Teori Pemrosesan Informasi Pola Komunikasi, Kecerdasan Emosional, Dan Prestasi Belajar Siswa Sma Di Kota Bogor
Ketiga, norma sosial adalah sebuah peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosial. Normal
sosial dapat berasal dari dalam masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan, yaitu pandangan hidup masyarakat secara umum. Namun demikian,
setiap keluarga juga mempunyai norma sosial yang spesifik. Misalnya, pembagian tugas dalam rumah tangga, yang merupakan bagian dari struktur keluarga untuk
mengatur tingkah laku setiap anggotanya.
Sedangkan yang berkaitan dengan aspek fungsional, Megawangi 2005 berpendapat bahwa aspek ini sulit dipisahkan dari aspek struktural karena
keduanya saling berkaitan. Seseorang dalam sebuah sistem dengan status sosial tertentu tidak lepas dari peran yang diharapkan. Hal ini berfungsi untuk menjaga
kelangsungan hidup atau pencapaian keseimbangan pada sistem tersebut. Arti fungsi di sini dikaitkan dengan bagaimana sebuah sistem atau subsistem dalam
masyarakat dapat saling berhubungan dan menjadi sebuah kesatuan. Megawangi menggarisbawahi bahwa sebuah sistem mengacu pada kegunaannya untuk
memelihara dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada berfungsinya subsistem-subsistem yang lain. Apabila terjadi anomali dalam sebuah subsistem,
maka akan memengaruhi fungsi dari sistem tersebut secara keseluruhan.
Dalam kerangka pikir teori struktural-fungsional, Ihromi 2004 menjelaskan bahwa masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang dinamis,
yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan. Analisis terhadap sistem ini adalah, apakah konsekuensi dari setiap bagian dari
sistem untuk setiap bagian lainnya dan untuk sistem secara keseluruhan. Sistem dalam pendekatan yang disampaikan Ihromi ini berada pada lapisan individual
perkembangan kepribadian, lapisan institusional keluarga, dan lapisan masyarakat. Suatu analisis fungsional terhadap keluarga menekankan pada
hubungan antara keluarga dan masyarakat luas, hubungan-hubungan internal di antara subsistem-subsistem yang ada dalam keluarga dan atau hubungan di antara
keluarga dan kepribadian dari para anggota keluarga sebagai pribadi.
Penerapan teori struktural-fungsional dalam konteks keluarga juga terlihat dari struktur dan aturan yang ditetapkan. Chapman Puspitawati 2006
menyatakan bahwa keluarga adalah unit universal yang memiliki peraturan, seperti peraturan untuk anak-anak agar dapat belajar mandiri. Tanpa aturan atau
fungsi yang dijalankan oleh unit keluarga, maka unit keluarga tidak memiliki arti yang dapat menghasilkan suatu kebahagiaan. Dengan tidak adanya peraturan,
akan tumbuh atau terbentuk generasi penerus yang tidak mempunyai kreasi yang lebih baik dan akan mempunyai masalah emosional serta hidup tanpa arah.
Chapman juga menambahkan bahwa keluarga dalam kebudayaan Barat selama 30 tahun terakhir telah mengalami perubahan yang luar biasa dan sudah kehilangan
arah. Hal ini terjadi oleh adanya kebudayaan Barat yang menekankan materialisme dengan fokus pada kepemilikan benda seperti rumah dan mobil, dan
lebih mencari kebahagiaan pribadi di atas segalanya. Sedangkan suara dari Timur mengarah pada kesatuan dan seirama dengan alam.
Prasyarat dalam teori struktural-fungsional mengharuskan tercapainya suatu keseimbangan sistem, baik pada tingkat masyarakat maupun keluarga. Levy
Megawangi 2005 menyatakan bahwa persyaratan struktural yang harus dipenuhi oleh keluarga agar dapat berfungsi, yaitu meliputi:
1. Diferensiasi peran, yaitu alokasi peran atau tugas dan aktivitas yang harus
dilakukan dalam keluarga. Berdasarkan serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk
setiap aktor dalam keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu kepada pada umur, gender, generasi, juga posisi status ekonomi dan politik
dari masing-masing aktor.
2. Alokasi solidaritas, yaitu meliputi distribusi relasi antaranggota keluarga
berdasarkan cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau kepuasan menggambarkan hubungan antaranggota. Misalnya, keterikatan emosional
antara seorang ibu dengan anaknya. Kekuatan mengacu pada keutamaan sebuah relasi yang relatif terhadap relasi lainnya. Demikian pula hubungan
antara bapak dengan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan antara suami dan istri pada suatu budaya tertentu. Sedangkan intensitas
adalah kedalaman relasi antaranggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.
3. Alokasi ekonomi, yang menyangkut distribusi barang dan jasa antaranggota
keluarga untuk mencapai tujuan keluarga. Distribusi barang-barang dan jasa dimaksudkan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Dalam hal ini
diferensiasi tugas juga ada, terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan jasa dalam keluarga.
4. Alokasi politik, yaitu berupa distribusi kekuasaan dalam keluarga dan siapa
yang bertanggung jawab atas setiap tindakan anggota keluarga. Agar keluarga dapat berfungsi dengan baik, maka distribusi kekuasaan pada
tingkat tertentu diperlukan.
5. Alokasi integrasi dan ekspresi, yang meliputi cara atau teknik sosialisasi
internalisasi dan pelestarian nilai-nilai maupun perilaku pada setiap anggota keluarga dalam memenuhi tuntutan norma-norma yang berlaku.
Parsons dan Bales Megawangi 2005 menyadari akan adanya
kecenderungan berpindahnya beberapa fungsi keluarga ke luar rumah, namun mereka justru berargumen bahwa institusi keluarga pada zaman modern akan
semakin vital fungsinya. Keduanya optimistis bahwa keluarga akan menjadi tempat di mana setiap anggota keluarga mendapatkan keintiman. Fungsi keluarga
akan terspesialisasi pada fungsi emosional dan tempat menyiapkan individu untuk dapat berpartisipasi dalam proses modernisasi, sehingga keluarga menjadi agen
utama dan terpenting dalam menghadapi perubahan sosial ke arah modernisasi masyarakat. Terutama melalui perannya dalam menyiapkan individu agar dapat
menjadi pribadi yang siap dan matang baik secara emosional maupun instrumental.
Meskipun institusi keluarga sudah banyak mengalami perubahan fungsi, ternyata keluarga tetap hidup, dan keberadaan keluarga inti nuclear family tidak
pernah berkurang. Berbicara tentang institusi keluarga yang kukuh, Megawangi 2005 berpendapat bahwa hal itu menyangkut aspek pembenahan ke dalam, atau
nilai-nilai yang dapat mempersatukan semua individu. Ini juga berkaitan dengan struktur keluarga dengan segala fungsinya yang dapat dipertahankan dan
dijalankan oleh masing-masing individu agar tujuan keluarga sebagai kesatuan unit dapat tercapai.
Sekolah
Sekolah memiliki pengaruh yang besar bagi anak-anak dan remaja. Pada saat seorang siswa lulus dari sekolah lanjutan atas, ia telah menghabiskan waktu
lebih dari 10.000 jam di dalam ruang kelas. Pengaruh sekolah sekarang ini lebih kuat dibandingkan pada generasi-generasi sebelumnya karena lebih banyak
individu yang lebih lama menghabiskan waktunya di sekolah. Sebagai contoh, di tahun 1900 hanya 11,4 persen dari individu berusia 14 hingga 17 tahun yang
mengecap pendidikan sekolah. Sekarang ini 94 persen dari kelompok usia tersebut merupakan individu yang berada di bangku sekolah Santrock 2003.
Anak-anak dan remaja menghabiskan waktu bertahun-tahun bersekolah sebagai anggota dari suatu masyarakat kecil di mana terdapat beberapa tugas
untuk diselesaikan, orang-orang yang perlu dikenal dan mengenal diri mereka, serta peraturan yang menjelaskan dan membatasi perilaku, perasaan, dan sikap.
Pengalaman yang diperoleh anak-anak dan remaja di masyarakat ini kemungkinan memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan identitasnya, keyakinan
terhadap kompetensi diri sendiri, gambaran hidup dan kesempatan berkarier, hubungan-hubungan sosial, batasan mengenai hal yang benar dan salah, serta
pemahaman mengenai sistem sosial di luar lingkup fungsi keluarga Santrock 2003.
Santrock juga mengemukakan bahwa sekolah yang menghasilkan siswa berprestasi tinggi dari golongan ekonomi rendah dikaitkan tidak hanya dengan
jenis kurikulum yang khusus dan jumlah waktu mengajar, namun juga dengan berbagai faktor iklim dari sekolah tersebut seperti harapan guru terhadap siswa
dan pola interaksi antara guru dengan siswa. Dengan kata lain, berbagai aspek dari sekolah sebagai suatu sistem sosial berperan terhadap pencapaian prestasi siswa di
sekolah. Penelitian mengenai apakah sekolah berpengaruh terhadap tingkat prestasi siswa menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut tidaklah sesuai jika
ditanyakan tanpa memerhatikan sistem sekolah yang bervariasi. Sekolah bisa berbeda-beda antara satu sama lain walaupun berada pada lingkungan dan
populasi yang sama.
Santrock 2007 menjelaskan pendekatan utama yang selama bertahun- tahun digunakan untuk mendidik siswa adalah pendekatan instruksi langsung
direct instruction approach, yaitu suatu pendekatan yang berpusat pada guru, di mana guru yang mengarahkan dan mengendalikan, menguasai keterampilan
akademis, memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap siswa, serta memaksimalkan waktu yang digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas belajar. Kendati sudah
banyak ditinggalkan, hingga sekarang masih ada beberapa sekolah yang tetap menggunakan pendekatan ini. Pendekatan instruksi langsung dinilai tidak relevan
bagi perkembangan anak-anak dan remaja karena menjadikan individu sebagai pembelajar yang pasif dan tidak cukup menantang mereka untuk berpikir kritis
dan kreatif.
Pada 1990-an, keinginan untuk melakukan reformasi sekolah difokuskan pada pendekatan konstruktif kognitif cognitive constructivist approach, yakni
menekankan upaya aktif dari anak untuk mengkonstruksi dan memahami pengetahuan yang dilakukan secara kognitif. Guru berperan dalam mendukung
siswa ketika mereka melakukan eksplorasi dan berusaha memahami dunianya. Kini berkembang pendekatan konstruksi sosial social constructivist approach
yang berfokus pada pentingnya kolaborasi dengan orang lain untuk menghasilkan
pengetahuan dan pemahaman John-Steiner Mahn 2003 dalam Santrock 2007. Implikasinya adalah, guru memberikan banyak kesempatan kepada para siswa
untuk belajar bersama guru dan teman-teman sebaya dalam menyusun pemahaman.
Dalam menjalankan proses belajar mengajar, komunikasi mewarnai semua aspek kehidupan di sekolah. Para guru mengajar dengan menggunakan media
lisan, tulisan, dan lainnya seperti DVD, komputer, internet, dan bentuk-bentuk seni. Para siswa memperlihatkan pembelajaran atau hasil belajar mereka melalui
media yang sama. Pengawas sekolah dan kepala sekolah juga menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk menjalin komunikasi Hoy Miskel 2014.
Komunikasi di sekolah memiliki beragam tujuan, seperti mewujudkan tujuan
organisasi dan menjalin hubungan yang positif Te‟eni 2001. Para penyelenggara pendidikan harus memahami komunikasi karena komunikasi mendasari seluruh
proses belajar mengajar di sekolah dan hubungan antarpribadi guru dengan murid, demikian pula sebaliknya murid dengan guru.
Hoy dan Miskel 2014 menyebutkan tiga keterampilan komunikasi yang harus dikuasai oleh tenaga pendidik, yaitu kecakapan mengirim pesan,
keterampilan menyimak, dan umpan balik. Kecakapan mengirim pesan adalah kemampuan untuk menjadikan diri seseorang dipahami. Kecakapan mengirim
pesan dari para pendidik kepada peserta didik bisa ditingkatkan melalui lima metode berikut ini. Pertama, menggunakan bahasa yang tepat dan lugas, serta
menghindari jargon pendidikan dan konsep-konsep yang pelik. Untuk membangun kredibilitas, bahasa harus memperlihatkan bahwa pengirim pesan
adalah orang yang berpengetahuan luas tentang isu-isu pendidikan. Kedua, memberikan informasi yang jelas dan lengkap kepada peserta didik, yang
diperlukan untuk membangun dan mengorganisasikan ulang skema kognitifnya. Ketiga, meminimalkan kebisingan dari lingkungan fisik dan psikologis. Keempat,
menerapkan beragam media yang tepat. Kelima, menggunakan komunikasi tatap muka dan pengulangan ketika menyampaikan pesan yang kompleks.
Keterampilan menyimak adalah kemampuan individu untuk memahami orang lain. Sebagai salah satu faktor kunci dalam berkomunikasi secara kompeten,
menyimak merupakan sebuah bentuk perilaku ketika individu berupaya memahami pesan yang tengah disampaikan oleh orang lain melalui penggunaan
kata-kata, tindakan, dan benda DeFleur et al. 1993. Ivey dan Ivey 1999 menggambarkan sejumlah elemen penting dalam keterampilan menyimak yang
efektif:
menaruh perhatian,
mengajukan pertanyaan,
menyemangati, membahasakan ulang, memantulkan perasaan, dan merangkum.
Keterampilan umpan balik adalah keterampilan mengirim dan menerima pesan yang dihasilkan dari efek komunikasi dan perilaku sebelumnya Hoy
Miskel 2014. Pemberian umpan balik terdiri atas pesan verbal dan nonverbal. Pengajuan pertanyaan, pendeskripsian perilaku, dan pembahasan ulang pesan
yang diucapkan oleh penutur merupakan bentuk-bentuk umpan balik verbal. Kadang-kadang pesan nonverbal terkirim tidak sengaja. Sebagai contoh, guru
tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh murid atau guru menerangkan di kelas dengan muka masam. Penerimaan umpan balik positif bisa ditingkatkan
dengan mengungkapkan tujuan, menggunakan informasi yang deskriptif daripada evaluatif, dan menentukan waktu umpan baliknya secara tepat Anderson 1976.
