Kebijakan penegakan hukum law enforcement policy merupakan bagain dari kebijakan sosial social policy termasuk didalamnya kebijakan legislatif
lesilatif polcy. Kebijakan penangulangan kejahatan criminal policy adalah bagian dari kebijakan penegakan hukum.
Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dibagi dua, yaitu jalur “penal” hukum pidana dan jalur non penal bukandi luar hukum pidana.
Menjadi bahan perenungan dan pengkajian bagi para ilmuwan agar sistem peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau setidak-tidaknya
mendekatinya. Hal ini pula yang melahirkan suatu konsep baru dalam dunia peradilan pidana yaitu Diversi dan Restroactive Justice, khususnya untuk tindak
pidana anak. Untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang konsep diversi dan
restroactive justice, perlu diperhatikan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Restroactive Justice Dalam Penegakan Hukum
Pengadilan Negeri Batam 2.
Bagaimana Pelaksanaan Putusan Hakim terhadap Konsep dan Restroactive Justice
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam
Penegakan Hukum Pengadilan Negeri Batam. b.
Untuk mengetahui Bagaimana Pelaksanaan Putusan Hakim terhadap Konsep Diversi dan Restroactive Justice
2. Manfaat Peneltian yaitu sebagai berikut :
Hasil penelitian ini besar harapan penulis untuk dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
- Memberikan masukan pada pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya tentang Konsep Diversi dan Restroactive Justice
- Menambah pengetahuan penulis pada khususnya tentang Konsep Diversi dan Restroactive Justice dalam penegakan hukum
b. Manfaat Praktis :
- Memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti - Memberikan masukan kepada para aparat penegak hukum
dalam menangani masalah khusunya mengenai Tindak Pidana Anak
- Sebagai referensi bagi penelitian berikutnya
Universitas Sumatera Utara
D. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai Konsep Diversi dan Restroactive Justice adalah berdasarkan pemikiran dari penulis sendiri meskipun hal ini telah banyak
dituangkan dalam berbagai tulisan atau karya ilmiah, namun dalam hal berbeda dapat dikatagorikan sebagai peneltian baru karena baik judul dan
permasalahannya berbeda, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional,
obyektif dan jujur dalam menemukan kebenaran
E. Tinjauan Kepustakaan
Setiap penelitian tentunya memerlukan sumber refrensi, baik yang berupa tulisan atau pun pendapat para ilmuwan dan para praktisi mengenai teori-teori,
pengertian dan jenis-jenisnya. Sehinga dapat tersusun secara komperensif, sistematis dan logis. Adapun dalam hal ini, akan diuraikan beberapa hal yaitu
sebagai berikut :
1. Pengertian Diversi
Konsep Diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan peradilan anak yang disampakan Presiden Komisi Pidana
president’s crime commissionis Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya
peradilan anak children’s court sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan
police cautioning. Prakteknya telah berjalan di Negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian queensland pada tahun 1963.
Universitas Sumatera Utara
Secara gramatikal pengertian diversi adalah pengalihan. Dimana pelaksanaan diversi dilatar belakangi keingginan menghindari efek negatif terhadap jiwa
dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Lebih lanjut menurut chris graveson Diversi adalah proses yang telah diakui
secara internasional sebagai cara terbaik dan paling baik dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Intervensi terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum sangat luas dan beragram, tetapi lebih banyak menekankan pada penahan dan penghukuman, tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut
atau betapa mudanya usia anak tersebut Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan
aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi. Diskresi telah diketahui dengan baik oleh polisi tetapi diversi merupakan
istilah di luar dari kepolisian yang digunakan untuk menyebut tindakan di luar sistem peradilan yang diambil terhadap anak yang melakukan pelanggaran
hukum. Diskresi bukanlah konsep baru bagi polisi. Ini adalah salah satu dari konsep yang paling mendasar dalam pemolisian baik secara historis maupun
didalam masyarakat moderen. Polisi telah mempraktekan penggunaan diskresi sejak pertama kali polisi ada atau sebelumnya oleh mereka yang dalam komunitas
atau masyarakat memiliki tangung jawab serupa. Diskresi didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang dapat melakukan pelangaran ringan yang tidak memerlukan
intervensi hukum danatau pengadilan. Diskresi adalah prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum yang berlaku umum, artinya mungkin saja secara formal
tidak ada dalam hukum tertulis tapi telah dikembangkan menjadi praktek yang
Universitas Sumatera Utara
dapat diterima. Sebagian sistem legal bahkan telah menetapkan hukum tertulis mengenai apa yang dapat dan apa yang tidak dapat dilakukan dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penggunaan diskresi dan bagaimana seharusnya diskresi diterapkan.
