Konsep untuk membuat kebijakan diversi merupakan sebuah proses yang melibatkan faktor-faktor internal dan external dari penentu kebijakan itu sendiri.
Apabila kita melihat kebijakan diversi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khsusunya Kepolisian menurut Chambliss dan Seidman pada hakeketnya diversi
bertentangan dengan negara yang didasarkan pada hukum karena menghilangkan kepastian terhadap apa yang akan terjadi. Tetapi suatu tatanan dalam masyarakat
yang sama sekali dilandaskan pada hukum juga merupakansuatu ideal yang tidak akan dapat dicapai. Disini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh
peraturan yang jelas dan tegas suatu keadaan yang tidak dapat dicapai. Sekalipun dalam hal ini diversi terkesan melawan hukum, namun hal itu
merupakan jalan keluar yang memang diberikan oleh hukum kepada aparat penegak hukum guna memberikan efesiensi dan efektifitas demi kepentingan
umum yang lebih besar.
F. Model Restroactive Justice
Berbicara model Restroactive Justice tentulah di negara-negara common low sangatlah beragam. Sebagaimana dikemukakan oleh Jim Dignan, penggunaan
restroactive justice di dalam kejahatan ringan yang dilakukan oleh anak muda, adalah dengan cara penggunaan inisiatif polisi ataupun usaha untuk meminimkan
penyelesaian di dalam pengadilan. Meskipun di negara-negara tersebut telah terdapat suatu sistem dalam rangka tercapainya tujuan restroactive justice,
tetapi pada kenyataanya terdapat peran korban masih memegang peran keberhasilan sisitem. Hal ini dapat dilihat dalam data yang dikemukakan oleh
Universitas Sumatera Utara
Umbreit dan Roberts yang mengatakan bahwa hanya 7 persen dari seluruh kasus yang muncul di tahun 1993 di Inggris yang mengunakan metode secara langsung
atau face to face. Secara umum konsep restroactive justice, merupakan proses penyelesaian
tindakan pelanggaran hukum yang terjadi, dilakukan dengan membawa korban dan pelaku tersangka bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk
bersama-sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-
jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak
korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban.
Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan
yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang tindakan yang telah dilakukannya dan sebab-sebab mengapa sampai tindakan tersebut
dilakukan pelaku, korban wajib mendengarkan dengan teliti penjelasan pelaku. Untuk selanjutnya pihak korban dapat memberikan tanggapan atas penjelasan
pelaku. Di samping itu, juga hadir pihak masyarakat yang mewakili kepentingan masyarakat. Wakil masyarakat tersebut memberikan gambaran tentang kerugian
yang diakibatkan oleh telah terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dalam paparannya tersebut masyarakat mengharapkan agara pelaku melakukan
suatu perbuatan atau tindakan untuk memulihkan kembali keguncangankerusakan yang telah terjadi karena perbuatannya.
Universitas Sumatera Utara
Model Restroactive Justice di beberapa negara tentulah beraneka ragam namun mempunyai satu tujuan yang sama yaitu untuk memulihkan kerugian yang
disebabkan atau ditimbulkan oleh perbuatan pidana. Tentang konsepsi Restorative justice sebenarnya bukan hal yang baru atau asing bagi masyarakat Indonesia,
karena selama ini masyarakat Indonesia dengan warisan keanekaragaman adat budaya kearifan lokal yang telah mempunyai mekanisme bermasyarakat dan
penyelesaian masalah yang mampu diandalkan untuk menangani anak yang berhadapan dengan hukum yakni anak yang melakukan tindakan-tindakan
melanggar norma ataupun diduga melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Perkembangan mengenai Restroactive Justice di beberapa negara seperti Eropa,
Amerika Serikat, Canada, Australia dan New Zealand telah dikelompokan dalam empat jenis praktik yang menjadi pioner penerapan Restroactive Justice yaitu :
1. Victim Offender Mediation
2. ConferencingFamiliy Group Conferencing
3. Circles dan
4. Restorative BoardYouth Panels
Ad.1. Victim Offender Mediation VOM
Proses Restroactive Justice terbaru yang pertama adalah Victim offender mediation. Program victim offender mediation pertama kali dilaksanakan sejak
tahun 1970 di amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Firlandia
60
60
Gordon Bazemore and Mark Umbreit 1999, Conferencing , circles, Board and Mediations Restroactive justice and citizen Involvement in the Response to Youth Crime. Florida
University of Minnesota. Hal 6, David Miers 2001 An International Review of Restroactive justice. London Crime Reduction Research Series paper 10. Home Office policing and Reducing
Crime Unit Research Development and Statistics directorate, hal,5,26, 47 dan 73, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
.
