Oleh: Nazar Nurdin, SHI

Oleh: Nazar Nurdin, SHI

Mahasiswa Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, Jurnalis dan Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Jawa Tengah

Abstrak

Persoalan penolakan pemakaman penghayat kepercayaan, terutama jasad Sapta Darma masih kerap terjadi di berbagai wilayah di Jawa Tengah. Penolakan pemakan terjadi karena jasadnya ditolak dimakamkan oleh warga di tempat pemakaman umum. Banyak warga yang beragama islam, dan terkadang aktor pemerintah desa menganggap makam desa adalah milik makam muslim, sehingga orang yang tidak beragama dinilai tidak berhak untuk dimakamkan. Persoalan yang ini mengindikasikan negara tidak selalu hadir dalam penyediakan tempat berteduh bagi warga negaranya. Tentu, jika sudah ada pengertian antara pemerintah, warga dan penghayat, masalah pemakaman tidak ada saling menolak. Negara juga mesti bersikap sebagai pengayom bersama, menjamin lahan pemakaman bagi semua warga negaranya. Makam-makam yang sudah ada saat ini banyak diklaim menjadi makam orang islam. Negara semestinya bisa berperan adil dalam menjamin kehidupan maupun kematian bagi warga negaranya.

Penulisan ini menggunakan pola snow ball. Beberapa narasumber telah dilakukan wawancara secara mendalam, hingga dari kehidupan mereka hingga ditemukan soal pemakaman. Kajian ini tentu bisa menambah khazanah keislaman Indonesia, bahwa soal pemakaman menjadi instrumen penting bahwa Islam hadir bukan untuk menolak segala tuduhan.

Key Word: Negara, Penghayat Kepercayaan, Kematian, dan Islam

A. Pendahuluan

Hidup dan mati adalah kehendak takdir Tuhan. Kematian bagi seorang tidak bisa ditentukan kapan dan dimana dia meninggal. Untuk itulah, tempat pekuburan atau makam menjadi penting untuk menampung seorang yang akan meninggal dunia. Di beberapa tempat di Jawa Tengah, persoalan menguburkan jasad seorang masih banyak terjadi penolakan.

Berdasarkan penelitian Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang tahun 2014 khusus pada Penghayat Kepercayaan, ada banyak kasus yang dialami khusus mengenai penolakan masyarakat terhadap penolakan warga penghayat. Salah satu penolakan pemakaman yang terjadi terjadi pada penghayat kepercayaan Sapta Darma di Dukul Tlogowiru, Desa Tegalharjo, Desa Tegalwiru, Kecamatan Trangkil, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. 1635

Di tempat itu, ada sesepuh penghayat Sapta Darma bernama Marto Mardi ditolak pemakamannya. Penolakan langsung disuarakan oleh aparat desa bersama dengan pimpinan desa yang tidak menghendaki dimakamkan di tempat umum. Pihak desa meminta penghayat yang meninggal dunia dikebumikan di pekarangannya sendiri. Perkara ini kemudian menjadi masalah ketika pihak keluarga ternyata tidak mempunyai lahan untuk dimakamkan, dan mengharapkan untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum.

1634 Tulisan ini secara khusus dibuat untuk Annual International Conference on Islamic Studies di STAIN Samarinda, November 2014 dengan tema utama “Merespon Tantangan Masyarakat Multikultural: Kontribusi Kajian Islam Indonesia (Responding the Chalenges of Multicultural Societies: The Contribution of Indonesian Islamic Studies).”

1635 Buletin eLSA Report on Religious Freedom edisi 30 bulan Juni 2014

632 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Pihak desa tidak mau mengakomodir permintaan tersebut. Tempat pemakaman desa yang ada diklaim milik makam Muslim. Sehingga, ketika ada yang meninggal harus dimakamkan dengan cara agama Islam. Akan tetapi, pihak keluarga menyangkal karena sudah sejak turun temurun makam yang ada di desa tersebut adalah makam bersama tanpa sekat batasan agama, suku dan sebagainya. Pihak keluarga juga menghendaki dikebumikan dengan adat penghayat yang telah ada, bukan dengan cara agama Islam. Bahkan, dulu ketika seorang penghayat yang meninggal dunia, orang-orang tua mereka boleh dikebumikan di makam desa tersebut. 1636 Perselisihan itu berlanjut hingga pihak keluarga mengalah lantaran tak ingin jasad Marto Mardin terlunta-lunta. Pihak keluarga melunak dengan segala permintaan pihak desa, termasuk cara pengebumian dengan cara Islam. Akhirnya dengan segala keterpaksaan, Marto Mardin dikebumikan dengan cara islam. 1637

Dalam aturan soal pemakaman, kegiatan pemakaman bisa diartikan sebagai kegiatan memakamkan mayat atau kerangka mayat di tempat pemakaman. Mayat atau jasad orang yang secara medis dinyatakan telah meninggal dunia harus dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU), di mana areal tanah yang digunakan untuk keperluan pemakaman mayat yang dimiliki dan dikelola oleh Pemerintah Daerah. Untuk tanah makam adalah areal tanah yang harus disediakan dan atau digunakan untuk memakamkan mayat dengan ukuran yang telah ditentukan. 1638

Selain soal definisi makam, ada juga istilah singkat soal bentuk makam, apakah itu makam cadangan, makam tumpang atau makam keluarga. Makam diartikan sebagai areal tanah tempat mayat dimakamkan. Sementara Makam Cadangan adalah tanah makam yang dipesan dan dicadangkan untuk makam dikemudian hari. Dan Makam Tumpang adalah tanah makam yang digunakan untuk dua mayat atau lebih dalam suatu keluarga. 1639

Penolakan pemakaman pada Sapta Darma juga terjadi di Desa Cikandang, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes pada tahun 2010. Di tempat itu, warga setempat juga menolak pemakamkan jasad warga Sapta Darma di tempat pemakaman umum. Penolakan tersebut kemudian berimbas dengan dimakamkannya jasad penganut Sapta Darma di pekarangan pribadi.

