Biografi Singkat Sjafruddin Prawiranegara

B. Biografi Singkat Sjafruddin Prawiranegara

Sjafruddin Prawiranegara dilahirkan di Anyar Kidul, Banten, pada tanggal 28 Februari 1911 sebagai anak kedua dari Raden Arsjad Prawiraatmadja yang waktu itu menjabat sebagai Camat. 1453 Ayahnya seorang menak Sunda sementara ibunya berdarah Minangkabau. 1454 Di dalam tubuhnya mengalir darah pejuang melawan penindasan dan kekerasan. Leluhurnya adalah bangsawan Minang yang dibuang ke Banten karena terlibat perang Paderi. Ayahnya sempat pula menjabat sebagai jaksa di Banten, tetapi karena terlalu dekat dengan rakyat maka ia dibuang oleh Belanda ke Jawa Timur (Ngawi, Madiun). 1455

Prawiranegara dibesarkan dalam suasana menak tersebut. Pelajaran mengaji hanya ia peroleh di rumah dan pendidikan formalnya mencerminkan pendidikan anak-anak menak: Sekolah Dasar Eropa (Europosche Lagere School, ELS) tamat 1925, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) tamat 1928 di Madiun, AMS (Algemene Middelbare School) tamat 1931 di Bandung, dan Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) tamat 1939 di Batavia dan meraih gelar Meester in de Rechten. 1456

Semua tingkatan tersebut dilalauinya tanpa turut serta dalam kegiatan-kegiatan pemuda nasional ataupun Islam. Pada waktu mahasiswa ia menjadi anggota USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis), sebuah organisasi organisasi mahasiswa yang lebih merupakan forum pergaulan pelajar sekolah tinggi yang tidak menghiraukan keadaan sosial apalagi politik. Pesta disertai dengan dansa merupakan tradisi

1451 Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation (Leiden-New York-Koln: E.J. Brill, 1996), hal. 8-12. 1452 Beberapa ulama atau cendekiawan muslim juga memiliki pandangan yang hampir sama dengan Sjafruddin Prawiranegara mengenai bolehnya bunga bank, seperti Mohammad Hatta, A. Hassan (1930-an), Kasman Singodimedjo (1960- an), dan belakangan Munawir Sjadzali (1980-an). Dalam konteks dunia Islam pandangan serupa disuarakan oleh Fazlur Rahman (1964), Muhammad Asad (1984), Sa’id al-Najjar (1989), Abdul Mun’im al-Namir (1989), dan sebagainya. Lihat pandangan mereka dalam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim, cet. 3 (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 275-80; Saeed, Islamic Banking, hlm. 41-9. Patut dicatat bahwa tokoh-tokoh tersebut pada umumnya tidak concern terhadap ekonomi Islam, bahkan cenderung menolak apa yang disebut sebagai ekonomi Islam. Adapun Hatta, kendati ahli ekonomi, namun ‘greget’ pemikiran ekonomi Islamnya tidak terlalu kelihatan; sementara Hassan berlatarbelakang sebagai seorang ulama ‘murni’ yang pemikirannya lebih banyak didominasi oleh cara pandang hukum Islam (fikih), jelas tidak kelihatan juga pemikiran ekeonomi Islamnya. Lebih-lebih tokoh-tokoh seperti Rahman dan yang semacamnya, mereka jelas bukan berlatarbelakang ekonom, bahkan cenderung menolak konsep ekonomi Islam, karena mereka ini adalah golongan modernis yang lebih menekankan pada substansi ajaran, daripada simbol-simbol Islam. Di sinilah keunikan pandangan Sjafruddin Prawiranegara, meskipun semangat menggagas ekonomi Islam, namun tetap mebolehkan bunga.

1453 Ajip Rosidi, “Pengantar”, dalam Sjafruddin Prawiranegara, Islam sebagai Pedoman Hidup: Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 1, Peny. Ajip Rosidi, cet. 2 (Jakarta: Pustaka Jaya, 2011), hlm. 6. 1454 Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara, cet. 1 (Jakarta: Mizan, 2011), hlm. 65. 1455 J. Riberu, “Manusia Etis Sjafruddin Prawiranegara,” dalam Lukman Hakiem dan Mohammad Noer (peny.), Mr. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin Bangsa dalam Pusaran Sejarah, cet. 1 (Jakarta: Harian Republika Bekerjasama dengan Panitia satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989), 2011), hlm. 4.

