Kajian Yuridis Tentang Konsep Diversi dan Restroactive Justice Pada Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Batam

(1)

KAJIAN YURIDIS TENTANG KONSEP DIVERSI DAN

RESTROAKTIVE JUSTICE PADA PELAKSANAAN

PUTUSAN PENGADILAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan MemenuhiSyarat-syarat

Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

YUSI ASTUTY

080221010

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

KAJIAN YURIDIS TENTANG KONSEP DIVERSI DAN

RESTROAKTIVE JUSTICE PADA PELAKSANAAN

PUTUSAN PENGADILAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan MemenuhiSyarat-syarat

Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Hukum Oleh :

YUSI ASTUTY

080221010

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA DISETUJUI OLEH

KETUA DEPARTEMEN HUKUMPIDANA

Dr. Muhammad Hamdan, SH, MH NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Abul Khair, SH, M.Hum Numalawaty, SH, M.Hum NIP. 19610721989031001 NIP. 196209071988112001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

ABSTRAK

YUSI ASTUTY*

ABUL KHAIR, SH, M.Hum**

NURMALAWATY, SH, M.Hum***

1. Bagaimana Konsep Restroactive Justice Dalam Penegakan Hukum

Pengadilan Negeri Batam

Dilatarbelakangi penagganan kejahatan melalui upaya penal yang dilakukan oleh anak, menjadi tanda tanya bagi penulis, apakah anak tersebut sudah siap apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, dan bagaimana masa depan anak itu sendiri. Adanya upaya dari beberapa golongan untuk mengeluarkan anak dari sistem peradilan pidana, karena dianggap menciderai kesejahtraan anak dan bukan menjadi semakin baik melainkan semakin jahat karena pergaulan anak berada didalam lapas lebih-lebih lagi terciptanya stigmaisasi bagi anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya Restroactive justice dan diversi sebagai alternatif penyelesain bagi anak yang sedang berkonflik. Indonesia sudah memiliki aturan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak antara lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditambah telah adanya surat kesepakatan bersama antara aparat Penegak Hukum dalam menangani anak yang sedang berkonflik. Melihat hal tersebut di atas, secara impilisit sudah mengarah kepada Restroactive justice.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis ingin mengkaji dan menuangkan di dalam penulisan hukum, sekaligus sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Universitas Sumatera Utara. Dengan judul “Kajian Yuridis Tentang Konsep Diversi dan Restroactive Justice Pada Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Batam”, Oleh sebab itu, yang menjadi permasalahan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

2. Bagaimana Pelaksanaan Putusan Hakim terhadap Konsep dan

Restroactive Justice

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan hukum ini adalah metode sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya. Penulisan hukum ini juga dilakukan penelitian kepustakaan yang mencakup bahan sekunder dan bahan hukum tertier serta penelitian dilapangan yang dilakukan dengan cara wawancara ke berbagai narasumber yang terkait dengan topik yang dibahas.

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **

Dosen Pembibing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***


(4)

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri Batam, didapatkan data bahwa konsep maupun pelaksanaan Restroactive Justice dalam penanganan tindak pidana anak belum pernah dilakukan, melainkan dengan sistem penal melalui undang-undang pengadilan anak. Pelaksanaan Restroactive Justice tersebut baru pertama kali dilakukan di Pengadilan Negeri Bandung oleh salah satu hakim anak yaitu HJ. DS. DEWI, SH, MH. Pertimbangan tersebut didasarkan agar terwujudnya pemulihan bagi para pihak atas kerusakan yang ditimbulkan sehingga dapat mengoreksi (to Restore/memperbaiki) perbuatan kriminal yang dilakukan anak, dengan pengertian dilakukan untuk kepentingan terbaik – dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya.

Konsep Restroactive Justice perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penanganan kasus anak. Konsep ini melibatkan semua pihak dalam rangka untuk perbaikan moral anak agar anak tidak lagi mengulangi perbuatannya namun anak tidak merasa menjadi seperti seorang pesakitan sehingga mempengaruhi perkembangan mental anak.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan karunia yang begitu besar kepada penulis sehingga skripsi yang berjudul ”Kajian Yuridis Tentang Konsep Diversi dan Restroaktive Justice Pada Pelaksanaan Putusan Pengadilan” dapat terselesaikan. Sejalan dengan penyelesaian skripsi ini begitu banyak hikmah yang penulis terima terutama dalam hal jarak, kesabaran dan Penyerahan diri kepada Tuhan.

Dengan segenap kekurangan dan kelebihan yang ada penulis telah

memaksimalkan untuk menulis menyelesaikan skripsi ini sebaik mungkin.

Namun penulis mengerti bahwasanya skripsi ini masih perlu disempurnakan lagi. Mohon pembaca untuk memberikan kritik,saran yang membangun

Penulis menyadari keterbatasan yang dimiliki selama penulis menyelesaikan skripsi ini sehingga telah melibatkan banyak pihak yang memberikan bantuan moril serta berbagai kemudahan fasilitas bahkan doa yang tulus dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Syarifudin, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum


(6)

4. M. Husni, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

5. Dr. Muhammad Hamdan, SH, MH selaku Kepala Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Liza Erwina, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

7. Abul Khair, SH, M.Hum Selaku Dosen Pembimbing I penulis atas segala

saran, waktu, dan bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Nurmalawaty, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II penulis atas segala saran, waktu, dan bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Pendastaren Tarigan, SH, M.Hum selaku Dosen Wali Penulis selama

mengikuti masa perkuliahan

10.Orang Tua tercinta M. Purba dan C. br Brahmana atas segala cinta kasih dan dukungan yang tidak henti-hentinya yang diberikan kepada penulis hingga saat ini

11.Suami terkasih Imanta Ginting atas cinta dan dukungan hingga saat ini

12.Abangku terkasih Theo Adrianus, SH dan adikku Yan Patmos, SH atas segala dukungan dan motivasinya selama ini kepada penulis

13.Ungkapan terima kasih buat Ketua Pengadilan Negeri Batam dan Panitera Sekertaris Pengadilan Negeri Batam yang telah memberi izin kuliah kepada penulis

14.Ungkapan terimakasih buat rekan- rekan kerja di Pengadilan Negeri Batam, rekan-rekan ekstension angkatan 2008 yang telah memberikan semangat hingga penulis menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(7)

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya, meskipun penulis menyadari kekurangan dalam penyusunan skripsi ini.

Medan, Nopember 2011 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Keaslian Penelitian ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

1. Pengertian Diversi ... 10

2. Pengertian Restroactive Justice ... 12

3. Teori Pengambilan Keputusan ... 18

4. Teori Pengambilan Keputusan Dalam Perkara Pidana ... 21

5. Pengertian dan Jenis-jenis Putusan Hakim ... 22

F. Metodologi Penelitian ... 27

G. Sistematika Penulisan ... 28

BAB II : KONSEP DIVERSI DAN RESTROACTIVE JUSTICE DALAM PENEGAKAN HUKUM ... 30

A. Sejarah Diversi dan Restroactive Justice ... 30

B. Prinsip dan Tujuan Diversi ... 45

C. Tujuan Diversi... 45

D. Prinsip dan Tujuan Restroactive Justice ... 48

E. Peran Diversi Dalam Penegakan Hukum ... 55


(9)

BAB III : PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM TERHADAP

KONSEPSI DIVERSI DAN RESTROACTIVE JUSTICE ... 75

A. Dasar Putusan Hakim ... 75

B. Metode Hakim Dalam Mengambil Keputusan... 77

C. Kasus dan Analisis Kasus ... 84

1. Putusan No. 12/PID.A/2010/PN.BTM ... 84

Analisis Kasus Putusan No. 12/PID.A/2010/PN.BTM ... 84

2. Putusan No. 14/PID.A/2010/PN.BTM ... 95

Analisis Kasus Putusan No. 14/PID.A/2010/PN.BTM ... 95

3. Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor 779/PID.A/2010/PN.STB ... 113

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN... 151

A. Kesimpulan ... 151

B. Saran ... 153


(10)

ABSTRAK

YUSI ASTUTY*

ABUL KHAIR, SH, M.Hum**

NURMALAWATY, SH, M.Hum***

1. Bagaimana Konsep Restroactive Justice Dalam Penegakan Hukum

Pengadilan Negeri Batam

Dilatarbelakangi penagganan kejahatan melalui upaya penal yang dilakukan oleh anak, menjadi tanda tanya bagi penulis, apakah anak tersebut sudah siap apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, dan bagaimana masa depan anak itu sendiri. Adanya upaya dari beberapa golongan untuk mengeluarkan anak dari sistem peradilan pidana, karena dianggap menciderai kesejahtraan anak dan bukan menjadi semakin baik melainkan semakin jahat karena pergaulan anak berada didalam lapas lebih-lebih lagi terciptanya stigmaisasi bagi anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya Restroactive justice dan diversi sebagai alternatif penyelesain bagi anak yang sedang berkonflik. Indonesia sudah memiliki aturan untuk melindungi, mensejahterakan dan memenuhi hak-hak anak antara lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditambah telah adanya surat kesepakatan bersama antara aparat Penegak Hukum dalam menangani anak yang sedang berkonflik. Melihat hal tersebut di atas, secara impilisit sudah mengarah kepada Restroactive justice.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis ingin mengkaji dan menuangkan di dalam penulisan hukum, sekaligus sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Universitas Sumatera Utara. Dengan judul “Kajian Yuridis Tentang Konsep Diversi dan Restroactive Justice Pada Pelaksanaan Putusan Pengadilan Negeri Batam”, Oleh sebab itu, yang menjadi permasalahan penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

2. Bagaimana Pelaksanaan Putusan Hakim terhadap Konsep dan

Restroactive Justice

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan hukum ini adalah metode sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya. Penulisan hukum ini juga dilakukan penelitian kepustakaan yang mencakup bahan sekunder dan bahan hukum tertier serta penelitian dilapangan yang dilakukan dengan cara wawancara ke berbagai narasumber yang terkait dengan topik yang dibahas.