Universitas Sumatera Utara
Vom di negara bagian Pennsylvania Amerika Serikat menjalankan program tersebut dalam kantor pembelaan terhadap korban di bawah tanggung
jawab Departemen Penjara. Program tersebut berjalan dengan sebuah ruang lingkup kejahatan kekerasan termasuk pelaku yang diancam hukuman mati.
61
Permintaan untuk melakukan mediasi merupakan inisiatif dan ususlan korban dan kehendak korban. Peserta dari pihak pelaku harus berumur 18 tahun
atau lebih. Peserta pihak pelaku harus dijelaskan dengan bantuan lembaga psikolog. Mediator atau fasilitator adalah kelompok sukarela yang telah menjalani
training intensif. Kebanyakan mediasi melibatkan comediator terhadap kasus-kasus yang membutuhkan persiapan banyak dan luas sebelum menghadirkan kedua
belah pihak bertemu dalam mediasi secara langsung. Dialog secara tidak langsung juga dimungkinkan sebagai pilihan dalam program VOM.
Program tersebut dirancang dan diperbaiki selama waktu lima tahun dengan kerangka pengertian dan pemahaman konsep Restroactive Justice yang
memusatkan perhatian pada penyelenggaraan dialog di mana korban dimungkinkan ikut serta bertukar pikiran sehubungan dengan akibat yang
ditimbulkan berupa trauma dari kehatan dan menerima jawaban dan informasi tambahan dari pelaku yang telah menyakitinya. Hal itu memberikan kesempatan
bagai korban untuk mendengar dan memberikan kepada pelaku sebuah kesempatan untuk menerima tanggung jawab perbuatannya dan mengungkapakan
perasaanya tentang kejahatan dan konsekuensi yang harus diterimanya.
61
Mark S. Umbreit. William Bradshaw. And Robert B. Coates. September 2001 Victim Sensitive offender Dialogue in Crimes of Servere Violence Differing Needs, approaches, and
Implications. London; Office for Victims of crime U.S Department of justice, hal 14: The Penn Sylvania Victim Offender Meditation program operates within the Office of Victim Advocate under
the auspices of the Departement of Correections. The program works with a range of violent crimes including those where an offender has a death sentence, yang dikutip dari Buku Pengantar
Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina
Universitas Sumatera Utara
VOM di negara bagian Texas Amerika Serikat dilaksanakan di lembaga Victim services pelayanan korban Texas. Tujuannya memberikan kesempatan
bagi korban kejahatan kekerasan bertemu secara langsung, aman, resmi dan teratur dengan pelaku, memberikan perlindungan terhadap lingkungan tempat
tindak pidana. Selanjutnya upaya penyembuhan dan penghapusan kerusakan terjadi akibat perbuatannya. Upaya peyembuhan dan menghilangkan trauma yang
terjadi dalam kurun waktu yang relatif agak lama yaitu menungu pihak korban untuk bersedia melakukan perdamaian dan berniat ikut serta dalam program
restroactive justice yang akan dilaksanakan. Pelaku diundang untuk ikut berpartisipasi harus dengan sukarela.
Keseriusan para pihak selama proses ini berlangsung menjadi peran yang sangat penting dari titik penyerahan, persiapan pertemuan , sampai pelaksanaan
setelah selesai mediasi. Persiapan akan selesai dalam waktu lebih kurang enam bulan dan bahkan lebih lama.