1456 Riberu, “Manusia Etis”, hlm. 4.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 561 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 561

Oleh karena itu pada masa mudanya Prawiranegara kurang mengenal perkembangan Islam, baik dalam hal pemikirannya maupun pergerakannya. Pergolakan di kalangan umat Islam yang terjadi pada masanya bagai berlalu begitu saja tanpa bekas pada dirinya. Ia bahkan banyak bergaul dalam kalangan orang-orang yang skeptis terhadap agama, yakni kalangan sosialis. Dari sinilah kita dapat memahami mengapa pada masa penjajahan Belanda dan Jepang tidak tampak adanya tulisan-tulisannya, berbeda dengan rekan-rekan seangkatannya di Masjumi. 1458

Dalam masa ‘isolasinya’ itu, tampaknya terjadi juga pergolakan dalam dirinya. Apalagi ia mempunyai kecenderungan pada filsafat yang menyebabkan benaknya yang masih muda itu terus bertanya-tanya

tentang ada tidaknya Tuhan, tentang asal kejadian serta tujuan hidup manusia, dan tentang berbagai masalah hidup. Ini terjadi terutama ketika ia bersekolah di RHS. Oleh karena itu atas inisiatifnya sendiri ia mulai mempelajari filsafat. Dahaganya akan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk sementara dapat dipenuhinya dengan bacaan dari buku-buku ahli ilmu alam, seperti Sir James Jeans. Dari bacaan tersebut ia dapat menemukan Tuhan dan sekali ini tumbuh, ia kemudian mempergunakannya sebagai bekal mempelajari Islam lebih jauh melalui buku-buku karya para sarjana Barat. Pada masa itu tidak menguasai bahasa Arab sama sekali. Peristiwa ini yang kemudian diikuti kejadian yang beruntun dalam hidupnya, seperti kematian ayahnya yang tiba-tiba pada tahun 1939, kejatuhan Belanda yang tiba- tiba pula baik di Eropa maupun di Indonesia, penderitaan rakyat yang luar biasa pada masa pendudukan Jepang, dan prokalmasi kemerdekaan bagaikan memberikan husnul khatimah pada dirinya. 1459

Seperti Soekarno, pengetahuan keagamaan Prawiranegara tidak diperoleh melalui pendidikan tradisional, melainkan berdasarkan bacaan, terutama yang ditulis dalam bahasa Belanda dan Inggris. Qur`an dibacanya melalui terjemahan cendekiawan Ahmadiyah, Soedewo. Penggunaan literatur Ahmadiyah juga telah dilakukan Tjokroaminoto dan Soekarno. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dalam analisisnya mengenai peranan Islam dalam pergolakan dunia, yang ditulis di Sumatera Barat pada tahun 1949, ia memahami Islam sebagaimana diwacanakan oleh Ahmadiyah, yakni Islam sebagai kekuatan ruhani, bukan sebagai kekuatan ekonomi sebagaimana kapitalisme dan komunisme. Islam dalam pandangannya justru bisa mendamaikan dua kekuatan dunia yang sedang bertarung dan saling menghancurkan tersebut. Jadi Islam, dalam pandangannya, adalah sebuah kekuatan pendamai, sesuai dengan namanya. 1460

Pengalaman bekerja di Kementerian Keuangan telah membentuknya menjadi seorang ekonom. Dari pengalaman ini pula ia memperoleh pengetahuan mengenai masalah-masalah fiskal, terutama

mengenai peranan perusahaan dan perorangan yang berpendapatan tinggi sebagai sumber penerimaan negara melalui pajak. Pemikiran ekonominya berpihak pada dunia usaha sebagai sumber peningkatan pendapatan masyarakat. Sebagai sarjana dan intelektual organik, ia juga mempelajari ideologi dan aliran pemikiran ekonomi mutakhir saat itu, seperti teori ekonomi Keynes yang pro-penanaman modal pemerintah. Jadi selain mempelajari sosialisme, ia juga mempelajari teori ekonomi arus utama yang sering disebut kapitalisme. 1461

Ia kemudian terjun ke dunia politik pada masa awal kemerdekaan. Kawan-kawannya pada masa di USI yang kemudian dikenal sebagai golongan sosialis memberinya kesempatan berkarir di dunia politik.

1457 Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik, hlm. 69. 1458 Ibid., hlm. 26. 1459 Ibid. 1460 Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik, hlm. 69-70. 1461 Ibid., hlm. 70.