dapat diterima. Sebagian sistem legal bahkan telah menetapkan hukum tertulis mengenai apa yang dapat dan apa yang tidak dapat dilakukan dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penggunaan diskresi dan bagaimana seharusnya diskresi diterapkan.
Hal serupa yang dikatakan oleh Loraine Gethorpe “bahwa diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk
mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara, mengambil tindakan tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya.”
12
2. Pengertian Restroactive Justice
Kebijakan yang diambil oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan diskresi menimbulkan kontroversial karena peilngambilan kebijakan penghukuman
mengikuti sifat kebijakan pribadi seseorang. Diskresi mengizinkan suatu pembedaan tindakan terhadap kasus pidana oleh pelakunya, sehinga hal ini dapat
menimbulkan permasalahan dalam hal keadilan terhadap masyarakat. Apabila kita melihat tujuan dari diversi tidaklah jauh berbeda dari diskresi
yaitu menangani pelangaran hukum diluar pengadilan atau sistem peradilan yang formal, Diversi dan diskresi memiliki makna yang hampir sama karena keduanya
dapat digunakan untuk menjauhkan anak dari sistem peradilan pidana anak.
Hukum pidana secara represif dirasakan tidak menyelesaikan persoalan dalam sistem hukum peradilan pidana. Adanya penyelesaian secara non penal
mendapatkan perhatian dari kalangan hukum.
12
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, 2010, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Menurut Barda Nawawi bahwa hukum pidana banyak keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan yang diteliti dan diungkapkan oleh banyak sarjana
hukum asing antara lain :
13
1. Rubin menyatakan bahwa pemidanaan apapun hakikatnya apakah
dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan ;
2. Selanjutnya scuhld menyatakan bahwa naik turunya kejahatan disuatu
negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-peubahan didalam hukumnya atau kecendrungan-kecendrungan dalam putusan-putusan
pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat
3. Johanes Andreas menyatakan bahwa bekerjanya hukum pidana
selamya dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang membentuk
sikap dan tindakan kita 4.
Donald R. Taft dan Ralph W. England menyatakan bahwa efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya
merupakan salah satu bentuk sarana kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan
dari kelompok-kelompok intereset dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkah
laku manusia daripada sanski hukum.
13
Barda Nawawi Arief, Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Makalah Seminar Nasional Pendekatan Non Penal Dalam Penangulangan Kejahatan,
Graha Santika Hotel, Semarang, 2 September 1996, hal. 1-15
Universitas Sumatera Utara
5. M. Cherif Bassiouni menegaskan bahwa kita tahu dan tidak pernah
tahu secara pasti metode-metode tindakan treatment apa yang paling efektif untuk mencegah dan memperbaiki atau kita pun tidak
mengetahui seberapa jauh efektivitas setiap metode tindakan itu. Untuk dapat menjawab masalah-masalah ini secara pasti, kita harus
mengetahui sebasebab kejahatan dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan mengenai etilogi tingkah laku manusia.
Dengan demikian dari pendapat para sarjana hukum tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa bekerjanya hukum pidana tidak dapat menghilangkan
sebab-sebab tindak pidana yang terjadi melainkan penanggulangan sesuatu gejala. Artinya apabila hukum pidana diterapkan kepada anak maka sudah tentu
banyak kemudharatan yang akan dialami di pihak negara, pemborosan negara, pemboroasan anggaran, serta stigmasisasi dan labeling yang tidak bisa dihindari.
Restroactive Justice Adalah bentuk resolusi konflik dan berusaha untuk membuat jelas bagi si pelanggar bahwa perilaku tidak mengampuni menyambut,
pada saat yang sama sebagai yang mendukung dan menghormati individu. Menurut Tony F. Marshall Restorative justice is a process whereby all the
parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.
Restorative justice adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tetentu bertemu bersama untuk menyelesaikan
secara bersama-sama untuk menyelesaikan secara bersama-sama begaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.
14
14
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restroative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, 2010, hal. 28
Universitas Sumatera Utara
Dari defenisi tersebut di atas bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya
kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan. Hal ini pula telah ditegaskan dalam hukum perdata dan acara perdata Pasal 130
HIR154 RBG begitu pula dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 dimana Mediasi bersifat wajib dalam semua perkara perdata kecuali perkara Niaga, Pengadilan
Hubungan Industrial, keberatan atas putusan BPSK dan KPPU Pasal 4.
