penting adalah dengan orang tua mereka. Kehangatan dan pemantauan orang tua, serta pembinaan emosi orang tua, berdampak positif terhadap pengaturan diri anak, eksternalisasi perilaku yang lebih rendah, harga diri yang lebih tinggi, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik, juga berkorelasi positif dengan dimensi kecerdasan emosional seperti pengetahuan dan pengertian emosi oleh anak-anak, dan regulasi emosi. Sebaliknya, praktik pengasuhan orang tua yang negatif, seperti pemberian hukuman yang keras, dapat mengakibatkan kesejahteraan emosi yang rendah, gangguan kepribadian, perilaku prososial yang rendah, kecemasan kognitif, juga terkait dengan pemahaman emosi dan regulasi emosi yang lebih rendah Alegre 2011. Studi tentang kecerdasan emosional telah menjadi topik yang menarik karena banyak manfaatnya. Remaja yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, ditemukan secara fisik dan mental sehat Seligman 1991 dan lebih berhasil daripada rekan-rekan mereka yang kurang cerdas secara emosional Cooper 1997. Remaja dengan perkembangan keterampilan sosial yang berperforma tinggi lebih baik secara akademis dari rekan-rekannya yang tidak memiliki keterampilan ini Grossman Jones 1997. Kecerdasan emosional mengarah untuk meningkatkan perilaku pro-sosial dan keterampilan manajemen diri pada remaja Bar-On Parker 2000. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mampu mengatur reaksi emosi mereka dalam menanggapi emosi orang lain cenderung lebih memiliki keterampilan sosial yang baik dan bertindak prososial Eisenberg et al. 1997. Gottman 1997 menunjukkan bahwa orang tua yang baik tidak hanya membutuhkan kecerdasan tetapi juga melibatkan emosi. Dalam dekade terakhir ini, ilmu pengetahuan telah menemukan besarnya peran emosi dalam kehidupan kita. Para peneliti menemukan bahwa kesadaran emosi dan kemampuan untuk menangani perasaan akan menentukan keberhasilan dan kebahagiaan dalam semua gaya hidup, termasuk hubungan keluarga. Bagi orang tua, kualitas kecerdasan emosional ini berarti menyadari perasaan remaja, dan mampu berempati, menenangkan, dan membimbing mereka. Untuk masa remaja awal, pelajaran yang paling memberi pengalaman tentang emosi adalah dari keluarga mereka, hal itu mencakup kemampuan untuk mengontrol impuls, menunda kepuasaan delay gratification, memotivasi mereka, membaca isyarat-isyarat sosial orang lain, dan mengatasi kesulitan hidup. Selain itu, remaja yang orang tuanya konsisten mempraktikkan pembinaan emosi memiliki kesehatan fisik yang baik dan skor akademis yang lebih tinggi dari remaja yang keluarganya tidak menawarkan bimbingan Naghavi Redzuan 2012. Prestasi Belajar Di masa remaja, prestasi belajar dianggap sebagai titik kritis. Santrock 2007 menjelaskan bahwa tekanan sosial dan akademis memaksa remaja untuk memegang berbagai peran yang sering kali melibatkan tanggung jawab yang lebih besar. Pada masa inilah, prestasi menjadi persoalan yang lebih serius dan remaja mulai merasakan bahwa hidup sekarang bukan untuk bermain-main lagi. Mereka bahkan mulai memandang keberhasilan dan kegagalan saat ini sebagai prediktor bagi keberhasilan dan kegagalan di masa depan ketika dewasa nanti. Seiring dengan meningkatnya tuntutan yang diterapkan pada remaja, berbagai bidang kehidupan mereka mulai mengalami benturan satu sama lain. Minat sosial remaja dapat berkurang karena mereka harus mengerjakan tugas-tugas akademis. Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia 2009 mendefinisikan prestasi sebagai hasil, kinerja, penampilan, atau performa. Prestasi yang dimaksud dalam penelitian ini erat hubungannya dengan kegiatan belajar di sekolah, baik dalam bentuk prestasi akademik maupun non-akademik. Mengacu pada pengertian belajar menurut aliran Piaget, Semiawan 2002b menjelaskan bahwa belajar adalah adaptasi yang holistik dan bermakna yang datang dari dalam diri seseorang terhadap situasi baru, sehingga mengalami perubahan yang relatif permanen. Pendapat lain mengenai prestasi belajar dikemukakan oleh Dariyo 2013. Menurutnya, prestasi belajar ialah hasil pencapaian yang diperoleh seorang pelajar siswa setelah mengikuti ujian dalam suatu pelajaran tertentu. Prestasi belajar diwujudkan dalam laporan nilai yang tercantum dalam buku rapor atau kartu hasil studi KHS. Hasil laporan belajar ini diberikan setiap tengah semester, semester atau setiap tahun. Semiawan 2002b mengungkapkan bahwa prestasi belajar bukan saja dipengaruhi oleh kemampuan intelektual yang bersifat kognitif, tetapi juga oleh faktor-faktor nonkognitif seperti emosi, motivasi, kepribadian, serta pengaruh lingkungan yang membimbing dan membentuk perkembangan anak. Santrock 2007 menjelaskan bahwa prestasi bagi remaja lebih besar pengaruhnya dibandingkan kemampuan intelektual mereka. Para siswa yang kurang cerdas ternyata dapat memperlihatkan pola motivasi yang adaptif. Sebagai contoh, jika remaja tekun dalam tugas dan yakin terhadap kemampuannya untuk memecahkan masalah, ia akan mampu meraih prestasi yang tinggi. Sebaliknya, beberapa siswa yang cerdas justru memiliki pola prestasi yang maladaptif, misalnya mudah menyerah dan tidak yakin akan keterampilan akademisnya, sehingga memiliki prestasi yang biasa-biasa saja. Hal itu terjadi karena di dalam berprestasi terdapat sejumlah proses motivasi yang terlibat di dalamnya. Santrock memaparkan dua macam motivasi, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik didasarkan pada faktor-faktor internal seperti determinasi-diri, rasa ingin tahu, tantangan dan usaha. Sedangkan motivasi ekstrinsik melibatkan insentif eksternal seperti penghargaan dan hukuman. Pendekatan humanistik dan kognitif menekankan pentingnya motivasi intrinsik dalam prestasi Oka 2005 dalam Santrock 2007. Beberapa remaja bersedia belajar keras karena secara internal mereka termotivasi untuk mencapai standar yang tinggi dalam pekerjaan mereka motivasi intrinsik. Sementara beberapa remaja lainnya bersedia belajar keras karena mereka ingin memperoleh nilai yang baik atau menghindari celaan dari orang tuanya. Guru diharapkan dapat mendorong siswa agar memiliki motivasi intrinsik dan menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendukung keterlibatan kognitif dan tanggung jawab diri siswa untuk belajar. Hal itu berarti, bukan hanya motivasi intrinsik yang harus dibangun dalam diri remaja. Sekolah – dalam hal ini guru – juga harus mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif dan memberikan apresiasi yang semestinya, sehingga para siswa terpacu untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik lagi. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa siswa yang berada di sekolah dengan hubungan interpersonal yang penuh perhatian dan dukungan, mempunyai sikap dan nilai akademis yang lebih positif dan merasa lebih puas terhadap sekolah. Salah satu faktor penting dalam motivasi dan prestasi siswa adalah persepsi mereka tentang hubungan positif mereka dengan para guru Santrock 2009. Penelitian-penelitian Terdahulu Berikut ini beberapa penelitian terdahulu terkait dengan aspek komunikasi keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap prestasi belajar dan kecerdasan emosional remaja. 1. Marzuki et al. 2015 meneliti tentang Emotional Intelligence: Its Relationship with Communication and Information Technology Skills . Penelitian ini mencoba untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosional, keterampilan komunikasi, dan teknologi informasi di kalangan mahasiswa di Malaysia. Total responden yang dikirimi kuesioner berjumlah 4.000 orang dari 10 perguruan tinggi negeri di Malaysia dipilih secara acak. Namun demikian, kuesioner yang kembali hanya 3.250 orang. Dari jumlah tersebut, 140 kuesioner dikeluarkan karena tidak memenuhi persyaratan. Jumlah akhir kuesioner yang dipakai adalah 3.101 terdiri dari 769 laki-laki, 2.290 perempuan, dan 42 tidak menyebutkan identitasnya secara spesifik. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa komponen komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan berbicara di depan umum berhubungan nyata dengan kecerdasan emosional. Penelitian menemukan hubungan antara kecerdasan emosional dan semua komponen komunikasi interpersonal yaitu motivasi, pengetahuan, dan keterampilan. Studi ini menunjukkan pentingnya kecerdasan emosional dengan setiap aspek keterampilan komunikasi mahasiswa. 2. Palaniswamy dan Ponnuswami 2013 meneliti tentang Social Changes and Peer Group Influence among the Adolescents Pursuing Under Graduation . Penelitian yang dilakukan di India ini menguji konsep dampak perubahan sosial dan pengaruh teman sebaya selama masa remaja. Dari segi ekologi, perkembangan remaja dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tempat kerja remaja. Peran dan hubungan dalam mikrosistem ini membentuk dasar interaksi sehari-hari antara remaja dan lingkungan sosial yang, dari waktu ke waktu, membentuk perkembangan individu. Penelitian menunjukkan bahwa remaja menghabiskan waktu lebih sedikit dengan orang tua mereka daripada yang yang mereka habiskan ketika masih anak-anak. Selain itu, 38 persen responden memiliki 1-5 teman dan 28 persen dari mereka memiliki 6-8 teman. Hubungan teman sebaya memberikan konteks tidak hanya untuk akuisisi dan pemeliharaan persahabatan dan jaringan pertemanan, tetapi juga untuk pengembangan keterampilan sosial, pemecahan masalah, dan empati. Studi ini menunjukkan bahwa 52 persen responden memiliki hubungan yang intim dan 39 persen dari mereka memiliki hubungan yang sangat baik dengan teman-teman mereka. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa sementara orang tua terus memberikan dukungan bagi remaja mereka selama usia ini, teman sebaya tampaknya justru menjadi sumber utama dalam bersosialisasi. 3. Naghavi dan Redzuan 2012 meneliti tentang The Moderating Role of Family Ecological Factors Family Size on the Relationship between Family Environment and Emotional Intelligence. Hasilnya menunjukkan bahwa lingkungan keluarga memupuk kecerdasan emosional para remaja. Selanjutnya, temuan menunjukkan bahwa ukuran keluarga memoderasi hubungan antara lingkungan keluarga dan kecerdasan emosional. Secara khusus, remaja cenderung menunjukkan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dari lingkungan keluarga yang memiliki anggota lebih sedikit. Temuan ini menggarisbawahi perlunya untuk fokus pada peran ukuran keluarga ketika menilai hubungan antara lingkungan keluarga dan kecerdasan emosional remaja. Para peneliti telah menunjukkan bahwa dalam fungsi keluarga yang berhubungan dengan emosi remaja, selain keluarga dan karakter mereka, ukuran keluarga juga sangat penting dalam kehidupan remaja. 4. Charoenthaweesub dan Hale 2011 meneliti tentang Thai Family Communication Patterns: Parent-Adolescent Communication and the Well- Being of Thai Families . Beberapa temuan dari penelitian ini yaitu: pertama, Kesenjangan Komunikasi Keluarga: 32.6 persen dari peserta remaja melaporkan bahwa mereka memiliki kesenjangan komunikasi kecil dengan ayah mereka, 23.6 persen melaporkan celah kecil dengan ibu mereka. Mayoritas remaja melaporkan bahwa tidak ada kesenjangan komunikasi dalam keluarga mereka. Dengan hormat kepada orang tua, sebagian besar orang tua dilaporkan memiliki kesenjangan komunikasi dengan anak remaja mereka, sementara 34.6 persen orang tua melaporkan memiliki celah kecil. Kedua, Kepuasan Komunikasi Keluarga: 51.6 persen orang tua melaporkan bahwa mereka cukup puas dengan komunikasi keluarga secara keseluruhan, sementara 42.4 persen dilaporkan sangat puas, tidak puas 3.9 persen, dan 0.5 persen sangat tidak puas. Dan ketiga, topik yang paling sulit dibicarakan: Mayoritas orang tua yang berpartisipasi melaporkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi dan masa depan karier merupakan topik yang sulit untuk didiskusikan. Mayoritas remaja yang berpartisipasi melaporkan bahwa topik yang paling sulit bagi mereka adalah hidup mereka, kebutuhan, keinginan, dan masalah pribadi seperti hubungan dengan lawan jenis dan seksualitas. 5. Khajehpour 2011 mengenai Relationship between Emotional Intelligence, Parental Involvement and Academic Performance of High School Students . Studi ini memperlihatkan hubungan positif antara kecerdasan emosional, keterlibatan orang tua, dan kinerja akademik pada 300 siswa SMA di Teheran, Iran. Para peserta berusia 15 hingga 18 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik kecerdasan emosional dan keterlibatan orang tua bisa memprediksi prestasi akademik siswa SMA. Demikian pula, ada hubungan positif yang nyata antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik, dan antara keterlibatan orang tua dan prestasi akademik. Harus diakui bahwa penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Meskipun demikian, temuan studi ini telah menyediakan kebutuhan lebih lanjut tentang cara memperbaiki nilai akademis siswa. Secara khusus, studi ini telah menunjukkan bahwa perhatian orang tua dan kesejahteraan emosional tidak dapat lebih ditekankan pada keberhasilan akademis. Temuan ini memiliki beberapa implikasi. Pertama, hubungan interpersonal orang tua dan kepentingan langsung pada akademisi anak-anak mereka bisa membawa prestasi akademik yang lebih baik. Dengan demikian, upaya harus dilakukan oleh orang tua untuk meningkatkan akademis anak. Kedua, baik di rumah dan di sekolah perlu ada kerja sama dalam membuat peserta didik menyesuaikan diri dengan baik secara emosional karena hal ini dapat meningkatkan prestasi akademik siswa. 