Pertautan Dinamis
C. Pertautan Dinamis
Pilihan terhadap demokrasi memiliki implikasi konstruktif pada sikap apresiatif terhadap pluralisme. Tetapi seharusnya dipahami bahwa implikasi ini tidak terjadi secara otomatis. Sifatnya potensial sehingga dibutuhkan ikhtiar serius untuk merekonstruksinya agar bisa dioperasionalkan.
Indonesia merupakan sebuah bangsa dengan keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman ini, jika dikaitkan dengan demokrasi, sesungguhnya merupakan ”modal dasar”. Disebut demikian karena dapat menjadi penyangga mekanisme kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Demokrasi
156Ibid., h. 100-101. 157Ibid., h. 101-103. 158Ibid., h. 104. 159Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam, h. 70-71. 160M. Amien Rais, Menyembuhkan Bangsa yang Sakit (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 66.
80 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 80 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014
Keanekaragaman atau kemajemukan merupakan sarana yang dapat didayagunakan untuk menciptaan kehidupan demokrasi yang berkualitas. Demokrasi yang berkualitas ditandai oleh—di antaranya— sikap mental yang toleran. Bentuk sikap toleran tersebut adalah saling menghormati, menghargai, dan mengapresiasi sesama. Jika ini mampu terwujud maka memiliki relevansi yang erat dengan kehidupan politik yang senantiasa mesti menyentuh nilai-nilai kemanusiaannya. Bingkai-bingkai demokrasi seperti masalah multietnis pun tidak bisa dielakkan, bahkan merupakan potensi yang berarti, sehingga pluralitas sebagai aset seharusnya diwadahi dalam tatanan struktur politik yang kondusif. 161
Salah satu penyangga struktur politik tersebut adalah partai politik. Secara substansial, partai politik diharapkan mampu menjembatani kepentingan masyarakat dan negara. Kemampuan menerjemahkan kepentingan ini yang akan menentukan eksistensi partai politik. Jika mampu menerjemahkan secara baik, dukungan yang didapat juga akan bertahan lama. Sebaliknya, rendahnya kemampuan menerjemahkan juga akan berimplikasi pada lemahnya dukungan masyarakat.
Ada kesan kuat yang berkembang di masyarakat bahwa partai politik sekarang ini secara umum memperlihatkan performance yang kurang menggembirakan. Kinerjanya kurang selaras dengan aspirasi masyarakat. Bagi partai yang menang, setelah kekuasaan didapat, berbagai agenda kerakyatan sebagai agenda mutlak partai kepada konstituennya tidak dilaksanakan. Sementara partai yang kalah, apalagi tidak mendapatkan kursi di legislatif, kiprah mereka secara otomatis surut. Tidak ada lagi usaha untuk memberdayakan masyarakat konstituennya.
Realitas semacam ini tentu saja membawa implikasi luas terhadap masyarakat. Secara umum masyarakat menilai bahwa kinerja partai politik kurang sesuai dengan harapan masyarakat. Sesungguhnya banyak orang pintar dan berkarakter di partai politik yang memungkinkan bagi optimalisasi peran dan kinerja. Sayangnya, mereka biasanya luntur dan hanyut dalam kultur politik yang korup. Kalau situasi demikian tidak dikoreksi dengan melakukan transformasi radikal dalam tubuh parpol, ke depan panggung politik kita akan semakin suram dan ujungnya rakyat yang menderita. 162
Secara teori, partai memiliki beberapa fungsi. Pertama, artikulasi kepentingan. Artikulasi kepentingan adalah suatu proses peng-input-an berbagai kebutuhan, tuntutan, dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok yang masuk dalam lembaga legislatif agar kepentingan, tuntutan, dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam pembuatan kebijakan publik. Pemerintah dalam mengeluarkan suatu keputusan dapat bersifat menolong masyarakat dan bisa pula dinilai sebagai kebijakan yang justru menyulitkan masyarakat. 163
Kedua, fungsi agregasi kepentingan. Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan- tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, digabungkan menjadi alternatif- alternatif pembuatan kebijakan publik. Agregasi kepentingan dijalankan dalam ”sistem politik yang tidak memperbolehkan persaingan partai secara terbuka, fungsi organisasi itu terjadi di tingkat atas, mampu dalam birokrasi dan berbagai jabatan militer sesuai kebutuhan dari rakyat dan konsumen. Agregasi kepentingan ini erat kaitannya dengan relasi antara masyarakat luas yang mengagregasikan diri atau diagregasikan oleh pemimpin politik, terutama di dalam partai politik. 164