Mediator bekerja sama dengan protokol dengan sangat teliti dan cermat mempersiapkan prsoes pemanduan pertemuan antara korban dengan pelaku.
Mediator mengatur jalannya proses secara sistematis untuk bermusyawarah dan mempersiapkan secara rinci daftar nama pihak yang mengikuti pertemuan, namun
yang paling penting membiarkan pertemuan korban dan pelaku mengalir dengan sendirinya tanpa arahan dan pembatasan.
Berdasarkan uraian tersebut, dalam hal ini mediator tidak cukup hanya mempersiapkan agenda yang tersusun secara sistematis namun sangat perlu
diperhatikan pertemuan antara korban dan pelaku terkadang diluar waktu acara yang telah disusun atau di agendakan, maka sebaiknya bisa di sesuaikan dengan
keadaan atau flexsibel.
Universitas Sumatera Utara
Adapun tujuan dilaksanakannya VOM adalah memberi penyelesaian terhadap peristiwa yang terjadi, di antaranya dengan membuat sanksi alternatif
bagi pelaku atau bentuk untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius . dalam bentuk dasarnya proses ini
melibatkan dan membawa bersama korban dan pelakunya kepada satu mediator yang mengkoordinasi dan memfasilitasi pertemuan
62
Tata cara pelaksanaanya, tahapan awal dari VOM mediator melakukan mediasi mempersiapkan korban dan pelaku bertemu. Persiapan awal mediasi atau
pramediasi minimal sekali pertemuan dalam tatap muka secara langsung dan hal ini sangat membantu untuk tercapainya kesepakatan yang maksimal pada mediasi
sesunguhnya nanti. .
63
Pertemuan mediasi dimulai dengan korban menceritakan pengalaman yang dialaminya akibat kejahatan tersebut dan apa yang menjadi kerugian fisik,
emosional, dan materi pada dirinya. Pelaku menjelaskan apa yang dilakukannya dan mengapa dia melakukannya, dan juga pelaku bersedia memberikan jawaban
Dalam pertemuan pramediasi ini mediator mendengarkan bagaimana peristiwa tersebut telah terjadi., mengidentifikasikan hal-hal yang
penting untuk dibicarakan, mengundang partisipasi mereka untuk hadir, menjelaskan proses acara victim offender meditation sehingga meminimalkan
kecemasan dan meningkatkan peran mereka dalam dialog sehinga peran mediator tidak terlalu banyak lagi. Peran dari pramediasi ini sangat menentukan kesuksesan
mediasi yang sesunguhya.
62
Marlina. Op.cit., hal 184
63
Mark umbreit and S. Stacy 1995, Family Group Conferencing Comes to the U.S. : A comparasion With Victim Offender Mediation, USA: Juvenile and Famili Court Journal 1995,
472 hal 29-39. yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina, hal. 185
Universitas Sumatera Utara
atas pertanyaan yang diajukan oleh korban. Pada saat korban dan pelaku sedang mengutarakan pembicaraan masing-masing, mediator akan membantu mereka
mempertimbangkan jalan keluar dan pemecahanya. Di beberapa negara eropa proses mediasi tidak melibatkan pertemuan secara langsung antara pihak-pihak.
Dalam Victim Offender Mediation para pihak yang ikut tidak menjadi berdebat. Seseorang yang secara jelas melakukan sebuah kejahatan dan telah mengakui
perbuatannya sehingga korban merasa dihormati. Selanjutnya isu rasa bersalah atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam Victim Offender Mediation,
juga tidak mengharapkan bahwa korban kejahatan berkompromi dan mengharap lebih kecil dari apa yang mereka butuhkan untuk mengembalikan kerugiannya.
Menurut Mark Umbreit dalam penelitiannya tahun 2001, mediasi adalah suatu proses yang memperhatikan pada terciptanya sebuah suasana damai. Pengelolaan
emosi yang baik oleh peserta, untuk korban dan pelaku dapat berbicara langsung satu sama lain dengan intervensi minimal dari mediator.