6. Mahmud et al. 2011 mengenai Family Communication, Sibling Position and Adolescents’ Sense of Responsibility ini menguji hubungan posisi saudara dan komunikasi keluarga dengan rasa tanggung jawab di antara 903 remaja Malaysia. Rasa tanggung jawab yang ditemukan berhubungan dengan komunikasi keluarga tetapi tidak untuk posisi saudara. Wawancara mengungkapkan bahwa anak yang lahir di tengah dapat bertanggung jawab ketika mereka diberi tanggung jawab. Studi ini menunjukkan partisipasi orang dewasa dalam mendorong orang muda untuk menanamkan rasa tanggung jawab. Penelitian ini menyimpulkan bahwa remaja Malaysia memiliki rasa tanggung jawab yang baik. Mereka mampu mendefinisikan tanggung jawab yang berbeda dan posisi saudara mereka tidak memengaruhi rasa tanggung jawab mereka. Penelitian ini juga menegaskan bahwa komunikasi keluarga merupakan elemen penting dalam menanamkan rasa tanggung jawab di kalangan remaja. Penelitian ini menunjukkan bahwa sekolah memiliki keterkaitan dalam pembangunan keluarga dan masyarakat, yaitu dengan mengembangkan program-program khusus yang dapat membantu orang tua meningkatkan hubungan dan menciptakan komunikasi yang lebih baik dengan anak-anak mereka, sehingga anak-anak menjadi orang yang lebih bertanggung jawab. 7. Coll et al. 2010 mengenai Family Functioning and the Development of Trust and Intimacy Among Adolescents in Residential Treatment. Dalam penelitian ini remaja yang melaporkan keterlibatan keluarga tingkat rendah menggambarkan keluarga mereka yang kaku atau tidak fleksibel. Keterlibatan keluarga dan fleksibilitas secara nyata terkait dengan fungsi psikososial sehubungan dengan kepercayaan dan keintiman. Studi ini juga menunjukkan bahwa remaja yang secara emosional memiliki hubungan emosi yang jauh dan negatif, serta pola komunikasi yang membingungkan, menampilkan perasaan cemas, kemarahan, dan konflik antaranggota keluarga. 8. Bester 2007 mengenai Personality Development of The Adolescent: Peer Group versus Parents , hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya bila dibandingkan dengan orang tua, memiliki hubungan yang lebih kuat dengan perkembangan kepribadian remaja. Hubungan yang kuat ini lebih menonjol pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Dalam penelitian ini, gender tidak memainkan peran. 9. Mesch GS dan Talmud I 2006 meneliti tentang Online Friendship Formation, Communication Channels, and Social Closeness . Penelitian yang dilakukan di Israel ini melibatkan 987 remaja dengan rata-rata usia 15,49 tahun. Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki sifat hubungan sosial online. Hasil temuan menunjukkan bahwa remaja saat ini menggunakan internet untuk tujuan komunikasi, hanya persentase yang relatif kecil dari mereka yang melaporkan bahwa mereka bertemu teman pertama melalui internet. Remaja melaporkan tingkat konflik yang lebih tinggi dengan orang tua mereka dan kurang kedekatan dengan teman-teman yang bertemu muka dengan mereka. Temuan yang paling menonjol dari analisis ini adalah efek positif dari konflik remaja-orang tua pada kemungkinan membuat teman online . Remaja yang melaporkan konflik tingkat tinggi dengan orang tua mereka kemungkinan lebih tinggi juga pembentukan persahabatan online- nya.Temuan ini juga menyoroti pentingnya mencapai keintiman dalam hubungan interpersonal sebagai prasyarat untuk pembentukan ikatan yang kuat. Keintiman diperlukan untuk membangun kepercayaan dan timbal balik dalam setiap hubungan dekat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hubungan tatap muka lebih kuat daripada hubungan online. Hal ini berarti melalui interaksi tatap muka remaja mencapai keintiman dalam hubungan interpersonal mereka. 10. Puspitawati 2006 mengenai Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman dan Sekolah Terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTA di Kota Bogor memperlihatkan bahwa remaja yang mempunyai keterikatan tinggi dengan teman berpeluang untuk melakukan kenakalan kriminal 1,157 kali lebih besar dibandingkan remaja yang mempunyai keterikatan yang rendah dengan teman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku agresif dan kenakalan remaja yang tinggi dipengaruhi secara langsung oleh komunikasi yang rendah antara orang tua dan remaja, dan keterikatan teman yang tinggi. Perilaku kenakalan remaja juga berpengaruh negatif terhadap pencapaian nilai-nilai di sekolah. Penelitian ini menemukan bahwa komunikasi orang tua dan anak menentukan pola hubungan antara orang tua dengan remaja, sehingga dapat memengaruhi orientasi remaja secara subyektif dengan teman-temannya. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa komunikasi antara orang tua dan anak dapat dijadikan buffer atau penyaring terhadap pengaruh lingkungan luar yang tidak terhindarkan. Dengan kata lain, pengaruh orang tua yang positif dapat dijadikan „rem‟ oleh remaja agar terhindar dari pengaruh teman yang mengarah kepada perilaku antisosial. 11. Setyowati 2005 meneliti hubungan pola komunikasi keluarga dengan perkembangan emosi anak. Penelitian studi kasus pada keluarga berlatar budaya Jawa yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif ini menyimpulkan bahwa penerapan pola komunikasi keluarga sebagai bentuk interaksi antara orang tua dengan anak maupun antaranggota keluarga memiliki implikasi terhadap perkembangan emosi anak. Penelitian ini memperlihatkan bahwa pola komunikasi yang demokratis dan interaktif secara kultural akan menentukan keberhasilan proses sosialisasi pada anak. Di dalam proses ini akan terjadi transfer nilai-nilai yang positif dari orang tua kepada anak, yang pada gilirannya memberikan pengaruh yang positif bagi pembentukan dan perkembangan emosi anak. Nilai-nilai budaya Jawa yang mendukung perkembangan emosi yang positif bagi anak antara lain adalah: sikap hormat kepada orang tua, tata krama atau sopan-santun, kesabaran dalam menyelesaikan berbagai masalah, serta toleransi yang menjadi dasar terbentuknya sikap empati pada anak. Dengan demikian, anak-anak akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cerdas, baik secara intelektual maupun emosional, yang akan menjadi dasar bagi kecerdasan yang lain, yaitu kecerdasan sosial, moral, dan spiritual. 12. Lukiati et al. 2005 mengenai Pola Komunikasi Keluarga di Desa Manis Kidul Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, dengan metode deskriptif menemukan bahwa keterpaduan bapakibu dan anak dapat dilihat dari adanya keterkaitan emosi, penghargaan individu dan adanya kesepakatan dalam pengambilan keputusan. Adaptasi bapak, ibu, dan anak juga dapat dilihat dari adanya konsistensi, dialogis dan penerapan peraturan serta bersedia menerima kritik dan saran. 13. Fujioka dan Austin 2002 meneliti tentang The Relationship of Family Communication Patterns to Parental Mediation Styles. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara pola komunikasi keluarga dan gaya mediasi orang tua. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa gaya komunikasi dan efek media berhubungan dengan fungsi bagaimana orang tua menerjemahkannya ke dalam strategi diskusi mengenai pesan-pesan media. Untuk menyelidiki hubungan antara norma-norma komunikasi keluarga dan televisi-spesifik perilaku, diuji hubungan antara hipotesis konstruksi pola komunikasi keluarga dan strategi mediasi orang tua, coviewing, dan penggunaan sistem peringkat televisi. Seperti hipotesis, orientasi konsep sering digunakan orang tua untuk berdiskusi masalah-masalah yang lebih umum. Sedangkan orientasi sosial sering digunakan untuk mediasi positif dan coviewing . Orang tua yang menggunakan pola komunikasi berorientasi sosial melaporkan lebih sering menggunakan sistem peringkat TV dalam menyeleksi program TV untuk anak. 14. Kelly et al. 2002 meneliti tentang Family Communication Patterns and the Development of Reticence. Hasil studi menunjukkan bahwa keluarga yang rendah pada orientasi percakapan memiliki komunikasi yang kurang antara orang tua dan anak tentang pikiran, kejadian setiap hari, serta rencana dan harapan untuk masa depan. Orang tua dalam keluarga tersebut kurang terbuka tentang emosi mereka dan cenderung mendorong anak-anak mereka untuk mengekspresikan sendiri perasaan mereka. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan remaja dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tempat kerja remaja. Peran dan hubungan dalam mikrosistem ini membentuk interaksi sehari-hari antara remaja dan lingkungan sosialnya Palaniswamy dan Ponnuswami 2013. Penelitian Charoenthaweesub dan Hale 2011 menemukan adanya kesenjangan komunikasi di keluarga Thailand. Persentasenya cukup tinggi, yaitu 32.6 persen remaja melaporkan bahwa mereka memiliki kesenjangan komunikasi kecil dengan ayah mereka dan 23.6 persen melaporkan celah kecil dengan ibu mereka. Penelitian Mahmud et al. 2011 menyimpulkan bahwa komunikasi keluarga merupakan elemen penting dalam menanamkan rasa tanggung jawab di kalangan remaja. Penelitian Fujioka dan Austin 2002 menunjukkan bahwa gaya komunikasi dan efek media berhubungan dengan fungsi bagaimana orang tua menerjemahkan pesan-pesan media ke dalam strategi diskusi. Penelitian lain yang juga berhubungan dengan media menunjukkan bahwa remaja sekarang banyak menggunakan internet untuk tujuan komunikasi Mesch GS dan Talmud I 2006. Studi yang dilakukan oleh Coll et al. 2010 membuktikan bahwa remaja yang memiliki hubungan emosi jauh dan negatif, serta pola komunikasi yang membingungkan, menampilkan perasaan cemas, kemarahan, dan konflik antaranggota keluarga. Temuan ini menguatkan penelitian Naghavi dan Redzuan 2012 bahwa lingkungan keluarga dapat memupuk kecerdasan emosional para remaja. Ukuran keluarga memoderasi hubungan antara lingkungan keluarga dan kecerdasan emosional remaja. Remaja cenderung menunjukkan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dari lingkungan keluarga yang memiliki anggota jumlah anak lebih sedikit. Penelitian Marzuki et al. 2015 juga menemukan hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan komponen komunikasi interpersonal, yaitu motivasi, pengetahuan, dan keterampilan. Selain itu, terdapat hubungan positif yang nyata antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik, serta antara keterlibatan orang tua dan prestasi akademik Khajehpour 2011. Penelitian Setyowati 2005 pada keluarga berlatar budaya Jawa menyimpulkan bahwa penerapan pola komunikasi keluarga sebagai bentuk interaksi antara orang tua dengan anak maupun antaranggota keluarga memiliki implikasi terhadap perkembangan emosi anak. Hasil penelitian Bester 2007 menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya bila dibandingkan dengan orang tua, memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap perkembangan kepribadian remaja. Hubungan yang kuat ini lebih menonjol pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Penelitian Bester sejalan dengan Puspitawati 2006 yang menemukan bahwa remaja mempunyai keterikatan tinggi dengan teman sebanyanya. Hasil penelitian Puspitawati juga menunjukkan bahwa perilaku agresif dan kenakalan remaja yang tinggi dipengaruhi secara langsung oleh komunikasi yang rendah antara orang tua dan remaja, dan keterikatan teman yang tinggi. KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Penelitian ini didasari fakta bahwa remaja adalah generasi penerus bangsa. Di tangan generasi muda masa depan bangsa dan negara Indonesia dipertaruhkan. Remaja yang menjadi harapan bangsa adalah yang memiliki kemampuan intelektual IQ memadai disertai kemampuan emosional EI yang baik. Di masa remaja, seseorang mencari identitas dirinya, menggali tujuan hidupnya, dan menetapkan cita-citanya. Gunarsa dan Gunarsa 1990 mengungkapkan bahwa ada dua faktor dominan yang memengaruhi proses tumbuh kembang remaja sebagai individu. Pertama adalah faktor khusus endogen yang terjadi pada individu, yang meliputi segala kecenderungan dan kemampuan yang berkembang di kemudian hari seperti karakteristik individu dan IQ. Faktor endogen ini sudah ada sejak seorang manusia dilahirkan. Kedua adalah faktor yang berasal dari luar individu faktor eksogeneksternal yang meliputi lingkungan keluarga, sosial, sekolah dan geografis, juga fasilitas yang tersedia seperti makanan dan kesempatan belajar. Dalam hal ini, kecerdasan emosi lebih banyak dibentuk oleh lingkungan luar. Di antara faktor-faktor tersebut, keluarga orang tua memainkan peran paling penting dalam proses pembentukan remaja menjadi seseorang yang memiliki keseimbangan antara prestasi akademik, kecerdasan emosional, dan spiritual. Untuk membangun SDM berkualitas, lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku anak Bronfenbrenner 1994; Semiawan 2002a. Lingkungan keluarga yang kondusif salah satunya ditandai dengan komunikasi yang harmonis. Di samping keluarga, sekolah dan teman sebaya juga memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan remaja. Teman sebaya dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap remaja. Namun demikian, komunikasi keluarga yang harmonis dapat menangkal remaja dari pengaruh negatif teman sebaya. Pendekatan teoritis yang melatarbelakangi studi ini adalah teori struktural fungsional, yang menyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat Puspitawati 2006. Teori struktural fungsional juga menyangkut teori sistem yang menjelaskan adanya komponen-komponen yang saling bergantung antara satu dengan yang lain Klein dan White 1996. Apabila keluarga mempunyai struktur yang kokoh dan menjalankan semua fungsinya dengan optimal, maka akan menghasilkan keluaran yang baik bagi seluruh anggota keluarganya Puspitawati 2006. Di era globalisasi ini, teknologi informasi dan komunikasi ikut berperan dalam membentuk jati diri remaja. Keterlibatan remaja dalam komunikasi di media sosial dapat memberikan pengaruh yang positif maupun negatif terhadap perkembangan dirinya. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi dan interaksi yang positif antara remaja-orang tua dan sebaliknya orang tua- remaja agar dapat meminimalkan pengaruh negatif yang berasal dari luar. Komunikasi keluarga berperan penting dalam menjembatani hubungan antar- anggota keluarga agar berlangsung harmonis. Berlandaskan pemaparan di atas, disusun kerangka konseptual sebagai berikut Gambar 3. Berdasarkan kerangka konseptual tersebut, disusun peubah bebas yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu: 1 Karakteristik remaja, 2 Karakteristik keluarga, 3 Karakteristik guru, dan 4 Karakteristik teman sebaya. Peubah terikat pertama yang diteliti adalah: 1 Pola komunikasi remaja dengan keluarga, 2 Pola komunikasi remaja dengan sekolah, dan 3 Pola komunikasi remaja dengan teman sebaya. Peubah terikat kedua, yaitu: 1 Kecerdasan emosional, dan 2 Prestasi belajar. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini kerangka operasional pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar. PPol Gambar 4 Kerangka operasional pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar pada siswa SMA di Kota Bogor Karakteristik Remaja X1: X1.1 Jenis kelamin X1.2 Usia X1.3 Urutan kelahiran X1.4 Uang saku Karakteristik Keluarga X2: X2.1 Umur orang tua X2.2 Pendidikan orang tua X2.3 Pekerjaan orang tua X2.4 Pendapatan orang tua X2.5.Suku orang tua X2.6 Jumlah anak Karakteristik Guru X3: X3.1 Umur X3.2 Jenis kelamin X3.3 Pendidikan X3.4 Mata pelajaran yang diampu Karakteristik Teman Sebaya X4: X4.1 Jenis kelamin X4.2 Umur POLA KOMUNIKASI REMAJA Kecerdasan Emosional Remaja Y4: Y4.1 Mengenali emosi diri Y4.2 Mengelola emosi Y4.3 Kemampuan memotivasi diri Y4.4 Kemampuan empati Y4.5 Kemampuan membina hubungan Prestasi Belajar Y5: Y5.1 Prestasi akademik Y5.2 Prestasi non- akademik Hipotesis Penelitian Berdasarkan asumsi pada kerangka pemikiran di atas, maka penelitian ini diarahkan untuk melihat tiga peubah terikat Y1, Y2, dan Y3, yaitu pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap dua peubah terikat lainnya Y4 dan Y5, yakni kecerdasan emosional dan prestasi belajar. Hipotesis umum yang diajukan pada penelitian ini sebagai berikut: • H1: Terdapat pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya yang nyata terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar siswa di 6 SMA di Kota Bogor. Di samping menguji hipotesis umum di atas, penelitian ini juga menguji beberapa hipotesis khusus sebagai berikut: • H2: Terdapat hubungan nyata antara karakteristik remaja dan karakteristik keluarga dengan pola komunikasi remaja-ayah dan pola komunikasi remaja- ibu. • H3: Terdapat pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya yang nyata terhadap kecerdasan emosional. • H4: Terdapat pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya yang nyata terhadap prestasi belajar. • H5: Terdapat pengaruh nyata antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar. • H6: Terdapat perbedaan nyata antara pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya. 3 METODE Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode campuran mixed method, yaitu menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menggunakan metode survei dengan desain penelitian cross sectional study penelitian yang dilakukan pada satu waktu tertentu dan satu kali. Untuk mencapai tujuan itu, penelitian dirancang bersifat menerangkan explanatory research . Menurut Babbie 2004 explanatory research adalah penelitian survei yang bertujuan menjelaskan pengaruh dan hubungan antarpeubah melalui pengujian hipotesis. Metode survei digunakan untuk pengumpulan data dari seluruh anggota populasi. Ciri khas pengumpulan data melalui survei adalah data dikumpulkan dari sejumlah responden dengan menggunakan kuesioner. Keuntungan utama metode survei adalah dimungkinkannya membuat generalisasi untuk populasi berdasarkan analisis terhadap sampel yang berasal dari populasi tersebut. Selain itu, metode survei tidak memerlukan kelompok kontrol seperti halnya pada metode eksperimen Siregar 2010. Di samping pendekatan kuantitatif, juga digunakan pendekatan kualitatif untuk menggali informasi-informasi penting yang tidak terlihat pada pengukuran kuantitatif. Sehubungan dengan itu digunakan metode focus group discussion FGD. Menurut Baxter dan Babbie Turner dan West 2006, wawancara kualitatif paling utama digunakan untuk lima tujuan spesifik. Pertama, peneliti kualitatif menggunakan wawancara untuk mengerti fenomena komunikatif yang tidak bisa diteliti secara langsung. Kedua, satu wawancara dapat menolong jika peneliti ingin memahami pikiran dan perasaan dari orang yang diwawancara berdasarkan satu subyek tertentu atau pengalaman. Ketiga, peneliti kualitatif dapat menggunakan wawancara untuk mengetahui bagaimana seorang partisipan menggunakan bahasa di lingkungan sekitarnya. Keempat, wawancara dapat digunakan sebagai satu elemen dari triangulasi. Dengan kata lain, wawancara dapat digunakan sebagai validasi dari perilaku yang telah diteliti atau sebagai suplemen bagi wawancara sebelumnya. Terakhir, wawancara kualitatif dapat mempertimbangkan suatu pertunjukan yang memberikan contoh gaya komunikatif orang yang diwawancarai. Kelebihan menggunakan metode campuran dibandingkan memilih salah satu metode, antara lain adalah dapat menerapkan teori secara deduktif ataupun induktif Creswell 2010. Di samping itu, metode campuran kombinasi dapat menutupi kekurangan yang ada pada pengukuran kuantitatif dan kualitatif Sugiyono 2013. Dengan menggunakan metode ini, diperoleh data yang lebih luas, mendalam, akurat, lengkap, dan bermakna. Namun demikian, metode campuran juga memiliki kelemahan. Sugiyono 2013 menyebutkan kelemahan metode campuran adalah penelitian menjadi lebih sulit dan sering memerlukan waktu, biaya, dan tenaga yang lebih lama. Strategi yang cukup populer dalam penelitian metode campuran dan sering kali digunakan oleh para peneliti yang lebih condong pada proses kuantitatif adalah strategi eksplanatoris sekuensial. Strategi ini diterapkan dengan pengumpulan dan analisis data kuantitatif pada tahap pertama, diikuti oleh pengumpulan dan analisis data kualitatif pada tahap kedua yang dibangun berdasarkan hasil awal kuantitatif. Bobotprioritas lebih diberikan pada data kuantitatif. Dua jenis data ini terpisah, namun tetap berhubungan Creswell 2010. Penelitian juga dilengkapi uji validitas konstruk dengan menggunakan Structural Equation Modeling SEM, juga disebut a covariance structure model. Metode ini digunakan untuk menguji model-model empiris sekaligus menjelaskan varian dan korelasi antara suatu set peubah-peubah yang diobservasi observed dalam suatu sistem kausal sebab akibat dari faktor-faktor yang tidak diobservasi unobserved. Dengan demikian pengukuran model menspesifikasikan seberapa jauh peubah-peubah yang diobservasi berhubungan dengan suatu set faktor-faktor yang dihipotesiskan. Software yang digunakan adalah Program LISREL atau Linear Structural Relationships Puspitawati 2006. Analisis SEM diperlukan untuk mengkaji pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung dari peubah-peubah laten endogenous maupun exogenous. SEM juga dapat diartikan sebagai Path Analysis yang merupakan suatu teknik ordinary least square yang digunakan untuk mengetahui model-model kausal berdasarkan riset terdahulu dan juga pertimbangan teoritis. Peubah exogenous adalah peubah yang variabilitasnya diasumsikan dipengaruhi oleh peubah di luar model kausal, sedangkan peubah endogenous adalah peubah yang variabilitasnya diasumsikan dipengaruhi oleh peubah exogenous dan peubah-peubah di dalam sistem Pedhazur 1982 yang dikutip oleh Puspitawati 2006. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di enam SMA yang tergolong SMA favorit di Kota Bogor, yaitu empat SMA negeri dan dua SMA swasta, terdiri dari SMAN A, SMAN B, SMAN C, SMAN D, SMA EF, dan SMA GH. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan masukan dari Dinas Pendidikan Kota Bogor. Keenam SMA dikatakan favorit karena beberapa alasan. Pertama, sekolah tersebut termasuk sekolah yang memiliki prestasi akademik dan non-akademik tinggi. Kedua, jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut dari tahun ke tahun termasuk tinggi atau melebihi jumlah kelas yang disediakan. Waktu pelaksanaan penelitian mulai dari mengurus surat perizinan ke Dinas Pendidikan Kota Bogor, penjajakan ke lokasi penelitian dan uji coba kuesioner, penyempurnaan kuesioner, sampai dengan tahap pengumpulan data primer dan data sekunder, serta pelaksanaan FGD berlangsung selama enam bulan, yaitu dari bulan Februari sampai Juli 2014. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyeksubyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya Sugiyono 2012. Populasi yang dimaksud pada penelitian ini adalah siswa kelas 2 SMA di Kota Bogor. Selanjutnya dipilih 6 SMA, yaitu 4 SMA negeri dan 2 SMA swasta favorit yang banyak diminati. Bogor dipilih karena merupakan kota penyangga yang lokasinya berdekatan dengan Ibu Kota Jakarta, sehingga budaya metropolitan dengan mudah masuk ke kota ini. Di samping itu, remaja yang tinggal di wilayah perkotaan pada umumnya lebih mudah terpengaruh oleh budaya metropolitan dibanding remaja yang tinggal di wilayah kabupaten perdesaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Bogor, jumlah populasi siswa SMA kelas 2 di Kota Bogor yang terdaftar pada tahun ajaran 2013 – 2014 adalah 4.915 orang. Prosedur Penarikan Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi Sugiyono 2012. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode gugus bertahap. Effendi dan Tukiran 2012 menjelaskan bahwa pengambilan sampel gugus bertahap dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Satu populasi dapat dibagi-bagi dalam gugus tingkat pertama, kemudian gugus-gugus tingkat pertama ini dapat pula dibagi dalam gugus-gugus tingkat kedua, dan gugus tingkat kedua masih dapat pula dibagi dalam gugus-gugus tingkat yang lebih lanjut. Jumlah responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan besarnya populasi dengan tingkat kesalahan tertentu. Dalam hal ini tingkat kesalahan yang dipilih adalah 5 persen. Jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin Sevilla et al. 1993 dengan formulasi sebagai berikut: n = {N[1 + Ne 2 ]} Keterangan: n = ukuran sampel N = ukuran populasi e 2 = nilai kritis sebesar 5 persen Berdasarkan rumus Slovin, diperoleh angka sampel sebagai berikut: n = {4.915[1 + 4.915 0,05 2 n = {4.9151 + 12,29} n = 4.91513,29 n = 369,8 atau dibulatkan menjadi 370 orang. Dengan menggunakan rumus Slovin, diperoleh jumlah sampel sebanyak 370 siswa. Namun demikian, dalam penelitian ini sampel yang diperoleh berjumlah 372 siswa. Seluruh siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini berasal dari keluarga utuh, yaitu keluarga yang memiliki orang tua lengkap ayah dan ibu. Pemilihan sampel pada keluarga utuh didasari pertimbangan bahwa keluarga utuh memiliki hubungan intim yang lebih baik daripada keluarga tidak utuh. Di samping itu, orang tua pada keluarga utuh biasanya memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam sikap berkomunikasi dibandingkan keluarga tidak utuh Koerner Fitzpatrick 2004. Secara operasional, penentuan jumlah sampel di masing-masing sekolah ditentukan sebanyak 1 kelas IPA dan 1 kelas IPS. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh lebih beragam mengingat ada perbedaan karakteristik pada siswa IPA dan IPS. Pemilihan kelas 2 yang mewakili sekolah dipilih secara acak oleh guru dan selanjutnya seluruh siswa di kelas tersebut baik laki-laki dan perempuan secara otomatis menjadi responden untuk mengisi kuesioner yang telah disiapkan. Usia sampel berkisar 15 hingga 18 tahun. Data dan Instrumentasi Data Data merupakan kumpulan angkahuruf yang berasal dari hasil penelitian terhadap sifatkarakteristik yang diteliti Hastono 2006. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Supranto 2004 menyatakan bahwa data kuantitatif merupakan data yang berbentuk angka-angka, sehingga gejala-gejala dalam penelitian diukur dengan skala-skala dan dianalisis menggunakan metode statistik. Data kuantitatif diperoleh dalam bentuk mentah dari kuesioner. Data primer adalah data yang didapat langsung dari responden dan hasil observasi di lapangan. Data ini dikumpulkan melalui kuesioner yang dibagikan dan diisikan langsung oleh responden. Sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap yang diperoleh dari manajemen sekolah. Penelitian ini mengambil dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari: a Karakteristik remaja siswa SMA meliputi: umur, jenis kelamin, urutan kelahiran, dan uang saku b Karakteristik orang tua meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, suku, dan jumlah anak c Karakteristik guru meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, mata pelajaran yang diampu d Karakteristik teman meliputi: umur dan jenis kelamin teman. e Pola komunikasi remaja dengan keluarga f Pola komunikasi remaja dengan sekolah g Pola komunikasi remaja dengan teman sebaya h Kecerdasan emosional i Prestasi belajar Data primer dikumpulkan dari siswa kelas 2 di 6 SMA di Kota Bogor, sedangkan data sekunder berupa profil siswa dan guru didapat dari pihak sekolah. Instrumentasi Instrumen penelitian adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk memperoleh, mengolah, dan menginterpretasikan informasi yang diperoleh dari responden yang dilakukan dengan menggunakan pola ukur yang sama. Suatu instrumen penelitian dikatakan baik paling tidak harus memenuhi lima kriteria, yaitu validitas, reliabilitas, sensitivitas, obyektivitas, dan fisibilitas Siregar 2010. Instrumen harus memenuhi persyaratan akademis sehingga dapat digunakan untuk mengukur suatu obyek ukur atau mengumpulkan data mengenai suatu peubah Muljono 2012. Dalam penelitian sosial, instrumen yang digunakan berupa kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang disusun atas dasar peubah-peubah penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Setiap peubah terdiri dari beberapa indikator, masing-masing dikonstruks menjadi parameter sebagai alat ukur Kerlinger 2006. Sehubungan dengan itu, instrumen penelitian ini dikelompokkan menjadi 9 bagian. Pertama, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik remaja. Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik orang tua. Ketiga, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik guru. Keempat, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik teman. Kelima, pertanyaan-pertanyaan tentang peubah pola komunikasi remaja dengan keluarga. Keenam, pertanyaan-pertanyaan tentang peubah pola komunikasi remaja dengan sekolah. Ketujuh, pertanyaan-pertanyaan tentang peubah pola komunikasi remaja dengan teman sebaya. Kedelapan, pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan peubah kecerdasan emosional remaja. Kesembilan, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan peubah prestasi belajar. Instrumen pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya dibuat dan dikembangkan berdasarkan konsep Revised Family Communication Pattern RFCP Ritchie Fitzpatrick 1990. Instrumen lain yaitu kecerdasan emosional dikeluarkan oleh Goleman 1997, merupakan instrumen yang sudah distandarisasi dan sering digunakan dalam penelitian. Namun demikian, butir-butir pertanyaan dalam instrumen tersebut dimodifikasi sesuai kebutuhan penelitian kronologis instrumen pola komunikasi remaja, kecerdasan emosional, dan prestasi belajar dapat dilihat pada Lampiran 5. Peubah, Definisi Operasional dan Pengukurannya Peubah Penelitian Tujuan pengukuran peubah pada intinya adalah untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan antarkonsep dan realitas sebagai pengujian atas hipotesis penelitian. Model hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini terdiri dari beberapa bentuk hubungan antarpeubah, yaitu peubah bebas independen variable dan peubah terikat dependen variable. Peubah bebas yang akan diuji terdiri dari karakteristik remaja X1, karakteristik orang tua X2, karakteristik guru X3, dan karakteristik teman sebaya X4. Peubah terikat terdiri dari pola komunikasi remaja dengan keluarga Y1, pola komunikasi remaja dengan sekolah Y2, pola komunikasi remaja dengan teman sebaya Y3, kecerdasan emosional Y4, dan prestasi belajar Y5. Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Definisi operasional merupakan unsur penelitian yang digunakan untuk mengukur indikator dan parameter dari peubah penelitian. Agar peubah-peubah penelitian yang diteliti mudah dipahami dan memiliki makna yang sesuai dengan tujuan penelitian, perlu dilakukan konseptualisasi atau diberi ketepatan makna sehingga tidak terjadi ambigu atau asosiasi yang berbeda-beda Sevilla et al. 1993; Yunita 2011. Selanjutnya agar konsep tersebut dapat diukur maka diberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat operasional. Kerlinger 2006 menyebutnya sebagai measured operational definition definisi operasional yang dapat diukur. Definisi operasional dan pengukuran terhadap setiap peubah yang digunakan dalam rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Karakteristik remaja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari aspek sosial dan psikologi yang melekat pada diri remaja, seperti jenis kelamin, umur, urutan kelahiran, dan uang saku. Adapun definisi operasional dari masing-masing indikator karakteristik remaja X1 sebagai berikut: a Jenis kelamin adalah identitas responden sesuai perkembangan biologis atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki-laki dan perempuan, menggunakan skala nominal. b Umur adalah usia responden yang dihitung sejak lahir sampai ke tahun terdekat pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan dalam satuan tahun dan menggunakan skala rasio. c Urutan kelahiran adalah urutan anak atau peringkat seseorang berdasarkan usia di antara saudara-saudara sekandungnya di mana umur tertinggi sebagai anak pertama dan umur terendah sebagai anak terakhir. Dinyatakan dengan angka berdasarkan urutan kelahiran, menggunakan skala rasio. d Uang saku adalah jumlah uang yang diterima seorang anak dari orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan di sekolah. Dinyatakan dalam Rupiah, menggunakan skala interval. Parameter dan pengukuran setiap indikator karakteristik remaja X1 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah karakteristik remaja X1 Indikator Definisi Operasional Parameter Pengukuran Kategori Pengukuran Jenis kelamin X 1.1 Identitas responden sesuai biologis atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki-laki atau perempuan. 1. Laki-laki 2. Perempuan Umur X 1.2 Lama masa kehidupan seseorang sejak tahun kelahiran dan dibulatkan hingga penelitian dilakukan. Dihitung sejak lahir hingga tahun terdekat saat penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun. 1. 15 tahun 2. 16 tahun 3. 17 tahun 4. 18 tahun Urutan kelahiran X 1.3 Urutan anak saat dilahirkan di antara saudara-saudara sekandungnya. Diukur berdasarkan urutan kelahiran anak 1,2,3,4, dan seterusnya. Anak ke: 1. 2. 3. Uang saku X 1.4 Jumlah uang yang diterima anak dari orang tuanya. Dihitung per bulan 30 hari dan dinyatakan dalam rupiah. 1. ≤ 300 000 2. 301 000 - 500 000 3. 501 000 - 750 000 4. 751 000 - 1 000 000 5. 1 000 000 2. Karakteristik orang tua adalah adalah ciri-ciri dari aspek sosial dan ekonomi yang melekat pada suami isteri, seperti umur, pendidikan, pekerjaan pendapatan, suku, dan jumlah anak. Definisi operasional dari masing-masing indikator karakteristik orang tua X2 sebagai berikut: a Umur adalah lama masa kehidupan seseorang yang dihitung sejak lahir sampai ke tahun terdekat pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan dalam satuan tahun, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan menjadi tiga kategori. b Pendidikan adalah jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh, mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan terakhir pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan sesuai jenjang pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA, Diploma, Sarjana, dan Pascasarjana, menggunakan skala rasio. c Pekerjaan adalah jenis aktivitas yang menghasilkan uangpendapatan dan digunakan untuk membiayai hidup. Dinyatakan berdasarkan profesi yang digeluti seperti PNS, gurudosen, dokter, TNI, karyawan swasta, pengacara, wirausaha, dan lain-lain, menggunakan skala nominal. d Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima suatu keluarga dalam sebulan baik yang dihasilkan dari pekerjaan tetap maupun usaha lain- lain. Dinyatakan dalam Rupiah, menggunakan skala interval. e Suku adalah identitas budaya yang ditentukan berdasarkan daerah asal keluarga. Dinyatakan berdasarkan daerah asal nenek moyang seperti Ambon, Batak, Betawi, Dayak, Jawa, Makasar, Menado, Minang, Papua, Sunda, dan lain-lain, menggunakan skala nominal. f Jumlah anak adalah banyaknya anak yang dimiliki oleh suami isteri dalam satu keluarga. Dinyatakan dalam angka 1, 2, 3, dan seterusnya, menggunakan skala rasio. Parameter dan pengukuran setiap indikator karakteristik orang tua X2 disajikan pada Tabel 2 Tabel 2 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah karakteristik keluarga X2 Indikator Definisi Operasional Parameter Pengukuran Kategori Pengukuran Umur X 2.1 Lama masa kehidupan seseorang sejak tahun kelahiran dan dibulatkan hingga penelitian dilakukan. Dihitung sejak lahir hingga tahun terdekat saat penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun. 1. ≤ 40 tahun 2. 41 – 58 tahun 3. ≥ 59 tahun Pendidikan X 2.2 Jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh, mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan terakhir pada waktu penelitian dilakukan. Diukur berdasarkan jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. D1 5. D2 6. D3 7. S1 8. S2 9. S3 Pekerjaan X 2.3 Jenis aktivitas yang mengha-silkan uangpendapatan dan digunakan untuk membiayai hidup. Diukur berdasarkan profesi yang digeluti. 1. PNS 2. Karyawan swasta 3. BUMN 4. Dosenguru 5. TNI dan Polri 6. Pejabat pemerintah 7. Profesional 8. Wirausaha 9. Pensiunan 10. Tidak bekerja Pendapatan X 2.4 Jumlah uang yang diterima suatu keluarga dalam sebulan baik yang dihasilkan dari pekerjaan tetap maupun usaha lain- lain. Diukur berdasarkan nilai uang yang diterima dalam mata uang Rupiah. 1. ≤ 5 000 000 2. 5 000 000 – 20 000 000 3. 20 000 000 Suku X 2.5 Identitas budaya yang ditentukan berdasarkan daerah asal keluarga. Diukur berdasarkan daerah asal nenek moyang. 1. Jawa, Sunda, dan Betawi 2. Sumatera 3. Sulawesi dan Maluku 4. Kalimantan 5. CinaTionghoa 6. Campuran 2 suku 7. Lain-lain. Jumlah anak X 2.6 Banyaknya anak yang dimiliki oleh suami isteri dalam satu keluarga. Dihitung dalam angka. 1, 2, 3, 4, dan seterusnya. 3. Karakteristik guru adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari aspek sosial dan psikologi yang melekat pada diri guru, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, dan mata pelajaran yang diampu. Adapun definisi operasional dari masing-masing indikator tersebut sebagai berikut: a Umur adalah lama masa kehidupan seseorang yang dihitung sejak lahir sampai ke tahun terdekat pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan dalam satuan tahun, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan menjadi 8 kategori. b Jenis kelamin adalah identitas seseorang sesuai perkembangan biologis atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki-laki dan perempuan, menggunakan skala nominal. c Pendidikan adalah jumlah tahun sekolah formal yang pernah ditempuh, mulai dari sekolah dasar hingga jenjang pendidikan terakhir pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan dalam satuan tahun, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan menjadi tiga kategori. d Mata pelajaran yang diampu adalah jenis pelajaran yang menjadi keahlian guru dan diajarkan kepada siswa di kelas. Dinyatakan dalam jenis pelajaran yang diajarkan di sekolah seperti Agama Islam, Agama Kristen, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Sunda, Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, Geografi, EkonomiAkuntansi, Sosiologi, Bimbingan KonselingKesiswaan, PKn, Seni Budaya, Olahraga, Sejarah, Bahasa Arab, TIKKomputer, Bahasa Perancis, dan Administrasi, menggunakan skala nominal. Parameter dan pengukuran setiap indikator karakteristik guru X3 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah karakteristik guru X3 Indikator Definisi Operasional Parameter Pengukuran Kategori Pengukuran Umur X 3.1 Lama masa kehidupan seseorang sejak tahun kelahiran dan dibulatkan hingga penelitian dilakukan. Dihitung sejak lahir hingga tahun terdekat saat penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun. 1. ≤ 25 tahun 2. 26 - 30 tahun 3. 31 - 35 tahun 4. 36 - 40 tahun 5. 41 - 45 tahun 6. 46 - 50 tahun 7. 51 - 55 tahun 8. 56 - 60 tahun Jenis kelamin X 3.2 Identitas responden sesuai biologis atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki- laki atau perempuan. 1. Laki-laki 2. Perempuan Pendidikan X 3.3 Jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh, mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan terakhir pada waktu penelitian dilakukan. Diukur berdasarkan jenjang sekolah formal yang pernah ditemouh. 1. SD 6 tahun 2. SMP 9 tahun 3. SMA 12 tahun 4. D1 13 tahun 5. D2 14 tahun 6. D3 15 tahun 7. S1 16 tahun 8. S2 18 tahun 9. S3 21 tahun Mata pelajaran yang diampu X 3.4 Jenis pelajaran yang menjadi keahlian guru dan diajarkan kepada siswa di kelas. Berdasarkan jenis pelajaran yang diajarkan guru di sekolah. 1. Agama Islam 2. Agama Kristen 3. Bahasa Indonesia 4. Bahasa Inggris 5. Bahasa Sunda 6. Biologi 7. Fisika 8. Kimia 9. Matematika 10. Geografi 11. Ekonomiakuntansi 12. Sosiologi 13. BKKesiswaan 14. PKn 15. Seni Budaya 16. Olahraga 17. Sejarah 18. Bahasa Arab 19. TIKKomputer 20. Bahasa Perancis 21. Administrasi 4. Karakteristik teman sebaya adalah ciri-ciri dari aspek sosial dan ekonomi yang melekat pada teman yang dimiliki oleh remaja, seperti jenis kelamin dan umur teman, serta lokasi pertemanan. Adapun definisi operasional dari masing-masing indikator tersebut sebagai berikut: a Jenis kelamin adalah identitas responden sesuai perkembangan biologis atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki-laki dan perempuan, menggunakan skala nominal. b Umur adalah lama masa kehidupan seseorang yang dihitung sejak lahir sampai ke tahun terdekat pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan dalam satuan tahun, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan menjadi tiga kategori. c Lokasi berteman adalah tempat seseorang menjalin hubungan pertemanan. Dinyatakan dengan menunjukkan tempat seperti sekolah, rumah, organisasi, dan media sosial, menggunakan skala nominal. d Lokasi bertemu adalah tempat yang ditunjuk oleh seseorang untuk melakukan pertemuan dengan orang lain, dalam hal ini dengan teman sebayanya. Dinyatakan dengan menunjukkan tempat seperti sekolah, rumah, tempat kursusbimbingan belajar, restorankafe, dan mal, menggunakan skala nominal. Parameter dan pengukuran setiap indikator karakteristik teman sebaya X4 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah karakteristik teman sebaya X4 Indikator Definisi Operasional Parameter Pengukuran Kategori Pengukuran Umur X 4.1 Lama masa kehidupan seseorang sejak tahun kelahiran dan dibulatkan hingga penelitian dilakukan. Dihitung sejak lahir hingga tahun terdekat saat penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun. 1. 