*

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **

Dosen Pembibing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***


(11)

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri Batam, didapatkan data bahwa konsep maupun pelaksanaan Restroactive Justice dalam penanganan tindak pidana anak belum pernah dilakukan, melainkan dengan sistem penal melalui undang-undang pengadilan anak. Pelaksanaan Restroactive Justice tersebut baru pertama kali dilakukan di Pengadilan Negeri Bandung oleh salah satu hakim anak yaitu HJ. DS. DEWI, SH, MH. Pertimbangan tersebut didasarkan agar terwujudnya pemulihan bagi para pihak atas kerusakan yang ditimbulkan sehingga dapat mengoreksi (to Restore/memperbaiki) perbuatan kriminal yang dilakukan anak, dengan pengertian dilakukan untuk kepentingan terbaik – dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya.

Konsep Restroactive Justice perlu menjadi bahan pertimbangan dalam penanganan kasus anak. Konsep ini melibatkan semua pihak dalam rangka untuk perbaikan moral anak agar anak tidak lagi mengulangi perbuatannya namun anak tidak merasa menjadi seperti seorang pesakitan sehingga mempengaruhi perkembangan mental anak.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak sebagai tunas bangsa dalam membangun Indonesia sangatlah penting tidak saja bagi bangsa dan negara melainkan bagi masa depan anak itu sendiri. Dalam undang-undang dasar mengatur jelas hak-hak anak yang salah satunya adalah berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (Ps 28B Amandemen Undang-Undang Dasar ke II, 18 Agustus 2000) dengan kata lain undang-undang menjamin dalam memberikan kebebasan anak dalam mengeluarkan gagasan atau kreativitas anak. Banyak yang kita jumpai potensi-potensi anak yang sangat luar biasa, lebih lagi apabila anak berada dibawah bimbingan belajar baik oleh orangtua maupun bimbingan ekstrakulikuler.

Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai moral terhadap Bangsa. Anak dalam arus globalisasi patutlah harus diperhatikan, memang tidak harus berpandangan extrim terhadap globalisasi namun jiwa anak yang masih labil belum mengerti yang mana yang patut dilakukan atau dicontoh menjadikan orangtua tidak begitu saja melepaskan pergaulan anak dengan teman-temanya. Lebih lagi, bahwa anak, akan cepat meniru apa yang dilihatnya tanpa mengetahui akibat dari setiap pilihan tindakan.


(13)

Tingginya tingkat kejahatan tidak saja dilakukan pada orang dewasa melainkan pula anak-anak pada usia muda sehingga merisaukan orangtua bagaimana membimbing anak-anaknya agar jangan sampai melakukan tindak pidana.

Pengertian anak dapat ditinjau dari berbagai aspek kejiwaan. keijiwaan tampaknya ada pengklasifikasikan yang agak rinci, yaitu anak remaja dini, remaja penuh dewasa muda dan akhirnya dewasa. Perilaku delinkuesi anak, yang merupakan terjemahan dari istilah juvenile delinkuensi adalah perilaku

anak yang melanggar hukum yang apabila dilakukan oleh orang dewasa

termasuk katagori kejahatan, dalam hal ini termasuk perilaku pelanggaran anak terhadap ketentuan perundang-undangan yang khusus diperuntukan bagi mereka. Namun apakah sistem penjatuhan pidana dapat kita samakan dalam penjatuhan pidana bagi orang dewasa.

Dalam teori hukum pidana dikenal dalil Ultimum Remedium atau disebut sebagai sarana terakhir yaitu sebagai sarana perbaikan keadaan yang telah dirusak dengan adanya tindak pidana (obat pamungkas) di dalam masyarakat . Penjatuhan pemidanaan oleh aparatur negara (dalam hal ini lembaga yudikatif) terhadap pelaku tindak pidana adalah obyektif dan fair. Hal ini, guna agar tidak terjadinya balas membalas atau pertikaian di dalam masyarakat. Dimana hanya negaralah yang mempunyai kewenangan untuk membalas dan menegakan hukum guna mencapai keadilan. Namun apakah hal tersebut bermanfaat bagi masyarakat? Dan mengurangi orang untuk tidak melakukan tindak pidana?


(14)

Sejalan dengan hal tersebut menurut Yenti Garnasihbahwa “Pidana merupakan alat yang paling ampuh yang dimiliki negara untuk memerangi kejahatan namun pidana bukan merupakan satu-satunya alat, sehingga pidana jangan diterapkan terpisah, melainkan selalu dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan sosial lainnya, khusunya dalam kombinasi dengan tindakan-tindakan preventit.”1

1. Jangan menggunakan hukum pidana, apabila kerugian yang ditimbulkan dengan pemidanaan akan lebih besar dari pada kerugian oleh suatu tindak pidana

Lebih jauh lagi ia mengatakan :

2. Jangan menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya

diperkirakan tidak akan tepat

Sebagaimana pendapat Satjipto Raharjo bahwa hukum bukanlah

sekedar logika semata karena lebih dari itu hukum merupakan ilmu

sebenarnya.2

1

Yenti Garnasih, “Kebebasan Berpendapat dan Kebijakan Criminal” (LBH Pers), hal. 1 2

Turiman, “Memahami Hukum Progresif Sartipto Rahardjo Dalam Paradigma “Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum yang Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia), “ (Disertasi Doktor Universitas Diponorogo, Semarang, 2010) hal. 2

Gagasan ini yang di tuangkan oleh pemerhati hukum yaitu

Satjipto Raharjo dimana melihat adanya kaitan dengan hal-hal di belakang hukum. Keinginan untuk melihat logika sosial dari pada logika hukum atau perundang-undangan. Yang seharusnya selalu dimaknai sehinga selalu up to date. Dengan kata lain hukum selalu bergerak dan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.


(15)

Seturut dengan pendapat Satjipto Raharjo di atas khususnya “untuk tindak

pidana anak perlunya ada tindakan lain dalam menangani hal tersebut.

Peradilan anak yang mengedepankan perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa”.3

Muncul beberapa argument akan hal ini, yang mengatakan bahwa

terhadap pidana anak seharusnya tidak perlu di masukan dalam penjara, karena dapat mempengaruhi kejiwaan sang anak. “Suasana penjara yang tidak

ramah dan konsep pemisahan dari masyarakat atau lingkungannya,

akan menyebabkan anak merasa dirinya pantas mempersalahkan dirinya dan inferioritas. Tidak layak kembali ke masyarakat. Pada akhirnya, menciptakan lingkaran residivis. Sebab, di lingkungan ini mereka merasa mendapat tempat.”

4

Kebutuhan manusia untuk hidup teratur, serasi, selaras, tentram dan damai tetap dijaga sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, untuk memberikan keamanan kepada setiap warga negara diperlukan tindakan aparat penegak hukum dengan melaksanakan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana. Pelaksanaan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana berada dalam satu sistem yang berdiri dari subsitem yang berhubungan yang disebut dengan sistem peradilan pidana atau Criminal Justice System.

Tingginya tingkat kejahatan yang terjadi seakan Negara tidak mempunyai lagi obat yang ampuh untuk menurunkan angka kejahatan persetiap tahunnya meski hal tersebut telah dibuat Regulasi yang tegas atau represif pada setiap tindak pidana. Upaya preventif dalam menangulangi tindak pidana adalah salah satu instrumen untuk menangulangi tinginya tingkat kejahatan.

4

Ari Budoyo, “Dampak Bagi Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana” Koran Tempo (Selasa, 14 April 2009)


(16)

Criminal Justice System telah dikenalkan pada tahun 1958 oleh Frank Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang memperkenalkan rekayasa administrasiperadilan pidana melalui pendekatan sistem (sistem approach) Gagasan ini kemudian dilekatkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana dan diberi nama Criminal Justice System. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh The President’s Crime Commission.

“Diagram skemetik “Criminal Justice System” telah disusun oleh The Commission’s Task Force on Science and Technology dibawah pimpinan

Alfred Blumstein. Sebagai ahli manajemen, Blumstein menerapkan pendekatan manajarial dengan bertopang pada pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, kemudian sejak saat itu, dalam penanggulangan kejahatan di Amerika Serikat diperkenalkan dan dikembangkan pendekatan sistem sebagai pengganti pendekatan hukum dan ketertiban. Melalui pendekatan ini kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendri melainkan masing-masing merupakan unsur penting dan berkaitan erat satu sama lain.”5

1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan)

“Menurut Romli Atmassamita, ciri pendekatan sistem dalam peradilan dapat dilakukan antara lain :

2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana

5

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Persepektif Eksistensialisme dan Abolisme, Binacipta, Bandung, 1996, hal. 8


(17)

3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari Efektivitas penyelesaian perkara

4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “the administration of justice”6

Sistem Peradilan Pidana Menurut Mardjono Reksodiputro merupakan “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan, bertujuan mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi dan menyelesaikan sebagian besar laporan ataupun keluhan masyarakat yang menjadi korban kejahatan dengan mengajukan pelaku kejahatan ke sidang pengadilan untuk diputus bersalah serta mendapat pidana, kemudian mencegah terjadinya korban kejahatan serta mencegah pelaku mengulangi kejahatannya”.

7

Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana menurut Mardjono dapat dirumuskan yaitu :

Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana

(Criminal Justuce System) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi dapat diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.