15
15
Lebih lanjut di dalam psl 2 3 mengatakan tidak ditempuhnya proses mediasi berdasarkan perma ini merupakan pelangaran terhadap ketentuan
Pasal 130 HIR154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Dan di dalam Pasal 2 4 mengatakan bahwa Hakim dalam pertimbangan
putusannya wajib meyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator
yang bersangkutan. Suatu sinkronisasi apabila kita melihat Restroactive Justice dan mediasi
dalam hukum perdata. Perbedaan antar keduanya ialah dalam mediasi sifatnya adalah wajib dan apabila tidak dilakukan maka putusan batal demi hukum
sementara dalam Restroactive Justice tidak mengharuskan untuk dilaksankan, melainkan hanyalah sebagai alternatif untuk menyelesaikan suatu tindak
pidana.
www.mahkamahagung.com Legislasi Perma
Universitas Sumatera Utara
Prinsip-prinsip dalam Restroactive Justice antara lain : 1.
Menjadikan pelaku tindak pidana bertanggung jawab memperbaiki kerugian yang ditimbulkan akibat kesalahannya
2. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana membuktikan
kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif
3. Melibatkan korban, keluarga dan pihak-pihak lain dalam hal
penyelesaian masalahnya 4.
Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah
5. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara perbuatan yang
dianggap salah atau jahat dengan reaksi sosial yang formal
16
Prinsip yang sama dijelaskan dalam konsep Restroactive Justice yang termuat dalam draft Declaraction of Basic Principles on the use of Restroactive
Justice Programmer in Criminal Matters.
17
1. Program Restroactive Justice berarti beberapa program yang
menggunakan proses Restroactive Justice atau mempunyai maksud mencapai hasil Restroactive Restroactive outcome
2. Restroactive outcome adalah sebuah kesepakatan yang dicapai sebagai
hasil dari proses Restroactive Justice. Contoh ; restitution, community service dan program yang bermaksud memperbaiki korban dan
masyarakat dan mengembalikan koban danatau pelaku
16
Adrianus Meliala, Restroactive Justice, artikel dalam http;googlecom
17
Marlina, Op.Cit, hal. 37
Universitas Sumatera Utara
3. Restroactive proces dalam hal ini adalah suatu proses dimana koban,
pelaku dan masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan berpartisipasi aktip bersama-sama dalam membuat penyelesaian masalah kejahatan
dan di campuri oleh pihak ketiga 4.
Parties dalam hal ini adalah korban, pelaku dan individu lain atau anggota masyarakat yang merasa dirugikan oleh kejahatan yang
dilibatkan dalam program Restroactive Justice 5.
Facilitator dalam hal ini adalah pihak ketiga yang menjalankan fungsi memfasilitasi pertisipasi keikutsertaan korban, pelaku dalam
pertemuan Adapun menurut Van Ness untuk mengembangkan konsep Restroactive Justice
harus memperhatikan beberapa hal yaitu :
18
1. Kejahatan pada dasarnya merupakan konflik antara individu-individu
yang menghasilkan keterlukaan pada korban, masyarakat dan pelaku itu sendiri, hanya secara efek lanjutannya merupakan pelangaran hukum
2. Tujuan lebih penting dari pada proses sistem peradilan pidana haruslah
melakukan rekonsiliasi para pihak yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan yang ada pada korban akibat dari kriminal yang terjadi
3. Proses sistem keadilan pidana haruslah memfasilitasi partisipasi
aktif dari korban, pelaku dan msyarakat dan bukan didominisasi oleh negara dengan mengeluarkan orang komponen yang terlibat dengan
pelanggaran dari proses penyelesian.
18
Ibid, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan Restroactive Justice telah menjadi model dominan dari sistem peradilan pidana dalam kebanyakan sejarah manusia. Diskusi tentang
Restroactive Justice di beberapa negara dimulai dengan membandingkan sistem peradilan pidana yang ada sekarang dengan proses Restroactive Justice.
Menurut Howard Zehr sistem penghukuman Restributive Justice dimulai dengan sebuah pengertian dasar bahwa kejahatan merupakan pelanggaran terhadap
hukum yang dibuat negara. Kejahatan tersebut harus telah dinyatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh negara, sehingga terhadap
seseorang yang melakukan pelanggaran dituduh bersalah terhadap seseorang. sedangkan Restroactive Justice adalah suatu pandangan penghukuman yang
diarahkan pada upaya untuk memulihkan kembali keadaan yang telah tergoncang akibat terjadinya kekerasan kepada keadaan semula saat sebelum terjadinya
tindakan pelanggaran. Proses penyelesainnyadiarahkan untuk menghasilkan keadilan bagi semua pihak baik itu korban, pelaku dan masyarakat.
3. Teori Pengambilan Keputusan