Begitupun yang terjadi di Desa Cikandang, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes. Penolakan pemakaman jenazah terhadap pemeluk Sapta Darma itu dimakamkan di tempat pemakaman umum. Penolakan pertama kali terjadi pada tahun 2007, dan terjadi lagi pada tahun 2012 dengan korban yang sama, warga penghayat Sapta Darma. Dengan pengalaman pahit itulah, kemudian pihak penghayat Sapta Darma desa Sigentong kemudian diminta membuat tempat pemakaman sendiri, tidak boleh dicampur dengan makam orang Islam. 1640

Penolakan yang sama juga terjadi di Desa Sikancil, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, pada tahun 2011. Bahkan di tempat ini, ada kejadian makam pemeluk Sapta Darma yang dibongkar karena berada di tempat pemakaman umum. Pembongkaran dilakukan oleh masyarakat setempat tak ingin ada jasad pengahyat dimakamkan di tempat pemakaman yang mayoritas berisi makam umat Islam. Para penghayat kemudian diminta membuat tempat pemakaman sendiri. Persoalan ini pun masih belum memiliki solusi, lantaran pemilik Sapta Darma belum mempunyai lahan khusus yang diperuntukkan bagi warga Sapta Darma yang meninggal dunia. 1641

Terlepas dari adanya banyak banyaknya masalah terkait makam baik penolakan, makam yang diperjualbelikan, pengelola makam menolak, hingga orang tak mampu membayar biaya makam, ada masalah serius yang dihadapi masyarakat. Bahwa, ada fakta penolakan kerap terjadi di kehidupan

1636 Wawancara dengan anak Penghayat Sapta Darma yang meninggal dunia, Muri, 6 April 2014 1637 Wawancara dengan Penghayat Sapta Darma Desa Tegal Wiru, 6 April 2014 1638 Coba lihat soal pemakaman dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum Kota Semarang 1639 Ibid., 1640 Wawancara dengan Sarkad, salah satu tuntunan Sapta Darma Kabupaten Brebes, Mei 2014 1641 Lihat laporan Penelitan eLSA on Religious Freedom, edisi Juni 2014.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 633 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 633

Persoalan kematian bagi pengahayat yang mayoritas ditolak oleh kaum Muslim menandakan beragamnya penganut Islam yang ada di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah. Tokoh agama dan desa kompak menolak kehendak minorotas warga ini. Ini tentu menjadi masukan bersama, sudahkah Islam memberi jaminan bagi tetangga-tetannga yang tidak berisik. Ataukan tetangga yang dianggap berisik itu sebagai benalu dan tak pantas hidup di bumi Jawa.

Atas hal inilah, penulis mencoba menulis paper ini dengan harapan bisa membuka wacana, bahwa dunia pemakaman khususnya pemakaman bagi penghayat kepercayaan masih banyak masalah. Terjadi penolakan di mana-mana oleh warga Muslim. Negara tentu tidak boleh absen dan tutup mata untuk melayani semua warga untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Penelitian ini pun secara logis bisa memperkaya khazanah kebudayaan Islam sesuai tema yang diusung dalam kajian AICIS.

B. Perumusan Masalah

Persoalan pemakaman Pengahayat Kepercayaan di Jawa Tengah masih menyimpan persoalan yang sangat beragam. Namun, dalam makalah ini, ada dua hal masalah yang coba dirumuskan.

Bagaimana potret penolakan pemakaman penghayat kepercayaan Sapta Darma di beberapa tempat di Jawa Tengah?

Bagaimana peran negara dalam mengurai masalah persaolan pemakaman penghayat dalam kaitannya juga dengan kehidupan Islam di Jawa Tengah?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan papar ini secara singkat bertujuan: . Untuk mengetahui gambaran sesunguhnya problematika penolakan pemakaman penghayat

kepercayaan Sapta Darma di beberapa tempat di Jawa Tengah . Untuk mengetahui langkah negara dalam mengurai masalah persaolan pemakaman penghayat

dalam kaitannya juga kehidupan Islam di Jawa Tengah.

D. Kajian Masalah

1. Portet Penolakan Pemakaman Penghayat

a. Mengenali Penghayat Kepercayaan

Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau yang kerap dikenal Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Cara menghayati dan mempercayai kepada Tuhan dilakukan melalui pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan berdasarkan keyakinan, yang kemudian diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan. Selain itu, pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia juga dijadikan pedoman. 1642

Pengertian di atas adalah definisi yang dirumuskan pemerintah. Para penghayat kepercayaan mempunyai definisi tersendiri. Para penghayat mengartikan dirinya sendiri sebagai orang Indonesia yang melaksanakan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara

1642 Lihat Pasal 1 dalam Ketentuan Umum Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43/41 tahun 2009 tentang pedoman pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

634 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 634 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Para penghayat juga melakukan kategorisasi pada makna penghayat, penghayatan dan kepercayaan kepada Tuhan. Penghayat adalah yang melakukan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sementara penghayatan adalah perilaku atau bagaimana penghayat bersikap berdasarkan ajaran leluhur yang dipegangnya, dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan ajarannya.

Secara umum, keberadaan penghayat kepercayaan dijamin dalam konstiusi negara Indonesia. Selain UU dasar, ada juga aturan khusus soal Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43/41 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2007 tentang pelaksanaan UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan. Dalam hal administrasi, para penghayat juga telah memiliki payung hukum dalam perubahan UU Nomor 24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam aturan ini, mereka boleh mengosongkan identitas agamanya dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Jumlah penghayat Kepercayaan berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tengah di tahun 2013 berjumlah 188,127 jiwa. Jumlah itu terdiri dari 56 organisasi penghayat yang tergolong masih aktif. Jumlah organisasi di Jateng paling banyak dbanding Yogyakarta sebanyak 13 organisasi, Jakarta sebanyak 26 organisasi, Jawa Barat sebanyak 5 organisasi, Jawa Timur sebanyak 44 organisasi.