15 - 17 tahun 2. 18 - 20 tahun 3. 20 tahun Jenis kelamin X 4.2 Identitas responden sesuai biologis atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki- laki atau perempuan. 1. Laki-laki 2. Perempuan Lokasi berteman X 4.3 Tempat seseorang menjalin hubungan pertemanan. Dinyatakan berdasarkan nama tempat. 1. Sekolah 2. Rumah 3. Kegiatan luar 4. Tempat les 5. Media sosial 6. Lain-lain Lokasi bertemu X 4.4 Tempat yang ditunjuk seseorang untuk melakukan pertemuan dengan orang lain. Dinyatakan berdasarkan nama tempat. 1. Sekolah 2. Rumah sendiri 3. Rumah teman 4. Tempat ibadah 5. Tempat les 6. Media sosial 7. Malresto 8. Lain-lain 5. Pola komunikasi remaja dengan keluarga adalah bentuk proses pertukaran dan penyampaian informasi, sikap, pikiran atau perasaan melalui bahasa, pembicaraan, pendengaran, gerak tubuh atau ungkapan emosi yang dilakukan antara remaja dengan orang tuanya. Peubah komunikasi remaja dengan keluarga Y1 memiliki 5 indikator, yaitu: topik pembicaraan, durasi pembicaraan, frekuensi pembicaraan, media komunikasi, dan situasi komunikasi. 6. Pola komunikasi remaja dengan sekolah adalah bentuk proses pertukaran dan penyampaian informasi, sikap, pikiran atau perasaan melalui bahasa, pembicaraan, pendengaran, gerak tubuh atau ungkapan emosi yang dilakukan antara remaja dengan gurunya. Peubah komunikasi remaja dengan sekolah Y2 memiliki 5 indikator, yaitu: topik pembicaraan, durasi pembicaraan, frekuensi pembicaraan, media komunikasi, dan situasi komunikasi. 7. Pola komunikasi remaja dengan teman sebaya adalah bentuk proses pertukaran dan penyampaian informasi, sikap, pikiran atau perasaan melalui bahasa, pembicaraan, pendengaran, gerak tubuh atau ungkapan emosi yang dilakukan antara remaja dengan teman-teman sebayanya. Peubah komunikasi remaja dengan teman sebaya Y3 memiliki 5 indikator, yaitu: topik pembicaraan, durasi pembicaraan, frekuensi pembicaraan, media komunikasi, dan situasi komunikasi. Definisi operasional dari masing-masing indikator pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya Y1, Y2, dan Y3 sebagai berikut: a Topik pembicaraan adalah suatu pokok atau tema pembicaraan yang menjadi landasan dalam proses komunikasi. Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan menggunakan skala ordinal, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi. b Durasi pembicaraan adalah waktu yang digunakan untuk melakukan komunikasi. Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan menggunakan skala ordinal, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi. c Frekuensi pembicaraan adalah seberapa sering komunikasi dilakukan. Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan menggunakan skala ordinal, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi. d Media komunikasi adalah perantara dalam penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan yang dilakukan melalui alatperangkat tertentu. Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan menggunakan skala ordinal, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi. e Situasi komunikasi adalah suasana yang terjadi saat proses komunikasi antarpribadi berlangsung secara dialogis. Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan menggunakan skala ordinal, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi. Parameter dan pengukuran setiap indikator pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya Y1, Y2, dan Y3 disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya Y1, Y2, dan Y3 Indikator Definisi Operasional Parameter Pengukuran Kategori Pengukuran Topik pembicaraan Y 1.1 ; Y 2.1 ; Y 3.1 Suatu pokok atau tema pembicaraan yang menjadi landasan dalam proses komunikasi. Diukur berdasarkan skor persepsi responden. 1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 - 75.0 3. Tinggi 75.0 Durasi pembicaraan Y 1.1 ; Y 2.1 ; Y 3.1 Waktu yang digunakan untuk berkomunikasi. Diukur berdasarkan skor persepsi responden. 1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 - 75.0 3. Tinggi 75.0 Frekuensi pembicaraan Y 1.1 ; Y 2.1 ; Y 3.1 Seberapa sering komunikasi dilakukan. Diukur berdasarkan skor persepsi responden. 1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 - 75.0 3. Tinggi 75.0 Media komunikasi Y 1.1 ; Y 2.1 ; Y 3.1 Perantara dalam penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan yang dilakukan melalui alatperangkat tertentu. Diukur berdasarkan skor persepsi responden. 1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 - 75.0 3. Tinggi 75.0 Situasi komunikasi Y 1.1 ; Y 2.1 ; Y 3.1 Suasana yang terjadi saat proses komunikasi antarpribadi berlangusng secara dialogis. Diukur berdasarkan skor persepsi responden. 1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 - 75.0 3. Tinggi 75.0 8. Prestasi belajar adalah pencapaian yang diperoleh seorang siswa yang berasal dari nilai rapor maupun di luar nilai pelajaran, seperti prestasi akademik dan prestasi non-akademik. Adapun definisi operasional dari masing-masing indikator tersebut sebagai berikut: a Prestasi akademik adalah pencapaian yang diperoleh seorang siswa yang dilihat dari nilai rapor. Pengukuran dinyatakan dalam angka, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan menjadi empat kategori. b Prestasi non-akademik adalah pencapaian yang diperoleh seorang siswa di luar nilai rapor. Pengukuran dinyatakan dengan menggunakan satuan angka dan menggunakan skala nominal. Parameter dan pengukuran setiap indikator prestasi belajar Y4 disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah prestasi belajar Y4 Indikator Definisi Operasional Parameter Pengukuran Kategori Pengukuran Prestasi akademik Y 4.1 Pencapaian atau keberhasilan siswa dilihat dari nilai rapor per semester. Diukur berdasarkan angka di rapor. 1. 60.0 - 69.9 2. 70.0 - 79.9 3. 80.0 - 89.9 4. 90.0 Prestasi non- akademik Y 4.2 Pencapaian atau keberhasilan siswa di luar nilai rapor. Diukur berdasarkan pernyataan berprestasi atau tidak berprestasi. 1. Ya 2. Tidak 9. Kecerdasan emosional remaja adalah kemampuan untuk menguasai kualitas- kualitas emosional dan mengatasi masalah saat kemampuan lain tidak dapat mengatasi gejolak emosi yang timbul, seperti mengenali emosi diri, mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, kemampuan empati, dan kemampuan membina hubungan. Definisi operasional dari masing-masing indikator kecerdasan emosional Y5 sebagai berikut: a Mengenali emosi diri adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakan waktu perasaan itu terjadi, memiliki kepekaan akan perasaan diri dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan. Pengukurannya dinyatakan dalam skor persepsi responden terhadap diri sendiri, dengan menggunakan skala ordinal kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori. b Mengelola emosi adalah kemampuan dalam menangani dan mengatur emosi yang berdampak positif kepada pelaksanaan tugas dan pencapaian suatu tujuan serta kemampuan untuk dapat pulih dari tekanan emosi. Pengukurannya dinyatakan dalam skor persepsi responden terhadap diri sendiri, dengan menggunakan skala ordinal kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori. c Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan mengatur emosi untuk mencapai suatu tujuan, memotivasi diri sendiri dan berkreasi. Kemampuan ini membantu individu dalam mengambil inisiatif dan bertindak efektif serta bertahan ketika menghadapi kegagalan. Pengukurannya dinyatakan dalam skor persepsi responden terhadap diri sendiri, dengan menggunakan skala ordinal kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori. d Kemampuan empati adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan rasa saling percaya dan menyesuaikan diri dengan berbagai macam orang. Pengukurannya dinyatakan dalam skor persepsi responden terhadap diri sendiri, dengan menggunakan skala ordinal kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori. e Kemampuan membina hubungan adalah kemampuan menangani emosi secara baik ketika berhubungan dengan orang lain, dapat membaca situasi, berinteraksi dengan lancar, kemampuan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dengan baik serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Pengukurannya dinyatakan dalam skor persepsi responden terhadap diri sendiri, dengan menggunakan skala ordinal kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori. Parameter dan pengukuran setiap indikator kecerdasan emosional Y5 disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah kecerdasan emosional remaja Y5 Indikator Definisi Operasional Parameter Pengukuran Kategori Pengukuran Mengenali emosi diri Y 5.1 Kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakan waktu perasaan itu terjadi, memiliki kepekaan akan perasaan diri dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan. Diukur berdasarkan skor persepsi responden terhadap diri sendiri. 1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 - 75.0 3. Tinggi 75.0 Mengelola emosi Y 5.2 Kemampuan dalam menangani dan mengatur emosi yang berdampak positif kepada pelaksanaan tugas dan pencapaian suatu tujuan serta kemampuan untuk dapat pulih dari tekanan emosi. Diukur berdasarkan skor persepsi responden terhadap diri sendiri. 1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 - 75.0 3. Tinggi 75.0 Kemampuan memotivasi diri Y 5.3 Kemampuan mengatur emosi untuk mencapai suatu tujuan, memotivasi diri sendiri dan berkreasi. Diukur berdasarkan skor persepsi responden terhadap diri sendiri. 1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 - 75.0 3. Tinggi 75.0 Kemampuan empati Y 5.4 Kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan rasa saling percaya dan menyesuaikan diri dengan berbagai macam orang. Diukur berdasarkan skor persepsi responden terhadap diri sendiri. 1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 - 75.0 3. Tinggi 75.0 Kemampuan membina hubungan Y 5.5 Kemampuan menangani emosi secara baik ketika berhubungan dengan orang lain, dapat membaca situasi, berinteraksi dengan lancar, kemampuan memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dengan baik serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Diukur berdasarkan skor persepsi responden terhadap diri sendiri. 1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 - 75.0 3. Tinggi 75.0 Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui 1 kuesioner, 2 focus group discussion FGD, 3 pengamatan di lapangan, dan 4 dokumentasi. Cara pengumpulan data primer sebagai berikut: 1. Kuesioner, yaitu sejumlah pertanyaan yang diajukan untuk mengukur peubah penelitian yang diisi sendiri oleh sejumlah responden. Pengisian kuesioner dipandu oleh peneliti. Kuesioner disusun berdasarkan skala nominal, rasio, interval, dan ordinal. Untuk kepentingan pengujian secara statistik, data tersebut ditransformasi menjadi skala interval atau rasio. Transformasi ini dilakukan untuk menghitung nilai keragaman yang terjadi dalam setiap peubah penelitian. 2. Focus group discussion FGD atau diskusi kelompok terpimpin merupakan metode yang dipakai untuk menggali data kualitatif dari sekelompok individu mengenai pendapat mereka terhadap suatu isu atau tema yang terkait dengan penelitian. Pertanyaan dilontarkan dalam grup interaktif yang akan dijawab secara bebas oleh masing-masing peserta diskusi. Peserta diskusi juga diberikan kesempatan untuk menanggapi atau menyanggah pernyataan atau pendapat peserta lain. Metode ini cukup efektif untuk mengumpulkan pandangan secara kolektif dari berbagai sumber yang relevan. 3. Pengamatan di lapangan, yaitu aktivitas mengamati yang dilakukan secara langsung di lokasi penelitian terhadap situasi dan kondisi fisik SMA, suasana belajar, dan perilaku siswa di sekolah tersebut. 4. Dokumentasi adalah kegiatan mendokumentasikan materi yang berhubungan dengan penelitian, seperti pemotretan di lokasi penelitian, pengambilan gambar serta rekaman saat melakukan FGD dan wawancara mendalam. Di samping pengumpulan data primer, juga dilakukan pengumpulan data sekunder yaitu dengan cara penelusuran dokumen sekolah yang terkait dengan penelitian, seperti profil sekolah, serta profil siswa dan guru di 6 lokasi penelitian. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Sebelum instrumen penelitian kuesioner wawancara dipergunakan dalam pengumpulan data, kuesioner tersebut terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya agar diperoleh data yang valid atau sahih, serta memiliki konsistensi yang tinggi sehingga menghasilkan data yang tepat dan akurat. Validitas Instrumen Validitas atau kesahihan menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang ingin diukur. Suatu instrumen pengukuran dikatakan memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukur secara tepat atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Konsep validitas instrumen dapat dibedakan atas tiga macam yaitu validitas isi content validity, validitas konstruk construct validity , dan validitas empiris atau validitas kriteria Muljono 2012. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian terhadap validitas isi content validity . Validitas isi content validity menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dalam tes atau instrumen mampu mewakili semua dimensi atau aspek dan kerangka konsep. Suatu instrumen dikatakan valid apabila pertanyaan atau butir tes itu mencerminkan keseluruhan konten atau materi yang diujikan atau yang seharusnya dikuasai secara proporsional Muljono 2012. Teknik uji validitas adalah total butir dikorelasikan dengan masing-masing butir dengan menggunakan uji korelasi Product Moment Correlation Pearson dengan rumus sebagai berikut: r xy = N ∑ xy - ∑xy ∑y √ { n ∑x 2 – ∑ x 2 }{ n ∑ y 2 – ∑ y 2 } Keterangan: r = koefisien korelasi x = peubah bebas independen N = banyaknya kasus y = peubah terikat dependen Semakin tinggi nilai koefisien korelasi maka semakin kecil kesalahan pengukuran. Untuk memudahkan pengukuran, digunakan program SPSS versi 19. Reliabilitas Instrumen Reliabilitas atau keterandalan merupakan indeks alat ukur yang digunakan untuk menunjukkan bagaimana suatu pengukuran relatif konsisten apabila diulang dua kali atau lebih Singarimbun Effendi 2010. Suatu hasil pengukuran hanya dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama, diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek belum berubah. Konsep reliabilitas dalam arti reliabilitas alat ukur berkaitan erat dengan masalah eror pengukuran. Eror pengukuran sendiri menunjukkan sejauh mana inkonsistensi hasil pengukuran terjadi apabila dilakukan pengukuran ulang terhadap kelompok subyek yang sama. Sementara konsep reliabilitas dalam arti reliabilitas hasil ukur berkaitan erat dengan eror dalam pengambilan sampel yang mengacu pada inkonsistensi hasil ukur apabila pengukuran dilakukan ulang pada kelompok yang berbeda Muljono 2012. Menurut Kerlinger 2006 terdapat tiga pendekatan untuk mengukur reliabilitas, yaitu: 1 Suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila alat ukur dimaksud digunakan berulang kali dan menunjukkan hasil yang sama. 2 Suatu alat dikatakan reliabel apabila alat ukur tersebut dapat mengukur hal yang sebenarnya dari yang diukur, dan 3 Reliabilitas suatu alat ukur dapat dilihat dari galat error pengukurannya. Penelitian ini mengambil secara acak 56 responden atau sampel di luar lokasi penelitian tetapi memiliki tingkat kesamaan kondisi dengan lokasi yang diteliti, yaitu di salah satu SMA swasta di Bogor. Uji keterandalan yang dipakai pada penelitian ini adalah reliability analysis scale alpha Cronbach alpha dengan menggunakan program SPSS versi 19.0. Metode tersebut digunakan untuk kuesioner yang memiliki banyak pilihan jawaban. Setelah memastikan bahwa hasil uji reliabilitas tersebut memadai, dilakukan pengambilan data di lapangan. Menurut Keyton 2006, secara umum para peneliti komunikasi sepakat bahwa koefisien alpha dinyatakan reliabel apabila ≥ 0.7. Namun demikian, ketentuan tersebut bukan sesuatu yang mutlak. Sugiyono 2012 mengatakan bahwa suatu instrumen sudah dianggap reliabel apabila nilai koefisien alpha ≥ 0.6. Ukuran kemantapan alpha berdasarkan Keyton 2006 dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Nilai koefisien alpha berkisar 0.20 berarti kurang reliabel. 2. Nilai koefisien alpha berkisar 0.20–0.40 berarti agak reliabel. 3. Nilai koefisien alpha berkisar 0.40–0.70 berarti cukup reliabel sedang. 4. Nilai koefisien alpha berkisar 0.70–0.90 berarti reliabel. 5. Nilai koefisien alpha berkisar 0.90 berarti sangat reliabel. Berdasarkan kriteria tersebut, nilai koefisien alpha pada penelitian ini tergolong cukup reliabel hingga sangat reliabel berkisar 0.662 –0.941. Data reliabilitas dan validitas turun lapang dari 6 SMA yang diteliti disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil uji reliabilitas dan validitas Peubah Jumlah Pertanyaan Skala Ordinal Reliabilitas Cronbach α Validitas Isi Nilai r Komunikasi Remaja-Keluarga: 63 1 – 4 0.941 1. Dimensi Topik Pembicaraan 20 1 – 4 0.868 0.376 – 0.671 2. Dimensi Lama Pembicaraan 8 1 – 4 0.863 0.656 – 0.746 3. Dimensi Frekuensi Pembicaraan 12 1 – 4 0.864 0.536 – 0.687 4. Dimensi Media Komunikasi 9 1 – 4 0.728 0.363 – 0.725 5. Dimensi Situasi Komunikasi 14 1 – 4 0.752 0.153 – 0.671 Komunikasi Remaja-Sekolah: 26 1 – 4 0.890 1. Dimensi Topik Pembicaraan 7 1 – 4 0.688 0.357 – 0.706 2. Dimensi Lama Pembicaraan 3 1 – 4 0.816 0.845 – 0.848 3. Dimensi Frekuensi Pembicaraan 5 1 – 4 0.740 0.620 – 0.772 4. Dimensi Media Komunikasi 5 1 – 4 0.662 0.534 – 0.705 5. Dimensi Situasi Komunikasi 6 1 – 4 0.715 0.442 – 0.769 Komunikasi Remaja-Teman Sebaya: 30 1 – 4 0.921 1. Dimensi Topik Pembicaraan 10 1 – 4 0.816 0.480 – 0.739 2. Dimensi Lama Pembicaraan 4 1 – 4 0.827 0.753 – 0.851 3. Dimensi Frekuensi Pembicaraan 5 1 – 4 0.809 0.685 – 0.825 4. Dimensi Media Komunikasi 4 1 – 4 0.739 0.722 – 0.782 5. Dimensi Situasi Komunikasi 7 1 – 4 0.727 0.021 – 0.541 Kecerdasan Emosional Remaja: 35 1 – 4 0.858 1. Kesadaran Emosi Diri 7 1 – 4 0.704 0.466 – 0.755 2. Pengelolaan Emosi 7 1 – 4 0.666 0.418 – 0.655 3. Kemampuan Memotivasi Diri 7 1 – 4 0.722 0.316 – 0.758 4. Kemampuan Empati 7 1 – 4 0.735 0.338 – 0.692 5. Kemampuan Membina Hubungan 7 1 – 4 0.746 0.567 – 0.686 Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif yang terdiri dari karakteristik remaja, karakteristik orang tua, karakteristik guru, karakteristik teman, pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya, serta kecerdasan emosional dan prestasi belajar ditabulasi dan dianalisis. Dalam menentukan kualitas data, dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner. Butir-butir pertanyaan pada kuesioner pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya, serta kecerdasan emosional dan prestasi belajar diuji validitasnya, dilanjutkan dengan uji reliabilitas dengan metode alpha Cronbach yang tersedia pada program komputer SPSS versi 19.0. Analisis kuantitatif dalam penelitian ini terdiri dari: 1 analisis statistik deskriptif, dan 2 analisis statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif, yakni statistik yang berfungsi mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti remaja tanpa membuat kesimpulan yang berlaku secara umum. Analisis statistik inferensial, yakni statistik yang berfungsi mengeneralisasikan hasil penelitian sampel bagi populasi Sugiyono 2010. Analisis statistik inferensial yang digunakan adalah analisis korelasi Pearson. Model yang digunakan untuk mengukur peubah-peubah yang diobservasi apakah berhubungan dengan faktor-faktor yang dihipotesiskan, dilakukan melalui uji konstruk berupa Structural Equation Modeling SEM. Software yang digunakan adalah Program LISREL atau linear structural relationships. Data kualitatif berupa catatan lapangan yang dihasilkan dari FGD, selanjutnya diproses menggunakan koding dan analisis konten. Pendekatan Kualitatif Pendalaman Melalui Focus Group Discussion FGD Pada tahap kualitatif, teknik yang digunakan adalah diskusi kelompok terpimpinfocus group discussion FGD. Teknik ini dipilih karena memungkinkan peneliti mengontrol alur tanya jawab Creswell 2010. FGD dimaksudkan untuk menggali informasi lebih dalam dari sejumlah remaja yang sebelumnya telah mengisi kuesioner mengenai pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, teman sebaya, dan kecerdasan emosional. Partisipan FGD dipilih secara purposive dari 6 SMA, masing-masing sekolah diwakili 10 orang 5 perempuan dan 5 laki-laki, sehingga total partisipan adalah 60 orang. Jumlah remaja dibatasi agar peneliti dapat mendalami jawaban dari masing-masing partisipan. Pemilihan tersebut didasari pada hasil kuesioner yang telah diisi responden. Skor pada setiap peubah dijumlahkan, kemudian dilihat siapa responden yang memiliki total skor tertinggi dan terendah dari masing-masing peubah. FGD dilakukan di setiap sekolah tempat penelitian berlangsung sebanyak 2 kali, sekali pertemuan untuk remaja perempuan dan 1 kali lainnya untuk remaja laki-laki. Total FGD untuk 60 partisipan adalah 12 kali pertemuan. Ketika FGD berlangsung, para remaja diminta menyebutkan nama, umur, dan kegiatan mereka sehari-hari sepulang sekolah. Setelah itu, peneliti mengajukan sejumlah pertanyaan yang telah disiapkan dalam panduan wawancara. Salah satu pertanyaan yang diajukan ada lah, “Kamu merasa lebih nyaman mengobrol dengan orang tua atau teman?” Pertanyaan lainnya seputar perbincangan sehari-hari remaja dengan orang tua, guru, dan teman sebayanya, seperti “Topik pembicaraan apa yang biasanya dibahas bersama orang tua? Apa yang biasanya dibicarakan dengan teman?” dan “Bagaimana tanggapan orang tuamu jika kamu berbeda pendapat dengannya?” Semua jawaban direkam dengan alat perekam tape recorder dan kamera tangan handycam atas persetujuan peserta. Peneliti juga mencatat hal-hal penting yang terjadi selama FGD berlangsung, seperti ekspresi sedih atau ungkapan gembira ketika peserta memberikan jawaban tertentu. Koding dan Analisis Isi Hasil rekaman FGD selanjutnya ditranskrip ke dalam bentuk tulisan. Tahapan berikutnya adalah menganalisis hasil wawancara dan memasukkannya ke dalam tipologi yang telah ditentukan pada penelitian kuantitatif. Analisis hasil wawancara mengikuti langkah-langkah yang dijelaskan oleh Graneheim dan Lundman 2004. Satu wawancara pada suatu waktu dianalisis dengan memilih unit makna kemudian dikodekan. Setelah itu, dibuat subkategori, kategori dan tema. Analisis isi dapat menyaring kata-kata ke dalam konten terkait kategori yang lebih sedikit. Hal ini diasumsikan bahwa ketika diklasifikasikan ke dalam kategori yang sama, kata, frasa dan sejenisnya berbagi arti yang sama Cavanagh 1997. Tipologi Prosedur untuk mengolah data menjadi tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya dilakukan sebagai berikut: indeks pola komunikasi remaja-keluarga dan pola komunikasi remaja-teman sebaya dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1 Menengah-rendah skor 75.0, dan 2 Tinggi skor ≥ 75.0. Setelah itu indeks dari masing-masing responden pada peubah pola komunikasi remaja-keluarga dan pola komunikasi remaja-teman sebaya dikodifikasi. Jika masuk kategori menengah-rendah diberi kode 0, sedangkan kategori tinggi diberi kode 1. Data yang sudah dikodifikasi itu kemudian ditabulasi ke dalam sumbu X dan Y, sehingga menghasilkan 4 tipologi. Sumbu X mewakili pola komunikasi remaja-keluarga, sedangkan sumbu Y adalah pola komunikasi remaja-teman sebaya. Keempat tipologi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Tipe 1, pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya sama-sama tinggi; Tipe 2, pola komunikasi remaja-keluarga tinggi, tetapi pola komunikasi remaja-teman sebaya menengah-rendah; Tipe 3, pola komunikasi remaja-keluarga dan teman sebaya sama-sama menengah rendah; dan Tipe 4, pola komunikasi remaja- keluarga menengah-rendah, sebaliknya pola komunikasi remaja-teman sebaya tinggi. 4 LOKASI PENELITIAN, KARAKTERISTIK REMAJA, KELUARGA, GURU, DAN TEMAN SEBAYA Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di 4 SMA negeri SMAN dan 2 SMA swasta di Kota Bogor dengan inisial sebagai berikut: SMAN A, SMAN B, SMAN C, SMAN D, SMA EF, dan SMA GH. Keenam SMA tersebut berada di wilayah Kota Bogor dan termasuk sekolah yang paling diminati oleh pelajar karena banyak mengukir prestasi di bidang akademik maupun non-akademik. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, keenam SMA ini dipilih berdasarkan rekomendasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bogor. Di samping itu, penulis melihat tingginya animo pelajar lulusan SMP yang mendaftar ke SMA- SMA tersebut. Atas dasar itulah penulis memilih keenam SMA tersebut sebagai tempat penelitian. Saat penelitian berlangsung, jumlah siswa yang mengikuti kegiatan belajar mengajar di keenam SMA itu pada tahun ajaran 2013 –2014 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah populasi siswa SMA di lokasi penelitian tahun ajaran 2013 –2014 Sekolah Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Jumlah Siswa Total Siswa N L P L P L P L P SMAN A 153 207 156 181 140 192 448 581 1.029 SMAN B 150 186 168 162 147 166 465 514 979 SMAN C 103 176 129 217 108 178 340 571 911 SMAN D 161 196 180 216 165 188 506 600 1.106 SMA EF 42 32 50 49 35 41 127 122 249 SMA GH 166 149 164 141 143 136 473 426 899 Karakteristik Remaja, Keluarga, Guru, dan Teman Sebaya Karakteristik Remaja 1. Usia dan Jenis Kelamin Responden Usia remaja berkisar 15 sampai 18 tahun. Menurut Hurlock 1990, kisaran usia remaja yaitu 13 sampai 18 tahun. Mengacu kepada penggolongan Hurlock, usia responden dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu remaja awal 13 –15 tahun dan remaja akhir 16–18 tahun. Pendapat Berk 2012 sedikit berbeda dengan Hurlock. Berk berpendapat bahwa usia remaja awal dimulai dari 12 sampai 14 tahun, remaja tengah 14 –16 tahun, dan remaja akhir 16–18 tahun. Tabel 10 menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden sebanyak 67.5 berusia 16 tahun atau berada di kelompok usia remaja akhir. Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan usia dan jenis kelamin Usia Responden Tahun Perempuan Laki-laki Total n n n 15 2 1.0 3 1.8 5 1.3 16 142 68.9 109 65.7 251 67.5 17 61 29.6 52 31.3 113 30.4 18 1 0.5 2 1.2 3 0.8 Total 206 100.0 166 100.0 372 100.0 Rata-rata + Std.Deviasi tahun 16.30 + 0.49 16.32 + 0.53 16.31 + 0.51 Minimum-maksimum tahun 15 – 18 15 – 18 15 – 18 Dilihat dari jenis kelaminnya, persentase responden perempuan lebih besar daripada responden laki-laki Tabel 11. Jumlah responden perempuan di 6 SMA yang diteliti adalah 206 orang 55.4 , sedangkan responden laki-laki berjumlah 166 orang 44.6 . Hal ini dapat dimaklumi karena penarikan sampel tidak melihat jenis kelamin siswa. Responden yang mengisi kuesioner berasal dari kelas yang dipilih secara acak. Pada penelitian ini, perbandingan antara responden perempuan dan laki-laki masih seimbang karena perbedaan jumlahnya tidak terlampau jauh. Tabel 11 Sebaran siswa per sekolah berdasarkan jenis kelamin No. Nama SMA Perempuan Laki-laki Total n n n 1. SMAN A 31 54.4 26 45.6 57 100.0 2. SMAN B 33 54.1 28 45.9 61 100.0 3. SMAN C 36 63.2 21 36.8 57 100.0 4. SMAN D 47 55.3 38 44.7 85 100.0 5. SMA EF 27 52.9 24 47.1 51 100.0 6. SMA GH 32 52.5 29 47.5 61 100.0 Total 206 55.4 166 44.6 372 100.0