Teman Sebaya
Sumber penting bagi dukungan emosional selama masa remaja yang rumit dan juga sumber tekanan untuk melakukan perilaku yang tidak disukai orang tua,
yaitu meningkatnya keterlibatan remaja dengan teman sebaya. Santrock 2007 mendefiniskan teman sebaya adalah anak-anak atau remaja yang memiliki usia
atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama. Bagi remaja, kelompok teman sebaya adalah sumber kasih sayang, simpati, pengertian, dan tuntunan moral;
tempat untuk melakukan eksperimen, serta sarana untuk mencapai otonomi dan kemandirian dari orang tua. Kelompok teman sebaya adalah tempat untuk
membentuk hubungan dekat yang berfungsi sebagai “latihan” bagi hubungan yang akan mereka bina di masa dewasa Papalia et al. 2009.
Remaja akan merasa senang apabila diterima dan sebaliknya akan merasa sangat tertekan dan cemas apabila dikeluarkan dan diremehkan oleh kawan-kawan
sebayanya. Bagi banyak remaja, pandangan kawan-kawan terhadap dirinya merupakan hal yang paling penting Santrock 2007. Pengaruh dari teman sebaya
paling kuat di saat masa remaja awal; biasanya memuncak di usia 12 – 13 tahun
serta menurun selama masa remaja pertengahan dan akhir, seiring dengan membaiknya hubungan remaja dengan orang tua. Keterikatan dengan teman
sebaya di masa remaja awal tidak selalu menyebabkan masalah, kecuali jika keterikatan ini terlalu kuat sehingga remaja bersedia untuk mengabaikan aturan di
rumah mereka, lalai mengerjakan tugas sekolah, serta tidak mengembangkan bakat mereka untuk memenangkan persetujuan teman sebaya dan mendapatkan
popularitas Fuligni et al. 2002.
Di masa kanak-kanak, kebanyakan interaksi antara teman sebaya adalah dyadic
atau satu lawan satu, walaupun pengelompokkan yang lebih besar mulai terbentuk di masa anak-anak pertengahan. Saat anak-anak beranjak remaja, sistem
sosial teman sebaya menjadi lebih rumit dan bervariasi. Walaupun remaja tetap memiliki hubungan pertemanan satu lawan satu, klik atau geng
– struktur kelompok pertemanan yang melakukan berbagai hal bersama-sama
– menjadi lebih penting. Kelompok yang lebih besar adalah crowd atau kerumunan, yang
biasanya tidak ada sebelum masa remaja, terbentuk bukan berdasarkan interaksi personal, tetapi berdasarkan reputasi, citra, atau identitas. Keanggotaan
kerumunan adalah konstruksi sosial, seperangkat label yang dipakai remaja untuk membedakan peta sosial berdasarkan daerah tempat tinggal, suku bangsa, status
sosial ekonomi, atau faktor-faktor lain. Ketiga tingkatan dari pengelompokkan teman sebaya
– pertemanan, kawanan, dan kerumunan – ini mungkin ada secara bersamaan dan beberapa keanggotaan tumpang tindih, yang dapat berubah seiring
dengan berjalannya waktu Brown Klute 2003. Pengaruh teman sebaya dapat bersifat positif maupun negatif. Melalui
interaksi dengan teman sebaya, remaja mempelajari modus relasi yang timbal balik secara simetris. Remaja mengeksplorasi prinsip-prinsip kesetaraan dan
keadilan melalui pengalaman mereka ketika menghadapi perbedaan pendapat dengan teman-teman sebayanya. Mereka juga belajar mengamati dengan minat
yang tajam dan memiliki sudut pandang sendiri dalam aktivitas bersama teman- teman. Di samping itu, ketika menjalin persahabatan yang karib dengan teman-
teman terpilih, remaja belajar untuk menjadi mitra yang lebih terampil dan peka. Selanjutnya, keterampilan ini akan berguna dalam pembentukan basis ketika
menjalin hubungan yang lebih intim, misalnya relasi perkawinan di masa depan Santrock 2007.
Namun demikian, Santrock 2007 tidak menyangkal bahwa terdapat sejumlah teori yang menekankan pengaruh negatif teman sebaya bagi
perkembangan remaja. Bagi beberapa remaja, pengalaman ditolak atau diabaikan dapat membuat mereka merasa kesepian dan bersikap bermusuhan. Pengalaman
tidak mengenakkan dengan teman sebaya juga berkaitan ddengan masalah kesehatan mental dan kejahatan di masa selanjutnya. Budaya teman sebaya dapat
memengaruhi remaja untuk menyepelekan nilai-nilai dan kendali orang tua, seperti melakukan pelanggaran Kusdiyati et al. 2010, memperkenalkan remaja
kepada perilaku merokok Liem 2014, perkelahiantawuran Puspitawati 2008, minuman keras Glaser et al 2010; Leunga et al. 2014, serta bentuk-bentuk lain
dari perilaku yang dianggap maladaptif oleh orang dewasa Santrock 2007.
Kecerdasan Emosional
Kecerdasan yang dikenal selain kecerdasan kognitif adalah kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional di kalangan masyarakat belum mendapat
perhatian yang besar dibanding dengan kecerdasan kognitif, karena menganggap kecerdasan emosional hanya sebagai keterampilan memanipulasi orang lain,
sedangkan kecerdasan kognitif menghasilkan pikiran dan akal sehat Goleman 1997.
Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam
menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur suasana jiwa. Menurut Goleman 1997, kualitas emosional yang
berhubungan dengan karakter dan emosi seseorang meliputi kemampuan mengungkapkan dan memahami perasaan, empati, mengendalikan amarah,
kemampuan untuk bersikap mandiri, kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan untuk menjadi pribadi yang disukai orang lain, dan kemampuan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi diri sendiri maupun orang lain, ketekunan, kesetiakawanan, keramahtamahan, dan sikap hormat kepada orang lain.
Goleman 1997 menggolongkan lima aspek dalam mengembangkan kualitas kecerdasan emosional. Pertama, mengenali emosi diri, yaitu kemampuan
untuk mengetahui perasaan sewaktu perasaan itu terjadi bahagia, sedih, marah, takut, bingung yang dialaminya dan dapat mengungkapkan sikap yang dilakukan
untuk mengutarakan emosi, serta kemampuan memantau perasaan untuk mengambil keputusan. Hal ini merupakan dasar kecerdasan emosional dan
merupakan hal yang penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Kedua, mengelola emosi, yaitu kemampuan seseorang untuk menangani perasaan agar
perasaan dapat terungkap dengan baik dan berdampak positif dalam melaksanakan tugas dan pencapaian suatu tujuan serta kemampuan untuk segera
pulih dari tekanan emosi yang dialami. Kemampuan ini sangat tergantung pada kesadaran diri yang dimiliki.
Ketiga, yaitu memotivasi diri sendiri. Memotivasi diri adalah kemampuan seseorang dalam mengatur, menata emosi dalam mencapai tujuan, kemampuan
untuk berkreasi, keterampilan untuk bertindak lebih produktif, efektif dan inovatif dalam hal apa pun yang dijalankan. Keempat, mengenali emosi orang lain
empati. Kemampuan ini sangat diperlukan dalam pergaulan sehari-hari. Orang
yang mampu berempati akan dapat menangkap tanda-tanda sosial yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan orang lain. Kemampuan ini akan
menumbuhkan rasa saling percaya dan menyesuaikan diri dengan berbagai macam orang.
Kelima, kemampuan membina hubungan. Aspek ini adalah kemampuan dalam menangani emosi secara baik ketika seseorang bergaul dengan orang lain,
dapat membaca situasi dengan baik, berinteraksi dengan lancar, memimpin musyawarah, menyelesaikan perselisihan dengan baik serta mampu bekerja sama
dengan orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antarpribadi. Seseorang yang hebat dalam keterampilan ini akan
sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan dengan orang lain. Kemampuan orang dalam mengembangkan keterampilan ini berbeda-beda.
Beberapa orang barang kali terampil dalam menangani kecemasan diri tetapi memiliki hambatan dalam menyesuaikan diri dengan orang lain.
Keberhasilan seseorang di masyarakat lebih ditentukan oleh kecerdasan emosional 80 dan hanya 20 ditentukan oleh faktor kecerdasan
intelektualkognitif IQ Goleman 1997. Kecerdasan emosional memiliki efek positif dan peka terhadap pengaruh lingkungan. Bagi anak-anak, interaksi
antarmanusia yang paling penting adalah dengan orang tua mereka. Kehangatan dan pemantauan orang tua, serta pembinaan emosi orang tua, berdampak positif
terhadap pengaturan diri anak, eksternalisasi perilaku yang lebih rendah, harga diri yang lebih tinggi, dan penyesuaian psikologis yang lebih baik, juga
berkorelasi positif dengan dimensi kecerdasan emosional seperti pengetahuan dan pengertian emosi oleh anak-anak, dan regulasi emosi. Sebaliknya, praktik
pengasuhan orang tua yang negatif, seperti pemberian hukuman yang keras, dapat mengakibatkan kesejahteraan emosi yang rendah, gangguan kepribadian, perilaku
prososial yang rendah, kecemasan kognitif, juga terkait dengan pemahaman emosi dan regulasi emosi yang lebih rendah Alegre 2011.
Studi tentang kecerdasan emosional telah menjadi topik yang menarik karena banyak manfaatnya. Remaja yang memiliki kecerdasan emosional tinggi,
ditemukan secara fisik dan mental sehat Seligman 1991 dan lebih berhasil daripada rekan-rekan mereka yang kurang cerdas secara emosional Cooper
1997. Remaja dengan perkembangan keterampilan sosial yang berperforma tinggi lebih baik secara akademis dari rekan-rekannya yang tidak memiliki
keterampilan ini Grossman Jones 1997. Kecerdasan emosional mengarah untuk meningkatkan perilaku pro-sosial dan keterampilan manajemen diri pada
remaja Bar-On Parker 2000. Penelitian menunjukkan bahwa remaja yang mampu mengatur reaksi emosi mereka dalam menanggapi emosi orang lain
cenderung lebih memiliki keterampilan sosial yang baik dan bertindak prososial Eisenberg et al. 1997.
Gottman 1997 menunjukkan bahwa orang tua yang baik tidak hanya membutuhkan kecerdasan tetapi juga melibatkan emosi. Dalam dekade terakhir
ini, ilmu pengetahuan telah menemukan besarnya peran emosi dalam kehidupan kita. Para peneliti menemukan bahwa kesadaran emosi dan kemampuan untuk
menangani perasaan akan menentukan keberhasilan dan kebahagiaan dalam semua gaya hidup, termasuk hubungan keluarga. Bagi orang tua, kualitas
kecerdasan emosional ini berarti menyadari perasaan remaja, dan mampu berempati, menenangkan, dan membimbing mereka.
Untuk masa remaja awal, pelajaran yang paling memberi pengalaman tentang emosi adalah dari keluarga mereka, hal itu mencakup kemampuan untuk
mengontrol impuls, menunda kepuasaan delay gratification, memotivasi mereka, membaca isyarat-isyarat sosial orang lain, dan mengatasi kesulitan hidup.
Selain itu, remaja yang orang tuanya konsisten mempraktikkan pembinaan emosi memiliki kesehatan fisik yang baik dan skor akademis yang lebih tinggi dari
remaja yang keluarganya tidak menawarkan bimbingan Naghavi Redzuan 2012.
Prestasi Belajar
Di masa remaja, prestasi belajar dianggap sebagai titik kritis. Santrock 2007 menjelaskan bahwa tekanan sosial dan akademis memaksa remaja untuk
memegang berbagai peran yang sering kali melibatkan tanggung jawab yang lebih besar. Pada masa inilah, prestasi menjadi persoalan yang lebih serius dan remaja
mulai merasakan bahwa hidup sekarang bukan untuk bermain-main lagi. Mereka bahkan mulai memandang keberhasilan dan kegagalan saat ini sebagai prediktor
bagi keberhasilan dan kegagalan di masa depan ketika dewasa nanti. Seiring dengan meningkatnya tuntutan yang diterapkan pada remaja, berbagai bidang
kehidupan mereka mulai mengalami benturan satu sama lain. Minat sosial remaja dapat berkurang karena mereka harus mengerjakan tugas-tugas akademis.
Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia 2009 mendefinisikan prestasi sebagai hasil, kinerja, penampilan, atau performa. Prestasi yang dimaksud dalam
penelitian ini erat hubungannya dengan kegiatan belajar di sekolah, baik dalam bentuk prestasi akademik maupun non-akademik. Mengacu pada pengertian
belajar menurut aliran Piaget, Semiawan 2002b menjelaskan bahwa belajar adalah adaptasi yang holistik dan bermakna yang datang dari dalam diri seseorang
terhadap situasi baru, sehingga mengalami perubahan yang relatif permanen. Pendapat lain mengenai prestasi belajar dikemukakan oleh Dariyo 2013.
Menurutnya, prestasi belajar ialah hasil pencapaian yang diperoleh seorang pelajar siswa setelah mengikuti ujian dalam suatu pelajaran tertentu. Prestasi belajar
diwujudkan dalam laporan nilai yang tercantum dalam buku rapor atau kartu hasil studi KHS. Hasil laporan belajar ini diberikan setiap tengah semester, semester
atau setiap tahun.
Semiawan 2002b mengungkapkan bahwa prestasi belajar bukan saja dipengaruhi oleh kemampuan intelektual yang bersifat kognitif, tetapi juga oleh
faktor-faktor nonkognitif seperti emosi, motivasi, kepribadian, serta pengaruh lingkungan yang membimbing dan membentuk perkembangan anak. Santrock
2007 menjelaskan bahwa prestasi bagi remaja lebih besar pengaruhnya dibandingkan kemampuan intelektual mereka. Para siswa yang kurang cerdas
ternyata dapat memperlihatkan pola motivasi yang adaptif. Sebagai contoh, jika remaja tekun dalam tugas dan yakin terhadap kemampuannya untuk memecahkan
masalah, ia akan mampu meraih prestasi yang tinggi. Sebaliknya, beberapa siswa yang cerdas justru memiliki pola prestasi yang maladaptif, misalnya mudah
menyerah dan tidak yakin akan keterampilan akademisnya, sehingga memiliki prestasi yang biasa-biasa saja.
