Kemudian perihal penegasan tentang tindak pidana yang terbukti dilakukan oleh terdakwa esensial sifatnya. Selanjutnya, langsung dipertimbangkan hal-hal yang
membertkan dan hal yang meringankan. Menurut lilik mulyadi dalam hal ini seyogyanya turut mempertimbangkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek
psikolgis, sosial ekonomis, edukatif, lingkungan sosial terdakwa tinggal dan dibesarkan dan sebagainya.
Sebagaimana kita ketahui dalam Hukum Pidana, Hakim bersifat akfit untuk menemukan kebenaran Materil. Tidak sama halnya didalam Hukum
Perdata, dimana para pihak Penggugat dan Tergugat yang aktif untuk membuktikan dalam persidangan. Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum,
sebagai dasar bagi hakim untuk memeriksa dan memutus perkara yang di ajukan kepadanya. Sebab tanpa surat dakwaan, persidangan tidak pernah terjadi.
B. Metode Hakim Dalam Mengambil Putusan
Putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki dari hakim yang bersangkutan. Bagi
terdakwa dengan adanya “putusan hakim” ini diharapkan dapat memperoleh kepastian tentang langkah berikutnya apakah akan menerima putusan, melakukan
upaya hukum banding.kasasi, melakukan grasi, dan sebagainya. Dalam pengambilan putusan tersebut tentulah setiap hakim mempunyai
metodenya masing-masing kecuali berbicara hukum acara mengenai sistematis putusan hakim yang diatur dalam pasal 197 KUHAP meliputi hal-hal sebagai
berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Format formalkerangka Dasar dari putusan hakim
Secara esensial format formalkerangka dasar dari putusan hakim mengacu pada ketentuan pasal 197 ayat 1 KUHAP. Aspek-aspek pada
ketentuan pasal tersebut harus dicermati hakim terutama dalam hal putusan pemidanaanveroordeling dan jika hal tersebut dilanggar, akan berakibat putusan
batal demu hukum Pasal 197 ayat 2 KUHAP. Secara fundamental dalam praktik peradilan format formalkerangka dasar
dari putusan hakin meliputi : a
Kepala putusan Dalam perkara pidana ataupun perdata, setiap putusan
hakimpengadilan harus dimulai irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini sesuai pada pasal 2
ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, pasal 197 ayat 1 huruf a KUHAP dimana apabila ini dilalaikan beraikbat putusan batal
demi hukum Pasal 197 ayat 2 KUHAP b
Nama Pengadilan yang memutus perkara Dalam hal ini nama pengadilan tempat memutus perkara tercantum
dalam kerangka dasar putusan. Hal ini berkolerasi terhadap kompetensi relatif bahwa benar putusan telah dijatuhkan oleh
pengadilan negeripengadilan tinggi yang bersangkutan. c
Identitas lengkap terdakwa dan keterangganya serta penetapan- penetapan penunjukan majelis hakim
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf b KUHAP terdiri atas : nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa. selanjutnya mencaumkan apabila terdakwa didampingi oleh penasehat
hukum, kemudian apabila terdakwa ditahan juga diuraikan terhadap pejabat yang menahannya dengan penguraian lengkap nomor, tanggal,
bulan, dan tahun penahannya. 2.
Pencantuman Tuntutan PidanaRequisitoir, PledoiClementie dan Surat Dakwaan
Secara teoritis apabila diuraikan dengan sistematik, pencantuman surat dakwaan Pasal 197 ayat 1 huruf e KUHAP lebih dahulu di awal
akan tetapi secara praktik peradilan hal ini dicantumkan setelah tuntutan pidanrequisitor, sedangkan terhadap pledoiclementie karena
tidak ditentukan limitatif dalam ketentuan Pasal 197 ayat 1 KUHAP maka kadang dalam praktik tidak diuraikan. Pencantuman tuntutan
pidanarequisiter pada putusan adalah limitatif sifatnya dan jika dilalaikan, akan mengakibatkan putusan batal demi hukum Pasal 197 ayat 2
KUHAP kecuali pada putusan bukan pemidanaan vrijspraakonslag van alle rechtsvervolging maka pencantuman “tuntutan pidana” tidak perlu
dicantumkan. Pencatuman “pledooiclementie” pada lazimnya diuraikan secar singkat dan pokok-pokoknya saja. Materi “pledooipembelaan”
pada dasarnya dapat berupa menyangah, sebaian membenarkan, atau tidak sependapat, baik dari aspek analisis yuridisnya maupun tentang lamanya
Universitas Sumatera Utara
tuntutan pidana yang dilakukan oleh jaksapenuntut umum. Namun dalam praktiknya penasehat hukum hanya mengajukan keringanan hukuman
karena mengakui segala perbuatannya dengan mengajukan berupa alas an pembenar dan pemaaf.
3. Pencatuman Keterangan Para Saksi, Terdakwa dan Barang Bukti
Pada dasarnya pencatuman keterangan para saksi, terdakwa, dan barang bukti adalah anasir yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam praktek
peradilan. Apabila kita meilihat didalam ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf d KUHAP tidak memberikan gambaran memadai bagaimana
seharusnya keterangan para saksi, terdakwa dan barang bukti tersebut dicantumkan. Menurut pendapat lilik mulyadi hal ini bersifat teknis
sehingga apabila diatur secara mendetail, dikhawtirkan dalam penerapannya terlalu kaku, tidak flexsibel, dan menimbulkan probelematik
yuridis di dalamnya. Namun hal tersebut tetaplah mengacu pada ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf d dan pasal 197 ayat 2 KUHAP
Aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim. Bagaimana hakim
menilai, mencermati segala sesuatu yang terjadi di persidangan hingga sampai kepada suatu putusan. Hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian
unsure-unsur bestandellen dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan. Hal
ini sebagai parameter hakim dalam menjatuhkan putusannya. Karena hakim memutus berdasarkan dakwaan dari jaksapenuntut umum.
