PEMAHAMAN DEMOKRASI YANG HANYA SEBATAS DEMOKRASI PROSEDURAL

E. PEMAHAMAN DEMOKRASI YANG HANYA SEBATAS DEMOKRASI PROSEDURAL

Dalam teori gender dan demokrasi diyakini bahwa esensi utama demokrasi adalah pemenuhan harkat dan martabat seluruh warga negara, termasuk kelompok perempuan. Esensi utama pelaksanaan Pemilu adalah terciptanya lembaga perwakilan rakyat yang dapat menghasilkan berbagai kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap warga negaranya, laki-laki dan perempuan. Akan tetapi dalam faktanya, peneliti melihat bahwa esensi utama ini belum terlaksana dalam Pemilu 2009, setidaknya dalam jumlah keterwakilan perempuan. Demokrasi yang diterapkan hanya terhenti pada ‘kesempurnaan’ penyelenggaraan Pemilu.

Salah satu gambaran tidak tercapainya esensi utama demokrasi adalah perubahan mekanisme penetapan calon terpilih dalam Pemilu 2009. Putusan MK yang mengubah sistem penetapan calon terpilih dari nomor urut menjadi suara terbanyak ternyata memberikan implikasi negatif bagi kelompok perempuan. Alasan utamanya adalah sistem proporsional dengan daftar memberikan keuntungan bagi kelompok minoritas karena kebijakan afirmasi dapat lebih dipastikan.

Hal ini dikemukakan oleh Andrew Reynolds yang melihat bahwa sistem proporsional melalui daftar umumnya disukai dikarenakan alasan-alasan tertentu dan salah satunya adalah lebih memberikan peluang keterpilihan bagi perempuan (ACE Project, 1998: 101-103). Pippa Norris pun berkeyakinan bahwa walaupun afirmasi dapat diterapkan dalam sistem Pemilu apa saja, akan tetapi kebijakan afirmasi akan lebih dapat diterapkan untuk menyeimbangkan komposisi gender dalam sistem proporsional melalui daftar (1998: 208).

Pemilu Jurnal & Demokrasi

Menurut peneliti, ada beberapa hal yang dapat dikritisi atas pelaksanaan affirmative action ini, pertama, adanya pemahaman yang hilang dalam

perubahan sistem penetapan calon terpilih menjadi suara terbanyak. Pemahaman yang seharusnya dibangun adalah bahwa afirmasi diperlukan

untuk menjamin terwujudnya politik kehadiran perempuan, bukan hanya sekedar terdapatnya pasal afirmasi dalam UU yang dalam faktanya tidak

dapat terimplementasi dengan maksimal. Dalam kenyataanya pemahaman ini tidak muncul. Hal ini dapat terlihat

melalui dengan mudahnya pasal afirmasi tersebut digugat oleh seseorang dan diubah dengan mengatasnamakan demokrasi. Mekanisme afirmasi dalam pencalonan dan penetapan calon terpilih juga dipahami sebagai sebuah diskriminasi. Dengan klaim bahwa suara terbanyak merupakan mekanisme yang paling demokratis, kemudian mereka mengesampingkan kepentingan perempuan tanpa mempertimbangkan berbagai hambatan yang harus perempuan hadapi untuk bersaing secara bebas dengan laki- laki.

Demokrasi yang diterapkan hanya didefinisikan sebagai ‘kesempurnaan’ prosedural. Pemahaman mengenai esensi utama afirmasi tidak termuat dalam sistem Pemilu yang dipilih. Dalam pandangan peneliti, seharusnya afirmasi tidak hanya diartikan sebagai jaminan hak untuk memilih dan dipilih tetapi juga jaminan representasi perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat. Hal ini sesuai dengan pandangan Anne Phillips yang meyakini bahwa sebuah lembaga perwakilan harus mencerminkan berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat, termasuk kelompok perempuan (Phillips,1991: 152). Walaupun begitu, peraturan yang tidak dapat diimplementasikan dengan baik tidak dapat dikatakan sebagai mekanisme afirmasi. Penggunaan nomor urut dan sistem semi zipper merupakan langkah yang baik untuk dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dan penerapan sistem suara terbanyak akan semakin menyulitkan perempuan.

Kedua, situasi ini memperlihatkan bahwa lembaga pengambil kebijakan yang didominasi oleh laki-laki tidak memahami dengan jelas dan komprehensif mengenai tindakan afirmasi yang tertuang dalam pasal. Pola pandang yang maskulin tercermin dengan jelas dalam kebijakan yang

PEREMPUAN DAN KORUPSI

diambil. Situasi ini sesuai dengan pandangan Phillips yang melihat bahwa prinsip yang diklaim sebagai ‘netral gender’ dalam demokrasi merupakan

prinsip yang sebenarnya menguntungkan kelompok laki-laki (malestream) (Phillips, 1991:5).

Salah satu hambatan yang perempuan hadapi sebagai bagian dari konstruksi sosial yang terdeskripsikan dalam penelitian ini adalah stereotype perempuan yang berbakti pada laki-laki. Latar belakang keikutsertaan perempuan dalam dunia politik juga berkaitan erat dengan stereotype peran perempuan sebagai pendamping suami.

Keadaan ini dialami oleh Mawar, dimana awal keterlibatan dirinya ke dunia politik adalah karena tugasnya mendampingi suaminya.Miyana pun demikian. Peran pendamping merupakan latar belakang Miyana tertarik masuk ke politik, “Itu bukan karena ada target bukan karena ada ambisi, hanya karena kecintaan kita pada suami kita, bagaimana suami kita itu sukses melaksanakan tugas kita harus jadi pendamping yang baik, itu saja”. Pelabelan seperti ini yang kemudian membuat para kandidat perempuan ‘diharuskan’ mendapatkan izin dari suami atau keluarganya apabila ingin masuk ke dunia politik.

Situasi ini sesuai dengan pandangan Hoscschild yang melihat bahwa dalam sebuah keluarga dimana suami istri bekerja, perempuan melakukan kerja dua kali lipat dari laki-laki yakni mengurus anak serta urusan rumah tangga (Fine, 2010:80). Tanggung jawab perempuan dalam urusan domestik pada akhirnya membuat perempuan berpikir dua kali lipat untuk terjun ke dunia publik.