Pendataan terhadap para penghayat dilakukan dengan dengan mengumpulkan data dan informasi dari berbagai cabang (daerah). Meski demikian, dinas masih mengakui masih banyak warga penghayat kepercayaan yang belum melaporkan, karena tak ingin didaftarkan secara resmi sebagai anggota penghayat resmi. Secara kuantitas, penyebaran penghayat di Jawa Tengah terjadi di Kabupaten Cilacap, Surakarta, Solo dan Kota Semarang. 1644

Salah satu penghayat yang berkembang di Jawa Tengah adalah Penghayat Sapta Darma. Penghayat ini mempunyai model tersendiri dalam menghayati kepercayaan pada Tuhan. Mereka memiliki buku panduan sederhana yang dijadikan pegangan, yakni ‘Wewarah Kerokhanian Sapta Darma.” Buku panduan itu ditulis dengan bahasa Jawa krama dengan Panuntut Agung Kerokhanian, Sri Gutama dan Tuntutan Agung Sri Pawenang.

Dalam ajarannya, tiap warga Penghayat Sapta Darma diharuskan mengikuti tujuh acara wewarah pitu. Tujuh wewarah itu antara lain: 1) Setya tuhu marang Allah Hyang Maha Agung, Maha Rokhim lan Maha Langgeng; 2) Kanthi jujur lan sucining ati, kudu setya anindakake angger-angger ing negarane; 3) Melu cawe-cawe acancut tali wanda njaga adeging Nusa lan Bangsane; 4) Tetulung marang sapa bae yen perlu kanthi ora nduweni pamrih bae, kajaba mung rasa welas lan asih; 5) Wani upip kanthi kapitayan saka kekuwatane dhewe; 6) Tanduke marang warga bebrayan kudu susila kanthi alusing budi pakarti, tansahh agawe pepadhang lan mareming liyan; 7) Yakin yek kahanan donya iku ora langgeng, tansah owag gingsir (Anyakra manggilingan). 1645

1643 Definisi pengha dijelaskan oleh Sutrimo, wakil ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Provinsi Jawa Tengah saat acara di Semarang, Agustus 2013 1644 Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sebagaimana dalam laporan penelitian eROR of religious freedom, bulan Agustus 2013 1645 Lihat buku panduan Wewarah Sapta Darma, ditebitkan oleh Sekretariat Tuntutan Agung Unit Penerbitan Surokasan

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 635 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 635

Secara umum, ada aturan khusus mengenai pemakaman yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 9 tahun 1987 tentang penyediaan penggunaan tanah untuk keperluan tempat pemakaman. Aturan ini membedakan secara kategorial tentang apa yang dimaksud tempat pemakaman umum, tempat pemakaman bukan umum dan tempat pemakaman khusus.

Tempat pemakaman umum, sebagaimana dalam Pasal 1 PP tersebut, adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan, yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II atau Pemerintah Desa. Dalam penjelasan pasal ini dijelaskan, bagi jenazah yang tidak jelas identitasnya maupun agamanya, penguburannya ditempatkan dalam lingkungan tertentu di tempat pemakaman umum tersebut.

Sementara yang dimaksud dengan tempat temakaman bukan umum adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah yang pengelolaannya dilakukan oleh badan sosial dan/atau badan keagamaan. Dalam kaitannya dengan pemakaman bukan umum atau pemakaman partikelir ini peran pemerintah daerah ada dalam penentuan izin lokasi tempat pemakaman bukan umum untuk diserasikan dengan rencana pembangunan daerah dan ketertiban lingkungan. Sementara tempat pemakaman khusus adalah areal tanah yang digunakan untuk tempat pemakaman yang karena faktor sejarah dan faktor kebudayaan mempunyai arti khusus. Di luar tiga kategori tempat pemakaman tersebut, ada juga istilah krematorium, yakni tempat pembakaran jenazah yang pelaksanaannya dijalankan oleh Pemerintah Daerah, masyarakat ataupun Badan Hukum/Yayasan yang bergerak di bidang sosial dan/atau keagamaan dengan memperhatikan persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Daerah dan tempat penyimpanan jenazah.

Pada beberapa tempat di Indonesia, banyak ditemukan kelompok masyarakat yang tidak menguburkan jenazahnya, tetapi hanya menyimpannya. Mereka biasanya menyimpan jenazah- jenazah di dalam lubang lubang atau gua-gua ataupun menempatkan jenazah di tempat tempat yang terbuka, yang karena keadaan alamnya mempunyai sifat sifat khusus dibandingkan dengan tempat lain. Sepanjang adat tersebut masih ada dan berlaku pada suatu kelompok masyarakat, maka Pemerintah Daerah menentukan lokasinya. Pasal 4 PP tersebut menjelaskan mengenai prinsip pelayanan terhadap pemakaman penduduk. Di ayat 1 ditegaskan bahwa setiap orang mendapat perlakuan yang sama untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum. Di sini, berlaku prinsip non-diskriminatif. Semuanya berhak mendapatkan fasilitas yang sama.

Sementara soal pelayanan terhadap penghayat kepercayaan sudah merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No 43 dan No 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Penghayat kepercayaan dimakamkan di tempat pemakaman umum (Pasal 8 ayat 1). Jika kemudian penghayat ditolak dimakamkan di tempat pemakaman umum yang berasal dari tanah wakaf, maka pemerintah daerah menyediakan pemakaman umum (ayat 2). Lahan pemakaman umum tersebut dimungkinkan disediakan sendiri oleh Penghayat Kepercayaan (ayat 3). Kewajiban Bupati/Walikota adalah memfasilitasi administrasi penggunaan lahan yang disediakan oleh Penghayat untuk menjadi pemakaman umum (ayat 4).