Hal serupa yang dikatakan oleh Loraine Gethorpe “bahwa diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk
mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya.”
12
2. Pengertian Restroactive Justice
Kebijakan yang diambil oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi menimbulkan kontroversial karena peilngambilan kebijakan penghukuman
mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang. Diskresi mengizinkan suatu pembedaan tindakan terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehinga hal ini dapat
menimbulkan permasalahan dalam hal keadilan terhadap masyarakat. Apabila kita melihat tujuan dari diversi tidaklah jauh berbeda dari diskresi
yaitu menangani pelangaran hukum diluar pengadilan atau sistem peradilan yang formal, Diversi dan diskresi memiliki makna yang hampir sama karena keduanya
dapat digunakan untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana anak.
Hukum pidana secara represif dirasakan tidak menyelesaikan persoalan dalam sistem hukum peradilan pidana. Adanya penyelesaian secara non penal
mendapatkan perhatian dari kalangan hukum.
12
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Menurut Barda Nawawi bahwa hukum pidana banyak keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan yang diteliti dan diungkapkan oleh banyak sarjana
hukum asing antara lain :
13
1. Rubin menyatakan bahwa pemidanaan apapun hakikatnya apakah
dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan ;
2. Selanjutnya scuhld menyatakan bahwa naik turunya kejahatan disuatu
negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-peubahan didalam hukumnya atau kecendrungan-kecendrungan dalam putusan-putusan
pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat
3. Johanes Andreas menyatakan bahwa bekerjanya hukum pidana
selamya dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk
sikap dan tindakan kita 4.
Donald R. Taft dan Ralph W. England menyatakan bahwa efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya
merupakan salah satu bentuk sarana kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan
dari kelompok-kelompok intereset dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah
laku manusia daripada sanski hukum.
13
Barda Nawawi Arief, Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah Seminar Nasional Pendekatan Non Penal Dalam Penangulangan Kejahatan,
Graha Santika Hotel, Semarang, 2 September 1996, hal. 1-15
Universitas Sumatera Utara
5. M. Cherif Bassiouni menegaskan bahwa kita tahu dan tidak pernah
tahu secara pasti metode-metode tindakan treatment apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak
mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap metode tindakan itu. Untuk dapat menjawab masalah-masalah ini secara pasti, kita harus
mengetahui sebasebab kejahatan dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan mengenai etilogi tingkah laku manusia.
Dengan demikian dari pendapat para sarjana hukum tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa bekerjanya hukum pidana tidak dapat menghilangkan
sebab-sebab tindak pidana yang terjadi melainkan penanggulangan sesuatu gejala. Artinya apabila hukum pidana diterapkan kepada anak maka sudah tentu
banyak kemudharatan yang akan dialami di pihak negara, pemborosan negara, pemboroasan anggaran, serta stigmasisasi dan labeling yang tidak bisa dihindari.
Restroactive Justice Adalah bentuk resolusi konflik dan berusaha untuk membuat jelas bagi si pelanggar bahwa perilaku tidak mengampuni menyambut,
pada saat yang sama sebagai yang mendukung dan menghormati individu. Menurut Tony F. Marshall Restorative justice is a process whereby all the
parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.
Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tetentu bertemu bersama untuk menyelesaikan
secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.