Ketiga, fungsi sosialisasi politik. Sosialisasi politik merupakan suatu cara untuk memperkenalkan nilai-nilai politik, sikap-sikap dan etika politik yang dianut di suatu negara. Pembentukan sikap politik
161Silahudin, “Inklusivisme Politik, Itulah Sosial Demokratisasi”, dalam Frans M. Parera dan T. Jacob Koekerits (peny.), Demokratisasi dan Otonomi, Mencegah Disintegrasi Bangsa (Jakarta: Kompas, 1999), h. 150-151. 162Komaruddin Hidayat, ”Kegagalan Kaderisasi Parpol,” Kompas, Senin, 9 Juli 2012. 163Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 86. 164Ibid., h. 93.
Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 81 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 81
Di samping itu, sosialisasi politik juga mencakup proses melalui mana masyarakat menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam usaha menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum (dan pemilihan kepala daerah), partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin. Untuk itu partai berusaha menciptakan ”image” bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Di samping menanamkan solidaritas dengan partai, partai politik juga mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggungjawabnya sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Proses sosialiasi politik diselenggarakan lewat pendidikan politik, ceramah, kursus, dan sebagainya. 166
Keempat, fungsi sarana pengatur konflik. Dalam demokrasi, persaingan dan perbedaan dalam masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai harus berusaha untuk
mengatasinya. 167 Kelima, fungsi komunikasi politik. Salah satu tugas partai adalah menyalurkan aneka ragam pendapat
dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam msyarakat modern yang begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau kelompok akan hilang jika tidak ditampung dan digabung dengan pendapat dan aspirasi senada. Proses ini dinamakan ”penggabungan kepentingan” (interest aggregation). Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan ”perumusan kepentingan” (interest articulation). 168
Fungsi-fungsi tersebut sifatnya normatif-idealis. Tidak jarang fungsi tersebut hanya sebagai landasan idealis dan tidak terejawantahkan pada tataran aplikatif. Oleh karena itu, ada beberapa catatan penting yang seyogyanya menjadi perhatian partai politik untuk mengembalikan kredibilitas dan perannya dalam sistem demokrasi. Pertama, peran edukasi politik. Partai politik jarang yang melakukan edukasi. Mereka lebih banyak melakukan mobilisasi, khususnya pada momentum menjelang pemilihan. Sejauh ini, belum ada satupun partai politik yang memiliki institusi pendidikan sebagaimana yang pernah dirintis oleh para ideolog kemerdekaan. Implikasi lebih lanjut dari kondisi ini, partai kekurangan eksponen yang matang dan berkembang secara intelektual. Padahal, insan intelektual sangat penting artinya untuk membuat partai semakin maju dan berkembang. Edukasi politik yang ditangani kader partai yang memiliki wawasan dan intelektualitas yang memadai menjadi modal penting kepercayaan publik.
Kedua, kurang maksimal dalam mengagregasi kepentingan-kepentingan yang ada di arus bawah. Partai politik sekarang ini memiliki kecenderungan menjadi institusi politik yang bergerak bukan karena memenuhi aspirasi masyarakat melainkan memenuhi kebutuhan para pengurusnya. Secara umum, peran partai mulai mengendur dan kemudian macet setelah anggotanya dilantik menjadi wakil rakyat.
Ketiga, memberikan sanksi pada anggotanya yang terbukti berkhianat pada rakyat. Walaupun sudah terjerat pada persoalan korupsi, partai jarang yang menjatuhkan sanksi tegas pada anggotanya. Sanksi biasanya baru diberikan setelah ramai menjadi bahan perdebatan publik lewat media massa. Sebagai bagian dari kekuatan politik, yang mengikat partai bukan lagi ideologi dan etika melainkan kepentingan apa yang perlu diselamatkan.