64
Conferencing dikembangkan pertama kali di negara New zealand pada tahun 1989 dan Australia pada tahun 1991 dan pada mulanya merupakan refleksi
atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli New Zealand yaitu bangsa maori. Proses yang dilakukan
masyarakat bangsa Moari ini terkenal dengan sebutan wagga wagga dan tela dipakai untuk menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat tradisional dan
Ad.2. Family Group Conferencing FGC
64
Marlina. Op.Cit, hal. 187-188
Universitas Sumatera Utara
merupakan tradisi yang telah ada sejak lama. Karena minat negara yang besar untuk mencari alternatif bentuk penyelesaian perkara, maka tradisi masyarakat ini
diangkat ke permukaan untuk diteliti dan dibuat projectnya bagi penyelesaian perkara pidana di negara tersebut. Pada kesempatan berikutnya penyelesaian
perkara secara tradisional dapat diterima sebagai sebuah proses resmi dari negara tersebut dengan sebutan conferencing. Menurut terjemahan Marlina conferencing
adalah konferensi, perundingan atau bermusywarah. Dalam perkembangan selanjutnya conferencing telah dibawa ke luar dari negara asalanya New zealend
dan dipakai di banyaknegara lain seperti, Australia, Asia, Afrika Selatan, Amerika Utara dan Eropa. Conferencing tidak hanya melibatkan korban utama
primary victim dan pelaku utama primary offendertapi juga korban sekunder secondary victim seperti anggota keluarga dan teman korban. Hal ini dilibatkan
karena mereka juga terkena dampak atau imbas dalam berbagai bentuk akibat dari kejahatan yang terjadi dan juga karena mereka peduli terhadap korban
dan pelaku utama. Hal ini dilakukan agara bertujuan mendapatkan kejelasam dari peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada pelaku,
mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat dan pertanggungjawaban bersama.
65
Sasarannya adalah memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai
pelanggaran yang terjadi padanya dengan sanksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelangaran yang
terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian pelaku atas akibat perbuatannya
65
Ibid, hal. 188
Universitas Sumatera Utara
kepada orang lain serta memberi kesempatan pelaku bertanggungjawab penuh atas perbuatannya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku dapat bersama-sama
menentukan sanksi bagi pelaku dan membimbingnya setelah mediasai berlangsung. Terakhir adalah memberikan kesempatan korban dan pelaku untuk
saling berhubungan dalam memperkuat tatanan masyarakat yang sempat terpecah karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.
66
Tata cara pelaksanaan diawali dengan pihak mediator menghubungi para peserta pertemuan yaitu, korban, pelaku, anggota masyarakat, serta lembaga yang
bersimpati melalui telepon. Hal ini memastikan mereka hadir dalam pertemuan tersebut, karena apabila tidak melalui telepon maka mediator harus bertemu secara
langsung dengan para pihak. Pada acara mediasi yang sebenarnya para anggota fasilitator dalam conferencing bertugas mengatur pertemuan yaitu tempat dan
waktunya dan memastikan setiap peserta untuk dapat berpartisipasi penuh secara aktif dalam acara, namun para fasilitator ini tidak dapat memutuskan secara
sepihak atau memaksakan keputusan yang sifatnya subtantif sebagai hasil dalam artian hanya sebagai controlling dan fasilitating jalannya conferencing.
Beberapa daftar isian form conferencing yang menjadi agenda dan berita acara ditulis oleh fasilitator secara benar dengan maskud para peserta harus tetap
mengikuti sebuah pola ketentuan dan aturan yang baku dalam menjalankan diskusi dalam conferencing.
Adapun orang yang turut serta dalam proses family group conferencing adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau pihak dari
korban dan pelaku serta lembaga yang punya perhatian terhadap permasalahan anak.