8

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana dan

3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya 6

Ibid, hal.10 7

Mardjono Reksodipoetro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-batas Toleransi”; Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993 : 1

8


(18)

Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sisitem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu “integrated criminal justice system” apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian sebagai berikut :9 1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing

instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama

2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana) dan

3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana

Menurut Marlina sistem peradilan pidana terdiri dari empat komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga kemasyarakatan, keempat komponen tersebut bekerja sama dalam menegakan keadilan. Tahapan dalam proses peradilan pidana yaitu tahap prajudikasi (sebelum sidang peradilan) meliputi penyidikan dan penyelidikan, judikasi (selama sidang peradilan) meliputu pemeriksaan dan pembuktian tuntutan pihak jaksa dan pascajudikasi (setelah sidang peradilan) meliputi pelaksanaan putusan yang telah ditetapkan dalam persidangan seperti penempatan terpidana dalam lembaga permasyarakatan. Sistem peradilan pidana menjadi perangkat hukum dalam menanggulangi berbagai bentuk kriminalisasi di masyarakat. Penggunanaan

9


(19)

sistem peradilan pidana dianggap bentuk respon penanggulangan kriminal

dan wujud usaha penegakan hukum pidana. Sistem tersebut diharapkan

mampu menyelesaikan persoalan kejahatan yang terjadi, akan tetapi dalam pelaksanaannya tujuan tersebut belum seluruhnya berhasil. Sebagai contoh banyak pelaku tindak pidana kembali mengulangi kejahatannya atau resedivis. Hal tersebutlah yang menjadi Kesukaran didalam sistem peradilan pidana.10

“Apa yang menjadi tujuan utama sistem peradilan pidana sulit dicapai, melindungi, mengamankan dan menentramkan masyarakat belum dirasakan sebagian besar masyarakat. Demikian juga pelaku kriminal yang telah menjalani pidana diharapkan kembali kejalan benar dan tidak mengulangi perbuatannya belum berhasil.”

Selanjutnya Menurut Rusli Muhamad mengatakan bahwa :

11

10

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 5

11

Rusli Muhamad. (1999). Reformasi Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta; dalam Journal Hukum Ius Quia lustum, Nomor 1, Vol. 6, hal. 45

Pemerintah sebagai penyelengara kehidupan bernegara memberikan perlindungan dan kesehjatraan kepada masyarakat. Untuk itu pemerintah melakukan berbagai upaya kebijakan yang teragenda dalam dalam progaram pembangunan nasioanal. Kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan nasional tergabung dalam kebijakan sosial (social politik). Kebijakan sosial memuat kebijakan bidang politik, ekonomi, hukum, pertahanan keamanan, pengelolahan sumber daya alam, kesehatan lingkungan kehidupan dan lain sebagainya. Kebijakan-kebijakan tersebut berpengaruh pada peningkatan kaulitas kehidupan masyarakat.


(20)

Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) merupakan bagain dari kebijakan sosial (social policy) termasuk didalamnya kebijakan legislatif (lesilatif polcy). Kebijakan penangulangan kejahatan (criminal policy) adalah bagian dari kebijakan penegakan hukum.

Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dibagi dua, yaitu jalur “penal” (hukum pidana) dan jalur non penal (bukan/di luar hukum pidana). Menjadi bahan perenungan dan pengkajian bagi para ilmuwan agar sistem peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau setidak-tidaknya mendekatinya. Hal ini pula yang melahirkan suatu konsep baru dalam dunia peradilan pidana yaitu Diversi dan Restroactive Justice, khususnya untuk tindak pidana anak.

Untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang konsep diversi dan restroactive justice, perlu diperhatikan beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Restroactive Justice Dalam Penegakan Hukum

Pengadilan Negeri Batam

2. Bagaimana Pelaksanaan Putusan Hakim terhadap Konsep dan Restroactive Justice


(21)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam

Penegakan Hukum Pengadilan Negeri Batam.

b. Untuk mengetahui Bagaimana Pelaksanaan Putusan Hakim terhadap

Konsep Diversi dan Restroactive Justice 2. Manfaat Peneltian yaitu sebagai berikut :

Hasil penelitian ini besar harapan penulis untuk dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

- Memberikan masukan pada pengetahuan di bidang ilmu hukum

khususnya tentang Konsep Diversi dan Restroactive Justice

- Menambah pengetahuan penulis pada khususnya tentang Konsep

Diversi dan Restroactive Justice dalam penegakan hukum b. Manfaat Praktis :

- Memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti

- Memberikan masukan kepada para aparat penegak hukum

dalam menangani masalah khusunya mengenai Tindak Pidana Anak


(22)

D. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai Konsep Diversi dan Restroactive Justice adalah berdasarkan pemikiran dari penulis sendiri meskipun hal ini telah banyak

dituangkan dalam berbagai tulisan atau karya ilmiah, namun dalam hal

berbeda dapat dikatagorikan sebagai peneltian baru karena baik judul dan permasalahannya berbeda, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan ilmiah sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan jujur dalam menemukan kebenaran

E. Tinjauan Kepustakaan

Setiap penelitian tentunya memerlukan sumber refrensi, baik yang berupa tulisan atau pun pendapat para ilmuwan dan para praktisi mengenai teori-teori, pengertian dan jenis-jenisnya. Sehinga dapat tersusun secara komperensif, sistematis dan logis. Adapun dalam hal ini, akan diuraikan beberapa hal yaitu sebagai berikut :

1. Pengertian Diversi

Konsep Diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada

laporan peradilan anak yang disampakan Presiden Komisi Pidana

(president’s crime commissionis) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya peradilan anak (children’s court) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di Negara bagian Victoria Australia pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian queensland pada tahun 1963.


(23)

Secara gramatikal pengertian diversi adalah pengalihan. Dimana pelaksanaan diversi dilatar belakangi keingginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana. Lebih lanjut menurut chris graveson Diversi adalah proses yang telah diakui secara internasional sebagai cara terbaik dan paling baik dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum. Intervensi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum sangat luas dan beragram, tetapi lebih banyak menekankan pada penahan dan penghukuman, tanpa peduli betapa ringannya pelanggaran tersebut atau betapa mudanya usia anak tersebut

Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia diskresi. Diskresi telah diketahui dengan baik oleh polisi tetapi diversi merupakan istilah di luar dari kepolisian yang digunakan untuk menyebut tindakan di luar sistem peradilan yang diambil terhadap anak yang melakukan pelanggaran hukum. Diskresi bukanlah konsep baru bagi polisi. Ini adalah salah satu dari konsep yang paling mendasar dalam pemolisian baik secara historis maupun didalam masyarakat moderen. Polisi telah mempraktekan penggunaan diskresi sejak pertama kali polisi ada atau sebelumnya oleh mereka yang dalam komunitas atau masyarakat memiliki tangung jawab serupa. Diskresi didasarkan pada prinsip bahwa setiap orang dapat melakukan pelangaran ringan yang tidak memerlukan intervensi hukum dan/atau pengadilan. Diskresi adalah prinsip yang telah ditetapkan dalam hukum yang berlaku umum, artinya mungkin saja secara formal tidak ada dalam hukum tertulis tapi telah dikembangkan menjadi praktek yang


(24)

dapat diterima. Sebagian sistem legal bahkan telah menetapkan hukum tertulis mengenai apa yang dapat dan apa yang tidak dapat dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penggunaan diskresi dan bagaimana seharusnya diskresi diterapkan.

Hal serupa yang dikatakan oleh Loraine Gethorpe “bahwa diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya.”12

2. Pengertian Restroactive Justice

Kebijakan yang diambil oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi menimbulkan kontroversial karena peilngambilan kebijakan penghukuman mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang. Diskresi mengizinkan suatu pembedaan tindakan terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehinga hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam hal keadilan terhadap masyarakat.

Apabila kita melihat tujuan dari diversi tidaklah jauh berbeda dari diskresi yaitu menangani pelangaran hukum diluar pengadilan atau sistem peradilan yang formal, Diversi dan diskresi memiliki makna yang hampir sama karena keduanya dapat digunakan untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana anak.

Hukum pidana secara represif dirasakan tidak menyelesaikan persoalan dalam sistem hukum peradilan pidana. Adanya penyelesaian secara non penal mendapatkan perhatian dari kalangan hukum.

12

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010, hal. 2


(25)

Menurut Barda Nawawi bahwa hukum pidana banyak keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan yang diteliti dan diungkapkan oleh banyak sarjana hukum asing antara lain :13

1. Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya) apakah

dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan ;

2. Selanjutnya scuhld menyatakan bahwa naik turunya kejahatan disuatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-peubahan didalam hukumnya atau kecendrungan-kecendrungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat

3. Johanes Andreas menyatakan bahwa bekerjanya hukum pidana

selamya dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk sikap dan tindakan kita

4. Donald R. Taft dan Ralph W. England menyatakan bahwa efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu bentuk sarana kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok intereset dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanski hukum.

13

Barda Nawawi Arief, Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah Seminar Nasional Pendekatan Non Penal Dalam Penangulangan Kejahatan, Graha Santika Hotel, Semarang, 2 September 1996, hal. 1-15


(26)

5. M. Cherif Bassiouni menegaskan bahwa kita tahu dan tidak pernah tahu secara pasti metode-metode tindakan (treatment) apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap metode tindakan itu. Untuk dapat menjawab masalah-masalah ini secara pasti, kita harus mengetahui sebasebab kejahatan dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan mengenai etilogi tingkah laku manusia. Dengan demikian dari pendapat para sarjana hukum tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa bekerjanya hukum pidana tidak dapat menghilangkan sebab-sebab tindak pidana yang terjadi melainkan penanggulangan sesuatu gejala. Artinya apabila hukum pidana diterapkan kepada anak maka sudah tentu banyak kemudharatan yang akan dialami di pihak negara, pemborosan negara, pemboroasan anggaran, serta stigmasisasi dan labeling yang tidak bisa dihindari.