Aturan tersebut juga sudah sangat terang menjelaskan kewajiban pemerintah terhadap penghayat dalam soal pemakaman. Bahkan ketika terjadi penolakan sekalipun, pemerintah

Yogyakarta,

636 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 636 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Jika di masyarakat terjadi penolakan pemakaman, negara tidak boleh tinggal diam dan absen atas tindakan tersebut. Apalagi menjadi pihak yang menolak, yang sungguh berarti tidak mengetahui aturan yang ada. Negara melalui perangkat pemerintah seharusnya bisa menempatkan diri sebagai pihak penengah sekaligus pengayom bagi semua warga.

c. Potret Suram Penolakan Pemakaman Penghayat Sapta Darma

Potret penolakan pemakaman telah terjadi di Kabupaten Pati terjadi di keluarga besar Muri di Dusun Tlogowiru, Desa Tegalharjo, Kecamatan Trangkil. Ayah Muri meninggal dan ditolak pemakanannya. Ayah Muri bernama Marto Mardin meninggal dunia pada 3 November 2012, sementara ibunya bernama Dasilah meninggal satu tahun sebelumnya. Penolakan langsung disuarakan oleh aparat desa bersama dengan pimpinan desa yang tidak menghendaki dimakamkan di tempat umum. Pihak desa meminta agar warga penghayat yang meninggal dunia dikebumikan di pekarangannya sendiri, namun dari pihak keluga menolak dengan lasan tak mempunyai lahan untuk dimakamkan.

Aparat desa semua tidak mau mengakomodir permintaan pihak keluarga. Alasanya, tampat pemakaman desa yang ada dan digunakan selama ini diklaim milik makam Muslim. Sehingga, ketika ada yang meninggal harus dimakamkan dengan cara agama Islam. Pihak keluarga Muri menyangkal, karena sudah sejak turun temurun makam yang ada di desa tersebut adalah makam bersama tanpa sekat batasan agama, suku dan sebagainya. Pihak keluarga menghendaki agar nantinya dikebumikan dengan adat Sapta Darma, bukan dengan cara agama Islam. 1646

Perselisihan itu berlanjut hingga pihak keluarga mengalah lantaran tak ingin jasad Marto Mardin terlunta-lunta. Pihak keluarga melunak dengan segala permintaan pihak desa, termasuk dengan cara pengebumian dengan cara Islam. Akhirnya dengan segala keterpaksaan, Marto Mardin dikebumikan dengan cara islam. 1647 Permasalahan belum selesai ketika bersamaan dengan ibunya dimakamkan beredar Surat penyataan pindah agama atas nama Muri dan keluarganya. Surat pernyataan dibuat oleh pihak desa diatas materai Rp 6000, sementara Muri dipaksa untuk tanda tangan.

Uniknya, surat itu kemudian disebarkan sebanyak 100 lembar yang kemudian sampai di rumah tetangga. Muri selaku pihak yang telah tanda tangan ternyata tak mendapat salinan berkas tersebut. Dalam surat penyataan pindah agama, penulis menemukan salinan berkasnya yang isinya menyebut: jika Muri mengingkari pernyataan pindah agama akan menanggung segala resiko kemudian hari.

Muri selaku yang bertandangan keberatan atas sikap pemerintah desa terhadapnya. Dia menuding Mantan Kepala Desa Mustamar, Modin H Muhtarom dan pemuka desa telah sengaja mengatur hal tersebut. Menurut Muri, acara pemakaman sudah semestinya harus disesuaikan dengan cara adatnya masing-masing, tapi pemakaman ayahnya dengan paksaan agama. 1648

Kejadian yang dialaminya itu kemudian dilaporkan ke pengurus Sapta Darma tingkat Pati dan Tingkat Jawa Tengah. Menurut Masyhadi Widjaya, selaku tuntutan atau Sesepuh tingkat

1646 Wawancara dengan anak Penghayat Sapta Darma yang meninggal dunia, Muri, 6 April 2014 1647 Wawancara dengan Penghayat Sapta Darma Desa Tegal Wiru, 6 April 2014 1648 Wawancara dengan Muri di kediamannya, 6 April 2014

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 637

Provinsi Jawa Tengah, kejadian yang dialami Muri dan keluarganya itu hingga kini masih belum mempunyai solusi. Pihaknya sudah berkomunikasi dengan berbagai pihak terkait persoalan tersebut, tapi belum diketemukan solusinya. 1649

Potret penolakan yang sama terjadi empat tahun lalu di Desa Cikandang, Kecamatan Kersana, Kabupaten Brebes. Di tempat ini, semula masyarakat setempat menolak pemakamkan jasad warga Sapta Darma di tempat pemakaman umum. Penolakan tersebut berimbas dengan dimakamkan jasad tersebut di pekerangan milik pribadi. Hal yang terjadi di desa Cikandang Kecamatan Wanasari. Di desa ini, penolakan pemakaman jenazah terhadap pemeluk Sapta Darma di tempat pemakaman umum. Penolakan pemakaman pertama terjadi pada tahun 2007, dan terjadi lagi pada tahun 2012. Dengan pengalaman pahit itulah kemudian pihak penghayat Sapta Darma desa Sigentong kemduian diminta membuat tempat pemakaman sendiri, tidak boleh dicampur dengan makam orang Islam. 1650

Salah seorang tuntunan Sapta Darma Kabupaten Brebes, Sarkad mengatakan perintah untuk membuat makam khusus bagi pemeluk Sapta Darma lantaran adanya desakan dan penolakan dari tokoh agama Islam setempat. Mereka minta agar pemerintah melarang orang yang agamanya kosong membuat makam di pekarangan sendiri. Karena tak ingin ada konflik, warga Sapta Darma di Desa Sigentong, Kecamatan Wanasari membuat makam tersendiri yang dipakai hingga sendiri di atas tanah milik salah seorang pemeluk Sapta Darma. Pembangunan makam khusus ini murni dibiayai oleh warga penghayat dan tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Di makam baru itu, sudah ada tiga makam pemeluk Sapta Darma, yaitu makam Warsinah, Duriyani, dan Tanyu. 1651