Keempat, akibat lebih lanjut dari ketiga hal di atas, basis konstituen partai tidak tertata dengan baik. Dukungan basis pada partai hanya diukur dari sejauh mana mereka memberikan suara menjelang pemilu atau seberapa banyak mereka hadir dalam setiap musim kampanye. Massa menjadi himpunan
165Ibid., h. 94. 166Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cet. XVII (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 164. 167Ibid. 168Ibid., h. 163.
82 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 82 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014
Kelima, partai kemudian tidak memiliki kejelasan ’ideologi’. Ikatan ideologi perlu diperteguh agar jangan hanya menjadi pelengkap atau lapisan pemanis yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pengurus.
Agenda penting yang mendesak untuk diperjuangkan oleh sekarang ini adalah partisipasi masyarakat. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi menjadi tantangan yang tidak ringan. Demokrasi dan partisipasi adalah dua hal yang saling berkaitan. Demokrasi tanpa partisipasi bukanlah demokrasi. Partisipasi yang tinggi menunjukkan kualitas demokrasi.
Perjalanan demokrasi memang membutuhkan proses yang tidak mudah. Ia menuntut tanggung jawab individu, kelompok, dan juga negara untuk berkhidmat mempromosikan nilai-nilai, ide, dan prinsip- prinsip dasar yang esensial bagi demokrasi. Mengutip Gabriel Almond, Noorhaidi Hasan menyatakan bahwa ada korelasi yang erat antara keberhasilan demokratisasi suatu bangsa dan keberadaan kultur dan struktur sosial politik yang demokratis. Baginya, kultur demokratis merupakan kultur campuran antara kebebasan/partisipasi di satu pihak dan norma-norma perilaku di pihak yang lainnya. 169 Hal ini bermakna bahwa terdapat relasi yang erat antara demokrasi dengan pluralisme.
Tinggi-rendahnya partisipasi masyarakat dalam politik dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, kesadaran terhadap hak dan kewajiban sebagai warga negara. Kedua, sikap dan kepercayaan atau penilaian warga negara terhadap pemerintah. Namun, kedua faktor ini tidak berdiri sendiri. Bisa jadi, kedua faktor tinggi-rendahnya partisipasi politik warga negara ini juga dipengaruhi oleh faktor lain yang mengitari, misalnya status sosial dan status ekonomi, afiliasi politik orangtua dan pengalaman berorganisasi. 170
Partisipasi politik dapat diartikan sebagai keterlibatan setiap warga negara yang dilakukan secara sukarela dalam mengambil bagian dalam proses penentuan pilihan dan perbuatan untuk mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung, atau aktif maupun tidak aktif. Partisipasi itu bisa bersifat pribadi atau kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadis, damai atau kekerasan, efektif atau tidak efektif, legal atau ilegal. 171
Ditinjau dari perspektif Islam, partisipasi sosial-politik berakar pada adanya hak-hak pribadi dan masyarakat yang tidak boleh diingkari. Hak pribadi dalam masyarakat menghasilkan adanya tanggung jawab bersama terhadap kesejahteraan para warga, dan hak masyarakat atas pribadi para warganya menghasilkan kewajiban setiap pribadi warga kepada masyarakat. 172
Berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan partisipasi ini, penting untuk mempertimbangkan pemikiran filosof Hanah Arendt. Menurut Arendt, membangun partisipasi yang baik dilakukan dengan
sarana kata-kata yang meyakinkan dan tidak melalui paksaan atau kekerasan. Memaksa orang lain dengan kekerasan, memerintah dan bukannya dengan meyakinkan, oleh orang Yunani dianggap sebagai cara pergaulan prapolitis yang lazim di luar polis. 173 Pemaksaan tidak saja bertentangan dengan demokrasi tetapi juga ’mengebiri’ pluralisme yang seharusnya ditumbuhkembangkan secara konstruktif.