67
66
Ibid, hal. 189
67
Ibid, hal. 190
Universitas Sumatera Utara
Adapun jenis lain dari conferencing yang berdarkan sebuah filosofi umum yaitu mengizinkan conferencing untuk mengambil berbagai bentuk dan tata cara
prosesnya tergantung budaya setempat atau harapan dari para peserta yang ikut. Praktik diskusi dimulai dari mediator yang membawa acara mediasi atau sebagai
penengah dengan memberikan kesempatan kepada pelaku untuk menceriatakan apa yang telah dilakukannya dan bagaimana pendapatnya mengenai penderitaan
orang lain atau korban akibat dari perbuatannya. Kemudian kesempatan berikutnya diberikan kepada korban untuk menceritakan pengalaman yang
dialaminya akibat perbuatan pelaku. Setelah pelaku dan korban berbicara pada kesempatan berikutnya diberikan kepada keluarga pelaku dan teman-temannya
offender’s supporters. Kesempatan untuk berbicara baik dari pihak pelaku maupun pihak korban bertujuan mencari dan menemukan kondisi yang
sebenarnya yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut. Dengan susana pembicaraan yang terbuka dan kondusif bagi anak tanpa tekanan dari salah
satu pihak membantu mempelanjar jalannya mediasi dan mediator tetap memberikan pengarahan dan bimbingan dalam mediasi tersebut. kemudian secara
bersama-sama kelompok memutuskan apa yang semestinya dilakukan pelaku untuk memperbaiki kerugian dan apakah yang perlu dilakukan oleh para pihak
pelaku dalam ikut menjadi pihak yang bertangung jawab. Semua usulan dari kelompok dicatat dan diagendakan oleh petugas pencatat mediator untuk
nantinya disimpulkan secara bersama-sama. Kesepakatan yang diambil dicatat dan ditandatangani semua pihak yang ikut dan duplikat yang sama copy dari
kesepakatan itu dikirim kepada peradilan pidana pemerintah secara resmi untuk dijadikan keputusan resmi.
68
68
Ibid, hal. 190
Universitas Sumatera Utara
Ad.3. Circles
Pelaksanaan Circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon, Canada. Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam pelaksanaanya memperluas
partisipasi para peserta dalam proses mediasi di luar korban dan pelaku utama. Pihak keluarga dan pendukung dapat diikutsertakan sebagai peserta peradilan
pidana. Keunikan lainnya di ikutsertakannya anggota masyarakat sebagai pihak, dalam hal ini adalah masyarakat yang terkena dampak dari tindak pidana yang
terjadi sehingga merasa tertarik dengan kasus yang ada untuk ambil bagian dalam proses mediasi, sehingga dalam circles, “parties with a stake in the offence”
didefenisikan secara lebih diperluas.
69
Orang yang menjadi peserta dalam Circles adalah, korban, pelaku, lembaga yang memperhatikan masalah anak, dan masyarakat. Untuk kasus yang
serius dihadirkan juga hakim dan jaksa. Kehadiran aparat penegak hukum tersebut untuk menjamin kelancaran aparat pelaksanaan proses sesuai dengan prinsip
restroative justice dan bukan untuk mencampuri atau melakukan intervensi pada proses yang sedang dijalankan.
Tujuannya membuat penyelesaian terhadap suatu tindak pidana dengan mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lainnya yang
berkepentingan dengan terjadinya suatu tindak pidana. Sasarannya yang ingin dicapai melakui proses Circle adalah terlaksananya penyembuhan pada
pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan memberi kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya tanggung jawab penyelesaian kesepakatan.
Masyarakat digugah untuk peduli terhadap permasalahan anak yang ada disekitarnya dan mengawasi penyebab tindakan yang dilakukan oleh anak.
