DAMPAK SUARA TERBANYAK TERHADAP PRAKTIK KORUPSI
D. DAMPAK SUARA TERBANYAK TERHADAP PRAKTIK KORUPSI
Dalam mekanisme penetapan calon terpilih melalui suara terbanyak implikasi yang muncul adalah persaingan antar calon menjadi lebih kuat. Kompetisi yang terjadi adalah kompetisi bebas, dimana masing-masing calon memiliki kesempatan yang sama untuk dapat terpilih. Masifnya praktik politik uang dikonfirmasi oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat bahwa politik uang pada Pemilu 2009 lebih semarak dibanding dengan pemilu-pemilu sebelumnya (“Proporsional Terbuka dan Politik Biaya Tinggi”).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Jana Kunicova dan Susan Rose Ackerman dalam makalah yang berjudul Electoral Rules as Constraints on Corruption: The Risks of Closed Lists Proportional Representation, yakni terdapat hubungan antara sistem Pemilu dan kecenderungan praktik korupsi. Kunicova dan Ackerman mengkonfirmasi hasil temuan mereka bahwa sistem proporsional diasosiasikan dengan level korupsi tinggi (Kunicova dan Ackerman, 2002: 3).
Secara lebih jauh Kunicova dan Ackerman (2002: 5-7) melakukan penelitian dengan membandingkan level korupsi dalam sistem proporsional terbuka, proporsional tertutup dan mayoritarian. Variabel yang diperbandingkan adalah hubungan antara pemilih dan kandidat. Hasilnya adalah bahwa sistem proporsional tertutup merupakan sistem yang paling kondusif untuk praktik korupsi. Logika yang melatarbelakangi adalah dalam sistem proporsional tertutup pemilih tidak dapat memilih kandidatnya secara langsung dan pemilih sulit untuk menilai dan mengawasi kinerja kerja kandidat. Kondisi ini dikarenakan hubungan yang terjalin adalah antara pemilih dan partai politik. Di sisi lain dalam sistem proporsional terbuka, hubungan yang terjalin adalah hubungan yang jauh lebih kuat antara pemilih dengan kandidat dibandingkan dengan proporsional tertutup meskipun tidak sekuat hubungan yang terjalin dalam sistem mayoritarian. Oleh karena itu pemilih memiliki kekuasaan yang besar untuk dapat menilai dan mengawasi kinerja kerja kandidat.
Dalam argumentasi August Mellaz, seorang aktivis kepemiluan dan
PEREMPUAN DAN KORUPSI
peneliti senior Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, dalam sistem proporsional terbuka, politik uang marak terjadi pada pembelian nominasi dan pembelian suara pemilih. “Jadi, kalau dalam sistem proporsional tertutup korupsinya hanya satu jurusan yaitu membeli nominasi sekarang menjadi dua jurusan; membeli nominasi dan membeli suara”(“Proporsional Terbuka dan Politik Biaya Tinggi). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam sistem proporsional terbuka seperti yang diterapkan dalam Pemilu Legislatif 2009 kandidat melakukan dua kali praktik korupsi, yakni kandidat dengan partai politik serta kandidat dengan pemilih.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah hasil penelitian tersebut berlaku sama untuk semua negara tanpa memandang variabel lain? Dalam kasus di Indonesia dengan penerapan sistem proporsional terbuka, praktik korupsi yang terjadi sangat masif. Menurut peneliti hubungan antara pemilih dengan kandidat tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk memperkirakan besar kecilnya korupsi yang terjadi, khususnya dalam kasus di Indonesia. Hipotesa ini hanya dapat diterapkan kepada pemilih rasional yakni pemilih yang menggunakan rasionalitasnya untuk menilai kandidat yang mereka pilih. Rasionalitas ini yang kemudian menjadi batasan bagi kandidat untuk memperhitungkan langkah-langkahnya.