Hal itu terjadi karena di dalam berprestasi terdapat sejumlah proses motivasi yang terlibat di dalamnya. Santrock memaparkan dua macam motivasi, yaitu
motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik didasarkan pada
faktor-faktor internal seperti determinasi-diri, rasa ingin tahu, tantangan dan usaha. Sedangkan motivasi ekstrinsik melibatkan insentif eksternal seperti
penghargaan dan hukuman. Pendekatan humanistik dan kognitif menekankan pentingnya motivasi intrinsik dalam prestasi Oka 2005 dalam Santrock 2007.
Beberapa remaja bersedia belajar keras karena secara internal mereka termotivasi untuk mencapai standar yang tinggi dalam pekerjaan mereka motivasi intrinsik.
Sementara beberapa remaja lainnya bersedia belajar keras karena mereka ingin memperoleh nilai yang baik atau menghindari celaan dari orang tuanya.
Guru diharapkan dapat mendorong siswa agar memiliki motivasi intrinsik dan menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendukung keterlibatan kognitif
dan tanggung jawab diri siswa untuk belajar. Hal itu berarti, bukan hanya motivasi intrinsik yang harus dibangun dalam diri remaja. Sekolah
– dalam hal ini guru
– juga harus mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif dan memberikan apresiasi yang semestinya, sehingga para siswa terpacu untuk meraih
prestasi belajar yang lebih baik lagi. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa siswa yang berada di sekolah dengan hubungan interpersonal yang penuh
perhatian dan dukungan, mempunyai sikap dan nilai akademis yang lebih positif dan merasa lebih puas terhadap sekolah. Salah satu faktor penting dalam motivasi
dan prestasi siswa adalah persepsi mereka tentang hubungan positif mereka dengan para guru Santrock 2009.
Penelitian-penelitian Terdahulu
Berikut ini beberapa penelitian terdahulu terkait dengan aspek komunikasi keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap prestasi belajar dan kecerdasan
emosional remaja. 1.
Marzuki et al. 2015 meneliti tentang Emotional Intelligence: Its Relationship with Communication and Information Technology Skills
. Penelitian ini mencoba untuk menguji hubungan antara kecerdasan
emosional, keterampilan komunikasi, dan teknologi informasi di kalangan mahasiswa di Malaysia. Total responden yang dikirimi kuesioner berjumlah
4.000 orang dari 10 perguruan tinggi negeri di Malaysia dipilih secara acak. Namun demikian, kuesioner yang kembali hanya 3.250 orang. Dari jumlah
tersebut, 140 kuesioner dikeluarkan karena tidak memenuhi persyaratan. Jumlah akhir kuesioner yang dipakai adalah 3.101 terdiri dari 769 laki-laki,
2.290 perempuan, dan 42 tidak menyebutkan identitasnya secara spesifik. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa komponen komunikasi
interpersonal, komunikasi kelompok, dan berbicara di depan umum berhubungan nyata dengan kecerdasan emosional. Penelitian menemukan
hubungan antara kecerdasan emosional dan semua komponen komunikasi interpersonal yaitu motivasi, pengetahuan, dan keterampilan. Studi ini
menunjukkan pentingnya kecerdasan emosional dengan setiap aspek keterampilan komunikasi mahasiswa.
2. Palaniswamy dan Ponnuswami 2013 meneliti tentang Social Changes and
Peer Group Influence among the Adolescents Pursuing Under Graduation .
Penelitian yang dilakukan di India ini menguji konsep dampak perubahan sosial dan pengaruh teman sebaya selama masa remaja. Dari segi ekologi,
perkembangan remaja dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, teman sebaya,
sekolah, dan tempat kerja remaja. Peran dan hubungan dalam mikrosistem ini membentuk dasar interaksi sehari-hari antara remaja dan lingkungan sosial
yang, dari waktu ke waktu, membentuk perkembangan individu. Penelitian menunjukkan bahwa remaja menghabiskan waktu lebih sedikit dengan orang
tua mereka daripada yang yang mereka habiskan ketika masih anak-anak. Selain itu, 38 persen responden memiliki 1-5 teman dan 28 persen dari
mereka memiliki 6-8 teman. Hubungan teman sebaya memberikan konteks tidak hanya untuk akuisisi dan pemeliharaan persahabatan dan jaringan
pertemanan, tetapi juga untuk pengembangan keterampilan sosial, pemecahan masalah, dan empati. Studi ini menunjukkan bahwa 52 persen responden
memiliki hubungan yang intim dan 39 persen dari mereka memiliki hubungan yang sangat baik dengan teman-teman mereka. Penelitian ini juga
memperlihatkan bahwa sementara orang tua terus memberikan dukungan bagi remaja mereka selama usia ini, teman sebaya tampaknya justru menjadi
sumber utama dalam bersosialisasi.
3. Naghavi dan Redzuan 2012 meneliti tentang The Moderating Role of
Family Ecological Factors Family Size on the Relationship between Family Environment and Emotional Intelligence.
Hasilnya menunjukkan bahwa lingkungan keluarga memupuk kecerdasan emosional para remaja.
Selanjutnya, temuan menunjukkan bahwa ukuran keluarga memoderasi hubungan antara lingkungan keluarga dan kecerdasan emosional. Secara
khusus, remaja cenderung menunjukkan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dari lingkungan keluarga yang memiliki anggota lebih sedikit. Temuan
ini menggarisbawahi perlunya untuk fokus pada peran ukuran keluarga ketika menilai hubungan antara lingkungan keluarga dan kecerdasan emosional
remaja. Para peneliti telah menunjukkan bahwa dalam fungsi keluarga yang berhubungan dengan emosi remaja, selain keluarga dan karakter mereka,
ukuran keluarga juga sangat penting dalam kehidupan remaja.
4. Charoenthaweesub dan Hale 2011 meneliti tentang Thai Family
Communication Patterns: Parent-Adolescent Communication and the Well- Being of Thai Families
. Beberapa temuan dari penelitian ini yaitu: pertama, Kesenjangan Komunikasi Keluarga: 32.6 persen dari peserta remaja
melaporkan bahwa mereka memiliki kesenjangan komunikasi kecil dengan ayah mereka, 23.6 persen melaporkan celah kecil dengan ibu mereka.
Mayoritas remaja melaporkan bahwa tidak ada kesenjangan komunikasi dalam keluarga mereka. Dengan hormat kepada orang tua, sebagian besar
orang tua dilaporkan memiliki kesenjangan komunikasi dengan anak remaja mereka, sementara 34.6 persen orang tua melaporkan memiliki celah kecil.
Kedua, Kepuasan Komunikasi Keluarga: 51.6 persen orang tua melaporkan bahwa mereka cukup puas dengan komunikasi keluarga secara keseluruhan,
sementara 42.4 persen dilaporkan sangat puas, tidak puas 3.9 persen, dan 0.5 persen sangat tidak puas. Dan ketiga, topik yang paling sulit dibicarakan:
Mayoritas orang tua yang berpartisipasi melaporkan bahwa pendidikan yang lebih tinggi dan masa depan karier merupakan topik yang sulit untuk
didiskusikan. Mayoritas remaja yang berpartisipasi melaporkan bahwa topik yang paling sulit bagi mereka adalah hidup mereka, kebutuhan, keinginan,
dan masalah pribadi seperti hubungan dengan lawan jenis dan seksualitas.
5. Khajehpour 2011 mengenai Relationship between Emotional Intelligence,
Parental Involvement and Academic Performance of High School Students .
Studi ini memperlihatkan hubungan positif antara kecerdasan emosional, keterlibatan orang tua, dan kinerja akademik pada 300 siswa SMA di
Teheran, Iran. Para peserta berusia 15 hingga 18 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik kecerdasan emosional dan keterlibatan orang tua
bisa memprediksi prestasi akademik siswa SMA. Demikian pula, ada hubungan positif yang nyata antara kecerdasan emosional dan prestasi
akademik, dan antara keterlibatan orang tua dan prestasi akademik. Harus diakui bahwa penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Meskipun
demikian, temuan studi ini telah menyediakan kebutuhan lebih lanjut tentang cara memperbaiki nilai akademis siswa. Secara khusus, studi ini telah
menunjukkan bahwa perhatian orang tua dan kesejahteraan emosional tidak dapat lebih ditekankan pada keberhasilan akademis. Temuan ini memiliki
beberapa implikasi. Pertama, hubungan interpersonal orang tua dan kepentingan langsung pada akademisi anak-anak mereka bisa membawa
prestasi akademik yang lebih baik. Dengan demikian, upaya harus dilakukan oleh orang tua untuk meningkatkan akademis anak. Kedua, baik di rumah dan
di sekolah perlu ada kerja sama dalam membuat peserta didik menyesuaikan diri dengan baik secara emosional karena hal ini dapat meningkatkan prestasi
akademik siswa.
6. Mahmud et al. 2011 mengenai Family Communication, Sibling Position
and Adolescents’ Sense of Responsibility ini menguji hubungan posisi saudara dan komunikasi keluarga dengan rasa tanggung jawab di antara 903 remaja
Malaysia. Rasa tanggung jawab yang ditemukan berhubungan dengan komunikasi keluarga tetapi tidak untuk posisi saudara. Wawancara
mengungkapkan bahwa anak yang lahir di tengah dapat bertanggung jawab ketika mereka diberi tanggung jawab. Studi ini menunjukkan partisipasi
orang dewasa dalam mendorong orang muda untuk menanamkan rasa tanggung jawab. Penelitian ini menyimpulkan bahwa remaja Malaysia
memiliki rasa tanggung jawab yang baik. Mereka mampu mendefinisikan tanggung jawab yang berbeda dan posisi saudara mereka tidak memengaruhi
rasa tanggung jawab mereka. Penelitian ini juga menegaskan bahwa komunikasi keluarga merupakan elemen penting dalam menanamkan rasa
tanggung jawab di kalangan remaja. Penelitian ini menunjukkan bahwa sekolah memiliki keterkaitan dalam pembangunan keluarga dan masyarakat,
yaitu dengan mengembangkan program-program khusus yang dapat membantu orang tua meningkatkan hubungan dan menciptakan komunikasi
yang lebih baik dengan anak-anak mereka, sehingga anak-anak menjadi orang yang lebih bertanggung jawab.
7. Coll et al. 2010 mengenai Family Functioning and the Development of
Trust and Intimacy Among Adolescents in Residential Treatment.
Dalam penelitian ini remaja yang melaporkan keterlibatan keluarga tingkat rendah
menggambarkan keluarga mereka yang kaku atau tidak fleksibel. Keterlibatan keluarga dan fleksibilitas secara nyata terkait dengan fungsi psikososial
sehubungan dengan kepercayaan dan keintiman. Studi ini juga menunjukkan bahwa remaja yang secara emosional memiliki hubungan emosi yang jauh
dan negatif, serta pola komunikasi yang membingungkan, menampilkan perasaan cemas, kemarahan, dan konflik antaranggota keluarga.
8. Bester 2007 mengenai Personality Development of The Adolescent: Peer
Group versus Parents , hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kelompok
teman sebaya bila dibandingkan dengan orang tua, memiliki hubungan yang lebih kuat dengan perkembangan kepribadian remaja. Hubungan yang kuat
ini lebih menonjol pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Dalam penelitian ini, gender tidak memainkan peran.
9. Mesch GS dan Talmud I 2006 meneliti tentang Online Friendship
Formation, Communication Channels, and Social Closeness . Penelitian yang
dilakukan di Israel ini melibatkan 987 remaja dengan rata-rata usia 15,49 tahun. Tujuan penelitian ini adalah menyelidiki sifat hubungan sosial online.
Hasil temuan menunjukkan bahwa remaja saat ini menggunakan internet untuk tujuan komunikasi, hanya persentase yang relatif kecil dari mereka
yang melaporkan bahwa mereka bertemu teman pertama melalui internet. Remaja melaporkan tingkat konflik yang lebih tinggi dengan orang tua
mereka dan kurang kedekatan dengan teman-teman yang bertemu muka dengan mereka. Temuan yang paling menonjol dari analisis ini adalah efek
positif dari konflik remaja-orang tua pada kemungkinan membuat teman online
. Remaja yang melaporkan konflik tingkat tinggi dengan orang tua mereka kemungkinan lebih tinggi juga pembentukan persahabatan online-
nya.Temuan ini juga menyoroti pentingnya mencapai keintiman dalam hubungan interpersonal sebagai prasyarat untuk pembentukan ikatan yang
kuat. Keintiman diperlukan untuk membangun kepercayaan dan timbal balik dalam setiap hubungan dekat. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
hubungan tatap muka lebih kuat daripada hubungan online. Hal ini berarti melalui interaksi tatap muka remaja mencapai keintiman dalam hubungan
interpersonal mereka.
10. Puspitawati 2006 mengenai Pengaruh Faktor Keluarga, Lingkungan Teman
dan Sekolah Terhadap Kenakalan Pelajar di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTA di Kota Bogor memperlihatkan bahwa remaja yang mempunyai
keterikatan tinggi dengan teman berpeluang untuk melakukan kenakalan kriminal 1,157 kali lebih besar dibandingkan remaja yang mempunyai
keterikatan yang rendah dengan teman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku agresif dan kenakalan remaja yang tinggi dipengaruhi secara
langsung oleh komunikasi yang rendah antara orang tua dan remaja, dan keterikatan teman yang tinggi. Perilaku kenakalan remaja juga berpengaruh
negatif terhadap pencapaian nilai-nilai di sekolah. Penelitian ini menemukan bahwa komunikasi orang tua dan anak menentukan pola hubungan antara
orang tua dengan remaja, sehingga dapat memengaruhi orientasi remaja secara subyektif dengan teman-temannya. Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa komunikasi antara orang tua dan anak dapat dijadikan buffer atau penyaring terhadap pengaruh lingkungan luar yang tidak terhindarkan.