69
Ibid, hal. 192
Universitas Sumatera Utara
Tata cara pelaksanaan Circles mediator melakukan pertemuan secara terpisah dengan korban dan pelaku sebagai prioritas utama kehadirannya utnk
menjelasakan prose yang akan dilaksanakan dan apa yang menjadi tujuannya. Di dalam prakteknya peserta duduk melingkar like a circles. Caranya pelaku
memulai dengan menjelaskan tentang semua yang dilakukanya. Selanjutnya semua peserta diberikan kesempatan bicara secara bergantian.dengan
menyampaikan apa yang menjadi harapannya. Akhir dari diskusi apabila terjadi kesepakatan dan penyelesaian yaitu restitusi dan ganti rugi atau sanski lainnya
atau bahkan tanpa sanski tapi pemaafan pelaku oleh masyarakat dan korban. Dalam sistem Circles ini dibantu oleh beberapa orang untuk mempelancar
proses Circles yaitu sebagai berikut : 1.
Tugas penjaga keeper of the circles yang mengamankan dan menjaga proses Circles berjalan sesuai dengan harapan.
2. talking piece yaitu seorang pendamai yang dengan sopan dan santun
akan selalu mengtur jadwal peserta bicara dalam Circles. Keberhasilan dari Circles ini dalah kerjasama dengan sistem perdilan
formal dan masyarakat. Hal ini berperan untuk memastikan keadilan dan bersifat jujur bagi semua pihak dan tanpa pemaksaan.
Ad.4. Restorative BoardYouth Panels
Restorative BoardYouth Panels telah dilaksanakan pada tahun 1995 di negara Vermont dengan lembaga pendamping Bureau of Justice yang mendapat
respon yang baik dari masyarakat. Keikutsertaan masyarakat dalam program reparative dan sifat perbaikan yang menjadi dasarnya.
70
70
Ibid, hal. 194
Universitas Sumatera Utara
Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatka pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa dan
pembela secara bersama-sama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi baik korban atau masyarakat. Pesertanya adalah mediator yang
mendapatkan pelatihan yang baik, lembaga anak, korban, pelaku, anggota masyarakat dan untuk kasus yang serius menghadirkan hakim, jaksa dan pengacara.
Tata cara pelaksanaannya mediator yang memfailitasi pertemuan ini adalah orang-orang yang sudah diberikan pendidikan khusus mediasi.
Pertemuan dilakukan secara secara tatap muka demua peserta dan dihadiri juga oleh pihak pengadilan. selama pertemuan para peserta berdiskusi dengan pelaku
tentang perbuatan negatifnya. Dan konsekuensi yang harus ditanggung kemudian para peserta merancang sebuah sanski.
Pelaksanaan Restroative Justice di Indonesia
Di Indonesia pengembangan konsep Restroative justice merupakan sesuatu yang baru, yang mana Kota Bandung menjadi salah satu tempat
pelaksanaan pilot project Unicef tentang pengembangan konsep restroative justice pada tahun 2003.
Restroative justice adalah suatu bentuk keadilan yang mengedepankan keterlibatan semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu,
baik korban, pelaku dan masyarakat untuk bersama-sama memecahkan masalah tentang bagaimana menangani akibat tindak pidana tersebut, dengan orientasi
untuk memperbaiki, menciptakan rekonsiliasi dan memuaskan semua pihak. Sebagaimana diversi, keadilan restorative dilakukan diluar proses formal melalui
pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum Konsep Restroactive Justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku
tersangka bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada
pihak untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya
Pihak pelaku yang melakukan pemaparan sangat mengharapkan pihak korban untuk dapat menerima dan memahami kondisi dan penyebab mengapa
pihak pelaku melakukan tindak pidana yang menyebabkan kerugian pada korban. Selanjutnya dalam penjelasan pelaku juga memaparkan tentang bagaimana dirinya
bertanggung jawab terhadap korban dan masyarakat atas perbuatan yang telah dilakukannya. Selama pihak pelaku memaparkan tentang kejadian tersebut pihak
korban memperhatikan penjelasan dari sipelaku. Penerapan sistem Restroactive Justice belum dapat diterapkan pada semua
tindak pidana melainkan hanya beberapa tindak pidana saja yaitu terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan lalu lintas dan tindak pidana anak.