Restroactive Justice Adalah bentuk resolusi konflik dan berusaha untuk membuat jelas bagi si pelanggar bahwa perilaku tidak mengampuni (menyambut), pada saat yang sama sebagai yang mendukung dan menghormati individu.

Menurut Tony F. Marshall Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.

(Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang

berkepentingan dalam pelanggaran tetentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).14

14

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, 2010, hal. 28


(27)

Dari defenisi tersebut di atas bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan. Hal ini pula telah ditegaskan dalam hukum perdata dan acara perdata Pasal 130 HIR/154 RBG begitu pula dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 dimana Mediasi bersifat wajib dalam semua perkara perdata kecuali perkara Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, keberatan atas putusan BPSK dan KPPU (Pasal 4).15

Lebih lanjut di dalam psl 2 (3) mengatakan tidak ditempuhnya proses mediasi berdasarkan perma ini merupakan pelangaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR/154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dan di dalam Pasal 2 (4) mengatakan bahwa Hakim dalam pertimbangan putusannya wajib meyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator yang bersangkutan.

Suatu sinkronisasi apabila kita melihat Restroactive Justice dan mediasi dalam hukum perdata. Perbedaan antar keduanya ialah dalam mediasi sifatnya adalah wajib dan apabila tidak dilakukan maka putusan batal demi hukum sementara dalam Restroactive Justice tidak mengharuskan untuk dilaksankan, melainkan hanyalah sebagai alternatif untuk menyelesaikan suatu tindak pidana.


(28)

Prinsip-prinsip dalam Restroactive Justice antara lain :

1. Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki

kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya

2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan

kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif

3. Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal

penyelesaian masalahnya

4. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan

masalah

5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang

dianggap salah atau jahat dengan reaksi sosial yang formal16

Prinsip yang sama dijelaskan dalam konsep Restroactive Justice yang termuat dalam draft Declaraction of Basic Principles on the use of Restroactive Justice Programmer in Criminal Matters.

17

1. Program Restroactive Justice berarti beberapa program yang

menggunakan proses Restroactive Justice atau mempunyai maksud mencapai hasil Restroactive (Restroactive outcome)

2. Restroactive outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai hasil dari proses Restroactive Justice. Contoh ; restitution, community

service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan

masyarakat dan mengembalikan koban dan/atau pelaku

16

Adrianus Meliala, Restroactive Justice, artikel dalam http;//google/com 17


(29)

3. Restroactive proces dalam hal ini adalah suatu proses dimana koban, pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktip bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan dan di campuri oleh pihak ketiga

4. Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang dilibatkan dalam program Restroactive Justice

5. Facilitator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi pertisipasi keikutsertaan korban, pelaku dalam pertemuan

Adapun menurut Van Ness untuk mengembangkan konsep Restroactive Justice

harus memperhatikan beberapa hal yaitu :18

1. Kejahatan pada dasarnya merupakan konflik antara individu-individu yang menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri, hanya secara efek lanjutannya merupakan pelangaran hukum 2. Tujuan lebih penting dari pada proses sistem peradilan pidana haruslah

melakukan rekonsiliasi para pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada korban akibat dari kriminal yang terjadi

3. Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi aktif dari korban, pelaku dan msyarakat dan bukan didominisasi oleh negara dengan mengeluarkan orang komponen yang terlibat dengan pelanggaran dari proses penyelesian.

18


(30)

Pendekatan Restroactive Justice telah menjadi model dominan dari sistem peradilan pidana dalam kebanyakan sejarah manusia. Diskusi tentang

Restroactive Justice di beberapa negara dimulai dengan membandingkan sistem peradilan pidana yang ada sekarang dengan proses Restroactive Justice.

Menurut Howard Zehr sistem penghukuman Restributive Justice dimulai dengan sebuah pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan pelanggaran terhadap hukum yang dibuat negara. Kejahatan tersebut harus telah dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh negara, sehingga terhadap seseorang yang melakukan pelanggaran dituduh bersalah terhadap seseorang.

sedangkan Restroactive Justice adalah suatu pandangan penghukuman yang

diarahkan padaupaya untuk memulihkan kembali keadaan yang telah tergoncang akibat terjadinya kekerasan kepada keadaan semula saat sebelum terjadinya tindakan pelanggaran. Proses penyelesainnyadiarahkan untuk menghasilkan keadilan bagi semua pihak baik itu korban, pelaku dan masyarakat.

3. Teori Pengambilan Keputusan

Pada tahun 1950-an pengambilan keputusan oleh hakim kurang memberikan perhatian terhadap pengambilan keputusan, dan hal ini baru dimulai pada saat perang dunia kedua. Bersamaan dengan dimulianya perang dunia kedua, cikal bakal computer mulai ditemukan. Seorang pilot akan dihadapkan pada berbagai alternatif pilihan dalam pekejaaannya sehingga memahami proses berpikir manusia menjadi sesuatu yang sangat penting. Setelah perang dunia kedua dan seiring dengan semakin berkembangnya kemajuan computer, pembicaraan pemprosesan informasi menjadi penting dan teori-teori berpikir tahun 1800-an banyak dikaji ulang dalam konsep teori pemrosesan informasi.


(31)

Informasi tidak dapat dilepaskan dengan pengambilan keputusan, karena hal ini sejalan, apakah baik atau tidaknya keputusan itu dibuat. Menurut “Umslot mengatakan bahwa pengambilan keputusan (decision making) merupakan proses berpikir dan perilaku yang menghasilkan suatu pilihan.”19

Pendapat yang berbeda diutarakan oleh “Matlin dimana pengambilan keputusan dengan penalaran (resoning) dalam hal derajat kepastian situasinya. lebih lanjut lagi ia mengatakan penalaran merupakan pengujian terhadap informasi dan penarikan kesimpulan dalam situasi yang lebih pasti dibanding dengan pengambilan keputusan.”

Dengan kata lain dalam hal ini ini adanya proses berpikir dan perilaku sehingga mengakibatkan suatu pilihan.

20

Menurut “Umstot menjelaskan bahwa pemecahan masalah (problem solving) meliputi proses sistematik yaitu mendefenisikan problem, mengumpulkan data, mengajukan alternatif, menentukan pilihan diantara sekian banyak alternative, menerapkan pemecahan masalah dan tindak lanjut.”

21

Sedangkan, menurut Malayu S.P. Hasibuan mendefenisikan yaitu

suatu proses penentuan keputusan yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk melakukan aktivitas-aktivitas pada masa yang akan datang.

22

19

Yusti Probowati Rahay, Dibalik Putusan Hakim, hal. 51 dikutip dari, Umstot, D.D. 1988, Understanding Organixatational Behavior, San Fransisco; West Publishing Company;

20

Ibid., hal. 51, dikutip dari, Matlin, M.W. 1989. Cognition. New York : Holt, Rinehart and Winston, Inc. hal. 75

21

Ibid., hal 51, dikutip dari, Umstot, D.D. 1988, Understanding Organixatational Behavior, San Fransisco; West Publishing Company;

22

Sumber


(32)

Dari beberapa defenisi yang dikemukakan, dapat disimpulkan pengambilan keputusan yaitu proses bagaimana menetapkan suatu keputusan yang terbaik, logis, rasional dan ideal berdasarkan fakta, data dan informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan dengan resiko terkecil, efektif dan efisien, yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang.

Dasar pengambilan keputusan adalah berpikir. Menurut Dawes dan Kagen secara sederhana berpikir dapat dibedakan menjadi berpikir otomatis dan terkontrol. Salah satu berpikir secara otomatis adalah asosiasi yaitu sesuatu pada lingkungan yang memunculkan ide dalam pikiran atau satu ide memunculkan ide lain atau ingatan lain. Dan berpikir terkontrol adalah berpikir yang ilmiah, yaitu individu menghepotesiskan sejumlah objek atau pengalaman, diamati dan diajukan kemungkinan hipotesisnya.23

1. Perwakilan (representative) yaitu evaluasi probalitas atau kemungkinan dengan melihat seberapa besar A mewakili B dengan memperhatikan kemiripan A mewakili B. jika A sangat mewakili B, probalitas A berasal dari proses B adalah tinggi, begiu pula sebaliknya;

Adapun Kahnemen mengemukakan tiga macam keputusan heuristic atau Metoda pemecahan masalah yang didasarkan pada pola kecerdasan manusia sebagai berikut :

2. Ketersediaan (Avalaibilty) yaitu mempertimbangkan kejadian yang ada dalam pikirannya. Contoh, seseorang memprediksi frekuensi kemungkinan terkena resiko penyakit jantung dengan cara mengingat jumlah kejadian serangan jantung pada manula yang dikenalnya

23

Ibid., hal 52, dikutip dari, Umstot, D.D. 1988, Understanding Organixatational Behavior, San Fransisco; West Publishing Company;


(33)

3. Penyesuaian dan jangkar (Adjustnment & Anchor) yaitu melakukan estimasi kuantitatif dengan memulai dari suatu nilai awal kemudian disesuaikan sehingga membawa hasil jawaban akhir”.24

4. Teori Pengambilan Keputusan Dalam Perkara Pidana

Teori pengambilan keputusan dapat diterapkan ke dalam banyak bidang. Salah satunya dalam pengambilan keputusan perkara pidana. Khususnya ketika hakim memutuskan terdakwa bersalah atau tidak. “Teori pengambilan keputusan perkara pidana benyak dilandasi pada teori antara lain sebagai berikut :

1. Pendekatan Teori Probalitas. Pendekatan teori probalitas didasari oleh teori probalitas Bayesian dimana dimensi dasar dari berpikir yang menyatakan bahwa, membuat keputusan adalah probalitas subyektif, artinya semua informasi akan dikonesp oleh individu sebagi kekuatan keyakinan.