Dengan kata lain, pengaruh orang tua
yang positif dapat dijadikan „rem‟ oleh remaja agar terhindar dari pengaruh teman yang mengarah kepada perilaku
antisosial. 11.
Setyowati 2005 meneliti hubungan pola komunikasi keluarga dengan perkembangan emosi anak. Penelitian studi kasus pada keluarga berlatar
budaya Jawa yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif ini menyimpulkan bahwa penerapan pola komunikasi keluarga sebagai bentuk interaksi antara
orang tua dengan anak maupun antaranggota keluarga memiliki implikasi terhadap perkembangan emosi anak. Penelitian ini memperlihatkan bahwa
pola komunikasi yang demokratis dan interaktif secara kultural akan menentukan keberhasilan proses sosialisasi pada anak. Di dalam proses ini
akan terjadi transfer nilai-nilai yang positif dari orang tua kepada anak, yang pada gilirannya memberikan pengaruh yang positif bagi pembentukan dan
perkembangan emosi anak. Nilai-nilai budaya Jawa yang mendukung perkembangan emosi yang positif bagi anak antara lain adalah: sikap hormat
kepada orang tua, tata krama atau sopan-santun, kesabaran dalam menyelesaikan berbagai masalah, serta toleransi yang menjadi dasar
terbentuknya sikap empati pada anak. Dengan demikian, anak-anak akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang cerdas, baik secara intelektual
maupun emosional, yang akan menjadi dasar bagi kecerdasan yang lain, yaitu kecerdasan sosial, moral, dan spiritual.
12. Lukiati et al. 2005 mengenai Pola Komunikasi Keluarga di Desa Manis
Kidul Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, dengan metode deskriptif menemukan bahwa keterpaduan bapakibu dan anak dapat dilihat dari adanya
keterkaitan emosi, penghargaan individu dan adanya kesepakatan dalam pengambilan keputusan. Adaptasi bapak, ibu, dan anak juga dapat dilihat dari
adanya konsistensi, dialogis dan penerapan peraturan serta bersedia menerima kritik dan saran.
13. Fujioka dan Austin 2002 meneliti tentang The Relationship of Family
Communication Patterns to Parental Mediation Styles.
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara pola komunikasi keluarga dan gaya
mediasi orang tua. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa gaya komunikasi dan efek media berhubungan dengan fungsi bagaimana orang tua
menerjemahkannya ke dalam strategi diskusi mengenai pesan-pesan media. Untuk menyelidiki hubungan antara norma-norma komunikasi keluarga dan
televisi-spesifik perilaku, diuji hubungan antara hipotesis konstruksi pola komunikasi keluarga dan strategi mediasi orang tua, coviewing, dan
penggunaan sistem peringkat televisi. Seperti hipotesis, orientasi konsep sering digunakan orang tua untuk berdiskusi masalah-masalah yang lebih
umum. Sedangkan orientasi sosial sering digunakan untuk mediasi positif dan coviewing
. Orang tua yang menggunakan pola komunikasi berorientasi sosial melaporkan lebih sering menggunakan sistem peringkat TV dalam
menyeleksi program TV untuk anak. 14.
Kelly et al. 2002 meneliti tentang Family Communication Patterns and the
Development of Reticence.
Hasil studi menunjukkan bahwa keluarga yang rendah pada orientasi percakapan memiliki komunikasi yang kurang antara
orang tua dan anak tentang pikiran, kejadian setiap hari, serta rencana dan harapan untuk masa depan. Orang tua dalam keluarga tersebut kurang terbuka
tentang emosi mereka dan cenderung mendorong anak-anak mereka untuk mengekspresikan sendiri perasaan mereka.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perkembangan remaja dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tempat
kerja remaja. Peran dan hubungan dalam mikrosistem ini membentuk interaksi
sehari-hari antara remaja dan lingkungan sosialnya Palaniswamy dan Ponnuswami 2013. Penelitian Charoenthaweesub dan Hale 2011 menemukan
adanya kesenjangan komunikasi di keluarga Thailand. Persentasenya cukup tinggi, yaitu 32.6 persen remaja melaporkan bahwa mereka memiliki kesenjangan
komunikasi kecil dengan ayah mereka dan 23.6 persen melaporkan celah kecil dengan ibu mereka. Penelitian Mahmud et al. 2011 menyimpulkan bahwa
komunikasi keluarga merupakan elemen penting dalam menanamkan rasa tanggung jawab di kalangan remaja.
Penelitian Fujioka dan Austin 2002 menunjukkan bahwa gaya komunikasi dan efek media berhubungan dengan fungsi bagaimana orang tua menerjemahkan
pesan-pesan media ke dalam strategi diskusi. Penelitian lain yang juga berhubungan dengan media menunjukkan bahwa remaja sekarang banyak
menggunakan internet untuk tujuan komunikasi Mesch GS dan Talmud I 2006.
Studi yang dilakukan oleh Coll et al. 2010 membuktikan bahwa remaja yang memiliki hubungan emosi jauh dan negatif, serta pola komunikasi yang
membingungkan, menampilkan perasaan cemas, kemarahan, dan konflik antaranggota keluarga. Temuan ini menguatkan penelitian Naghavi dan Redzuan
2012 bahwa lingkungan keluarga dapat memupuk kecerdasan emosional para remaja. Ukuran keluarga memoderasi hubungan antara lingkungan keluarga dan
kecerdasan emosional remaja. Remaja cenderung menunjukkan kecerdasan emosional yang lebih tinggi dari lingkungan keluarga yang memiliki anggota
jumlah anak lebih sedikit. Penelitian Marzuki et al. 2015 juga menemukan hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dengan komponen
komunikasi interpersonal, yaitu motivasi, pengetahuan, dan keterampilan.
Selain itu, terdapat hubungan positif yang nyata antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik, serta antara keterlibatan orang tua dan prestasi
akademik Khajehpour 2011. Penelitian Setyowati 2005 pada keluarga berlatar budaya Jawa menyimpulkan bahwa penerapan pola komunikasi keluarga sebagai
bentuk interaksi antara orang tua dengan anak maupun antaranggota keluarga memiliki implikasi terhadap perkembangan emosi anak.
Hasil penelitian Bester 2007 menunjukkan bahwa kelompok teman sebaya bila dibandingkan dengan orang tua, memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap
perkembangan kepribadian remaja. Hubungan yang kuat ini lebih menonjol pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Penelitian Bester sejalan dengan
Puspitawati 2006 yang menemukan bahwa remaja mempunyai keterikatan tinggi dengan teman sebanyanya. Hasil penelitian Puspitawati juga menunjukkan bahwa
perilaku agresif dan kenakalan remaja yang tinggi dipengaruhi secara langsung oleh komunikasi yang rendah antara orang tua dan remaja, dan keterikatan teman
yang tinggi.
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir
Penelitian ini didasari fakta bahwa remaja adalah generasi penerus bangsa. Di tangan generasi muda masa depan bangsa dan negara Indonesia dipertaruhkan.
Remaja yang menjadi harapan bangsa adalah yang memiliki kemampuan intelektual IQ memadai disertai kemampuan emosional EI yang baik. Di masa
remaja, seseorang mencari identitas dirinya, menggali tujuan hidupnya, dan menetapkan cita-citanya. Gunarsa dan Gunarsa 1990 mengungkapkan bahwa
ada dua faktor dominan yang memengaruhi proses tumbuh kembang remaja sebagai individu. Pertama adalah faktor khusus endogen yang terjadi pada
individu, yang meliputi segala kecenderungan dan kemampuan yang berkembang di kemudian hari seperti karakteristik individu dan IQ. Faktor endogen ini sudah
ada sejak seorang manusia dilahirkan. Kedua adalah faktor yang berasal dari luar individu faktor eksogeneksternal yang meliputi lingkungan keluarga, sosial,
sekolah dan geografis, juga fasilitas yang tersedia seperti makanan dan kesempatan belajar. Dalam hal ini, kecerdasan emosi lebih banyak dibentuk oleh
lingkungan luar.
Di antara faktor-faktor tersebut, keluarga orang tua memainkan peran paling penting dalam proses pembentukan remaja menjadi seseorang yang
memiliki keseimbangan antara prestasi akademik, kecerdasan emosional, dan spiritual. Untuk membangun SDM berkualitas, lingkungan keluarga merupakan
media pertama dan utama yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku anak Bronfenbrenner 1994; Semiawan 2002a.
Lingkungan keluarga yang kondusif salah satunya ditandai dengan komunikasi yang harmonis. Di samping keluarga, sekolah dan teman sebaya juga memiliki
pengaruh yang kuat dalam kehidupan remaja. Teman sebaya dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap remaja. Namun demikian, komunikasi
keluarga yang harmonis dapat menangkal remaja dari pengaruh negatif teman sebaya.
Pendekatan teoritis yang melatarbelakangi studi ini adalah teori struktural fungsional, yang menyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat
Puspitawati 2006. Teori struktural fungsional juga menyangkut teori sistem yang menjelaskan adanya komponen-komponen yang saling bergantung antara
satu dengan yang lain Klein dan White 1996. Apabila keluarga mempunyai struktur yang kokoh dan menjalankan semua fungsinya dengan optimal, maka
akan menghasilkan keluaran yang baik bagi seluruh anggota keluarganya Puspitawati 2006. Di era globalisasi ini, teknologi informasi dan komunikasi
ikut berperan dalam membentuk jati diri remaja. Keterlibatan remaja dalam komunikasi di media sosial dapat memberikan pengaruh yang positif maupun
negatif terhadap perkembangan dirinya. Oleh karena itu, dibutuhkan komunikasi dan interaksi yang positif antara remaja-orang tua dan sebaliknya orang tua-
remaja agar dapat meminimalkan pengaruh negatif yang berasal dari luar. Komunikasi keluarga berperan penting dalam menjembatani hubungan antar-
anggota keluarga agar berlangsung harmonis.
Berlandaskan pemaparan di atas, disusun kerangka konseptual sebagai berikut Gambar 3.
Berdasarkan kerangka konseptual tersebut, disusun peubah bebas yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu: 1 Karakteristik remaja, 2 Karakteristik
keluarga, 3 Karakteristik guru, dan 4 Karakteristik teman sebaya. Peubah terikat pertama yang diteliti adalah: 1 Pola komunikasi remaja dengan keluarga,
2 Pola komunikasi remaja dengan sekolah, dan 3 Pola komunikasi remaja dengan teman sebaya. Peubah terikat kedua, yaitu: 1 Kecerdasan emosional, dan
2 Prestasi belajar. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini kerangka operasional pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap
kecerdasan emosional dan prestasi belajar.
PPol
Gambar 4 Kerangka operasional pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap kecerdasan emosional dan prestasi
belajar pada siswa SMA di Kota Bogor
Karakteristik Remaja X1:
X1.1 Jenis kelamin X1.2 Usia
X1.3 Urutan
kelahiran X1.4 Uang saku
Karakteristik Keluarga X2:
X2.1 Umur orang tua X2.2 Pendidikan
orang tua X2.3 Pekerjaan orang
tua X2.4 Pendapatan
orang tua X2.5.Suku orang tua
X2.6 Jumlah anak
Karakteristik Guru X3:
X3.1 Umur X3.2 Jenis kelamin
X3.3 Pendidikan X3.4 Mata pelajaran
yang diampu
Karakteristik Teman Sebaya X4:
X4.1 Jenis kelamin X4.2 Umur
POLA KOMUNIKASI REMAJA
Kecerdasan Emosional
Remaja Y4: Y4.1 Mengenali
emosi diri Y4.2 Mengelola
emosi Y4.3 Kemampuan
memotivasi diri
Y4.4 Kemampuan empati
Y4.5 Kemampuan membina
hubungan
Prestasi Belajar Y5:
Y5.1 Prestasi
akademik Y5.2 Prestasi
non- akademik
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan asumsi pada kerangka pemikiran di atas, maka penelitian ini diarahkan untuk melihat tiga peubah terikat Y1, Y2, dan Y3, yaitu pola
komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya terhadap dua peubah terikat lainnya Y4 dan Y5, yakni kecerdasan emosional dan prestasi
belajar.
Hipotesis umum yang diajukan pada penelitian ini sebagai berikut: • H1: Terdapat pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah,
dan teman sebaya yang nyata terhadap kecerdasan emosional dan prestasi belajar siswa di 6 SMA di Kota Bogor.
Di samping menguji hipotesis umum di atas, penelitian ini juga menguji
beberapa hipotesis khusus sebagai berikut: • H2: Terdapat hubungan nyata antara karakteristik remaja dan karakteristik
keluarga dengan pola komunikasi remaja-ayah dan pola komunikasi remaja- ibu.
• H3: Terdapat pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya yang nyata terhadap kecerdasan emosional.
• H4: Terdapat pengaruh pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya yang nyata terhadap prestasi belajar.
• H5: Terdapat pengaruh nyata antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar.
• H6: Terdapat perbedaan nyata antara pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya.
3 METODE
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode campuran mixed method, yaitu menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif
menggunakan metode survei dengan desain penelitian cross sectional study penelitian yang dilakukan pada satu waktu tertentu dan satu kali. Untuk
mencapai tujuan itu, penelitian dirancang bersifat menerangkan explanatory research
. Menurut Babbie 2004 explanatory research adalah penelitian survei yang bertujuan menjelaskan pengaruh dan hubungan antarpeubah melalui
pengujian hipotesis. Metode survei digunakan untuk pengumpulan data dari seluruh anggota
populasi. Ciri khas pengumpulan data melalui survei adalah data dikumpulkan dari sejumlah responden dengan menggunakan kuesioner. Keuntungan utama
metode survei adalah dimungkinkannya membuat generalisasi untuk populasi berdasarkan analisis terhadap sampel yang berasal dari populasi tersebut. Selain
itu, metode survei tidak memerlukan kelompok kontrol seperti halnya pada metode eksperimen Siregar 2010.