Penghayat Sapta Darma yang lain, yang berada di Desa Sikancil, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes pada tahun 2011 juga mendapat insiden soal makam. Berbeda dari sebelumnya, makam pemeluk Sapta Darma dibongkar oleh warga karena berada di tempat pemakaman umum. Pembongkaran dilakukan oleh masyarakat setempat, karena tak ingin jasad penghayat dimakamkan di tempat pemakaman yang mayoritas berisi makam umat Islam. Para penghayat yang berada di desa tersebut kemudian diminta membuat tempat pemakaman sendiri. Mereka pun hingga kini belum memiliki tempat pemakaman pribadi. 1652

Persoalan pemakaman juga dirasakan Ki Wagiman Danu Rusanto, selaku Ketua Pusat Pelajar Kaweruh Jiwa (PKJ). Pengalaman yang dialami oleh Wagiman terjadi pada hampir 30 tahun lalu di Desa Segiri, Kacamatan Pabelan, Kabupaten Semarang. Menurut Wagiman, di desanya tempat pemakaman yang awalnya untuk umum, tiba-tiba diubah menjadi makam muslim. Adanya tulisan itu membuat warga non muslim yang meninggal tidak boleh dimakamkan di tempat tersebut. Wagiman pun mencoba meluruskan dan mengklarifikasi adanya pemasangan papan nama ersebut. Sebab, makam itu adalah makan yang diperuntukkan untuk umum dan sudah berlaku sejak dulu kala. Semua orang, lanjut dia, boleh dimakamkan di tempat makam itu. Namun, dalam prosesnya justru didatangi oleh Komandan Koramil dan anak buahnya. Saat itu, dia menjelaskan tentang aturan tempat pemakaman. Bahkan tidaknya hanya soal pemakaman saja, tetapi juga hal-hal yang lain yang ada hubungannya dengan penghayat kepercayaan, seperti soal perkawinan, kematian. 1653

Soal pemakaman, Wagiman mengatakan tempat pemakaman ada tiga model, yakni makam keluarga (khusus), makam swasta (makam bukan umum) dan makam umum. Makam umum

1649 Wawancara dengan Masyhadi Widjaya di kantor HPK Pati, 5 April 2014 1650 Lihat juga di laporan penelitian bulanan di eROR on religious freedom, edisi Juli 2014 1651 Wawancara dengan tuntutan Sapta Darma Brebes, Sarkad, Mei 2014 1652 Ibid., 1653 Wawancara dengan Wagiman, Mei 2014

638 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 638 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Soal pemakaman pribadi bagi penghayat, bagi Perguruan Trijaya Kabupaten Tegal telah mempunyai pemakaman khusus. Pemakaman ini diberi nama Sasono Kasidanjati ata Astana Laya yang berlokasi di kompleks Padepokan Wulan Tumanggal. Pemakaman ini berada di bagian atas Padepokan satu arah menuju curug wulan tumanggal yang selama ini digunakan untuk prosesi kukup, atau ritual untuk menjadi penghayat murni. Pemakaman itu menjadi alternatif ada yang mengalami penolakan pemakaman di tempat umum. Setidaknya sudah ada lima orang yang dimakamkan. Bagi mereka juga, mereka yang meninggal mau dimakamkan di dekat Romo Guru, Istrinya dan ibu bapaknya romo guru juga dipersilahkan. Pemakaman ini juga diketahui telah menerima pemakaman dari dari Jakarta. 1655

Sementara persoalan makam di Paguyuban Waspada tidak mengenal ritual khusus dalam proses pemakaman. Jika ada anggota paguyuban yang meninggal, maka ia dimakamkan sesuai agamanya dan semuanya diserahkan kepada keluarganya masing-masing. Di Waspada, tidak ada tata cara untuk pemakaman itu. Kasus yang pernah terjadi pada anggota Kawruh Jiwa, Solo. Ayah dari seorang anggota Kawruh Jiwa, Sukar meninggal pada tahun 1997. Ia kemudian memakamkannya di depan rumah. Warga kemudian menggugat dan meminta jenazahnya dimakamkan di tempat pemakaman umum. 1656

E. Negara dan Perlindungan Penghayat Kepercayaan

1. Perlindungan Negara terhadap Penghayat

Secara umum, perlindungan negara atau Pemerintah terhadap para Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan warga negara Republik Indonesia sudah tertulis dalam beberapa peraturan. Salah satu peraturan mendasar Peratuan bersama Menteri dalam negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Dalam aturan itu penghayat misalnya berhak memperoleh perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan kebebasan meyakini kepercayaannya.

Selain hal tersebut, di masing-masing daerah dimana penghayat itu ada, pemerintah daerah berkewajiban untuk menjaga persatuan, kesatuan, kerukunan nasional, ketenteraman, ketertiban masyarakat, melaksanakan kehidupan demokrasi dan melindungi masyarakat dalam melestarikan nilai sosial budaya. 1657

Aturan itu secara sekilas bisa membawahi payung kehidupan para penghayat. Meski demikian, ternyata masih banyak aturan yang dinilai tak berpihak pada penghayat, salah satunya dalam bidang perkawinan. Dalam aturan UU Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan, soal perkawinan penghayat sudah dijelaskan secara agak rinci. Hanya saja, itu masih sebatas pencatatan perkawinan, bukan tata pelaksanaan ataupun mekanisme perkawinan penghayat kepercayaan.