2. Pendekatan Aljabar. Pendekatan aljabar adalah persamaan model

linear atau persamaan rerata yang dibobot. Persamaan rerata yang dibobot berasumsi bahwa setiap bukti yang diidentifikasi akan diperantarai oleh derajat kepentingan, relevansi dan realibiitas bukti.

3. Pendekatan Model Cerita. Dalam hal ini, hakim mengumpulkan

informasi persidangan dari jaksa penuntut umum, saksi, terdakwa maupun barang bukti”.25

24

Ibid., hal 55-56, dikutip dari, Kahneman, D., Slovic, P.,and Tversky, A. 1998. Judgment Under Uncertainly : Heuristic and blases, Cambridge, Massachusetts : Cambridge University Press.


(34)

5. Pengertian dan Jenis-jenis Putusan Hakim

Putusan hakim merupakan sebuah mahkota dan dengan putusan tersebut juga mewakili pribadi pembuat putusan, yang meliputi : karakter, intelegen dan kebijaksanaan. Karena apabila putusan tersebut dibuat tanpa pertimbangan yang matang maka putusan yang dijatuhkan tidak dapat ditarik kembali, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang diatasnya yaitu pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali.

Putusan Hakim adalah putusan yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Bab I pasal I angka 11 menyebutkan bahwa putusan hakim adalah “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Menurut “Dewi Gemala putusan hakim adalah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara”.26

1. Putusan Bebas

Adapun Jenis-jenis putsan hakim dalam hukum acara pidana adalah sebagai berikut :

2. Putusan lepas dari segala tuntutan Hakim

3. Putusan Pemidanaan

25

Djamaludin Ancok, Dibalik Putusan Hakim, Srikandi, Yogyakarta, hal. 57, 61, 64 26

Dewi Gemala, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, hal. 148


(35)

Ad. 1. Putusan Bebas Atau vrij spraak adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Terhadap Pasal 191 ayat (1) KUHAP kita dapat menarik kesimpulan dari Unsur-unsur pasal tersebut, yaitu :

1) Dari hasil pemeriksaan “di sidang” pengadilan

2) Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya

“tidak terbukti” secara sah dan meyakinkan

Jenis putusan ini, diambil oleh hakim yang bersangkutan dengan pertimbangan :

3) Tidak memenuhi Asas Pembuktian Menurut Undang-undang

secara Negatif. Artinya pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak cukup itu, tidak diyakini oleh hakim.

4) Tidak memenuhi Asas Batas Minimum Pembuktian. Artinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, karena menurut Pasal 183 KUHAP, untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan degan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, yaitu keyakinan hakim. Maka menurut “Yahya Harahap dari kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) putusan bebas didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim :


(36)

a. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan di persidangan bai berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk maupun keterangan terdakwa, tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Dengan kata lain perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan, tidak cukup atau tidak memadai membuktikan kesalahan yang didakwakan kepda terdakwa

b. Secara nayat hakim menilai, pembuktian kesalahan yang

didakwakan tidak memenuhi ketentuan batas minimum pembuktian juga bertentangan. Misalnya, saksi yang dihadirkan dipersidangan hanya satu orag saksi saja, yang mana satu saksi bukanlah saksi (unus testis nullus testis)

c. Putusan bebas tersebut tidak didukung oleh keyakinan hakim. penilaian yan demikian sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP, yang mengajarkan pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah, harus didukung oleh keyakinan hakim. sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim.”27

Hal ini menurut hemat penulis, agar hakim benar-benar menjatuhkan putusan kepada seseorang yang benar-benar terbukti bersalah atau tidak terjadi salah menjatuhkan putusan pada orang yang tidak bersalah. Sebagaimana asas hokum mengatakan “Lebih baik membebaskan seorang orang yang terbukti bersalah dari pada menghukum orang yang tidak terbukti bersalah”.

Lebih lanjut “Yahya Harahap mengatakan, bahwa dalam Pasal 191 KUHAP dapat lagi diperluas dengan syarat-syarat yang diatur dalam KUHP atau Undang- Undang, hal-hal keadaan itu antara lain :

27

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 347-354


(37)

1) Pasal 44; apabila perbuatan tindak pidana yang dilakukan terdakwa “tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, disebabkan :

a. Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau mental disorder sehinga akalnya tetap sebagai anak-anak atau

b. Jiwanya tergangu karena penyakit seperti sakit gila, histeria, epilepsi, melankolik dan sebagainya

2) Pasal 45; perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang belum cukup umurnya 16 tahun, terhadap pelaku tindak pidana yang belum cukup umurnya 16 tahun, hakim dapat menentukan :

a. Memerintahkan supaya anak bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaanya “tanpa hukuman pidana”, atau

b. Memerintahkan supaya anak yang bersalah tersebut diserahkan

kepada Pemerintah “tanpa pidana apa pun” jika perbuatan yang dilakukannya merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diatur dalam Pasal 489, 490, 492 dan Pasal 24 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

3) Pasal 48; orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa (overmacht) baik bersifat daya paksa batin atau fisik”.28

Selanjutnya apabila ditelaah, terhadap putusan bebas itu sendiri, adanya perkembangan yang dibagi menjadi “dua bentuk yaitu :

1) Putusan bebas murni atau de “zulvere vrijspraak” di mana hakim membenarkan mengenai “feiten”-nya

2) Putusan bebas tidak murni atau de “onzulvere vrijspraak” yaitu

batalnya dakwaan secara terselebung atau perampasan yang

menurut kenyataanya tidak didasarkan pada ketidakterbuktian dalam surat dakwaan”.29

Ad. 2. Putusan lepas dari segala tuntutan Hukum atau Onslag van alte

rechtsvervolging. Hal ini diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang mana berbunyi :

28

Ibid,. hal 347-348 29

Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 179


(38)

“jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

Terhadap Pasal 191 ayat (2) KUHAP dapat terjadi jika : 1) Dari hasil pemeriksaan di depan sidang pengadilan.

2) Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secar sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana. Melainkan yurisdiksi hukum perdata, adat atau dagang.

3) Adanya alasan pemaaf (strafultsluitings-gronden/feit de’axcuse’) dan alasan pembenar (rechtsvaardigings-ground).

Ad.3. Putusan Pemidanaan atau veroordeling yang mana diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yaitu :

“jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana” “Putusan pemidanaan ini dapat terjadi jika memenuhi hal-hal sebagai berikut :

1) Dari hasil pemeriksaan didepan persidangan 2) Majelis hakim berpendapat bahwa ;

a) Putusan terdakwa sebagaimana didakwakan Jaksa/Penutut

Umum dalam surat dakwakan telah terbuti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.

b) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak

kejahatan atau pelanggaran dan

c) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di

persidangan (Pasal 183 dan Pasal 184 ayat (1) KUHAP)”30 30


(39)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan- permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan,31

2. Lokasi Penelitian

dan dalam

penulisan skripsi ini digunakan penelitian hukum kepustakaan (Library research) yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka

yang mencakup bahan sekunder dan bahan hukum tertier serta penelitian lapangan (field research) yang dilakukan dengan cara wawancara ke berbagai narasumber yang terkait dengan topic yang dibahas.

Dalam melakukan penelitian ini penulis mengambil lokasi Kotamadya Batam.

3. Sumber Data

Dalam memperoleh data penelitian penulis membagi atas 2 bagian yaitu :

31


(40)

a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian lapangan yang berhubungan dengan obyek skripsi

b.Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil mempelajari buku-buku, literatur-literatur, karangan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Penelitian kepustakaan yaitu mempelajari buku-buku dan literatur-literatur serta karangan ilmiah lainnya yang berhubungan dengan obyek penelitian.

b.Penelitian lapangan yaitu dengan cara melakukan penelitian pada

instansi terkait dengan cara wawancara yaitu mengajukan daftar pertanyaan secara langsung kepada responden.

5. Metode Analisa Data

Berdasarkan analisa data yang dikumpulkan melalui penelitian akan diolah dengan mengunkan metode sebagai berikut :

Kualitatif, yaitu dengan menganalisa data yang diperoleh dari penelitian yang bersifat urain teori-teori dan pendapat para sarjana untuk mendapatkan kesimpulan secara yuridis dan sistematik.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penyusunan dan pemahaman terhadap skripsi ini, maka disusun dengan sistematika yang terdiri dari empat bab.