14
14
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, 2010, hal. 28
Universitas Sumatera Utara
Dari defenisi tersebut di atas bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya
kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan. Hal ini pula telah ditegaskan dalam hukum perdata dan acara perdata Pasal 130
HIR154 RBG begitu pula dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 dimana Mediasi bersifat wajib dalam semua perkara perdata kecuali perkara Niaga, Pengadilan
Hubungan Industrial, keberatan atas putusan BPSK dan KPPU Pasal 4.
15
15
Lebih lanjut di dalam psl 2 3 mengatakan tidak ditempuhnya proses mediasi berdasarkan perma ini merupakan pelangaran terhadap ketentuan
Pasal 130 HIR154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dan di dalam Pasal 2 4 mengatakan bahwa Hakim dalam pertimbangan
putusannya wajib meyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator
yang bersangkutan. Suatu sinkronisasi apabila kita melihat Restroactive Justice dan mediasi
dalam hukum perdata. Perbedaan antar keduanya ialah dalam mediasi sifatnya adalah wajib dan apabila tidak dilakukan maka putusan batal demi hukum
sementara dalam Restroactive Justice tidak mengharuskan untuk dilaksankan, melainkan hanyalah sebagai alternatif untuk menyelesaikan suatu tindak
pidana.
www.mahkamahagung.com Legislasi Perma
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip dalam Restroactive Justice antara lain : 1.
Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya
2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan
kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif
3. Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal
penyelesaian masalahnya 4.
Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah
5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang
dianggap salah atau jahat dengan reaksi sosial yang formal
16
Prinsip yang sama dijelaskan dalam konsep Restroactive Justice yang termuat dalam draft Declaraction of Basic Principles on the use of Restroactive
Justice Programmer in Criminal Matters.
17
1. Program Restroactive Justice berarti beberapa program yang
menggunakan proses Restroactive Justice atau mempunyai maksud mencapai hasil Restroactive Restroactive outcome
2. Restroactive outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai
hasil dari proses Restroactive Justice. Contoh ; restitution, community service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan
masyarakat dan mengembalikan koban danatau pelaku
16
Adrianus Meliala, Restroactive Justice, artikel dalam http;googlecom
17
Marlina, Op.Cit, hal. 37
Universitas Sumatera Utara
3. Restroactive proces dalam hal ini adalah suatu proses dimana koban,
pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktip bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan
dan di campuri oleh pihak ketiga 4.
Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang
dilibatkan dalam program Restroactive Justice 5.
Facilitator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi pertisipasi keikutsertaan korban, pelaku dalam
pertemuan Adapun menurut Van Ness untuk mengembangkan konsep Restroactive Justice
harus memperhatikan beberapa hal yaitu :
18
1. Kejahatan pada dasarnya merupakan konflik antara individu-individu
yang menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri, hanya secara efek lanjutannya merupakan pelangaran hukum
2. Tujuan lebih penting dari pada proses sistem peradilan pidana haruslah
melakukan rekonsiliasi para pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada korban akibat dari kriminal yang terjadi
3. Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi
aktif dari korban, pelaku dan msyarakat dan bukan didominisasi oleh negara dengan mengeluarkan orang komponen yang terlibat dengan
pelanggaran dari proses penyelesian.
18
Ibid, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan Restroactive Justice telah menjadi model dominan dari sistem peradilan pidana dalam kebanyakan sejarah manusia. Diskusi tentang
Restroactive Justice di beberapa negara dimulai dengan membandingkan sistem peradilan pidana yang ada sekarang dengan proses Restroactive Justice.
Menurut Howard Zehr sistem penghukuman Restributive Justice dimulai dengan sebuah pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan pelanggaran terhadap
hukum yang dibuat negara. Kejahatan tersebut harus telah dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh negara, sehingga terhadap
seseorang yang melakukan pelanggaran dituduh bersalah terhadap seseorang. sedangkan Restroactive Justice adalah suatu pandangan penghukuman yang
diarahkan pada upaya untuk memulihkan kembali keadaan yang telah tergoncang akibat terjadinya kekerasan kepada keadaan semula saat sebelum terjadinya
tindakan pelanggaran. Proses penyelesainnyadiarahkan untuk menghasilkan keadilan bagi semua pihak baik itu korban, pelaku dan masyarakat.