Di samping pendekatan kuantitatif, juga digunakan pendekatan kualitatif untuk menggali informasi-informasi penting yang tidak terlihat pada pengukuran
kuantitatif. Sehubungan dengan itu digunakan metode focus group discussion FGD. Menurut Baxter dan Babbie Turner dan West 2006, wawancara kualitatif
paling utama digunakan untuk lima tujuan spesifik. Pertama, peneliti kualitatif menggunakan wawancara untuk mengerti fenomena komunikatif yang tidak bisa
diteliti secara langsung. Kedua, satu wawancara dapat menolong jika peneliti ingin memahami pikiran dan perasaan dari orang yang diwawancara berdasarkan
satu subyek tertentu atau pengalaman. Ketiga, peneliti kualitatif dapat menggunakan wawancara untuk mengetahui bagaimana seorang partisipan
menggunakan bahasa di lingkungan sekitarnya. Keempat, wawancara dapat digunakan sebagai satu elemen dari triangulasi. Dengan kata lain, wawancara
dapat digunakan sebagai validasi dari perilaku yang telah diteliti atau sebagai suplemen bagi wawancara sebelumnya. Terakhir, wawancara kualitatif dapat
mempertimbangkan suatu pertunjukan yang memberikan contoh gaya komunikatif orang yang diwawancarai.
Kelebihan menggunakan metode campuran dibandingkan memilih salah satu metode, antara lain adalah dapat menerapkan teori secara deduktif ataupun
induktif Creswell 2010. Di samping itu, metode campuran kombinasi dapat menutupi kekurangan yang ada pada pengukuran kuantitatif dan kualitatif
Sugiyono 2013. Dengan menggunakan metode ini, diperoleh data yang lebih luas, mendalam, akurat, lengkap, dan bermakna. Namun demikian, metode
campuran juga memiliki kelemahan. Sugiyono 2013 menyebutkan kelemahan metode campuran adalah penelitian menjadi lebih sulit dan sering memerlukan
waktu, biaya, dan tenaga yang lebih lama.
Strategi yang cukup populer dalam penelitian metode campuran dan sering kali digunakan oleh para peneliti yang lebih condong pada proses kuantitatif
adalah strategi eksplanatoris sekuensial. Strategi ini diterapkan dengan pengumpulan dan analisis data kuantitatif pada tahap pertama, diikuti oleh
pengumpulan dan analisis data kualitatif pada tahap kedua yang dibangun berdasarkan hasil awal kuantitatif. Bobotprioritas lebih diberikan pada data
kuantitatif. Dua jenis data ini terpisah, namun tetap berhubungan Creswell 2010.
Penelitian juga dilengkapi uji validitas konstruk dengan menggunakan Structural Equation Modeling
SEM, juga disebut a covariance structure model. Metode ini digunakan untuk menguji model-model empiris sekaligus menjelaskan
varian dan korelasi antara suatu set peubah-peubah yang diobservasi observed dalam suatu sistem kausal sebab akibat dari faktor-faktor yang tidak diobservasi
unobserved. Dengan demikian pengukuran model menspesifikasikan seberapa jauh peubah-peubah yang diobservasi berhubungan dengan suatu set faktor-faktor
yang dihipotesiskan. Software yang digunakan adalah Program LISREL atau Linear Structural Relationships
Puspitawati 2006. Analisis SEM diperlukan untuk mengkaji pengaruh baik secara langsung
maupun tidak langsung dari peubah-peubah laten endogenous maupun exogenous. SEM juga dapat diartikan sebagai Path Analysis yang merupakan suatu teknik
ordinary least square yang digunakan untuk mengetahui model-model kausal
berdasarkan riset terdahulu dan juga pertimbangan teoritis. Peubah exogenous adalah peubah yang variabilitasnya diasumsikan dipengaruhi oleh peubah di luar
model kausal, sedangkan peubah endogenous adalah peubah yang variabilitasnya diasumsikan dipengaruhi oleh peubah exogenous dan peubah-peubah di dalam
sistem Pedhazur 1982 yang dikutip oleh Puspitawati 2006.
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di enam SMA yang tergolong SMA favorit di Kota Bogor, yaitu empat SMA negeri dan dua SMA swasta, terdiri dari SMAN A,
SMAN B, SMAN C, SMAN D, SMA EF, dan SMA GH. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan berdasarkan masukan dari Dinas Pendidikan Kota Bogor.
Keenam SMA dikatakan favorit karena beberapa alasan. Pertama, sekolah tersebut termasuk sekolah yang memiliki prestasi akademik dan non-akademik
tinggi. Kedua, jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut dari tahun ke tahun termasuk tinggi atau melebihi jumlah kelas yang disediakan.
Waktu pelaksanaan penelitian mulai dari mengurus surat perizinan ke Dinas Pendidikan Kota Bogor, penjajakan ke lokasi penelitian dan uji coba kuesioner,
penyempurnaan kuesioner, sampai dengan tahap pengumpulan data primer dan data sekunder, serta pelaksanaan FGD berlangsung selama enam bulan, yaitu dari
bulan Februari sampai Juli 2014.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyeksubyek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya Sugiyono 2012. Populasi yang
dimaksud pada penelitian ini adalah siswa kelas 2 SMA di Kota Bogor. Selanjutnya dipilih 6 SMA, yaitu 4 SMA negeri dan 2 SMA swasta favorit yang
banyak diminati. Bogor dipilih karena merupakan kota penyangga yang lokasinya berdekatan dengan Ibu Kota Jakarta, sehingga budaya metropolitan
dengan mudah masuk ke kota ini. Di samping itu, remaja yang tinggal di wilayah
perkotaan pada umumnya lebih mudah terpengaruh oleh budaya metropolitan dibanding remaja yang tinggal di wilayah kabupaten perdesaan. Berdasarkan
data yang diperoleh dari Dinas Pendidikan Kota Bogor, jumlah populasi siswa SMA kelas 2 di Kota Bogor yang terdaftar pada tahun ajaran 2013
– 2014 adalah 4.915 orang.
Prosedur Penarikan Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi Sugiyono 2012. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan
dengan metode gugus bertahap. Effendi dan Tukiran 2012 menjelaskan bahwa pengambilan sampel gugus bertahap dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Satu
populasi dapat dibagi-bagi dalam gugus tingkat pertama, kemudian gugus-gugus tingkat pertama ini dapat pula dibagi dalam gugus-gugus tingkat kedua, dan gugus
tingkat kedua masih dapat pula dibagi dalam gugus-gugus tingkat yang lebih lanjut.
Jumlah responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan besarnya populasi dengan tingkat kesalahan tertentu. Dalam hal ini
tingkat kesalahan yang dipilih adalah 5 persen. Jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin Sevilla et al. 1993 dengan
formulasi sebagai berikut:
n = {N[1 + Ne
2
]}
Keterangan: n = ukuran sampel
N = ukuran populasi e
2
= nilai kritis sebesar 5 persen Berdasarkan rumus Slovin, diperoleh angka sampel sebagai berikut:
n = {4.915[1 + 4.915 0,05
2
n = {4.9151 + 12,29} n = 4.91513,29
n = 369,8 atau dibulatkan menjadi 370 orang. Dengan menggunakan rumus Slovin, diperoleh jumlah sampel sebanyak
370 siswa. Namun demikian, dalam penelitian ini sampel yang diperoleh berjumlah 372 siswa. Seluruh siswa yang menjadi responden dalam penelitian ini
berasal dari keluarga utuh, yaitu keluarga yang memiliki orang tua lengkap ayah dan ibu. Pemilihan sampel pada keluarga utuh didasari pertimbangan bahwa
keluarga utuh memiliki hubungan intim yang lebih baik daripada keluarga tidak utuh. Di samping itu, orang tua pada keluarga utuh biasanya memiliki pengaruh
yang lebih kuat dalam sikap berkomunikasi dibandingkan keluarga tidak utuh Koerner Fitzpatrick 2004.
Secara operasional, penentuan jumlah sampel di masing-masing sekolah ditentukan sebanyak 1 kelas IPA dan 1 kelas IPS. Hal ini dilakukan agar data
yang diperoleh lebih beragam mengingat ada perbedaan karakteristik pada siswa IPA dan IPS. Pemilihan kelas 2 yang mewakili sekolah dipilih secara acak oleh
guru dan selanjutnya seluruh siswa di kelas tersebut baik laki-laki dan perempuan secara otomatis menjadi responden untuk mengisi kuesioner yang telah disiapkan.
Usia sampel berkisar 15 hingga 18 tahun.
Data dan Instrumentasi
Data Data merupakan kumpulan angkahuruf yang berasal dari hasil penelitian
terhadap sifatkarakteristik yang diteliti Hastono 2006. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, yang dilakukan
dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Supranto 2004 menyatakan bahwa data kuantitatif merupakan data yang berbentuk angka-angka,
sehingga gejala-gejala dalam penelitian diukur dengan skala-skala dan dianalisis menggunakan metode statistik. Data kuantitatif diperoleh dalam bentuk mentah
dari kuesioner.
Data primer adalah data yang didapat langsung dari responden dan hasil observasi di lapangan. Data ini dikumpulkan melalui kuesioner yang dibagikan
dan diisikan langsung oleh responden. Sedangkan data sekunder merupakan data pelengkap yang diperoleh dari manajemen sekolah.
Penelitian ini mengambil dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer terdiri dari:
a Karakteristik remaja siswa SMA meliputi: umur, jenis kelamin, urutan
kelahiran, dan uang saku b
Karakteristik orang tua meliputi: umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, suku, dan jumlah anak
c Karakteristik guru meliputi: umur, jenis kelamin, pendidikan, mata
pelajaran yang diampu d
Karakteristik teman meliputi: umur dan jenis kelamin teman. e
Pola komunikasi remaja dengan keluarga f
Pola komunikasi remaja dengan sekolah g
Pola komunikasi remaja dengan teman sebaya h
Kecerdasan emosional i
Prestasi belajar Data primer dikumpulkan dari siswa kelas 2 di 6 SMA di Kota Bogor,
sedangkan data sekunder berupa profil siswa dan guru didapat dari pihak sekolah. Instrumentasi
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk memperoleh, mengolah, dan menginterpretasikan informasi yang diperoleh dari
responden yang dilakukan dengan menggunakan pola ukur yang sama. Suatu instrumen penelitian dikatakan baik paling tidak harus memenuhi lima kriteria,
yaitu validitas, reliabilitas, sensitivitas, obyektivitas, dan fisibilitas Siregar 2010. Instrumen harus memenuhi persyaratan akademis sehingga dapat digunakan untuk
mengukur suatu obyek ukur atau mengumpulkan data mengenai suatu peubah
Muljono 2012. Dalam penelitian sosial, instrumen yang digunakan berupa kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan terstruktur yang disusun atas dasar
peubah-peubah penelitian yang telah ditetapkan sebelumnya. Setiap peubah terdiri dari beberapa indikator, masing-masing dikonstruks menjadi parameter sebagai
alat ukur Kerlinger 2006.
Sehubungan dengan itu, instrumen penelitian ini dikelompokkan menjadi 9 bagian. Pertama, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik
remaja. Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik orang tua. Ketiga, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik guru.
Keempat, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik teman. Kelima, pertanyaan-pertanyaan tentang peubah pola komunikasi remaja dengan
keluarga. Keenam, pertanyaan-pertanyaan tentang peubah pola komunikasi remaja dengan sekolah. Ketujuh, pertanyaan-pertanyaan tentang peubah pola
komunikasi remaja dengan teman sebaya. Kedelapan, pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan peubah kecerdasan emosional remaja. Kesembilan,
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan peubah prestasi belajar.
Instrumen pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya dibuat dan dikembangkan berdasarkan konsep Revised Family
Communication Pattern RFCP Ritchie Fitzpatrick 1990. Instrumen lain
yaitu kecerdasan emosional dikeluarkan oleh Goleman 1997, merupakan instrumen yang sudah distandarisasi dan sering digunakan dalam penelitian.
Namun demikian, butir-butir pertanyaan dalam instrumen tersebut dimodifikasi sesuai kebutuhan penelitian kronologis instrumen pola komunikasi remaja,
kecerdasan emosional, dan prestasi belajar dapat dilihat pada Lampiran 5.
Peubah, Definisi Operasional dan Pengukurannya Peubah Penelitian
Tujuan pengukuran peubah pada intinya adalah untuk mengetahui dan menjelaskan hubungan antarkonsep dan realitas sebagai pengujian atas hipotesis
penelitian. Model hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini terdiri dari beberapa bentuk hubungan antarpeubah, yaitu peubah bebas independen
variable
dan peubah terikat dependen variable. Peubah bebas yang akan diuji terdiri dari karakteristik remaja X1, karakteristik orang tua X2, karakteristik
guru X3, dan karakteristik teman sebaya X4. Peubah terikat terdiri dari pola komunikasi remaja dengan keluarga Y1, pola komunikasi remaja dengan
sekolah Y2, pola komunikasi remaja dengan teman sebaya Y3, kecerdasan emosional Y4, dan prestasi belajar Y5.
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah
Definisi operasional merupakan unsur penelitian yang digunakan untuk mengukur indikator dan parameter dari peubah penelitian. Agar peubah-peubah
penelitian yang diteliti mudah dipahami dan memiliki makna yang sesuai dengan tujuan penelitian, perlu dilakukan konseptualisasi atau diberi ketepatan makna
sehingga tidak terjadi ambigu atau asosiasi yang berbeda-beda Sevilla et al. 1993; Yunita 2011. Selanjutnya agar konsep tersebut dapat diukur maka
diberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat operasional. Kerlinger 2006
menyebutnya sebagai measured operational definition definisi operasional yang dapat diukur.