(41)

BAB I Merupakan bab yang berisikanPendahuluan, menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Keasliaan penelitian, tinjauan pustaka tentang landasan teori yang memperkuat alasan yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah yang terbagi dalam empat sub bab yaitu Pengertian Diversi, Pengertian Restroactive Justice, Teori Pengambilan Keputusan dan Pengertian dan Jenis-jenis Putusan Hakim, serta berisi tentang Metode penelitisn yaitu Jenis penelitian, Lokasi penelitian dan Sumber data

BAB II Merupakan bab yang berisikan konsep diversi dan restroactive justice dalam penegakan hukum menguraikan tentang sejarah diversi dan restroactive justice, prinsip dan tujuan diversi, prinsip dan tujuan restroactive justice, peran diversi dalam penegakan hukum, model restroactive justice

BAB III Merupakan bab yang berisikan pelaksanaan putusan hakim terhadap konsep diversi dan restroactive justice menguraikan tentang, dasar putusan hakim, metode hakim dalam mengambil keputusan, dan menganalisis beberapa putusan anak kaitannya dengan konsep diversi dan restroactive justice

BAB IV Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan dan saran yang dapat dijadikan bahan masukan untuk melakukan konsep diversi dan restroactive justice


(42)

BAB II

KONSEP DIVERSI DAN RESTROACTIVE JUSTICE DALAM

PENEGAKAN HUKUM

A. Sejarah Diversi dan Restroactive Justice 1. Sejarah Diversi

Perkembangan hukum tidak dapat kita lepaskan dari perkembangan yang terjadi di masyarakat. Komuniti atau masyarakat adalah penduduk yang masing-masing anggotanya baik pribadi maupun kelompok saling mengadakan hubungan karena adanya naluri untuk hidup bersama dengan orang lain untuk memenuhi kepentingan-kepentingannya namun tentunya masing-masing orang dilandasai Hak dan Kewajiban agar terciptanya suatu keteraturan. Adanya aturan adalah sebagai ketertiban didalam masyarakat kiranya perlu diregulasikan secara baik atau relevan dengan kebutuhan di masyarkat. Khususnya yang berkaitan dengan pemidanaan atau penal polcy yang langsung menyangkut masa depan, status, atau nasib seseorang yang diancam pemidanaan sebagaimana yang dikatakan oleh Bagir Manan bahwa Kaidah-kaidah pemidanaan, terutama kaidah pidana materiil (substantive criminal law), adalah kaidah yang mengandung muatan membatasi atau mengurangi (abridging), bahkan dapat mencabut atau meniadakan hak asasi (elimating) hak asasi manusia. Setiap bentuk sanksi pidana merupakan pengurangan atau pencabutan hak asasi manusia, karena akan mencabut kemerdekaan (pidana badan), perampasan harta benda, bahkan nyawa (pidana mati). Untuk menghindari pelanggaran hak asasi yang tidak cukup beralasan (unreasonable), apalagi sewenang-wenang (arbitraty), perlu pengaturan yang baik


(43)

dalam tata cara (criminal law procedure).32

Menurut Wirdjono Prodjodikkoro tujuan pemidanaan adalah untuk memenuhi rasa keadilan.

Berarti dengan kata lain bahwa setiap orang haruslah diangap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bahkan sekalipun seseorang di anggap bersalah dan telah dijatuhi hukuman tetap memperhatikan hak-hak dari terdakwa itu sendri.

33

Ada juga yang mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan dapat dilihat melalui 2 (dua) teori mengenai alasan-alasan yang membenarkan (justificaion) pencatuhan hukuman (sanksi) yaitu teori Absolut (vergeldingstheorie) dan Teori Relatif (doeltheorie)34

Menurut Theorie Absolut (vergeldingstheorie) tujuan pemidanaan sebagai pembalasan terhadap para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan kesengasaraan terhadap orang lain atau anggota Masyarakat, sedangkan Roeslan Saleh mengatakan sebagai reaksi-reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik.

35

a. Menjerakan, agar si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak menglanginya lagi perbuatannya (speciale preventie) serta masyarakat

umum agar mengatahui jika melakukan perbuatan yang sama,

akan mengalami hukuman yang serupa atau disebut pula general

prenventive

Menurut Theorie Relatif (doeltheorie), tujuan pemidanaan

adalah :

32

Bagir Manan, Penegakan Hukum Dalam Perkara Pidana, 33

Wirdjono Prodjodikkoro, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta. Sinar Grafika. Mei, 2005, Cetakan Pertama, hal. 4

34

Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika, Mei 2005, Cetakan Pertama, hal. 4

35


(44)

b. Memperbaiki pribadi si terpidana, berdasarakan perlakuan dan pendidikan selama menjalani hukuman, terpidana merasa menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatannya dan kembali kepada masyarakat sebagai orang baik dan berguna

c. Membinasakan (menjatuhkan pidana mati) atau membuat terpidana

tidak berdaya dengan menjatuhkan seumur hidup36

Pandangan di atas sangatlah wajar apabila beranjak dari pandangan bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi (bijzonderesanctierecht), sebab dengan bertumpu pada sanksi itulah hukum pidana yang difungsikan untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keadilan. Namun disatu sisi apakah tidak ada jalan lain di luar pemidanaan?

Ketidakpuasaan terhadap penal sistem khususnya terhadap tindak pidana anak yang pula menekankan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak melahirkan suatu cara baru yaitu diversi dan restroactivejustice. Anak yang melakukan pelanggaran atau tindak pidana sangat besar dipengaruhi oleh faktor diluar anak tersebut seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan

kemanusian untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove)

seorang anak yan melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap

36

Rudy satriyo Mukantardjo, “Ketentuan Pidana Dalam Sistem Peradilan di Indonesia”, (Makalah Disampaikan Pada Acara Ceramah Peningkatan Pengetahuan Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Jakarta, 27 Agustus 2010


(45)

lebih baik untuk anak. Berdasarkan pikiran tersebut maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa indonesia disebut diversi atau pengalihan.37

Sebelum berbicara tentang diversi ada baiknya akan dijelakan mengenai diskresi sebagai pengantar ke konsep diversi. Diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan meneruskan perkara atau mengehentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimiliknya

38

Dalam buku Juvenile Delinquency yang ditulis oleh Clemens Bartolla ditulis beberapa faktor yang mempengaruhi aparat penegak hukum yaitu polisi dalam melakukan diskresi terhadap anak di Amerika Serikat terdapat beberapa faktor yang sering menjadi dasar tak tertulis dalam diskresi. Pertama sifat keseriusan dari pelangaran yang dibuat anak yakni keberartian dari pelangaran tersebut terhadap bahaya yang ditimbulkannya. Faktor kedua tanggapan dari

warga atau masyarakat terhadap pelaku atau pelanggaran yang dibuatnya. Jika masyarakat sangat menghendaki anak diteruskan ke pengadilan, maka polisi

akan sulit untuk melepaskannya kembali ke masyarakat dan meneruskannya ke pengadilan. faktor ketiga jenis kelamin dari pelaku perempuan lebih suka dikembalikan polisi kepada orang tua dibanding anak laki-laki. Hal ini karena pertimbangan perlindungan anak permpuan yang sulit jika diproses di Pengadilan atau dipenjara. Anak perempuan yang diteruskan ke Pengadilan untuk kasus seperti pelacuran, pembangkangan terhadap orang tua dan melarikan diri dari rumah.

37

Marlina, S.H., M. Hum, Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, 2010, Cetakan Pertama, hal. 1


(46)

Faktor ke empat ras warga minoritas lebih sering diteruskan ke Pengadilan dibanding kelompok mayoritas39

Menurut Bagir Manan diskresi adalah ranah hukum administrasi.

Diskresi (beleidsvrijheid) merupakan kelengkapan yang secara inheren melekat pada setiap administrasi negara atau setiap pengelola organisasi. Lebih lanjut , faktor tingkatan ekonomi dan sosial menjadi pertimbangan kelima dalam pelaksanaan diskresi. Faktor keenam yaitu kondisi individu pelaku sendiri menjadi pertimbangan diskresi oleh polisi seperti umur anakriwayat pelangaran yang dibuat anak, pergaulan, situasi keluarga dan hubungan baik dengan orang tua. Jika kondisi lingkungan dan keluarganya tidak mendukung perbaikan anak maka polisi akan meneruskan kasusunya ke pengadilan. faktor ke tujuh mengenai interaksi antara polisi dan anak pelaku saat penanganan kasus. Anak yang sopan dan bekerjasama dengan baik akan lebih disukai untuk dikembalikan ke rumah daripada anak yang tidak sopan dan faktor terakhir berasal dari tekanan masyarakat di luar polisi dan anak seperti media massa dan departemen atau bagaian dari polisi yang menangani anak tersebut.

Faktor-faktor itulah yang menimbulkan adanya diskresi oleh aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi masih menjadi bagian kontroversial karena pengambilan kebijakan penghukuman mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang. Dalam hal ini mengizinkan suatu pembedaan tindkan terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehingga dapat menimbulkan permsalahan dalam hal keadiian terhadap masyarakat.

39

Thedoere N. Ferdinand dan Elimer C. Luchterhand. “Inner City Youths, the Police, the Juvenile Court, and Justice”, Social Problems 17 (spring 1970), hal. 510-527 dan Goldman, The differential Selections of Juvenile Offender for Court Appearances; Piliavin and Briar. “Police Encounters With Juveniles”. Dikutip dari buku Clemens Bartollas


(47)

mengatakan Diskresi merupakan instrumen memecahkan masalah, mendorong dinamika dan kreativitas dan lain-lain yang tidak dapat dijangkau oleh hukum

(legality, rechtmatigheid). Ada yang melukiskan hubungan antara hukum (law, legislation) dengan diskresi (discretion) bak hubungan antara rangka

(susunan tulang) dengan otot (daging). Diskresi sebagai otot akan memungkinkan susunan tulang (peraturan, hukum) bergerak atau digerakkan secara teratur.

Harus diakui, dalam beberapa analisis atau praktik, terkesan atau dikesankan, seolah-olah diskresi mengandung muatan yang membenarkan tindakan di luar kerangka hukum (out of legal frame). Hal ini terjadi karena istilah yang dipergunakan dan fungsi diskresi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa apabila ditinjau dalam ilmu hukum administrasi Indonesia yang berakar dari Belanda dan Jerman, lazim dipergunakan sebutan Freis Ermessen atau beleidsvrijheid yang lazim diterjemahkan sebagai kebebasan bertindak. Karena bebas bertindak, secara gampang dimaknakan sebagai boleh bertindak di luar hukum. Ungkapan lain untuk membedakan tindakan menurut hukum dan diskresi adalah rechtmatigheid

dan doelmatigheid. Tindakan menurut atau berdasarkan hukum hanya dapat dilakukan kalau ada dasar hukum (legality, legaliteitsbeginsel). Tidak demikian dengan diskresi. Dalam diskresi yang dikedepankan adalah manfaat atau tujuan. Pemahaman-pemahaman seperti ini tidak tepat. Paling tidak, ada tiga landasan diskresi yang benar.