Dalam hal adminstrasi atau pelayanan publik, negara sudah berperan cukup besar dengan memasukkan materi penghayat dalam berbagai aturan. Misalnya, dalam Pasal 2 dalam Pasal

1654 Ibid., 1655 Wawancara dengan tokoh Trijaya, Romo Pandji, Mei 2014 1656 Wawancara dengan tokoh Waspada, Mei 2014 1657 Lihat PP Nomor 43/41 tahun 2009

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 639

28 E Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kebebasan bagi tiap warga negaranya untuk meyakini kepercayaan berdasar hati nuraninya. Dengan demikian, mereka ini bukan seorang yang tidak beragama, atau ateis yang dilarang di Indonesia. Begitu juga dalam pasal 29 ayat 2 yang memerintahkan negara untuk menggaransi warga negaranya yang melakukan ibadah. “(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” 1658

Dalam penjabaran aturan dibawahnya, ada aturan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006. Pasal 8 ayat 4 dalam UU tersebut misalnya, meminta agar pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama menurut peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Begitu juga dalam pasal

61 soal kolom agama. Dalam Kartu Tanda Penduduk atau Kartu Keluarga, kolom agama masih diwajibkan untuk

dicantumkan. Negara mulai sadar dan mulai mengecualian bagi penduduk yang tidak beragama. Bunyinya seperti ini isi pasal 61 ayat 2. “(2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database Kependudukan.” 1659 Dan Pasal 64 ayat 2 berbunyi: (2) Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.

Adanya mandat negara ini kemudian lahir Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang pelaksanaan UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan. PP ini mulai menjelaskan apa itu penghayat dan apa surat perkawinan penghayat. Para penghayat juga harus mencatatkan pernikahannya sebagaiman dalam pasal 81, yakni bab XI tentang persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan. Negara juga sudah meminta kepada penghayat yang hendak kawin untuk bisa dilakukan di depan pemuka atau tokoh penghayat.

Pemuka penghayat sendiri adalah pemuka agama yang sudah mendapat pengesahan atau sudah didaftar pada Departemen Pariwisata dan Kebudayaan yang secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Setelah itu, perkawinan dicatatkan kepada instansi pelaksana maksimal 60 hari dengan menyerahkan surat perkawinan penghayat kepercayaan dan syarat administratif lain (pasal 82). Pihak pemerintah juga diwajibkan untuk mencatat perkawinan penghayat dengan mencatat pada register akta perkaiwnan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan penghayat.

Tahun 2013, pemerintah kembali merevisi peraturan kepada Penghayat. Hal itu lantaran adanya kebutuhan soal Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013. Substansi UU baru tersebut hampir sama, dan ada penambahan sedikit untuk menjamin payung hukum secara lebih kuat. Misalnya dalam 64 point 5 berbunyi “(5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”

Hanya saja, ada lagi aturan di bawahnya berupa peraturan daerah (perda) yang mempunyai kebijakan tersendiri soal penghayat. Di Jawa Tengah, berdasarkan penelusuran penulis, tiap daerah mengeluarkan perda Administrasi Kependudukan masing-masing dengan sikap yang berbeda-beda

1658 Lihat Revisi Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 1659 Lihat UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

640 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 640 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Daftar Perda Penyelenggaran Administrasi Kependudukan di Jawa Tengah

No Kota/Kabupaten Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan

1 Kota Semarang

Perda Nomor 2 Tahun 2008

2 Kabupaten Semarang

Perda Nomor 7 Tahun 2009

3 Kabupaten Cilacap

Perda Nomor 6 Tahun 2010

4 Kabupaten Kebumen

Perda Nomor 3 Tahun 2009

5 Kabupaten Pati

Perda Nomor 14 Tahun 2009

6 Kabupaten Pemalang

Perda Nomor 10 tahun 2009

7 Kabupaten Boyolali

Perda Nomor 4 Tahun 2011

8 Kabupaten Grobogan

Perda Nomor 3 Tahun 2010

9 Kabupaten Kendal

Perda Nomor 3 Tahun 2011

10 Kabupaten Jepara

Perda Nomor 2 Tahun 2010

11 Kabupaten Sragen

Perda Nomor 10 tahun 2011

12 Kabupaten Rembang

Perda Nomor 4 Tahun 2008

13 Kabupaten Temanggung

Perda Nomor 4 Tahun 2009

14 Kabupaten Sukoharjo

Perda Nomor 5 Tahun 2010

15 Kota Surakarta

Perda Nomor 10 Tahun 2010

16 Kota Salatiga

Perda Nomor 9 Tahun 2007

17 Kabupaten Kudus

Perda Nomor 12 tahun 2008

18 Kabupaten Wonosobo

Perda Nomor 6 Tahun 2009

19 Kota Magelang

Perda Nomor 1 Tahun 2012

20 Kabupaten Magelang

Perda Nomor 5 Tahun 2010

21 Kota Tegal

Perda Nomor 5 tahun 2010

22 Kabupaten Tegal

Perda Nomor 1 Tahun 2010

23 Kabupaten Brebes

Perda Nomor 8 tahun 2011

24 Kabupaten Wonogiri

Perda Nomor 12 tahun 2011

25 Kabupaten Demak

Perda Nomor 1 Tahun 2009

27 Kabupaten Blora

Perda Nomor 6 Tahun 2009

28 Kabupaten Karanganyar

Perda Nomor 1 tahun 2011

29 Kabupaten Klaten

Perda Nomor 15 Tahun 2008

30 Kabupaten Banjarnegara Perda Nomor 1 Tahun 2009 31 Kota Pekalongan

Perda Nomor 5 Tahun 2009

32 Kabupaten Banyumas

Perda Nomor 6 Tahun 2010

33 Kabupaten Purworejo

Perda Nomor 2 Tahun 2010

34 Kabupaten Pekalongan

Perda Nomor 8 Tahun 2009

35 Kabupaten Batang

Perda Nomo 1 Tahun 2010

*Data ini diolah dari berbagai sumber

Adanya perda-perda ini bisa disimpulkan bahwa daerah memang ingin agar soal adminitrasi kependudukan bisa berjalan cepat. Dalam Perda Kabupaten Semarang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penyelenggaran Administasi Kependudukan. Di Ungaran itu, mencatat beberapa pasal mengupas penghayat. Pasal itu antara lain pasal 27 ayat 4 dan 5, oasak 42 ayat 5. Isinya sebagai berikut:

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 641

“Pasal 27: (4) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk mengisi dan menandatangani Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan. (5) (m). foto copy surat perkawinan penghayat kepercayaan yang telah dilegalisir (bagi penghayat kepercayaan).