2. Urutan Kelahiran

Tabel 12 memperlihatkan sebanyak 174 responden 46.8 adalah anak pertama di keluarga. Remaja perempuan yang merupakan anak pertama jumlahnya lebih besar 110 orang dibandingkan dengan remaja laki-laki 64 orang. Jumlah anak terbanyak yang dimiliki oleh keluarga responden adalah 6 orang, namun persentasenya sangat kecil 0.3 . Tabel 12 Sebaran siswa berdasarkan urutan kelahiran Urutan Kelahiran Perempuan Laki-laki Total n n n Anak ke-1 110 53.4 64 38.6 174 46.8 Anak ke-2 63 30.6 62 37.3 125 33.6 Anak ke-3 30 14.6 28 16.9 58 15.6 Anak ke-4 3 1.5 11 6.6 14 3.8 Anak ke-5 0.0 0.0 0.0 Anak ke-6 0.0 1 0.6 1 0.3 Total 206 100.0 166 100.0 372 100.0 Rata-rata + Std.Deviasi Anak ke 1.64 + 0.78 1.94 + 0.96 1,77 + 0.877 Minimum-maksimum Anak 1 – 4 1 – 6 1 – 6

3. Uang Saku

Rata-rata uang saku yang diterima responden per bulan adalah Rp675 448. Rata-rata uang saku remaja perempuan lebih besar dibandingkan pada remaja laki-laki. Namun demikian, ada 38 responden 10.2 yang menerima uang saku ≤ Rp300 000 per bulan dan lebih dari 50 persen 188 orang yang uang sakunya berkisar Rp 310 000 sampai Rp600 000 per bulan atau di bawah rata-rata. Dalam penelitian ini, uang saku terendah yang diterima remaja dalam sebulan adalah Rp50 000 dan tertinggi Rp 3 000 000 Tabel 13. Sebagai catatan, remaja yang menerima uang saku hingga jutaan rupiah tidak tinggal dengan orang tuanya. Di antara mereka ada yang tinggal dengan paman atau bibi, dan ada pula yang indekos karena orang tuanya berada di kota lain. Tabel 13 Sebaran siswa berdasarkan uang saku per bulan Uang Saku Rpbulan Perempuan Laki-laki Total n n n ≤ 300.000 17 8.3 21 12.7 38 10.2 310 000 – 600 000 99 48.1 89 53.6 188 50.5 610 000 – 900 000 52 25.2 32 19.3 84 22.6 910 000 – 1 200 000 20 9.7 13 7.8 33 8.9 1 210 000 – 1 500 000 16 7.8 5 3.0 21 5.6 1 510 000 2 1.0 6 3.6 8 2.2 Total 206 100.0 166 100.0 372 100.0 Rata-rata + Std.Deviasi Rpbln 693 334 + 363 833 653 253 + 386 496 675 448 + 374 137 Min-maks Rpbln 150 000 – 3 000 000 50 000 – 2 500 000 50 000 – 3 000 000 Berdasarkan garis kemiskinan penduduk per kapita Karakteristik Keluarga 1. Usia Ayah dan Ibu Usia ayah dan ibu dikelompokkan menjadi tiga, yaitu dewasa awal ≤ 40 tahun, dewasa tengah 41 –58 tahun, dan dewasa akhir 59 tahun. Pengelompokkan usia didasari fakta bahwa orang Indonesia pada umumnya memasuki masa pensiun di usia 58 tahun, dan sebagian lainnya 60 tahun. Pada penelitian ini, lebih dari 80 persen remaja memiliki orang tua yang berada dalam kelompok usia dewasa tengah 41 –58 tahun. Rata-rata usia ayah lebih tinggi daripada rata-rata usia ibu. Jika dilihat lebih detail, rata-rata usia ayah pada remaja laki-laki juga lebih tinggi 50.81 tahun daripada rata-rata usia ayah pada remaja perempuan 49.05 tahun. Demikian pula rata-rata usia ibu pada remaja laki-laki lebih tinggi 46.32 tahun daripada rata-rata usia ibu pada remaja perempuan 45.04 tahun. Sebagian kecil remaja mempunyai ayah berusia kurang dari 40 tahun dan ibu berusia lebih dari 58 tahun Tabel 14. Tabel 14 Sebaran siswa berdasarkan usia ayah dan ibu Usia Tahun Ayah Ibu Siswa Perempuan Siswa Laki-laki Siswa Perempuan Siswa Laki-laki n n n n ≤ 40 Dewasa Awal 7 3.4 3 1.8 36 17.5 23 13.9 41 - 58 Dewasa Tengah 188 91.3 149 89.8 168 81.6 140 84.3 59 Dewasa Akhir 11 5.3 14 8.4 2 1.0 3 1.8 Total 206 100.0 166 100.0 206 100.0 166 100.0 Rata-rata + Std.Deviasi tahun 49.05 + 5.30 50.81 + 6.13 45.04 + 4.81 46.32 + 5.11 Minimum-maksimum tahun 35 – 65 39 – 72 33 – 60 35 – 65 2. Pendidikan Ayah dan Ibu Orang tua remaja yang berhasil mencapai jenjang perguruan tinggi bisa dikatakan banyak. Mengacu kepada jenjang pendidikan SD hingga S3, kebanyakan orang tua remaja pada penelitian ini adalah lulusan sarjana S1. Sebaran responden berdasarkan pendidikan ayah dan ibu Tabel 15 menunjukkan bahwa 50 persen remaja perempuan dan 44.6 persen remaja laki-laki mempunyai ayah dengan pendidikan sarjana S1. Demikian pula pendidikan ibu, 37.9 persen remaja perempuan dan 38 persen remaja laki-laki mempunyai ibu lulusan sarjana. Hanya 0.6 persen ayah dan 1.8 persen ibu yang berpendidikan lulus SD. Tabel 15 Sebaran siswa berdasarkan pendidikan ayah dan ibu Jenjang Pendidikan Ayah Ibu Siswa Perempuan Siswa Laki-laki Siswa Perempuan Siswa Laki-laki n n n n SD 0.0 1 0.6 0.0 3 1.8 SMP 5 2.4 1 0.6 4 1.9 3 1.8 SMA 35 17.0 30 18.1 62 30.1 46 27.7 D1 2 1.0 1 0.6 1 0.5 2 1.2 D2 0.0 0.0 0.0 2 1.2 D3 22 10.7 15 9.0 40 19.4 27 16.3 S1 103 50.0 74 44.6 78 37.9 63 38.0 S2 27 13.1 36 21.7 20 9.7 17 10.2 S3 12 5.8 8 4.8 1 0.5 3 1.8 Total 206 100.0 166 100.0 206 100.0 166 100.0 Rata-rata + Std.Deviasi tahun 15.63 + 2.57 15.79 + 2.56 14.67 + 2.20 14.67 + 2.61 Minimum-maksimum tahun 9 – 21 6 – 21 9 – 21 6 – 21