3. Teori Pengambilan Keputusan
Pada tahun 1950-an pengambilan keputusan oleh hakim kurang memberikan perhatian terhadap pengambilan keputusan, dan hal ini baru dimulai
pada saat perang dunia kedua. Bersamaan dengan dimulianya perang dunia kedua, cikal bakal computer mulai ditemukan. Seorang pilot akan dihadapkan pada
berbagai alternatif pilihan dalam pekejaaannya sehingga memahami proses berpikir manusia menjadi sesuatu yang sangat penting. Setelah perang dunia
kedua dan seiring dengan semakin berkembangnya kemajuan computer, pembicaraan pemprosesan informasi menjadi penting dan teori-teori berpikir
tahun 1800-an banyak dikaji ulang dalam konsep teori pemrosesan informasi.
Universitas Sumatera Utara
Informasi tidak dapat dilepaskan dengan pengambilan keputusan, karena hal ini sejalan, apakah baik atau tidaknya keputusan itu dibuat.
Menurut “Umslot mengatakan bahwa pengambilan keputusan decision making merupakan proses berpikir dan perilaku yang menghasilkan suatu pilihan.”
19
Pendapat yang berbeda diutarakan oleh “Matlin dimana pengambilan keputusan dengan penalaran resoning dalam hal derajat kepastian situasinya.
lebih lanjut lagi ia mengatakan penalaran merupakan pengujian terhadap informasi dan penarikan kesimpulan dalam situasi yang lebih pasti dibanding
dengan pengambilan keputusan.” Dengan kata lain dalam hal ini ini adanya proses berpikir dan perilaku sehingga
mengakibatkan suatu pilihan.
20
Menurut “Umstot menjelaskan bahwa pemecahan masalah problem solving meliputi proses sistematik yaitu mendefenisikan problem, mengumpulkan data,
mengajukan alternatif, menentukan pilihan diantara sekian banyak alternative, menerapkan pemecahan masalah dan tindak lanjut.”
21
Sedangkan, menurut Malayu S.P. Hasibuan mendefenisikan yaitu suatu proses penentuan keputusan yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk
melakukan aktivitas-aktivitas pada masa yang akan datang.
22
19
Yusti Probowati Rahay, Dibalik Putusan Hakim, hal. 51 dikutip dari, Umstot, D.D. 1988, Understanding Organixatational Behavior, San Fransisco; West Publishing Company;
20
Ibid., hal. 51, dikutip dari, Matlin, M.W. 1989. Cognition. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc. hal. 75
21
Ibid., hal 51, dikutip dari, Umstot, D.D. 1988, Understanding Organixatational Behavior, San Fransisco; West Publishing Company;
22
Sumber: http:id.shvoong.comwriting-and-speaking2103425-pengertian-pengambilan- keputusanixzz1Ksly1L2Y
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa defenisi yang dikemukakan, dapat disimpulkan pengambilan keputusan yaitu proses bagaimana menetapkan suatu keputusan yang terbaik,
logis, rasional dan ideal berdasarkan fakta, data dan informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dengan resiko terkecil,
efektif dan efisien, yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang. Dasar pengambilan keputusan adalah berpikir. Menurut Dawes dan Kagen
secara sederhana berpikir dapat dibedakan menjadi berpikir otomatis dan terkontrol. Salah satu berpikir secara otomatis adalah asosiasi yaitu sesuatu pada
lingkungan yang memunculkan ide dalam pikiran atau satu ide memunculkan ide lain atau ingatan lain. Dan berpikir terkontrol adalah berpikir yang ilmiah,
yaitu individu menghepotesiskan sejumlah objek atau pengalaman, diamati dan diajukan kemungkinan hipotesisnya.