1. Pembuat diskresi harus mempunyai wewenang menurut hukum.

Tanpa wewenang, suatu diskresi adalah tindakan sewenang-wenang (arbitrary, willekeur).


(48)

2. Tujuan diskresi tidak boleh bertentangan dengan hukum (legal purposeful). 3. Kebebasan dalam diskresi adalah kebebasan memilih (freedom of choice)

berdasarkan masalah yang dihadapi yang berada dalam lingkungan landasan pertama dan kedua.

Memperhatikan landasan di atas, maka sesungguhnya unsur legality dalam diskresi sama sekali tidak boleh diabaikan. Kebebasan (freedom of choice) ada pada pilihan agar mencapai manfaat sebesar-besarnya tanpa bertentangan dengan hukum.40

Diskresi yang memberikan kesempatan bagi penegak hukum adalah sebuah kebebasan dalam membuat keputusan sesuai dengan rasa keadilan oleh pribadi seseorang yang mempunyai wewenang kekuasaan. Namun yang perlu diperhatikan bagaimana seseorang petugas secara individu atau kelompok yang punya wewenang dalam menangani suatu kasus untuk mengunakan kebijakan sendiri dalam suatu situasai yang terjadi untuk melakukan atau tidak melakukan. Secara sederhana diskresi menunjukan kebebasan kekuasaan untuk membuat keputusan dengan pertibangan pribadi yang memperhatikan kebaikan dan keadilan bagi semua pihak, guna mencari alternatif lain yang bukan pidana. Prakteknya pertimbangan atau pilihan dikresi banyak dipaksakan tidak hanya oleh aturan formal yang ada tapi juga oleh desakan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi atas pilihan yang ada. Desakan-desakan tersebut menjadi alasan petugas menetapkan kebijakan akan tetapi kebijakan yang di tetapkan tidak membuat pelanggaran atas norma-norma hukum lain atau hak-hak yang mestinya dipenuhi.

40


(49)

Alasan tersebutlah yang menjadi salah satu hal penting yang sesuai dengan point-point dari pembuat kebijakan diskresi untuk membuat prosedur dan metode kerjanya juga. Oleh karena itu diskresi yang berjalan pada semua bagian dari pembuat sistem peradilan pidana dan berhubungan dengan penggontrolan aparat.

Sekarang marilah kita melihat sejarah dari diversi itu sendiri. Menurut catatan sejarah di negara Inggris polisi telah lama melakukan diskresi

dan mengalihkan anak kepada proses non formal seperti pada kasus penanganan terhadap anak-anak yang mempergunakan barang mainan yang membahayakan orang lain. Catatan pertama kali dilakukannya perlakuan khusus untuk anak atas tindak pidannya adalah pada tahun 1833, yakni dengan melakukan proses informal di luar peradilan.41 Menurut aturan Children Act tahun 1908 polisi diberi tugas menangani anak sebelum masuk ke pengadilan dengan lebih memperhatikan pemberian kesehjatraan dan keadilan kepada anak pelaku tindak pidana. Pemberian perlakuan khusus terhadap anak pelaku tindak pidana ini termasuk program diversi.42

Di Inggris perkembangan pelaksaaan diversi terhadap anak terus dilaksanakan sampai akhirnya tercatat akhir abad ke 19 yaitu, negara Inggris yang merupakan negara yang paling banyak melakukan diversi terhadap anak dengan mengunakan peradilan khusus untuk anak atau pengadilan anak.

41

Loraine Geltshorpe dan Nicola Padfield. Op.Cit., hal 29, Yang dikutip dari buku Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam. USU Press. Medan. 2010. hal. 25. DR. Marlina, SH, M.Hum

42


(50)

Pada tahun 1890 di negara Australia semasa berada dalam kolonial Inggris telah melakukan pemisahan peradilan anak dan dewasa dan dilakukan pelatihan dan pendidikan bagi para petugas peradilan untuk melakukan rehabilitasi terhadap anak, sedangkan di Amerika Serikat pembuatan pengadilan anak yang pertama pada tahun 1899 dengan membuat perlakuan hukum khusus bagi pelaku anak.43

Program yang besar pada abad ke 19 tentang gerakan keselamatan anak

44

yaitu untuk membuat bentuk peradilan yang bersifat informal, lebih memberi perhatian terhadap masalah perlindungan anak secara alami daripada menitik beratkan sifat pelanggaran yang dilakukannya, selain itu untuk memindahkan tanggung jawab dengan memperhatikan kesehjatraan dan kepentingan terbaik untuk anak daripada keadilan terhadap pribadi atau memberikan kekuasaan kepada peradilan untuk menyatakan anak telah bersalah melakukan pelanggaran hukum.45

Ilmu sosial mempunyai peran untuk melawan sistem yang telah berjalan saat ini paling tidak dengan dua cara. Pertama dari sisi teori labeling yang diakibatkan sistem peradilan pidana formal telah memberikan identitas negatif bagi pelaku anak sehingga membahayakan kehidapan mereka secara sosial. Kedua ada akumulasi dari pengaruh studi evaluasi yang memberikan dukungan kepada kesimpulan umum bahwa kekurangan tersebut menjadi usaha untuk

43

Ibid, hal 24. Yang dikutip dari buku L. Empey dan MC. Stafford (1991), American Delinquency. USA; Homewood Iiinois, hal.59

44

Ibid. Yang dikutip dari buku Anthony M Platt. (1997). The Child Savers; The Invention of Delinquency. Chicago; The University of Chicago Press. Second edition. Enlarged, hal. 139-145

45

Ibid. Yang dikutip dari buku. Folk, Kenneth (Desember 2003) Early Intervention Diversion And Youth Conferencing, A National Review Of Current approach To Diverting Juvenile Frm The Criminal Justice System. Australia Goverment attorney general’s Departement, Canberra, Commonwealth of Australia


(51)

merekapitulasi atau memperbaiki komponen peradilan yang tidak berjalan dalam sebuah sistem peradilan46

Muncie, J. Berpendapat sedikitnya ada tiga komponen berbeda yang diinginkan masyarakat umum berdasarkan pendapat yang dikemukakan Cohen pada tahun 1985. ketidak teraturan yang dikemukakan Cohen yaitu, termasuk :

(Folk Kennth (Desember 2003) Early Intervention Diversion And Youth Conferencing, A National Review Of Current approach To Diverting Juvenile Frm The Criminal Justice System. Australia Goverment attorney general’s Departement, Canberra, Commonwealth of Australia)

Pada tahun 1960 kedua pemikiran ini digabungkan ketika adanya pertumbuhan yang tinggi terjadinya penyimpangan dan hak hukum dari anak. Akhirnya kedua pemikiran tersebut menghasilkan model kesehjateraan melakukan pendekatan yang berbeda dalam melakukan upaya cara penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, selanjutnya dengan pertimbangan tersebut diharapkan pengambilan keputusan pemidanaan dilakukan melalui perundingan di luar sistem peradilan pidana formal yang ada.

47

1. Diversi dari kejahatan, jenisnya adalah sejumlah pendekatan baik lembaga pemerintah atau sosial dalam usaha pencegahan kejahatan (crime prevention)

2. Diversi dari penuntutan umum, termasuk tahapan dari polisi atau

peradilan anak untuk memindahkan anak muda dari sistem peradilan pidana formal setelah persentuhan awal dan juga kepada keputusan hakim pengadilan

46 Ibid 47


(52)

3. Diversi dari tahanan, termasuk prosedur dan tahapan mencari sanksi alternatif melalui pengecualian dalam memberikan tuntutan dan menjatuhkan hukuman terhadap anak muda atau melalui penahanan yang dibuat dalam kerangka institusi lembaga anak negara.

Tiga hal di atas perlu dilakukan untuk mendukung proses kriminal yang dijalankan terhadap anak selain proses yang ada dalam penanganan kriminal secara formal pada umumnya. Di Australia sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 merupakan masa yang panjang dalam proses reformasi untuk mengkritik bentuk perlindungan yang diberikan dalam peradilan pidana anak. Keberadaan peradilan anak (due proces) dan intervensi masalah non kriminal akan dapat memenuhi tuntutan masyarakat dalam menangani perkara anak.

2. Sejarah Restroactiv Justice

Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh cara berpikir positivis yang beranggapan bahwa penyelesian kasus tindak pidana hanya bersandarkan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini sangat berlawanan dengan pemahaman yang ada bahwa hukum hanya merupakan sarana/upaya hukum terakhir (ultimum remedium). Masalah penegakan hukum pidana dilakukan dalam rangka penanggulangan kejahatan di masyarakat. Hukum merupakan sarana untuk menyelesaikan konflik, menegakanan kebenaran dan keadilan. Dalam upaya penangulangan kejahatan maka tidak dapat dipisahkan kaitannya dengan politik kriminal (criminal policy), yaitu sebagai usaha rasional


(53)

masyarakat dalam menanggulangi kejahatan, secara operasional dapat dilakukan baik melalui sarana penal maupunj non penal, kedua sarana ini (penal dan non penal) merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Penyelesaian melalui sarana penal dirasa kuranglah efektif. Fungsinya pun kadang-kadang tidak bersifat masksimal (total enforcement). Sarana yang diharapkan berfungsi dengan baik yaitu sarana non penal.