Sementara Perda Nomor 1 Tahun 2009 di Banjarnegara, penghayat Kepercayaan diatur relatif banyak. Yakni dalam Pasal 16 ayat (4), Pasal 41, 42 dan 43 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pencatatan Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan. Ada juga Pasal 82 ayat 2, pasal 85 ayat 2. “Pasal 82: (2) Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam Data Base Kependudukan.”

Sementara di daerah lain, Misalnya di Kabupaten sebagaimana dalam Perda Nomor 1 Tahun 2011 hanya mengutip dengan sumber asal di PP dan UU. Kutipan soal penghayat termuat dalam Pasal

5 (4) dan pasal 54 ayat 2. Dua pasal ini tidak menjelaskan soal penghayat yang berarti. Begitu juga dalam Perda Nomor 12 Tahun 2008 di Kudus. Perda di Kudus ini sama persis dengan apa yang termuat ihwal perda di Banjarnegara soal penjelasan soal penghayat. Ada beberapa pasal dan Bab yang diatur secara cukup rinci. Perda Nomor 5 Tahun 2010 di Kabupaten Magelang paling lengkap merinci soal penghayat. Meski isinya hampir sama dengan PP 37 Tahun 2007, aturan soal penghayat di sini relatif banyak. Misalnya dalam ketentuan umum pasal 32, 33 dan 34. Selain itu, ada di pasal 69 (2), 72 (2), Pasal 117, 118 dan 119 serta dalam pasal 134 ayat 4.

Di Batang lewat perda Nomor 1 Tahun 2010 tidak dijelaskan. Bahkan, penghayat hanya disebut dalam Ketentuan Umum Nomor 39, 40. Itu saja. Tentu masih banyak perda lain yang belum bisa dimasukkan dan dirinci dalam tulisan ini. Meski begitu, daerah yang diberi keleluasaan untuk menyusun perda bisa bersikap mengakomodasi dan menolak keberadaan penghayat. Tinggal kemauan dan politikal wiil dari politisi daerah untuk menentukan arah ke depan para penghayat.

2. Islam, Negara vis a vis Sapta Darma

Upaya perlindungan terhadap penghayat kepercayaan sebagian memang sudah berlaku dalam aturan. Namun, dalam realisasinya terjadi diskriminasi yang teramat besar. Hal yang paling terlihat adalah soal penolakan pemakaman Penghayat Kepercayaan, baik oleh aparat desa maupun mayoritas warga muslim.

Dalam keyakinan orang Islam, misalnya, orang yang sudah meninggal, ruhnya dipercaya akan tetap hidup dan tinggal sementara di dalam alam kubur atau barzah. Kepercayaan ini sedekian alam telah diyakini orang Jawa. Arwah bagi orang tua sebagai nenek moyang yang meninggal dunia diyakini berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya, atau sebagai arwah leluhur menetap di makam (pasareyan). Umumnya, arwah masih menjalin kontrak degan keluarga yang masih hidup sehingga arwah bisa saja mendatangi sanak keturannya. Roh-roh itu yang kemudian banya dikenal sebagai dhanyang, bahureka atau sing ngemong. 1660 Atas dasar itulah, orang yang meninggal dunia perlu dikirim doa, tahlilan tujuh hari, seratus hari, satu tahun dan seribu hari.

Selain hal tersebt, pemakaman bagi orang Jawa juga dilakukan secepat mungkin sesudah kematian. Seorang yang meninggal pagi, siangnya sudah terbiasa dikebumikan. Alasan yang muncul adalah bahwa roh orang yang sudah meninggal itu berkeliaran tak menentu sampai jasadnya dikuburkan. Hal itu berbahaya bagi tiap orang, terutama bagi keluarga. Untuk itu, makin cepat jenazah dikuburkan itu akan lebih baik, karena rohnya kembali ke tempat yang baik. 1661

1660 Lihat dalam Darori Amin (eds), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 107, hlm. 127-128 1661 Clifford Geertz, The Religion of Java, penj, Aswab Mahasin dan Nur Rasuanto, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi

dalam Kebudayaan Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2014, hlm. 89-90

642 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Setelah mendengar berita kematian, warga Jawa juga kerap kali bertandang ke rumah korban sembari membawa beras atau makanan lain. Beras itu kemudian diambil oleh pihak yang berduka untuk disebarkan ke luar pintu, lalu ditanak untuk keperluan slametan. Para lelaki membawa alat-alat pembuat nisan untuk keprluan di tempat pemakaman. Kuburan seorang juga disiapkan ketika upacara memandikan dan memberi kain kafan sudah dilakukan. 1662 Di tengah upaya Islam untuk menundukkan budaya lokal Jawa, masih ada sikap dari orang beragama yang belum bisa menundukkan.

Dalam hal etika maupun ibadah, barangkali Walisongo memang telah berhasil menyulap etika dan tradisi masyarakat Jawa kuno ke dalam sikap yang agamis tanpa melupakan tradisi. Penakulkkan islam terhadap budaya lokal Jawa terlihat dalam tradisi Idul Fitri, di mana umat Islam menyajikan lontong dan kupat. Secara kertabahasa, kupat diartikan secara ngaku lepat (mohon maaf), sementara lontong diartikan sebagai olone kothong atau kesalahannya habis. 1663 Makam juga diartikan sebagai astana, pemakaman keramat atau pemakaman yang biasanya dipakai untuk orang terpandang.

