Menimbang Ibu Profesional

D. Menimbang Ibu Profesional

Dari sisi identitas sosialnya, ibu profesional pada dasarnya terdiri dari kaum perempuan perkotaan yang terdidik dan memiliki kesadaran tinggi untuk memaksimalkan peran motherhood-nya bahkan secara total memilih menjalani peran itu. Mereka pada umumnya menempatkan peran kerumahtanggaan sebagai peran utama kaum perempuan. Peran demikian disadari menjadi kebutuhan keluarga, khususnya bagi kesuksesan tumbuh kembang anak dan keberhasilan rumah tangga. Akan tetapi, adanya stigma negatif terhadap identitas sosial ibu rumah tangga, ditambah adanya kemampuan akademis yang mereka miliki, serta didukung iklim teknologi informasi dan komunikasi modern yang dinamis, mendorong mereka untuk menegaskan bahwa saat ini ibu rumah tangga bukan identitas yang negatif. Bahkan, mereka menegaskannya sebagai sebuah profesi. Dengan bekal akademis (ilmu pengetahuan), kemajuan teknologi, dan jejaring yang ada, komunitas ibu profesional berupaya menegaskan bahwa kini menjadi ibu rumah tangga tidak lagi bisa dipandang sebelah mata dan bahkan lebih bernilai. Ibu rumah tangga tidak hanya mampu mendidik anak, mengelola keluarga, tetapi juga mampu mandiri dan bermanfaat bagi masyarakat luas.

Dari sisi konsep profesionalitas dan kemandirian, ibu profesional hendak menegaskan bahwa kecakapan yang dimiliki bukan hanya berorientasi “ke luar” bagi pengasuhan dan pengelolaan keluarga, tetapi juga berorientasi “ke dalam” bagi pengembangan dirinya sebagai individu yang berprofesi sebagai ibu, istri, dan manajer keluarga. Hasilnya, menjadi ibu rumah tangga tidak identik dengan stagnasi. Ibu rumah tangga bukan cuma piawai “ke dalam” (urusan domestik), tetapi juga mampu eksis “ke luar” (urusan publik) sembari tetap menomersatukan keluarganya. Selanjutnya, dari sisi upaya dan aksi yang dilakukan, komunitas ini sejauh ini baru sebatas berupaya menjangkau kaum perempuan di perkotaan baik secara offline maupun online. Selain itu, jaringan informasi dan sosialiasinya juga masih sangat terbatas di perkotaan dan di kalangan terdidik serta melek teknologi.

Jika dianalisis dari kerangka Cowdery dan Knudson-Martin, kecenderungan ibu profesional tampaknya lebih mengarah pada pola motherhood as gendered talent. Peran kerumahtanggaan dalam ibu profesional, dari perspektif ini, cenderung menempatkan ibu sebagai sosok aktif dan dominan dalam sektor domestik. Ia juga lebih menempatkan motherhood sebagai subyek. Namun, perbedaannya, bagi ibu profesional hal ini tidak memupus kemandirian dan potensi perempuan.

Jika diamati dari perspektif Islam, meski tidak kental dengan argumen-argumen normatif-teologis dan netral SARA, namun kecenderungan komunitas ibu profesional yang digagas dan didominasi oleh kalangan perempuan muslim ini tampaknya mensintesakan pandangan Islam tradisional dan reformis. Bagi komunitas ibu profesional, menjadi ibu rumah tangga merupakan peran yang harus diutamakan. Peran-peran domestik maupun publik, harus dihadapkan pada keberhasilan peran keiburumahtanggaan itu. Namun berbeda dengan kalangan tradisional, komunitas ibu profesional tidak membatasi peran perempuan sebatas peran domestik. Sebaliknya, mensinergikan peran domestik dan potensi perempuan di sektor publik. Bagi komunitas ibu profesional, peran keiburumahtanggaan ini merupakan pilihan. Akan tetapi berbeda dengan kalangan reformis, pilihan di sini adalah pilihan utama. Sementara di kalangan reformis, pilihan ini bersifat terbuka tergantung situasi pasangan dan dapat dipertukarkan. Selain itu, ibu profesional berbeda dengan kalangan moderat. Jika kalangan moderat membolehkan peran publik perempuan ketika dibutuhkan, bagi komunitas ibu profesional, peran publik tersebut merupakan keharusan untuk dikembangkan sebagai ukuran kemandirian, tanpa meninggalkan peran utamanya.

Jika dicermati dari konteks sosial kultural perempuan dan keluarga Indonesia saat ini, komunitas ibu profesional menegaskan sebuah identitas baru. Ia berbeda dengan kecenderungan Orde Baru. Melalui kebijakan state ibuism-nya. Orde Baru menggeser domestikasi ke ruang publik (negara) dan memanfaatkan perempuan untuk mendukung kepentingan pembangunan. Adapun kaum perempuan tetap menjadi makhluk domestik yang secara individual tidak tumbuh sebagai subyek yang mandiri.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 521

Alih-alih demikian, perempuan malah dihadapkan pada beban ganda. Bagi komunitas ibu profesional, pemberdayaan ibu rumah tangga pada dasarnya ditujukan untuk profesionalitas dan kemandirian individu dan keluarga yang dalam jangka panjang berdampak terhadap pembangunan negara.

Komunitas ibu profesional juga berbeda dengan kecenderungan gerakan khusunya kalangan feminis, yang hendak menghilangkan beban ganda kaum perempuan. Bagi kalangan ibu profesional, tidak ada istilah beban ganda, karena ia dipandang sebagai peran yang integral dengan menomersatukan aspek domestik. Pilihannya bagi komunitas ibu profesional adalah berkarir atau tidak yang penting keluarga harus sukses. Lebih dari itu, bagi komunitas ibu profesional, berkarir tidak semata berarti bekerja di luar rumah, tetapi juga bisa berarti bekerja di rumah atau dari rumah.

Komunitas ibu profesional juga berbeda dengan kecenderungan kalangan Islamis belakangan ini yang melakukan domestikasi tradisional dalam kerangka pembangunan umat. Kepentingan komunitas ibu profesional di balik pemberdayaan kaum ibu adalah dalam konteks masyarakat dan kebangsaan (nation-state). Bagi mereka, pembangunan bangsa tergantung pada kaum ibunya. Ini berbeda dengan konteks pembangunan umat sebagaimana diperjuang sebagian kalangan Islamis di Indonesia.

Meski tampaknya mengusung identitas baru, gagasan-gagasan komunitas ibu profesional hemat penyusun belum sepenuhnya mudah direalisasikan, khususnya dalam konteks sosial kultural masyarakat di pedesaan dan kurang memiliki pendidikan yang baik. Ini karena pola-pola sosialisasi gagasan yang mengutamakan teknologi dan komunitas perkotaan, membuat gagasan ini lambat berkembang di tingkat masyarakat pedesaan. Lebih dari itu, bentuk-bentuk pengembangan profesionalitas dan kemandirian ibu rumah tangga tampaknya baru didesain pada aspek yang membutuhkan pengalaman pendidikan formal dan pengetahuan teknologi. Namun demikian, dari sisi idealisme ibu rumah tangga sebagai profesi tampaknya cukup relevan dengan kultur masyarakat Indonesia yang patriarkis. Hanya saja perlu dicarikan pola-pola sosialisasi dan bentuk-bentuk aktifitas yang sesuai dengan konteks masyarakat di segala lapisannya.