3. Pekerjaan Ayah dan Ibu

Pekerjaan orang tua tersebar ke berbagai industri dan profesi yang sangat beragam. Penulis mengelompokkan pekerjaan orang tua menjadi beberapa jenis pekerjaan sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 16. Sebagian besar responden menyatakan bahwa ayah atau ibunya bekerja sebagai karyawan swasta. Jumlah remaja yang ayahnya memiliki usaha sendiri wirausahawiraswasta lebih banyak dibandingkan remaja yang ayahnya PNS. Temuan ini cukup menarik mengingat sebagian besar responden 4 SMA berasal dari sekolah negeri. Di masa lalu, SMA negeri pada umumnya didominasi oleh anak-anak PNS. Ternyata sekarang kondisinya bergeser, banyak pula orang tua dari keluarga berkecukupan yang memasukkan anaknya di SMA negeri dengan alasan sekolah tersebut favorit dan tinggi persentase kelulusannya yang terjaring ke perguruan tinggi negeri ternama. Tabel 16 Sebaran siswa berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu Jenis Pekerjaan Ayah Ibu Siswa Perempuan Siswa Laki-laki Siswa Perempuan Siswa Laki-laki n n n n PNS 22 10.7 33 19.9 30 14.6 25 15.1 Karyawan Swasta 78 37.9 54 32.5 25 12.1 16 9.6 BUMN 15 7.3 10 6.0 1 0.5 2 1.2 Dosen dan Guru 12 5.8 11 6.6 10 4.9 14 8.4 TNI dan Polri 9 4.4 8 4.8 0.0 3 1.8 Pejabat Pemerintah 2 1.0 1 0.6 0.0 2 1.2 Profesional 12 5.8 5 3.0 6 2.9 8 4.8 Wirausaha 47 22.8 36 21.7 18 8.7 9 5.4 Pensiunan 7 3.4 7 4.2 2 1.0 0.0 Tidak BekerjaIRT 2 1.0 1 0.6 114 55.3 87 52.4 Total 206 100.0 166 100.0 206 100.0 166 100.0

4. Suku Bangsa Ayah dan Ibu

Dilihat dari suku bangsa asalnya, sebagian besar orang tua ayah maupun ibu berasal dari suku Jawa, Sunda, dan Betawi Tabel 17. Selebihnya berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia dan etnis CinaTionghoa. Jumlah responden yang ayah dan ibunya berasal dari etnis CinaTionghoa tergolong cukup banyak karena salah satu SMA yang menjadi lokasi penelitian ini didominasi oleh suku tersebut. Kendati demikian, menurut pengamatan penulis, dalam pergaulan sehari-hari tidak ada perbedaan antara siswa yang berasal dari etnis CinaTionghoa dengan siswa lain di luar etnis ini. Semua siswa membaur menjadi satu, tidak ada pengotak-kotakan antara etnis yang dominan dengan etnis lain yang tidak dominan. Tabel 17 Sebaran siswa berdasarkan suku ayah dan ibu Jenis Suku Ayah Ibu Siswa Perempuan Siswa Laki-laki Siswa Perempuan Siswa Laki-laki n n n n Jawa, Sunda, dan Betawi 141 68.4 98 59.0 137 66.5 111 66.9 Sumatera 31 15.0 37 22.3 32 15.5 27 16.3 Sulawesi dan Maluku 3 1.5 6 3.6 8 3.9 5 3.0 Kalimantan 1 0.5 1 0.6 2 1.0 1 0.6 CinaTionghoa 16 7.8 16 9.6 13 6.3 16 9.6 Campuran dua suku 10 4.9 4 2.4 13 6.3 4 2.4 Lain-lain 4 1.9 4 2.4 1 0.5 2 1.2 Total 206 100.0 166 100.0 206 100.0 166 100.0 5. Jumlah Anak dalam Keluarga Jumlah anak dalam satu keluarga menentukan perkembangan emosinya. Hasil penelitian Naghavi dan Redzuan 2012 tentang hubungan antara lingkungan keluarga dan kecerdasan emosional mengungkapkan bahwa remaja awal dari lingkungan keluarga yang memiliki anggota lebih sedikit cenderung menunjukkan kecerdasan emosional yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini, lebih dari 30 remaja berasal dari keluarga yang memiliki 2 atau 3 orang anak. Meskipun remaja pada penelitian ini ada yang berasal dari keluarga dengan anak lebih dari 4 orang, namun jumlahnya tidak banyak Tabel 18. Tabel 18 Sebaran siswa berdasarkan jumlah anak dalam keluarga Jumlah Anak Siswa Perempuan Siswa Laki-laki Total n n N 1 17 8.3 10 6.0 27 7.3 2 79 38.3 62 37.3 141 37.9 3 79 38.3 61 36.7 140 37.6 4 23 11.2 25 15.1 48 12.9 5 7 3.4 5 3.0 12 3.2 6 1 0.5 3 1.8 4 1.1 Total 206 100.0 166 100.0 372 100.0 Rata-rata + Std.Deviasi orang 2.65 + 0.94 2.77 + 1.00 2.70 + 0.97 Minimum-maksimum orang 1 – 6 1 – 6 1 – 6 6. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga pada penelitian ini memiliki rentang yang sangat lebar. Nilai minimum total pendapatan keluarga adalah Rp1 000 000 dan nilai maksimumnya sebesar Rp 151 000 000. Orang tua remaja laki-laki memiliki rata- rata pendapatan yang lebih tinggi Rp14 731 686 dibandingkan remaja perempuan Rp14 507 281. Tabel 19 menunjukkan sebaran responden berdasarkan pendapatan orang tua. Lebih dari setengah 59.9 remaja memiliki orang tua berpenghasilan antara Rp5 050 000 sampai Rp20 000 000. Tabel 19 Sebaran siswa berdasarkan pendapatan orang tua per bulan Pendapatan Orang Tua Rpbulan Siswa Perempuan Siswa Laki-laki Total n n n ≤ Rp 5.000.000 46 22.3 42 25.3 88 23.7 Rp 5.050.000 – Rp 20.000.000 127 61.7 96 57.8 223 59.9 Rp 20.050.000 33 16.0 28 16.9 61 16.4 Total 206 100.0 166 100.0 372 100.0 Rata-rata + Std.Deviasi Rpbln 14 507 281 + 15 806 312 14 731 686 + 17 705 290 14 607 419 + 16 657 763 Minimum-maksimum Rpbln 1 000 000 – 151 000 000 1 200 000 – 100 000 000 1 000 000 – 151 000 000 Jika data pendapatan orang tua dirinci, maka persentase terbesar remaja memiliki orang tua dengan penghasilan berkisar Rp7 550 000 sampai Rp10 000 000 per bulan. Sebanyak 3.5 persen remaja pendapatan orang tuanya di bawah UMR Kota Bogor tahun 2014 Rp2 500 000 per bulan. Selebihnya 96.5 orang tua responden berpenghasilan di atas UMR Kota Bogor. Di luar itu, ada 3.8 persen orang tua responden yang memiliki penghasilan sangat besar Rp 50 050 000 per bulan. Karakteristik Guru 1. Umur dan Jenis Kelamin Guru Tabel 20 menunjukkan sebaran responden berdasarkan umur dan jenis kelamin guru. Dilihat dari komposisinya, jumlah guru perempuan yang disukai remaja jauh lebih banyak dibandingkan guru laki-laki. Berdasarkan pertanyaan di kuesioner yang diajukan kepada 372 responden, ada 272 guru perempuan dan 100 guru laki-laki yang dipilih karena disukai dan dinilai dekat dengan responden. Dari faktor usia, persentase terbanyak guru – baik guru perempuan maupun guru laki- laki – yang disukai responden berada pada kelompok usia 41–45 tahun. Guru-guru yang berusia kurang dari 30 tahun dan lebih dari 50 tahun jumlah persentasenya tergolong sedikit. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat faktor usia kemungkinan berhubungan dengan pengalaman dan tingkat pengetahuan yang dimiliki, serta cara mengajar guru. Guru yang masih muda di bawah 30 tahun dianggap belum cukup berpengalaman dalam mengajar, sedangkan guru yang mendekati masa pensiun di atas 50 tahun cenderung mempertahankan cara-cara mengajar yang dinilai responden sudah ketinggalan zaman out of date. Tabel 20 Sebaran siswa berdasarkan umur dan jenis kelamin guru favorit Umur Guru Tahun Siswa Perempuan Siswa Laki-laki Total n n n ≤ 25 8 2.9 1 1.0 9 2.4 26 – 30 8 2.9 2 2.0 10 2.7 31 – 35 67 24.6 25 25.0 92 24.7 36 – 40 22 8.1 6 6.0 28 7.5 41 – 45 90 33.1 9 9.0 99 26.6 46 – 50 52 19.1 44 44.0 96 25.8 51 – 55 16 5.9 5 5.0 21 5.6 56 – 60 9 3.3 8 8.0 17 4.6 Total 272 100.0 100 100.0 372 100.0 Rata-rata + Std.Deviasi tahun 41.43 + 7.43 43.45 + 8.51 41.98 + 7.78 Minimum-maksimum tahun 24 – 59 24 – 59 24 - 59 2. Pendidikan Guru Dilihat dari latar pendidikannya, sebagian besar guru 72 adalah lulusan sarjana S1. Hal ini sesuai dengan kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seorang guru SMA untuk mendapatkan sertifikasi, yaitu minimum lulusan S1 Tabel 21. Dalam penelitian ini, hanya 1 orang berlatar pendidikan lulusan SMA. Ketika hal ini diklarifikasi kepada responden yang bersangkutan, ternyata orang yang dimaksud tidak memegang jabatan sebagai guru melainkan staf administrasi. Penulis meminta kepada responden untuk memilih nama lain yang berprofesi sebagai guru di SMA-nya. Responden mengatakan bahwa ia tidak merasa dekat dengan guru ma na pun di sekolahnya. “Saya hanya dekat dengan Bapak itu menyebutkan nama orang yang dimaksud,” ungkapnya. Alasan responden merasa dekat dengan staf administrasi ini karena beliau selalu mau mendengarkan ceritanya dan sering memberi nasihat yang baik. Tabel 21 Sebaran siswa berdasarkan pendidikan guru favorit Jenjang Pendidikan Guru Siswa Perempuan Siswa Laki-laki Total n n n SMA 0.0 1 1.0 1 0.3 D3 3 1.1 2 2.0 5 1.3 S1 173 63.6 95 95.0 268 72 S2 96 35.3 2 2.0 98 26.3 Total 272 100.0 100 100.0 372 100.0 Rata-rata + Std.Deviasi tahun 16.69 + 0.97 15.98 + 0.51 16.50 + 0.927 Minimum-maksimum tahun 15 – 18 12 – 18 12 – 18 3. Mata Pelajaran yang Diampu Guru Tabel 22 memperlihatkan sebaran responden berdasarkan mata pelajaran yang diampu guru. Dilihat dari jenis mata pelajarannya, guru yang disukai responden cukup beragam. Namun demikian, persentase terbanyak adalah guru bidang studi Fisika 18,3 . Di luar itu, persentasenya tidak lebih dari 15 persen. Temuan yang menarik, dari 372 responden terdapat 2 siswa yang tidak memilih guru bidang studi sebagai orang yang disukainya. Kedua responden ini

Dokumen yang terkait

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP

2 15 13

Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Prestasi Belajar Siswa pada Pelajaran PAI (Penelitian Korelasional pada Siswa Kelas VIII MTs Al-Hidayah Arco Sawangan Depok)

0 7 97

Pengaruh tingkat kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar siswa SMA Triguna Utama Ciputat

0 6 87

Hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam: Studi Penelitian di Kelas XI SMA PGRI 109 Tangerang

2 10 112

Pengaruh Tingkat Kecerdasan Emosional Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Pada Siswa Smp Muhammadiyah 17 Ciputat

1 48 98

Analisis Gaya Pengasuhan, Kecerdasan Emosional, Aktivitas Ekstrakurikuler, dan Prestasi Belajar Siswa di SMA Muhammadiyah Cirebon

0 5 191

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS XI Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Motivasi Belajar Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas Xi Sma Negeri 1 Bangsri Tahun Ajaran 2011/2012.

0 0 19

PENGARUH KECERDASAN INTELEKTUAL, KECERDASAN EMOSIONAL, DAN KECERDASAN SPIRITUAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA SMA NEGERI DI SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2012/ 2013.

0 0 18

PENGARUH COMPUTER ANXIETY DAN KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI DI SMA NEGERI 1 KARANGNONGKO.

0 0 118

POLA KOMUNIKASI REMAJA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SMA DI KOTA BOGOR

0 0 11