Di berbagai negara untuk mengembangkan dan mengimplementasikan Restroactivejustice, PBB dalam kongres ke 10 tentang pencegahan tindak pidana dan perlakuan terhadap para pelanggar (The Tenth UN Congres on Crime Prevention and Treatment of Offenders) yang diadakan di Wina pada awal tahun 2000 telah mengeluarkan resolusi, yaitu Basic Principles on the use of Restroactivejustice Programers in Criminal Matters (UN) 2000 yang kemudian

dipertegas dalam Deklerasi Wina tentang tindak Pidana dan Keadilan (Vienna Declaration on Crime and Justice “Meeting the Challenges of the

Twenty-first Century) dalam butir 27 dan 28 dan kemudian di adopsi dalam

Resolusi Majelis Umum Perserikatan bangsa-bangsa Nomor 55/59 tanggal 4 Desember tahun 2000.48

48

Nur Rochaeti, Model Restroactive Justice Anak-anak Delinkuen, hal. 13 th 2008

Konsep Restroactive justice merupakan teori keadilan yang tumbuh dan berkembang dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan di berbagai negara dan akar budaya masyarakat yang ada sebelumnya dalam menangani permasalahan kriminal jauh sebelum dilaksanakannya sistem perdilan pidana tradisional.


(54)

Konsep tersebut berkembang bersamaan dengan perkembangan zaman

dari waktu ke waktu. Hal ini telah dikemukakan oleh orang-orang yang

banyak membahas permasalahan yang berhubungan dengan sistem peradilan pidana secara umum dan khusus meneliti masalah Restroactive justice seperti Braithwaite (Australia), Elmar G. M. Weitekamp (Belgia) Howard Zehr (USA), Kathleen Daly (Australia), Mark S. Umbreit (USA) dari Robert Coates (USA)49

Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restroactive justice diawali dari pelaksanaan sebuah program penyelesian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender meditation yang

dimulai pada tahun 1970-an di negara Canada.50 Program ini awalnya

dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban di izinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak hakim. Program ini menganggap pelaku akan mendapatkan keuntugan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapatkan perhatian dan manfaat secara khusus sehinga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak brtanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Dari pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradailan tradisional.51

49

Elmar G, M. Weitekamp & Hanse-Jurgen Kerner (2003) Retroactive Justice in Context Internatioanal Practices and directions; UK, Willan Publishing First Edition.

50

Allison Morris & Gabrielle Maxwell (2001) Retroactive Justice for Juvenile Conferencing, Mediation and Circle, Oxford-Portland Oregon USA, Hart Publishing, hal.4, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana; Marlina, SH, M.Hum

51

Howard Zehr, (1990, Changging Lenses; A New Focus for Crime and Justice, Pensylvania; Herald Press, Scottdale,. Hal 158-174, yang dikutip dari Buku Pengantar Konsep Diversi dan Restroactive Justice Dalam Hukum Pidana ; Marlina


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di dalam bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Konsep Restroactive Justice dalam penegakan hukum yang mengedepankan upaya non penal khususnya terhadap tindak pidana anak yang sedang terlibat dalam sistem peradilan pidana, dengan tujuan dapat memulihkan kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan oleh perbuatan pidana tentulah terdapat pro dan kontra, tidak hanya bagi masyarakat melainkan pula bagi aparat penegak hukum itu sendiri terlebih lagi hal ini masih sebatas pada kebijakan artinya dapat dijalankan atau juga sebaliknya karena tergantung pada pribadi aparat penegak hukum itu sendiri khususnya bagi Hakim, bagaimana dia melihat Restroactive Justice sehingga hal ini pula menimbulkan disparitas. Terlebih lagi sifatnya yang kasuitis. Berdasarkan penelitian dan pengamatan penulis dilapangan, konsep Restroactive Justice dalam penegakan hukum di Pengadilan Ne geri Batam belum pernah dijalankan, karena Hakim dalam menangani kasus anak nakal masih mengunakan upaya penal melalui UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Tinggal vonis hakim yang satu sama lain berbeda, tergantung apa yang melandasi suatu putusan tersebut. Adapun beberapa faktor sehingga hal ini belum dijalankan anatara lain sebagai berikut :


(2)

- Penerapan Konsep Restroactive Justice saat ini barulah sampai kepada kebijakan belum ada Undang-Undang yang mengatur khusus bagaimanakah Hukum Acara dalam Restroactive Justice, meski hal ini telah terdapat didalam teori maupun pada Negara lain yang telah melakukannya.

- Penerapan Konsep Restroactive Justice membutuhkan kerjasama dengan aparat penegakan hukum lainnya agar dapat dijalankan, meski secara ekplisit hal ini telah di atur melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh Aparat Penegak Hukum.

2. Pelaksanaan Restroactive Justice baru pertama kali dimulai di Indonesia pada Pengadilan Negeri Bandung yang dilakukan oleh salah satu Hakim yaitu HJ. DS. DEWI., S.H., MH. Selanjutnya di adakan kembali di Pengadilan Stabat. (Terlampir Skema Alur Penanganan ABH melalui pendekatan Restorative Justice) sesuatu yang baru, tentu pasti menimbulkan kebingunggan bagi kalangan masyarakat atau bagi aparat penegak hukum, sehingga adanya pro dan kontra dan hal tersebut adalah wajar karena hal tersebut bagian dari demokrasi. Namun ada yang terpenting lagi, dimana tujuan Restroactive Justice itu sendiri. Apakah memenuhi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan serta bagaimana dampak jangka kedepannya. Dari berbagai telah baik dari teoritis penulis menyimpulkan bahwa pelaksanaan Restroactive Justice merupakan hal yang positif. Karena menghormati dan tidak melanggar hak anak. Restorative justice system setidaknya-tidaknya bertujuan untuk mengoreksi (to Restore/memperbaiki) perbuatan kriminal yang dilakukan anak, dengan pengertian dilakukan untuk kepentingan


(3)

terbaik – for the best interest of The Child dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya di depan hukum. Seperti yang disebutkan dalam Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 40 ayat 3 huruf a : “bilamana perlu dan dikehendaki, langkah-langkah untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa menggunakan proses peradilan, asalkan hak-hak asasi dan kaidah-kaidah hukum tetap dihormati sepenuhnya”.

B. Saran

Terhadap kasus permasalahan anak janganlah dianggap rendah, karena anak sebagai warisan bangsa atau generasi muda perlu mendapatkan perhatian,

khususnya bagi anak yang sedang berhadapan dengan tindak pidana. Perlunya kesepahaman tujuan dan hakekat dalam menanggani tindak pidana anak

antara aparat penegak hukum sehingga tidak terlalu jauh perbedaan pandangan yang mengakibatakan tarik ulur dalam proses penanggannya. Contoh sederhana dalam penerapan Undang-Undang 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimana hakim dapat menjatuhkan pemidanaan atau tindakan. Lebih-lebih lagi terhadap tindak pidana umum yang sanski pidana relatif lebih rendah, sebaiknya dapat berupa tindakan karena hal ini terkait dengan jangka panjang anak itu sendiri, lebih lagi apabila hakim dapat menerapkan konsep restroactive justice demi kepentingan dan kesehjatraan anak.


(4)

Perlunya regulasi yang mengatur Konsep Restroactive Justive dan Diversi serta pelatihan-pelatihan bagi aparat penegak hukum untuk duduk bersama dalam memahami Konsep Restroactive Justive dan Diversi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ari Budoyo, “Dampak Bagi Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Koran Tempo (Selasa, 14 April 2009)

Barda Nawawi Arief, “Batas-Batas kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan”, Makalah Seminar Nasional Pendekatan Non Penal Dalam Penangulangan Kejahatan, Graha Santika Hotel, Semarang, 2 September 1996, hal 1-15

Dewi Gemala, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia”, Prenada Media, Jakarta

Djamaludin Ancok, “Dibalik Putusan Hakim”, Srikandi, Yogyakarta, 2005

Leden Marpaung, “Asas Teori Praktek Hukum Pidana”, Jakarta : Sinar Grafika, Mei 2005, Cetakan Pertama

Lilik Mulyadi, S.H., M.H., Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Binas Aksara, Jakarta, 1987

Romli Atmasasmita, “Sistem Peradilan Pidana Persepektif Eksistensialisme dan Abolisme”, Binacipta, Bandung, 1996

Marlina, “Peradilan Pidana Anak di Indonesia”, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009

Rusli Muhamad. (1999). “Reformasi Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta : dalam Journal Hukum Ius Quia lustum, Nomor 1, Vol.

Yusti Probowati Rahay, ”Dibalik Putusan Hakim”, hal. 51 dikutip dari Umstot, D.D. 1988

Understanding Organixatational Behavior, San Fransisco; West Publishing Company

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010

Wirdjono Prodjodikkoro, “Asas-asas Hukum pidana”, Jakarta. Sinar Grafika, Mei 2005, Cetakan Pertama

www.mahkamahagung.com Legislasi Perma

Marlina, S.H., M. Hum, Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, 2010, Cetakan Pertama


(6)

ARTIKEL

Adrianus Meliala, Restroactive Justice, artikel dalam http;//google/com

Turiman, “Memahami Hukum Progresif Sartipto Rahardjo Dalam Paradigma “Thawaf” (Sebuah Komtemplasi bagaimana mewujudkan teori hukum yang membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia)”, (Disertasi Doktor Universitas Diponorogo, Semarang, 2010)

Mardjono Reksodipoetro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada

kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi”; Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1993 : 1

Yenti Garnasih, “Kebebasan Berpendapat dan Kebijakan Criminal” (LBH Pers) Thedoere N. Ferdinand dan Elimer C. Luchterhand. “Inner City Youths, the Police,

the Juvenile court, and justice”, Social Problems 17 (spring 1970), hal. 510-527 dan Goldman, The differential Selections of Juvenile Offender for Court 53Appearances; Piliavin and Briar. “Police encounters With Juveniles”.Dikutip dari buku Clemens Bartollas.