Pemidanaan bagi anak merupakan ultimum remidium telah diharmonisasikan dalam UU RI Tentang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999
Pasal 66 ayat 3 dan 4 dan UU No.3 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 16 ayat 3 dalam implementasinya telah pula dipertegas oleh mantan
Ketua Mahkamah Agung dalam tulisannya yang menghimbau kepada para hakim “agar menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan berupa
tindakan dari pada Pidana Penjara“.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal tersebut secara tersirat Restroactive Justice telah diakui dan dilaksanakan bahkan apabila kita melihat lebih jauh dalam beberapa peraturan
kita dapat temukan sebagai berikut : UUD 1945, Pasal 28 B ayat 2 dan Pasal 28 H ayat 2
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Keputusan Presiden No.36 tahun 1990 tentang Pengesahan Convention
on The Right of Child Konvensi tentang Hak-hak AnakLembaran Negara RI tahun 1990 Nomor 57
UU No. 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dimana semuanya mengatur jelas tentang masa depan anak dan upaya preventive dalam menanggulangi tindak pidana anak. Tidak hanya itu saja
kebijakan-kebijakan telah pula dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum APH berupa :
Universitas Sumatera Utara
Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002j.a41989 tentang Penuntutan terhadap Anak
Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532E111995, 9 Nov 1995
tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
MOU 20PRS-2KEP2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepkumHAM RI
tentang pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum
Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MAKumdil31IK2005
tentang kewajiban setiap PN mengadakan ruang sidang khusus dan ruang tunggu khusus untuk anak yang akan disidangkan
Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak
dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
Peraturan KAPOLRI 102007, 6 Juli 2007 tentang Unit Pelayanan Perempuan dan Anak PPA dan 32008 tentang pembentukan RPK
dan tata cara pemeriksaan saksikorban TP TR1124XI2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan
TR395VI2008 9 Juni 2008, tentang pelaksaan diversi dan
restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai
pelaku, korban atau saksi
Kesepakatan Bersama antara DEPARTEMEN SOSIAL RI Nomor :
12PRS-2KPTS2009, DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI Nomor : M.HH.04.HM.03.02 Th 2009, DEPARTEMEN
PENDIDIKAN NASIONAL RI Nomor 11XIIKB2009, DEPARTEMEN AGAMA RI Nomor : 06XII2009, DAN KEPOLISIAN
Universitas Sumatera Utara
NEGARA RI Nomor : B43 XII2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum , tanggal
15 Desember 2009
Surat Keputusan Bersama Ketua MAHKAMAH AGUNG RI, JAKSA AGUNG RI, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA RI,
MENTERI HUKUM DAN HAM RI, MENTERI SOSIAL RI, MENTERI PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN
PERLINDUNGAN ANAK RI, NO.166KMASKBXII2009, NO. 148 AAJA122009, NO. B45XII2009, NO.M.HH-08 HM.03.02
TAHUN 2009, NO. 10PRS-2KPTS2009, NO. 02Men.PP dan PAXII2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang PENANGANAN
ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM. Dari instrumen hukum yang telah tersedia tersebut di atas, sebenarnya
aparat penegak hukum APH telah ada yang melakukan pendekatan restorative justice, walaupun secara eksplisit tentang pelaksanaan restorative justice belum
diatur dalam Undang-Undang Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 3 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan : “ bahwa penangkapan, penahanan, dan
penjatuhan hukuman pidana bagi anak adalah upaya terakhir The Last Resort“, dihubungkan dengan adanya pengaturan dalam pasal 24 Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak : “Bahwa Hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa tindakan , yaitu :
- Anak dikembalikan kepada orang tua - Anak diserahkan kepada dinas sosial yayasan social
- Anak diserahkan kepada Negara
Universitas Sumatera Utara
Alur Implementasi Resteroactiv Justice di Pengadilan
LANJUTAN
Universitas Sumatera Utara
BAB III PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP KONSEP
DIVERSI DAN RESTROACTIVE JUSTICE
A. Dasar Putusan Hakim