Definisi operasional dan pengukuran terhadap setiap peubah yang digunakan dalam rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Karakteristik remaja adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari aspek sosial dan
psikologi yang melekat pada diri remaja, seperti jenis kelamin, umur, urutan kelahiran, dan uang saku. Adapun definisi operasional dari masing-masing
indikator karakteristik remaja X1 sebagai berikut: a
Jenis kelamin adalah identitas responden sesuai perkembangan biologis atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki-laki dan perempuan, menggunakan
skala nominal. b
Umur adalah usia responden yang dihitung sejak lahir sampai ke tahun terdekat pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan dalam satuan
tahun dan menggunakan skala rasio. c
Urutan kelahiran adalah urutan anak atau peringkat seseorang berdasarkan usia di antara saudara-saudara sekandungnya di mana umur
tertinggi sebagai anak pertama dan umur terendah sebagai anak terakhir. Dinyatakan dengan angka berdasarkan urutan kelahiran, menggunakan
skala rasio.
d Uang saku adalah jumlah uang yang diterima seorang anak dari orang
tuanya untuk memenuhi kebutuhan di sekolah. Dinyatakan dalam Rupiah, menggunakan skala interval.
Parameter dan pengukuran setiap indikator karakteristik remaja X1 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah karakteristik remaja X1
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran Kategori Pengukuran
Jenis kelamin X
1.1
Identitas responden sesuai biologis atau
fisiknya. Dinyatakan dengan
laki-laki atau perempuan.
1. Laki-laki 2. Perempuan
Umur X
1.2
Lama masa kehidupan seseorang
sejak tahun kelahiran dan dibulatkan
hingga penelitian dilakukan.
Dihitung sejak lahir hingga tahun terdekat
saat penelitian dilakukan, dinyatakan
dalam tahun. 1. 15 tahun
2. 16 tahun 3. 17 tahun
4. 18 tahun
Urutan kelahiran
X
1.3
Urutan anak saat dilahirkan di antara
saudara-saudara sekandungnya.
Diukur berdasarkan urutan kelahiran anak
1,2,3,4, dan seterusnya. Anak ke:
1. 2.
3.
Uang saku X
1.4
Jumlah uang yang diterima anak dari
orang tuanya. Dihitung per bulan 30
hari dan dinyatakan dalam rupiah.
1. ≤ 300 000 2. 301 000 - 500 000
3. 501 000 - 750 000 4.
751 000 - 1 000 000
5. 1 000 000
2. Karakteristik orang tua adalah adalah ciri-ciri dari aspek sosial dan ekonomi
yang melekat pada suami isteri, seperti umur, pendidikan, pekerjaan pendapatan, suku, dan jumlah anak. Definisi operasional dari masing-masing
indikator karakteristik orang tua X2 sebagai berikut: a
Umur adalah lama masa kehidupan seseorang yang dihitung sejak lahir sampai ke tahun terdekat pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan
dalam satuan tahun, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan menjadi tiga kategori.
b Pendidikan adalah jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh, mulai
dari sekolah dasar hingga pendidikan terakhir pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan sesuai jenjang pendidikan formal mulai dari SD,
SMP, SMA, Diploma, Sarjana, dan Pascasarjana, menggunakan skala rasio.
c Pekerjaan adalah jenis aktivitas yang menghasilkan uangpendapatan dan
digunakan untuk membiayai hidup. Dinyatakan berdasarkan profesi yang digeluti seperti PNS, gurudosen, dokter, TNI, karyawan swasta,
pengacara, wirausaha, dan lain-lain, menggunakan skala nominal.
d Pendapatan adalah jumlah uang yang diterima suatu keluarga dalam
sebulan baik yang dihasilkan dari pekerjaan tetap maupun usaha lain- lain. Dinyatakan dalam Rupiah, menggunakan skala interval.
e Suku adalah identitas budaya yang ditentukan berdasarkan daerah asal
keluarga. Dinyatakan berdasarkan daerah asal nenek moyang seperti Ambon, Batak, Betawi, Dayak, Jawa, Makasar, Menado, Minang, Papua,
Sunda, dan lain-lain, menggunakan skala nominal.
f Jumlah anak adalah banyaknya anak yang dimiliki oleh suami isteri
dalam satu keluarga. Dinyatakan dalam angka 1, 2, 3, dan seterusnya, menggunakan skala rasio.
Parameter dan pengukuran setiap indikator karakteristik orang tua X2 disajikan pada Tabel 2
Tabel 2 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah karakteristik keluarga X2
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran Kategori
Pengukuran Umur X
2.1
Lama masa kehidupan seseorang sejak tahun
kelahiran dan dibulatkan hingga penelitian
dilakukan. Dihitung sejak lahir
hingga tahun terdekat saat penelitian
dilakukan, dinyatakan dalam tahun.
1. ≤ 40 tahun 2. 41
– 58 tahun 3. ≥ 59 tahun
Pendidikan X
2.2
Jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh,
mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan
terakhir pada waktu penelitian dilakukan.
Diukur berdasarkan jenjang sekolah formal
yang pernah ditempuh 1. SD
2. SMP 3. SMA
4. D1 5. D2
6. D3 7. S1
8. S2 9. S3
Pekerjaan X
2.3
Jenis aktivitas yang mengha-silkan
uangpendapatan dan digunakan untuk
membiayai hidup. Diukur berdasarkan
profesi yang digeluti. 1. PNS
2. Karyawan swasta
3. BUMN 4. Dosenguru
5. TNI dan Polri 6. Pejabat
pemerintah 7. Profesional
8. Wirausaha 9. Pensiunan
10. Tidak bekerja
Pendapatan X
2.4
Jumlah uang yang diterima suatu keluarga
dalam sebulan baik yang dihasilkan dari pekerjaan
tetap maupun usaha lain- lain.
Diukur berdasarkan nilai uang yang
diterima dalam mata uang Rupiah.
1. ≤ 5 000 000 2. 5 000 000
– 20 000 000
3. 20 000 000
Suku X
2.5
Identitas budaya yang ditentukan berdasarkan
daerah asal keluarga. Diukur berdasarkan
daerah asal nenek moyang.
1. Jawa, Sunda, dan Betawi
2. Sumatera 3. Sulawesi dan
Maluku 4. Kalimantan
5. CinaTionghoa 6. Campuran 2 suku
7. Lain-lain.
Jumlah anak X
2.6
Banyaknya anak yang dimiliki oleh suami isteri
dalam satu keluarga. Dihitung dalam angka. 1, 2, 3, 4, dan
seterusnya.
3. Karakteristik guru adalah sifat-sifat atau ciri-ciri dari aspek sosial dan
psikologi yang melekat pada diri guru, seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, dan mata pelajaran yang diampu. Adapun definisi operasional
dari masing-masing indikator tersebut sebagai berikut:
a Umur adalah lama masa kehidupan seseorang yang dihitung sejak lahir
sampai ke tahun terdekat pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan dalam satuan tahun, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan
menjadi 8 kategori.
b Jenis kelamin adalah identitas seseorang sesuai perkembangan biologis atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki-laki dan perempuan, menggunakan
skala nominal. c
Pendidikan adalah jumlah tahun sekolah formal yang pernah ditempuh, mulai dari sekolah dasar hingga jenjang pendidikan terakhir pada waktu
penelitian dilakukan. Dinyatakan dalam satuan tahun, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan menjadi tiga kategori.
d Mata pelajaran yang diampu adalah jenis pelajaran yang menjadi
keahlian guru dan diajarkan kepada siswa di kelas. Dinyatakan dalam jenis pelajaran yang diajarkan di sekolah seperti Agama Islam, Agama
Kristen, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Sunda, Biologi, Fisika, Kimia, Matematika, Geografi, EkonomiAkuntansi, Sosiologi,
Bimbingan KonselingKesiswaan, PKn, Seni Budaya, Olahraga, Sejarah, Bahasa Arab, TIKKomputer, Bahasa Perancis, dan Administrasi,
menggunakan skala nominal.
Parameter dan pengukuran setiap indikator karakteristik guru X3 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah karakteristik guru X3
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran Kategori Pengukuran
Umur X
3.1
Lama masa kehidupan seseorang sejak tahun
kelahiran dan dibulatkan hingga penelitian
dilakukan. Dihitung sejak lahir
hingga tahun terdekat saat penelitian
dilakukan, dinyatakan dalam tahun.
1. ≤ 25 tahun 2. 26 - 30 tahun
3. 31 - 35 tahun 4. 36 - 40 tahun
5. 41 - 45 tahun 6. 46 - 50 tahun
7. 51 - 55 tahun 8. 56 - 60 tahun
Jenis kelamin X
3.2
Identitas responden sesuai biologis atau fisiknya.
Dinyatakan dengan laki- laki atau perempuan.
1. Laki-laki 2. Perempuan
Pendidikan X
3.3
Jenjang sekolah formal yang pernah ditempuh,
mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan terakhir
pada waktu penelitian dilakukan.
Diukur berdasarkan jenjang sekolah formal
yang pernah ditemouh. 1. SD 6 tahun
2. SMP 9 tahun 3. SMA 12 tahun
4. D1 13 tahun 5. D2 14 tahun
6. D3 15 tahun 7. S1 16 tahun
8. S2 18 tahun 9. S3 21 tahun
Mata pelajaran
yang diampu X
3.4
Jenis pelajaran yang menjadi keahlian guru dan
diajarkan kepada siswa di kelas.
Berdasarkan jenis pelajaran yang diajarkan
guru di sekolah. 1. Agama Islam
2. Agama Kristen 3. Bahasa Indonesia
4. Bahasa Inggris 5. Bahasa Sunda
6. Biologi 7. Fisika
8. Kimia 9. Matematika
10. Geografi 11. Ekonomiakuntansi
12. Sosiologi 13. BKKesiswaan
14. PKn 15. Seni Budaya
16. Olahraga 17. Sejarah
18. Bahasa Arab 19. TIKKomputer
20. Bahasa Perancis 21. Administrasi
4. Karakteristik teman sebaya adalah ciri-ciri dari aspek sosial dan ekonomi
yang melekat pada teman yang dimiliki oleh remaja, seperti jenis kelamin dan umur teman, serta lokasi pertemanan. Adapun definisi operasional dari
masing-masing indikator tersebut sebagai berikut:
a Jenis kelamin adalah identitas responden sesuai perkembangan biologis
atau fisiknya. Dinyatakan dengan laki-laki dan perempuan, menggunakan skala nominal.
b Umur adalah lama masa kehidupan seseorang yang dihitung sejak lahir
sampai ke tahun terdekat pada waktu penelitian dilakukan. Dinyatakan dalam satuan tahun, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan
menjadi tiga kategori.
c Lokasi berteman adalah tempat seseorang menjalin hubungan
pertemanan. Dinyatakan dengan menunjukkan tempat seperti sekolah, rumah, organisasi, dan media sosial, menggunakan skala nominal.
d Lokasi bertemu adalah tempat yang ditunjuk oleh seseorang untuk melakukan pertemuan dengan orang lain, dalam hal ini dengan teman
sebayanya. Dinyatakan dengan menunjukkan tempat seperti sekolah, rumah, tempat kursusbimbingan belajar, restorankafe, dan mal,
menggunakan skala nominal.
Parameter dan pengukuran setiap indikator karakteristik teman sebaya X4 disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah karakteristik teman sebaya X4
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran Kategori
Pengukuran
Umur X
4.1
Lama masa kehidupan seseorang sejak tahun
kelahiran dan dibulatkan hingga penelitian dilakukan.
Dihitung sejak lahir hingga tahun terdekat saat
penelitian dilakukan, dinyatakan dalam tahun.
1. 15 - 17 tahun 2. 18 - 20 tahun
3. 20 tahun Jenis kelamin
X
4.2
Identitas responden sesuai biologis atau fisiknya.
Dinyatakan dengan laki- laki atau perempuan.
1. Laki-laki 2. Perempuan
Lokasi berteman X
4.3
Tempat seseorang menjalin hubungan pertemanan.
Dinyatakan berdasarkan nama tempat.
1. Sekolah 2. Rumah
3. Kegiatan luar 4. Tempat les
5. Media sosial 6. Lain-lain
Lokasi bertemu X
4.4
Tempat yang ditunjuk seseorang untuk melakukan
pertemuan dengan orang lain.
Dinyatakan berdasarkan nama tempat.
1. Sekolah 2. Rumah sendiri
3. Rumah teman 4. Tempat ibadah
5. Tempat les 6. Media sosial
7. Malresto 8. Lain-lain
5. Pola komunikasi remaja dengan keluarga adalah bentuk proses pertukaran
dan penyampaian informasi, sikap, pikiran atau perasaan melalui bahasa, pembicaraan, pendengaran, gerak tubuh atau ungkapan emosi yang dilakukan
antara remaja dengan orang tuanya. Peubah komunikasi remaja dengan keluarga Y1 memiliki 5 indikator, yaitu: topik pembicaraan, durasi
pembicaraan, frekuensi pembicaraan, media komunikasi, dan situasi komunikasi.
6. Pola komunikasi remaja dengan sekolah adalah bentuk proses pertukaran dan
penyampaian informasi, sikap, pikiran atau perasaan melalui bahasa, pembicaraan, pendengaran, gerak tubuh atau ungkapan emosi yang dilakukan
antara remaja dengan gurunya. Peubah komunikasi remaja dengan sekolah Y2 memiliki 5 indikator, yaitu: topik pembicaraan, durasi pembicaraan,
frekuensi pembicaraan, media komunikasi, dan situasi komunikasi.
7. Pola komunikasi remaja dengan teman sebaya adalah bentuk proses
pertukaran dan penyampaian informasi, sikap, pikiran atau perasaan melalui bahasa, pembicaraan, pendengaran, gerak tubuh atau ungkapan emosi yang
dilakukan antara remaja dengan teman-teman sebayanya. Peubah komunikasi remaja dengan teman sebaya Y3 memiliki 5 indikator, yaitu: topik
pembicaraan, durasi pembicaraan, frekuensi pembicaraan, media komunikasi, dan situasi komunikasi.
Definisi operasional dari masing-masing indikator pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya Y1, Y2, dan Y3 sebagai
berikut:
a Topik pembicaraan adalah suatu pokok atau tema pembicaraan yang
menjadi landasan dalam proses komunikasi. Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan menggunakan skala ordinal,
kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi.
b Durasi pembicaraan adalah waktu yang digunakan untuk melakukan
komunikasi. Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan menggunakan skala ordinal, kemudian dikelompokkan menjadi tiga
kategori rendah, sedang, dan tinggi.
c Frekuensi pembicaraan adalah seberapa sering komunikasi dilakukan.
Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan menggunakan skala ordinal, kemudian dikelompokkan menjadi tiga
kategori rendah, sedang, dan tinggi.
d Media komunikasi adalah perantara dalam penyampaian informasi dari
komunikator kepada komunikan yang dilakukan melalui alatperangkat tertentu. Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan
menggunakan skala ordinal, kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi.
e Situasi komunikasi adalah suasana yang terjadi saat proses komunikasi
antarpribadi berlangsung secara dialogis. Pengukuran dinyatakan dengan skor persepsi responden dan menggunakan skala ordinal, kemudian
dikelompokkan menjadi tiga kategori rendah, sedang, dan tinggi.
Parameter dan pengukuran setiap indikator pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya Y1, Y2, dan Y3 disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah pola komunikasi remaja dengan keluarga,
sekolah, dan teman sebaya Y1, Y2, dan Y3
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Kategori Pengukuran
Topik pembicaraan Y
1.1
; Y
2.1
; Y
3.1
Suatu pokok atau tema pembicaraan yang menjadi
landasan dalam proses komunikasi.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden. 1. Rendah ≤ 50.0
2. Sedang 50.0 - 75.0
3. Tinggi 75.0
Durasi pembicaraan Y
1.1
; Y
2.1
; Y
3.1
Waktu yang digunakan untuk berkomunikasi.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden. 1. Rendah ≤ 50.0
2. Sedang 50.0 - 75.0
3. Tinggi 75.0
Frekuensi pembicaraan Y
1.1
; Y
2.1
; Y
3.1
Seberapa sering komunikasi dilakukan.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden. 1. Rendah ≤ 50.0
2. Sedang 50.0 - 75.0
3. Tinggi 75.0
Media komunikasi Y
1.1
; Y
2.1
; Y
3.1
Perantara dalam penyampaian informasi
dari komunikator kepada komunikan yang dilakukan
melalui alatperangkat tertentu.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden. 1. Rendah ≤ 50.0
2. Sedang 50.0 - 75.0
3. Tinggi 75.0
Situasi komunikasi Y
1.1
; Y
2.1
; Y
3.1
Suasana yang terjadi saat proses komunikasi
antarpribadi berlangusng secara dialogis.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden. 1. Rendah ≤ 50.0
2. Sedang 50.0 - 75.0
3. Tinggi 75.0
8. Prestasi belajar adalah pencapaian yang diperoleh seorang siswa yang berasal
dari nilai rapor maupun di luar nilai pelajaran, seperti prestasi akademik dan prestasi non-akademik. Adapun definisi operasional dari masing-masing
indikator tersebut sebagai berikut:
a Prestasi akademik adalah pencapaian yang diperoleh seorang siswa yang
dilihat dari nilai rapor. Pengukuran dinyatakan dalam angka, menggunakan skala rasio dan dikelompokkan menjadi empat kategori.
b Prestasi non-akademik adalah pencapaian yang diperoleh seorang siswa
di luar nilai rapor. Pengukuran dinyatakan dengan menggunakan satuan angka dan menggunakan skala nominal.
Parameter dan pengukuran setiap indikator prestasi belajar Y4 disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah prestasi belajar Y4
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran Kategori
Pengukuran Prestasi
akademik Y
4.1
Pencapaian atau keberhasilan siswa dilihat
dari nilai rapor per semester.
Diukur berdasarkan angka di rapor.
1. 60.0 - 69.9 2. 70.0 - 79.9
3. 80.0 - 89.9 4. 90.0
Prestasi non- akademik
Y
4.2
Pencapaian atau keberhasilan siswa di luar
nilai rapor. Diukur berdasarkan
pernyataan berprestasi atau tidak berprestasi.
1. Ya 2. Tidak
9. Kecerdasan emosional remaja adalah kemampuan untuk menguasai kualitas-
kualitas emosional dan mengatasi masalah saat kemampuan lain tidak dapat mengatasi gejolak emosi yang timbul, seperti mengenali emosi diri,
mengelola emosi, kemampuan memotivasi diri, kemampuan empati, dan kemampuan membina hubungan. Definisi operasional dari masing-masing
indikator kecerdasan emosional Y5 sebagai berikut:
a Mengenali emosi diri adalah kemampuan untuk mengetahui apa yang dirasakan waktu perasaan itu terjadi, memiliki kepekaan akan perasaan
diri dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan. Pengukurannya dinyatakan dalam skor persepsi responden terhadap diri
sendiri, dengan menggunakan skala ordinal kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori.
b Mengelola emosi adalah kemampuan dalam menangani dan mengatur emosi yang berdampak positif kepada pelaksanaan tugas dan pencapaian
suatu tujuan serta kemampuan untuk dapat pulih dari tekanan emosi. Pengukurannya dinyatakan dalam skor persepsi responden terhadap diri
sendiri, dengan menggunakan skala ordinal kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori.
c Kemampuan memotivasi diri adalah kemampuan mengatur emosi untuk mencapai suatu tujuan, memotivasi diri sendiri dan berkreasi.
Kemampuan ini membantu individu dalam mengambil inisiatif dan bertindak efektif serta bertahan ketika menghadapi kegagalan.
Pengukurannya dinyatakan dalam skor persepsi responden terhadap diri sendiri, dengan menggunakan skala ordinal kemudian dikategorikan
menjadi tiga kategori.
d Kemampuan empati adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan
rasa saling percaya dan menyesuaikan diri dengan berbagai macam orang. Pengukurannya dinyatakan dalam skor persepsi responden
terhadap diri sendiri, dengan menggunakan skala ordinal kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori.
e Kemampuan membina hubungan adalah kemampuan menangani emosi secara baik ketika berhubungan dengan orang lain, dapat membaca
situasi, berinteraksi
dengan lancar,
kemampuan memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan dengan baik serta mampu
bekerja sama dengan orang lain. Pengukurannya dinyatakan dalam skor persepsi responden terhadap diri sendiri, dengan menggunakan skala
ordinal kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori.
Parameter dan pengukuran setiap indikator kecerdasan emosional Y5 disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Indikator, definisi operasional, parameter pengukuran, dan kategori pengukuran peubah kecerdasan emosional remaja Y5
Indikator Definisi Operasional
Parameter Pengukuran
Kategori Pengukuran
Mengenali emosi diri Y
5.1
Kemampuan untuk mengetahui apa yang
dirasakan waktu perasaan itu terjadi, memiliki kepekaan
akan perasaan diri dan menggunakannya untuk
memandu pengambilan keputusan.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden terhadap diri sendiri.
1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 -
75.0 3. Tinggi 75.0
Mengelola emosi Y
5.2
Kemampuan dalam menangani dan mengatur
emosi yang berdampak positif kepada pelaksanaan
tugas dan pencapaian suatu tujuan serta kemampuan
untuk dapat pulih dari tekanan emosi.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden terhadap diri sendiri.
1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 -
75.0 3. Tinggi 75.0
Kemampuan memotivasi diri
Y
5.3
Kemampuan mengatur emosi untuk mencapai suatu tujuan,
memotivasi diri sendiri dan berkreasi.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden terhadap diri sendiri.
1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 -
75.0 3. Tinggi 75.0
Kemampuan empati Y
5.4
Kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang
lain, mampu memahami perspektif mereka,
menumbuhkan rasa saling percaya dan menyesuaikan
diri dengan berbagai macam orang.
Diukur berdasarkan skor persepsi
responden terhadap diri sendiri.
1. Rendah ≤ 50.0 2. Sedang 50.0 -
75.0 3. Tinggi 75.0
Kemampuan membina
hubungan Y
5.5
Kemampuan menangani emosi secara baik ketika
berhubungan dengan orang lain, dapat membaca situasi,
berinteraksi dengan lancar, kemampuan memimpin,
bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan
dengan baik serta mampu bekerja sama dengan orang
lain. Diukur berdasarkan
skor persepsi responden terhadap
diri sendiri. 1. Rendah ≤ 50.0
2. Sedang 50.0 - 75.0
3. Tinggi 75.0
Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui 1 kuesioner, 2 focus group
discussion FGD, 3 pengamatan di lapangan, dan 4 dokumentasi. Cara
pengumpulan data primer sebagai berikut: 1.
Kuesioner, yaitu sejumlah pertanyaan yang diajukan untuk mengukur peubah penelitian yang diisi sendiri oleh sejumlah responden. Pengisian kuesioner
dipandu oleh peneliti. Kuesioner disusun berdasarkan skala nominal, rasio, interval, dan ordinal. Untuk kepentingan pengujian secara statistik, data
tersebut ditransformasi menjadi skala interval atau rasio. Transformasi ini dilakukan untuk menghitung nilai keragaman yang terjadi dalam setiap
peubah penelitian.
2. Focus group discussion FGD atau diskusi kelompok terpimpin merupakan
metode yang dipakai untuk menggali data kualitatif dari sekelompok individu mengenai pendapat mereka terhadap suatu isu atau tema yang terkait dengan
penelitian. Pertanyaan dilontarkan dalam grup interaktif yang akan dijawab secara bebas oleh masing-masing peserta diskusi. Peserta diskusi juga
diberikan kesempatan untuk menanggapi atau menyanggah pernyataan atau pendapat peserta lain. Metode ini cukup efektif untuk mengumpulkan
pandangan secara kolektif dari berbagai sumber yang relevan.
3. Pengamatan di lapangan, yaitu aktivitas mengamati yang dilakukan secara
langsung di lokasi penelitian terhadap situasi dan kondisi fisik SMA, suasana belajar, dan perilaku siswa di sekolah tersebut.
4. Dokumentasi adalah kegiatan mendokumentasikan materi yang berhubungan
dengan penelitian, seperti pemotretan di lokasi penelitian, pengambilan gambar serta rekaman saat melakukan FGD dan wawancara mendalam.
Di samping pengumpulan data primer, juga dilakukan pengumpulan data
sekunder yaitu dengan cara penelusuran dokumen sekolah yang terkait dengan penelitian, seperti profil sekolah, serta profil siswa dan guru di 6 lokasi penelitian.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Sebelum instrumen penelitian kuesioner wawancara dipergunakan dalam pengumpulan data, kuesioner tersebut terlebih dahulu diuji validitas dan
reliabilitasnya agar diperoleh data yang valid atau sahih, serta memiliki konsistensi yang tinggi sehingga menghasilkan data yang tepat dan akurat.
Validitas Instrumen
Validitas atau kesahihan menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur mampu mengukur apa yang ingin diukur. Suatu instrumen pengukuran dikatakan
memiliki validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukur secara tepat atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud
dilakukannya pengukuran tersebut. Konsep validitas instrumen dapat dibedakan atas tiga macam yaitu validitas isi content validity, validitas konstruk construct
validity
, dan validitas empiris atau validitas kriteria Muljono 2012. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian terhadap validitas isi content
validity . Validitas isi content validity menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur
dalam tes atau instrumen mampu mewakili semua dimensi atau aspek dan
kerangka konsep. Suatu instrumen dikatakan valid apabila pertanyaan atau butir tes itu mencerminkan keseluruhan konten atau materi yang diujikan atau yang
seharusnya dikuasai secara proporsional Muljono 2012.
Teknik uji validitas adalah total butir dikorelasikan dengan masing-masing butir dengan menggunakan uji korelasi Product Moment Correlation Pearson
dengan rumus sebagai berikut:
r
xy = N ∑ xy
-
∑xy ∑y
√ {
n ∑x
2
– ∑ x
2
}{
n ∑ y
2
– ∑ y
2
}
Keterangan: r = koefisien korelasi
x = peubah bebas independen N = banyaknya kasus
y = peubah terikat dependen Semakin tinggi nilai koefisien korelasi maka semakin kecil kesalahan
pengukuran. Untuk memudahkan pengukuran, digunakan program SPSS versi 19. Reliabilitas Instrumen
Reliabilitas atau keterandalan merupakan indeks alat ukur yang digunakan untuk menunjukkan bagaimana suatu pengukuran relatif konsisten apabila diulang
dua kali atau lebih Singarimbun Effendi 2010. Suatu hasil pengukuran hanya dapat dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap
kelompok subyek yang sama, diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subyek belum berubah. Konsep reliabilitas
dalam arti reliabilitas alat ukur berkaitan erat dengan masalah eror pengukuran. Eror pengukuran sendiri menunjukkan sejauh mana inkonsistensi hasil
pengukuran terjadi apabila dilakukan pengukuran ulang terhadap kelompok subyek yang sama. Sementara konsep reliabilitas dalam arti reliabilitas hasil ukur
berkaitan erat dengan eror dalam pengambilan sampel yang mengacu pada inkonsistensi hasil ukur apabila pengukuran dilakukan ulang pada kelompok yang
berbeda Muljono 2012.
Menurut Kerlinger 2006 terdapat tiga pendekatan untuk mengukur reliabilitas, yaitu:
1 Suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila alat ukur dimaksud digunakan
berulang kali dan menunjukkan hasil yang sama. 2
Suatu alat dikatakan reliabel apabila alat ukur tersebut dapat mengukur hal yang sebenarnya dari yang diukur, dan
3 Reliabilitas suatu alat ukur dapat dilihat dari galat error pengukurannya.
Penelitian ini mengambil secara acak 56 responden atau sampel di luar lokasi penelitian tetapi memiliki tingkat kesamaan kondisi dengan lokasi yang diteliti,
yaitu di salah satu SMA swasta di Bogor. Uji keterandalan yang dipakai pada penelitian ini adalah reliability analysis scale alpha Cronbach alpha dengan
menggunakan program SPSS versi 19.0. Metode tersebut digunakan untuk kuesioner yang memiliki banyak pilihan jawaban. Setelah memastikan bahwa
hasil uji reliabilitas tersebut memadai, dilakukan pengambilan data di lapangan.