Bagi para penghayat sendiri, kematian adalah jalan menuju kehidupan yang kekal. Menurut Suwardi, 1664 kematian dimaknai bagai jalan menuju keabadian. Untuk itu, diperlukan juga ritual laiknya tahlilan. Ketika menguburkan jenazah, warga penghayat juga melantunkan doa-doa dan nasehat, dengan tembang. Setelah itu, peringatan arwah leluhur selalu diperingati. Kematian sendiri merupakan hal amat sakral dan merupakan bagian dari simbol berputarnya poros kehidupan berdasarkan takdir tuhan.

Dalam hal kematian, problem pemakaman timbul apabila tidak ada komunikasi yang baik antara para penghayat, masyarakat sekitar dan pejabat pemerintah. Karena berbeda keyakinan, problem sentimen dan kesalahfahaman selalu terjadi. Hal itu sebenarnya bisa diselesaikan diselesaikan dengan bagaimana setiap pihak bisa menjalin komunikasi yang baik.

Dalam hal kebijakan pengayoman agama, semestinya bsia mencontoh Bupati Wonosobo, Kholiq Arief yang mampu menjadi bapak bagi semua agama dan kepercayaan. Dia membuat kebijakan agar warga negara bisa hidup dalam payung bersama, dan bertindak tegas bagi pelaku yang

mencoba mengusik kehidupan bersama. Kholiq mengaku memahami mengapa Nabi Muhamamd menghormati orang Yahudi, dan hal itulah seorang pemimpin yang sewajarnya bisa melindungi

semua warganya. Kholiq mempersiakan warganya beribadah dengan bebas, karena sama-sama membayar pajak pada negara dan dia menggaransi rasa aman bagi semua yang beribadah. Dia juga memberikan kemudiahan bagi umat beragama yang hendak membangun tempat ibadah dengan melibatkan tokoh agama setempat. 1665

Terlepas dari masalah dan konflik sosial yang ada, sudah semestinya bagi negara untuk bisa mengayomi semua warga negaranya. Para penghayat, juga mereka yang beragama Islam sama- sama membayar upeti bagi negara, dan mempunyai hak untuk hidup di tengah masyarakat. Ketika mereka meninggal, hak mereka juga harus dipenuhi, menyediakan pemakaman. Masyarakat setempat juga perlu diberi pemahaman bahwa makam umum tidak saja milik Islam, tetapi milik bersama, tanpa adanya perbedaan suku, agama dan ras.

F. Simpulan dan Penutup

Dari tulisan singkat ini, penulis menghasilkan beberapa kesimpulan.

1662 Ibid., 1663 Lihat dalam Darori Amin (eds), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 107 1664 Wawancara dengan tokoh Penghayat Banyumas, Suwardi 1665 Lihat Majalah Tempo, edisi kusus Kepala Daerah pilihan tahun 2012 “Bukan Bupati Biasa”, Edisi 10-16 Desember

2012, hlm. 74

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 643

Persoalan penolakan pemakaman para Penghayat Sapta Darma secara faktual memang terjadi di berbagai wilayah di Jawa Tengah. Rata-rata, jasad warga Sapta Darma ditolak oleh warga di tempat pemakaman umum. Banyak warga yang beragama Islam, dan juga pemerintah desa setempat menganggap makam desa adalah milik makam Muslim, sehingga orang yang tidak beragama dinilai tidak berhak untuk dimakamkan. Jika ada makam, maka dibongkar dan dipindahkan. Persoalan ini masih banyak terjadi salah satu masalahnya karena ego sektoral, selain karena negara tidak menyediakan tempat berteduh bagi warga negaranya. Jika sudah ada pengertian satu sama lain, masalah pemakaman tidak ada saling menolak.

Dalam hal penolakan, negara memang sudah sepantasnya memberikan lahan untuk makam bersama. Hal tersebut sudah ada dalam aturan yang ada. Hanya saja, saat ini makam milik desa atau negara kemudian banyak diklaim menjadi makam orang Islam. Negara pun terkadang absen dan menjadi aktor penolakan pemakaman seperti yang terjadi di Pati, dan di daerah lainnya. Negara semestinya bisa berperan adil dalam menjamin kehidupan maupun kematian bagi warga negaranya.

Daftar Pustaka

Buku Panduan Wewarah Sapta Darma, Yogyakarta: Sekretariat Tuntutan Agung Unit Penerbitan Surokasan, tt

Buletin eLSA Report on Religious Freedom, edisi Juni 2014. ----------, Report on Religious Freedom, edisi Juli 2014 ----------, Report on Religious Freedom, edisi Agustus 2013 Amin, Darori (eds), Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000 Geertz, Glifford, The Religion of Java, penj, Aswab Mahasin dan Nur Rasuanto, Agama Jawa: Abangan,

Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2014 Clambert-Loir, Henri dan Claude Guillot, Ziarah dan Wali di Dunia Islam, Jakarta: Komunitas Bambu,

2010 Majalah Tempo, edisi kusus Kepala Daerah pilihan tahun 2012 “Bukan Bupati Biasa”, Edisi 10-16

Desember 2012 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43/41 tahun

2009 tentang pedoman pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum Kota Semarang Undang-Undang Dasar RI tahun 1945 UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Wawancara dengan anak Penghayat Sapta Darma, Muri Wawancara dengan Penghayat Sapta Darma, Supriyono Wawancara dengan tokoh Trijaya, Romo Pandji Wawancara dengan tokoh penghayat, Suwardi Wawancara dengan tuntunan Sapta Darma Sarkad Wawancara dengan tuntutan Sapta Darma Jateng, Masyhadi Widjaya Wawancara dengan Wagiman Wawancara dengan wakil ketua HPK Jateng, Sutrimo

644 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014