Ramlan Surbakti (Wawancara Pribadi 16 Maret 2012) meyakini bahwa praktik politik uang banyak terjadi dikarenakan rasionalitas pemilih dan calon. Pemilih berpikir secara rasional bahwa lebih menguntungkan untuk mereka apabila mereka menerima uang tersebut ketimbang menunggu janji-janjii calon yang belum pasti terlaksana dan begitu juga pola pikir calon.
Peneliti juga menyoroti beberapa kelemahan dalam UU No.10 tahun 2008 terkait pengaturan korupsi. Kelemahan yang pertama adalah penjabaran dari praktik korupsi hanya sebatas praktik politik uang, bahkan dengan definisi yang sangat umum. Tindakan politik uang dinyatakan sebagai sebuah pelanggaran apabila memberikan uang dan diikuti dengan janji-janji maupun arahan untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu. Definisi seperti ini tidak mampu ditegakkan. Hal ini dikarenakan banyak calon yang memberikan uang atau barang dengan tidak menjanjikan apapun.
Pemilu Jurnal & Demokrasi
Seperti pola pikir Lily yang mendefinisikan politik uang adalah saat seorang caleg meminta konstituen untuk memilih dirinya secara terang- terangan, “Tapi dimaksud sebagai politik uang tuh gini, kita suruh orang
itu, rakyat langsung ya kita suruh coblos, nah itu tuh politik uang”. Definisi politik uang seperti ini yang kemudian menjadi ‘diselewengkan’ atas nama sedekah, oleh-oleh, etika, sumbangan, dan lain sebagainya. Situasi ini tergambar dalam pola pikir Miyana, “Paling bawa kerudung, kerudung kan di Bandung murah, 5000, itu kan etika saja tata krama saja, kan kerudungnya nggak pakai Golkar, nggak pakai gambar saya”.
Kelemahan yang kedua adalah pembuat UU hanya mengartikan politik uang dalam tahapan kampanye. Aturan yang mengatur pelarangan penggunaan uang dalam Pemilu hanya diatur saat masa kampanye, tepatnya yang tertuang dalam pasal 84 ayat 1. Oleh karena itu pengaturan ini tidak mampu mengakomodir berbagai bentuk penyalahgunaan uang di luar masa kampanye. Dalam faktanya politik uang terjadi tidak hanya saat kampanye, akan tetapi juga saat pencalonan dan penghitungan suara meskipun politik uang saat kampanye merupakan yang tertinggi.
Kelemahan berikutnya adalah berkaitan dengan pelaku praktik politik uang. Dalam UU dijelaskan bahwa mereka yang dapat terjerat hukum adalah mereka yang termasuk sebagai pelaksana kampanye yang tercatat secara resmi di KPU. Aturan seperti ini memudahkan kandidat untuk lolos dari jeratan hukum. Yang perlu mereka lakukan hanyalah tidak mengakui orang-orang yang melakukan praktik politik uang sebagai bagian dari tim mereka. Dalam banyak kasus tim sukseslah yang berperan di lapangan untuk mensosialisasikan kandidat. Sebagai contoh seperti yang diterapkan oleh Tulip dimana ia menggunakan strategi memberikan uang kepada beberapa orang yang ditugaskan untuk berkampanya atas dirinya, “Sama seperti Pak Anton (nama samaran) kan pergi sendiri kemana-mana, mengkampanyekan tentang saya karena saya kan nggak mungkin pergi kemana-mana”.
Kelemahan yang terakhir adalah UU tidak mampu mengakomodir berbagai bentuk praktik korupsi antara kandidat dengan penyelenggara dan pelaksana pemilu. Wacana yang dimunculkan adalah praktik korupsi, khususnya politik uang hanya mungkin terjadi antara kandidat dengan
PEREMPUAN DAN KORUPSI
pemilih. Padahal dalam data yang terungkap banyak penyelewengan yang dilakukan oleh kandidat dengan pelaksana pemilu untuk memanipulasi perolehan suara mereka. Situasi seperti ini seharusnya mampu untuk diakomodir dalam UU dan terungkap kepada publik sehingga hasil Pemilu benar-benar merupakan hasil yang sesungguhnya.