Menurut Keyton 2006, secara umum para peneliti komunikasi sepakat bahwa koefisien alpha
dinyatakan reliabel apabila ≥ 0.7. Namun demikian, ketentuan tersebut bukan sesuatu yang mutlak. Sugiyono 2012 mengatakan
bahwa suatu instrumen sudah dianggap reliabel apabila nilai koefisien alpha ≥ 0.6. Ukuran kemantapan alpha berdasarkan Keyton 2006 dapat diinterpretasikan
sebagai berikut:
1. Nilai koefisien alpha berkisar 0.20 berarti kurang reliabel.
2. Nilai koefisien alpha berkisar 0.20–0.40 berarti agak reliabel.
3. Nilai koefisien alpha berkisar 0.40–0.70 berarti cukup reliabel sedang.
4. Nilai koefisien alpha berkisar 0.70–0.90 berarti reliabel.
5. Nilai koefisien alpha berkisar 0.90 berarti sangat reliabel.
Berdasarkan kriteria tersebut, nilai koefisien alpha pada penelitian ini tergolong cukup reliabel hingga sangat reliabel berkisar 0.662
–0.941. Data reliabilitas dan validitas turun lapang dari 6 SMA yang diteliti disajikan pada
Tabel 8.
Tabel 8 Hasil uji reliabilitas dan validitas
Peubah Jumlah
Pertanyaan Skala
Ordinal Reliabilitas
Cronbach α
Validitas Isi Nilai r
Komunikasi Remaja-Keluarga: 63
1 – 4
0.941 1. Dimensi Topik Pembicaraan
20 1
– 4 0.868
0.376 – 0.671
2. Dimensi Lama Pembicaraan 8
1 – 4
0.863 0.656
– 0.746 3. Dimensi Frekuensi Pembicaraan
12 1
– 4 0.864
0.536 – 0.687
4. Dimensi Media Komunikasi 9
1 – 4
0.728 0.363
– 0.725 5. Dimensi Situasi Komunikasi
14 1
– 4 0.752
0.153 – 0.671
Komunikasi Remaja-Sekolah: 26
1 – 4
0.890 1. Dimensi Topik Pembicaraan
7 1
– 4 0.688
0.357 – 0.706
2. Dimensi Lama Pembicaraan 3
1 – 4
0.816 0.845
– 0.848 3. Dimensi Frekuensi Pembicaraan
5 1
– 4 0.740
0.620 – 0.772
4. Dimensi Media Komunikasi 5
1 – 4
0.662 0.534
– 0.705 5. Dimensi Situasi Komunikasi
6 1
– 4 0.715
0.442 – 0.769
Komunikasi Remaja-Teman Sebaya: 30
1 – 4
0.921 1. Dimensi Topik Pembicaraan
10 1
– 4 0.816
0.480 – 0.739
2. Dimensi Lama Pembicaraan 4
1 – 4
0.827 0.753
– 0.851 3. Dimensi Frekuensi Pembicaraan
5 1
– 4 0.809
0.685 – 0.825
4. Dimensi Media Komunikasi 4
1 – 4
0.739 0.722
– 0.782 5. Dimensi Situasi Komunikasi
7 1
– 4 0.727
0.021 – 0.541
Kecerdasan Emosional Remaja: 35
1 – 4
0.858 1. Kesadaran Emosi Diri
7 1
– 4 0.704
0.466 – 0.755
2. Pengelolaan Emosi 7
1 – 4
0.666 0.418
– 0.655 3. Kemampuan Memotivasi Diri
7 1
– 4 0.722
0.316 – 0.758
4. Kemampuan Empati 7
1 – 4
0.735 0.338
– 0.692 5. Kemampuan Membina Hubungan
7 1
– 4 0.746
0.567 – 0.686
Pengolahan dan Analisis Data
Data kuantitatif yang terdiri dari karakteristik remaja, karakteristik orang tua, karakteristik guru, karakteristik teman, pola komunikasi remaja dengan keluarga,
sekolah, dan teman sebaya, serta kecerdasan emosional dan prestasi belajar ditabulasi dan dianalisis. Dalam menentukan kualitas data, dilakukan uji validitas
dan reliabilitas kuesioner. Butir-butir pertanyaan pada kuesioner pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, dan teman sebaya, serta kecerdasan emosional
dan prestasi belajar diuji validitasnya, dilanjutkan dengan uji reliabilitas dengan metode alpha Cronbach yang tersedia pada program komputer SPSS versi 19.0.
Analisis kuantitatif dalam penelitian ini terdiri dari: 1 analisis statistik deskriptif, dan 2 analisis statistik inferensial. Analisis statistik deskriptif, yakni
statistik yang berfungsi mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang diteliti remaja tanpa membuat kesimpulan yang berlaku secara umum.
Analisis statistik inferensial, yakni statistik yang berfungsi mengeneralisasikan hasil penelitian sampel bagi populasi Sugiyono 2010. Analisis statistik
inferensial yang digunakan adalah analisis korelasi Pearson.
Model yang digunakan untuk mengukur peubah-peubah yang diobservasi apakah berhubungan dengan faktor-faktor yang dihipotesiskan, dilakukan melalui
uji konstruk berupa Structural Equation Modeling SEM. Software yang digunakan adalah Program LISREL atau linear structural relationships. Data
kualitatif berupa catatan lapangan yang dihasilkan dari FGD, selanjutnya diproses menggunakan koding dan analisis konten.
Pendekatan Kualitatif Pendalaman Melalui
Focus Group Discussion FGD
Pada tahap kualitatif, teknik yang digunakan adalah diskusi kelompok terpimpinfocus group discussion FGD. Teknik ini dipilih karena
memungkinkan peneliti mengontrol alur tanya jawab Creswell 2010. FGD dimaksudkan untuk menggali informasi lebih dalam dari sejumlah remaja yang
sebelumnya telah mengisi kuesioner mengenai pola komunikasi remaja dengan keluarga, sekolah, teman sebaya, dan kecerdasan emosional. Partisipan FGD
dipilih secara purposive dari 6 SMA, masing-masing sekolah diwakili 10 orang 5 perempuan dan 5 laki-laki, sehingga total partisipan adalah 60 orang. Jumlah
remaja dibatasi agar peneliti dapat mendalami jawaban dari masing-masing partisipan.
Pemilihan tersebut didasari pada hasil kuesioner yang telah diisi responden. Skor pada setiap peubah dijumlahkan, kemudian dilihat siapa responden yang
memiliki total skor tertinggi dan terendah dari masing-masing peubah. FGD dilakukan di setiap sekolah tempat penelitian berlangsung sebanyak 2 kali, sekali
pertemuan untuk remaja perempuan dan 1 kali lainnya untuk remaja laki-laki. Total FGD untuk 60 partisipan adalah 12 kali pertemuan.
Ketika FGD berlangsung, para remaja diminta menyebutkan nama, umur, dan kegiatan mereka sehari-hari sepulang sekolah. Setelah itu, peneliti
mengajukan sejumlah pertanyaan yang telah disiapkan dalam panduan wawancara. Salah satu pertanyaan yang diajukan ada
lah, “Kamu merasa lebih nyaman mengobrol dengan orang tua atau teman?” Pertanyaan lainnya seputar
perbincangan sehari-hari remaja dengan orang tua, guru, dan teman sebayanya, seperti “Topik pembicaraan apa yang biasanya dibahas bersama orang tua? Apa
yang biasanya dibicarakan dengan teman?” dan “Bagaimana tanggapan orang
tuamu jika kamu berbeda pendapat dengannya?” Semua jawaban direkam dengan alat perekam tape recorder dan kamera tangan handycam atas persetujuan
peserta. Peneliti juga mencatat hal-hal penting yang terjadi selama FGD berlangsung, seperti ekspresi sedih atau ungkapan gembira ketika peserta
memberikan jawaban tertentu. Koding dan Analisis Isi
Hasil rekaman FGD selanjutnya ditranskrip ke dalam bentuk tulisan. Tahapan berikutnya adalah menganalisis hasil wawancara dan memasukkannya ke
dalam tipologi yang telah ditentukan pada penelitian kuantitatif. Analisis hasil wawancara mengikuti langkah-langkah yang dijelaskan oleh Graneheim dan
Lundman 2004. Satu wawancara pada suatu waktu dianalisis dengan memilih unit makna kemudian dikodekan. Setelah itu, dibuat subkategori, kategori dan
tema. Analisis isi dapat menyaring kata-kata ke dalam konten terkait kategori yang lebih sedikit. Hal ini diasumsikan bahwa ketika diklasifikasikan ke dalam
kategori yang sama, kata, frasa dan sejenisnya berbagi arti yang sama Cavanagh 1997.
Tipologi
Prosedur untuk mengolah data menjadi tipologi pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya dilakukan sebagai berikut: indeks pola
komunikasi remaja-keluarga dan pola komunikasi remaja-teman sebaya dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1 Menengah-rendah skor 75.0, dan 2 Tinggi
skor ≥ 75.0. Setelah itu indeks dari masing-masing responden pada peubah pola komunikasi remaja-keluarga dan pola komunikasi remaja-teman sebaya
dikodifikasi. Jika masuk kategori menengah-rendah diberi kode 0, sedangkan kategori tinggi diberi kode 1. Data yang sudah dikodifikasi itu kemudian
ditabulasi ke dalam sumbu X dan Y, sehingga menghasilkan 4 tipologi. Sumbu X mewakili pola komunikasi remaja-keluarga, sedangkan sumbu Y adalah pola
komunikasi remaja-teman sebaya.
Keempat tipologi yang dihasilkan adalah sebagai berikut: Tipe 1, pola komunikasi remaja dengan keluarga dan teman sebaya sama-sama tinggi; Tipe 2,
pola komunikasi remaja-keluarga tinggi, tetapi pola komunikasi remaja-teman sebaya menengah-rendah; Tipe 3, pola komunikasi remaja-keluarga dan teman
sebaya sama-sama menengah rendah; dan Tipe 4, pola komunikasi remaja- keluarga menengah-rendah, sebaliknya pola komunikasi remaja-teman sebaya
tinggi.
4 LOKASI PENELITIAN, KARAKTERISTIK REMAJA, KELUARGA, GURU, DAN TEMAN SEBAYA
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 4 SMA negeri SMAN dan 2 SMA swasta di Kota Bogor dengan inisial sebagai berikut: SMAN A, SMAN B, SMAN C,
SMAN D, SMA EF, dan SMA GH. Keenam SMA tersebut berada di wilayah Kota Bogor dan termasuk sekolah yang paling diminati oleh pelajar karena
banyak mengukir prestasi di bidang akademik maupun non-akademik. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, keenam SMA ini dipilih berdasarkan
rekomendasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bogor. Di samping itu, penulis melihat tingginya animo pelajar lulusan SMP yang mendaftar ke SMA-
SMA tersebut. Atas dasar itulah penulis memilih keenam SMA tersebut sebagai tempat penelitian.
Saat penelitian berlangsung, jumlah siswa yang mengikuti kegiatan belajar mengajar di keenam SMA itu pada tahun ajaran 2013
–2014 dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Jumlah populasi siswa SMA di lokasi penelitian tahun ajaran 2013 –2014
Sekolah Kelas 1
Kelas 2 Kelas 3
Jumlah Siswa Total Siswa
N L
P L
P L
P L
P SMAN A
153 207
156 181
140 192
448 581
1.029 SMAN B
150 186
168 162
147 166
465 514
979 SMAN C
103 176
129 217
108 178
340 571
911 SMAN D
161 196
180 216
165 188
506 600
1.106 SMA EF
42 32
50 49
35 41
127 122
249 SMA GH
166 149
164 141
143 136
473 426
899
Karakteristik Remaja, Keluarga, Guru, dan Teman Sebaya
Karakteristik Remaja 1.
Usia dan Jenis Kelamin Responden
Usia remaja berkisar 15 sampai 18 tahun. Menurut Hurlock 1990, kisaran usia remaja yaitu 13 sampai 18 tahun. Mengacu kepada penggolongan Hurlock,
usia responden dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu remaja awal 13
–15 tahun dan remaja akhir 16–18 tahun. Pendapat Berk 2012 sedikit berbeda dengan Hurlock. Berk berpendapat bahwa usia remaja awal dimulai dari
12 sampai 14 tahun, remaja tengah 14 –16 tahun, dan remaja akhir 16–18
tahun. Tabel 10 menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden sebanyak 67.5 berusia 16 tahun atau berada di kelompok usia remaja akhir.
Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan usia dan jenis kelamin
Usia Responden Tahun Perempuan
Laki-laki Total
n n
n 15
2 1.0
3 1.8
5 1.3
16 142
68.9 109
65.7 251
67.5 17
61 29.6
52 31.3
113 30.4
18 1
0.5 2
1.2 3
0.8 Total
206 100.0
166 100.0
372 100.0
Rata-rata + Std.Deviasi tahun 16.30 + 0.49
16.32 + 0.53 16.31 + 0.51
Minimum-maksimum tahun 15
– 18 15
– 18 15
– 18
Dilihat dari jenis kelaminnya, persentase responden perempuan lebih besar daripada responden laki-laki Tabel 11. Jumlah responden perempuan di 6 SMA
yang diteliti adalah 206 orang 55.4 , sedangkan responden laki-laki berjumlah 166 orang 44.6 . Hal ini dapat dimaklumi karena penarikan sampel tidak
melihat jenis kelamin siswa. Responden yang mengisi kuesioner berasal dari kelas yang dipilih secara acak. Pada penelitian ini, perbandingan antara responden
perempuan dan laki-laki masih seimbang karena perbedaan jumlahnya tidak terlampau jauh.
Tabel 11 Sebaran siswa per sekolah berdasarkan jenis kelamin
No. Nama SMA
Perempuan Laki-laki
Total n
n n
1. SMAN A
31 54.4
26 45.6
57 100.0
2. SMAN B
33 54.1
28 45.9
61 100.0
3. SMAN C
36 63.2
21 36.8
57 100.0
4. SMAN D
47 55.3
38 44.7
85 100.0
5. SMA EF
27 52.9
24 47.1
51 100.0
6. SMA GH
32 52.5
29 47.5
61 100.0
Total 206
55.4 166
44.6 372
100.0