23
1. Perwakilan representative yaitu evaluasi probalitas atau kemungkinan
dengan melihat seberapa besar A mewakili B dengan memperhatikan kemiripan A mewakili B. jika A sangat mewakili B, probalitas A
berasal dari proses B adalah tinggi, begiu pula sebaliknya; Adapun Kahnemen mengemukakan tiga macam keputusan heuristic atau
Metoda pemecahan masalah yang didasarkan pada pola kecerdasan manusia sebagai berikut :
2. Ketersediaan Avalaibilty yaitu mempertimbangkan kejadian yang ada
dalam pikirannya. Contoh, seseorang memprediksi frekuensi kemungkinan terkena resiko penyakit jantung dengan cara mengingat jumlah
kejadian serangan jantung pada manula yang dikenalnya
23
Ibid., hal 52, dikutip dari, Umstot, D.D. 1988, Understanding Organixatational Behavior, San Fransisco; West Publishing Company;
Universitas Sumatera Utara
3. Penyesuaian dan jangkar Adjustnment Anchor yaitu melakukan
estimasi kuantitatif dengan memulai dari suatu nilai awal kemudian disesuaikan sehingga membawa hasil jawaban akhir”.
24
4. Teori Pengambilan Keputusan Dalam Perkara Pidana
Teori pengambilan keputusan dapat diterapkan ke dalam banyak bidang. Salah satunya dalam pengambilan keputusan perkara pidana. Khususnya ketika
hakim memutuskan terdakwa bersalah atau tidak. “Teori pengambilan keputusan perkara pidana benyak dilandasi pada teori antara lain sebagai berikut :
1. Pendekatan Teori Probalitas. Pendekatan teori probalitas didasari oleh
teori probalitas Bayesian dimana dimensi dasar dari berpikir yang menyatakan bahwa, membuat keputusan adalah probalitas subyektif,
artinya semua informasi akan dikonesp oleh individu sebagi kekuatan keyakinan.
2. Pendekatan Aljabar. Pendekatan aljabar adalah persamaan model
linear atau persamaan rerata yang dibobot. Persamaan rerata yang dibobot berasumsi bahwa setiap bukti yang diidentifikasi akan
diperantarai oleh derajat kepentingan, relevansi dan realibiitas bukti. 3.
Pendekatan Model Cerita. Dalam hal ini, hakim mengumpulkan informasi persidangan dari jaksa penuntut umum, saksi, terdakwa maupun
barang bukti”.
25
24
Ibid., hal 55-56, dikutip dari, Kahneman, D., Slovic, P.,and Tversky, A. 1998. Judgment Under Uncertainly : Heuristic and blases, Cambridge, Massachusetts : Cambridge University Press.
Universitas Sumatera Utara
5. Pengertian dan Jenis-jenis Putusan Hakim
Putusan hakim merupakan sebuah mahkota dan dengan putusan tersebut juga mewakili pribadi pembuat putusan, yang meliputi : karakter, intelegen dan
kebijaksanaan. Karena apabila putusan tersebut dibuat tanpa pertimbangan yang matang maka putusan yang dijatuhkan tidak dapat ditarik kembali, kecuali
dibatalkan oleh pengadilan yang diatasnya yaitu pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Putusan Hakim adalah putusan yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
KUHAP pada Bab I pasal I angka 11 menyebutkan bahwa putusan hakim adalah “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Menurut “Dewi Gemala putusan hakim adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka
untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara”.
26
1. Putusan Bebas
Adapun Jenis-jenis putsan hakim dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut :
2. Putusan lepas dari segala tuntutan Hakim
3. Putusan Pemidanaan
25
Djamaludin Ancok, Dibalik Putusan Hakim, Srikandi, Yogyakarta, hal. 57, 61, 64
26
Dewi Gemala, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, hal. 148
Universitas Sumatera Utara
Ad. 1. Putusan Bebas Atau vrij spraak adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Terhadap Pasal 191 ayat 1 KUHAP kita dapat menarik kesimpulan
dari Unsur-unsur pasal tersebut, yaitu : 1
Dari hasil pemeriksaan “di sidang” pengadilan 2
Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya “tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan
Jenis putusan ini, diambil oleh hakim yang bersangkutan dengan pertimbangan :
3 Tidak memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-undang
secara Negatif. Artinya pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus
kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak cukup itu, tidak diyakini oleh hakim.