Universitas Sumatera Utara
Lazimnya, dalam praktek peradilan pada putusan hakim sebelum “pertimbangan-pertimbangan yuridis” ini dibuktikan dan dipertimbangkan, hakim
terlebih dahulu akan menarik “fakta-fakta dalam persidangan” yang timbul dan merupakan konklusi kumulatif antara keteranagn para saksi, keterangan terdakwa,
dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa di persidangan. Dalam hal ini berhubungan dengan fakta-fakta dalam persidangan yang berhubungan dengan
locus dan tempos delicti seta modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut dilakukan, penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai
melakukan tindak pidana, kemudian bagaimanakah akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbuatan pidana, barang bukti apa yang dipergunakan terdakwa
dalam melakukan tindak pidana. Selanjutnya, setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut telah diungkapkan pada putusan hakim kemudian akan
dipertimbangkan terhadap unsur-unsur bestandellen dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksapenuntut umum. Secara teoritis pembuktian terhadap
pertimbangan-pertimbangan yuridis dari tindak pidana yang didakwakan majelis hakim adalah dari aspek teoritis dan praktik, pandangan doktrin, yurisprudensi,
dan kasus posisi yang sedang ditangani. Kemudian secara limitatif menetapkan “pendiriannya”.
Kembali apa yang telah disebutkan sebelunnya, bahwa hakim memeriksa terdakwa dipersidangan berdasarkan dakwaan jaksapenuntut umum dan bagi
terdakwa dan atau penasehat hukum dakwaan tersebut sebagai bantahan dalam persidangan, kemudian dilanjutkan jawab jinawab antara jaksa penuntut umum
dan penasehat hukum hingga masing-masing pada suatu kesimpulannya.
Universitas Sumatera Utara
kemudian dari surat dakwaan, repli duplik dari jaksapenuntut umum dan terdakwa atau penasehat hukum dan fakta – fakta persidangan kemudian hakim
mempertimbangkan berdasarkan unsur pasal yang didakwaan dan di buktikan berdasarkan fakta di persidangan apakah terbukti atau tidak. Secara teoritis dalam
hal ini ada beberapa pandangan sebagai berikut : 1
Menurut pandangan klasik yang dikemukakan oleh montesqiue dan kant hal ini dapat dikatakan bentuk silogisme yaitu cara berpikir
logis dengan mengambil kesimpulan dari hal-hal yang umum premis mayor dan hal yang khusus premis minor. Premis mayor
adalah undang-undang dan premis minornya adalah peristiwa atau kasusnya. Konsekuensinya adalah karena kesimpulan logis itu tidak
pernah dari berisi lwbih dari yang terdapat dalam undang-undang dalam hubungannya dengan peristiwa hukum. Demikian pula suatu
putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan dengan peristiwa
konkrit. Hal ini membuat hakim sebagai corong dari undang-undang 2
Pandangan materill yuridis atau otonom yang mengatakan bahwa hakim tidak lagi dipandang sebagai corong undang-undang,
tetapi sebagai pembentuk hakim yang secara mandiri member bentuk kepada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan
kebutuhan-kebutuhan. Disamping itu pula, terdapatnya penafsiran yang dapat digunakan
hakim di dalam doktrin hukum pidana anatara lain :
Universitas Sumatera Utara
a Penafsiran autentik resmi ialah panafsiran yang pasti terhadap
arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang, atau penafsiran ini sudah ada dalam penjelasan
pasal demi pasal b
Panafsiran tata bahasa gramaticale interpretatie ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang sebenarnya menurut bahasa
sehari-hari yang digunakan masyarakat yang bersangkutan c
Penafsiran historis historiche interpretative yaitu sejarah hukumnya yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum
tersebut d
Penafsiran sisitematis atau logis yaitu manafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannyadengan peraturan
hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum
e Penafsiran teleologis atau sosiologis dalam hal ini hakim
menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang. Lebih diperhatikan tujuan dari undang-undang
dari pada bunyi kata-kata. Penafsiran ini bertujuan lebih kepada kemasyarakatan atau situasi social
f Penafsiran antisipatif atau futuristis adalah penafsiran dengan
mencari pemecahannya dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu dalam rancangan undang-undang
Universitas Sumatera Utara
g Argumentum Per Analogiam analogi adalah suatu peraturan
khusus dalam undang-undang di jadikan umum yang tidak tertulis dalam undang-undang, kemudian digali asas yang terdapat di
dalamnya dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus
h Argumentum a Contrario a contario merupakan cara penafsiran
atau penjelasan undang-undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa
yang diatur dalam undang-undang Dari pandangan di atas tersebut tentulah masing-masing hakim
mempunyai pandangan atau sikap untuk mengunakan model apa karena itu sendiri telah diatur bahwa hakim mempunyai kebebasan dalam memutusakan perkara
secara independen tanpa pengaruh ataupun intimidasi dari pihak luar.
C. Kasus dan Analisis Kasus