4 Tidak memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian. Artinya kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, karena menurut Pasal 183 KUHAP, untuk membuktikan kesalahan
seorang terdakwa, harus dibuktikan degan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yaitu keyakinan hakim. Maka menurut
“Yahya Harahap dari kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dihubungkan dengan Pasal 191 ayat 1 putusan bebas
didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim :
Universitas Sumatera Utara
a. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak
terbukti, semua alat bukti yang diajukan di persidangan bai berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk
maupun keterangan terdakwa, tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Dengan kata lain perbuatan yang
didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan, tidak
cukup atau tidak memadai membuktikan kesalahan yang didakwakan kepda terdakwa
b. Secara nayat hakim menilai, pembuktian kesalahan yang
didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian juga bertentangan. Misalnya, saksi yang dihadirkan
dipersidangan hanya satu orag saksi saja, yang mana satu saksi bukanlah saksi unus testis nullus testis
c. Putusan bebas tersebut tidak didukung oleh keyakinan hakim.
penilaian yan demikian sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP, yang mengajarkan pembuktian
menurut undang-undang secara negatif. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus didukung
oleh keyakinan hakim. sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian
yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim.”
27
Hal ini menurut hemat penulis, agar hakim benar-benar menjatuhkan putusan kepada seseorang yang benar-benar terbukti bersalah atau tidak terjadi
salah menjatuhkan putusan pada orang yang tidak bersalah. Sebagaimana asas hokum mengatakan “Lebih baik membebaskan seorang orang yang terbukti
bersalah dari pada menghukum orang yang tidak terbukti bersalah”. Lebih lanjut “Yahya Harahap mengatakan, bahwa dalam Pasal 191
KUHAP dapat lagi diperluas dengan syarat-syarat yang diatur dalam KUHP atau Undang- Undang, hal-hal keadaan itu antara lain :
27
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 347-354
Universitas Sumatera Utara
1 Pasal 44; apabila perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa
“tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, disebabkan : a.
Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau mental disorder sehinga akalnya tetap sebagai anak-anak atau
b. Jiwanya tergangu karena penyakit seperti sakit gila, histeria,
epilepsi, melankolik dan sebagainya 2
Pasal 45; perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang belum cukup umurnya 16 tahun, terhadap pelaku tindak pidana yang
belum cukup umurnya 16 tahun, hakim dapat menentukan : a.
Memerintahkan supaya anak bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaanya “tanpa hukuman pidana”, atau
b. Memerintahkan supaya anak yang bersalah tersebut diserahkan
kepada Pemerintah “tanpa pidana apa pun” jika perbuatan yang dilakukannya merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
yang diatur dalam Pasal 489, 490, 492 dan Pasal 24 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
3 Pasal 48; orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya
paksa overmacht baik bersifat daya paksa batin atau fisik”.
28
Selanjutnya apabila ditelaah, terhadap putusan bebas itu sendiri, adanya perkembangan yang dibagi menjadi “dua bentuk yaitu :
1 Putusan bebas murni atau de “zulvere vrijspraak” di mana hakim
membenarkan mengenai “feiten”-nya 2
Putusan bebas tidak murni atau de “onzulvere vrijspraak” yaitu batalnya dakwaan secara terselebung atau perampasan yang
menurut kenyataanya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam surat dakwaan”.
29
Ad. 2. Putusan lepas dari segala tuntutan Hukum atau Onslag van alte rechtsvervolging. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat 2 KUHAP yang mana
berbunyi :
28
Ibid,. hal 347-348
29
Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 179
Universitas Sumatera Utara
“jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Terhadap Pasal 191 ayat 2 KUHAP dapat terjadi jika :
1 Dari hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan.
2 Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secar sah dan
meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana. Melainkan yurisdiksi hukum perdata,
adat atau dagang. 3
Adanya alasan pemaaf strafultsluitings-grondenfeit de’axcuse’ dan alasan pembenar rechtsvaardigings-ground.
Ad.3. Putusan Pemidanaan atau veroordeling yang mana diatur dalam Pasal 193 ayat 1 KUHAP yaitu :
“jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”
“Putusan pemidanaan ini dapat terjadi jika memenuhi hal-hal sebagai berikut : 1
Dari hasil pemeriksaan didepan persidangan 2
Majelis hakim berpendapat bahwa ; a
Putusan terdakwa sebagaimana didakwakan JaksaPenutut Umum dalam surat dakwakan telah terbuti secara sah dan
meyakinkan menurut hukum. b
Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak kejahatan atau pelanggaran dan
c Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di
persidangan Pasal 183 dan Pasal 184 ayat 1 KUHAP”
30
30
Ibid, hal. 194
Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan
pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-
permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan,
31
2. Lokasi Penelitian
dan dalam penulisan skripsi ini digunakan penelitian hukum kepustakaan
Library research yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang mencakup bahan sekunder dan bahan hukum tertier serta penelitian
lapangan field research yang dilakukan dengan cara wawancara ke berbagai narasumber yang terkait dengan topic yang dibahas.
Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil lokasi Kotamadya Batam.
3. Sumber Data
Dalam memperoleh data penelitian penulis membagi atas 2 bagian yaitu :
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 2007, hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian
lapangan yang berhubungan dengan obyek skripsi b.
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil mempelajari buku-buku, literatur-literatur, karangan ilmiah yang berkaitan dengan
permasalahan
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Penelitian kepustakaan yaitu mempelajari buku-buku dan literatur-literatur
serta karangan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian. b.
Penelitian lapangan yaitu dengan cara melakukan penelitian pada instansi terkait dengan cara wawancara yaitu mengajukan daftar
pertanyaan secara langsung kepada responden.
5. Metode Analisa Data
Berdasarkan analisa data yang dikumpulkan melalui penelitian akan diolah dengan mengunkan metode sebagai berikut :
Kualitatif, yaitu dengan menganalisa data yang diperoleh dari penelitian yang bersifat urain teori-teori dan pendapat para sarjana untuk mendapatkan
kesimpulan secara yuridis dan sistematik.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penyusunan dan pemahaman terhadap skripsi ini, maka disusun dengan sistematika yang terdiri dari empat bab.
Universitas Sumatera Utara
BAB I Merupakan bab yang berisikan Pendahuluan, menguraikan tentang latar
belakang masalah, perumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Keasliaan penelitian, tinjauan pustaka tentang landasan teori yang
memperkuat alasan yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah yang terbagi dalam empat sub bab yaitu Pengertian Diversi, Pengertian
Restroactive Justice, Teori Pengambilan Keputusan dan Pengertian dan Jenis-jenis Putusan Hakim, serta berisi tentang Metode penelitisn yaitu
Jenis penelitian, Lokasi penelitian dan Sumber data
BAB II Merupakan bab yang berisikan konsep diversi dan restroactive justice
dalam penegakan hukum menguraikan tentang sejarah diversi dan restroactive justice, prinsip dan tujuan diversi, prinsip dan tujuan
restroactive justice, peran diversi dalam penegakan hukum, model restroactive justice
BAB III Merupakan bab yang berisikan pelaksanaan putusan hakim terhadap
konsep diversi dan restroactive justice menguraikan tentang, dasar putusan hakim, metode hakim dalam mengambil keputusan, dan
menganalisis beberapa putusan anak kaitannya dengan konsep diversi dan restroactive justice
BAB IV Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil
pembahasan dan saran yang dapat dijadikan bahan masukan untuk melakukan konsep diversi dan restroactive justice
Universitas Sumatera Utara
BAB II KONSEP DIVERSI DAN RESTROACTIVE JUSTICE DALAM
PENEGAKAN HUKUM
A. Sejarah Diversi dan Restroactive Justice 1. Sejarah Diversi