Oleh: Muhammad Adib, M.Ag.

Oleh: Muhammad Adib, M.Ag.

Dosen tetap STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang; saat ini sedang menyelesaikan studi program doktor (S3) di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Abstrak

Tulisan ini berbicara tentang master plan transformasi paradigma keilmuan STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang sebagai “jiwa” dari transformasi kelembagaan yang sedang dirintisnya. Transformasi paradigma keilmuan yang dimaksud bertumpu kepada tiga konsep kunci, yaitu: (1) institusionalisasi riset sebagai basis akademik, (2) paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan, dan (3) integrasi dengan nilai-nilai pesantren dan aswaja. Paradigma keilmuan yang sedang dirancang tersebut berjalan seiring dengan serta menjadi “jiwa” bagi transformasi kelembagaan STAI Al- Qolam yang sekarang sedang dirintis, yakni beralih status menjadi Institut Agama Islam (IAI) yang ditargetkan terwujud pada tahun 2015 serta menjadi Universitas Islam yang ditargetkan terealisir pada tahun 2025. Ikhtiar transformasi PTAI melalui dua ranah (transformasi paradigma keilmuan dan transformasi kelembagaan) tersebut dikristalisasi menjadi sebuah cita-cita visioner “Menjadi Universitas Islam Riset Berbasis Pesantren Terbaik se Jawa Timur pada Tahun 2030”. Dengan visi tersebut, STAI Al-Qolam sebagai salah satu PTAI swasta yang berbasis pesantren diharapkan bisa memberikan konstribusi konstruktif bagi revitalisasi peran fungsional PTAI dan pesantren, tidak hanya sebagai pusat transformasi ilmu pengetahuan semata, melainkan juga sebagai agen transformasi sosial-budaya bagi kehidupan masyarakat dewasa ini dan di masa depan.

Kata Kunci: Transformasi Paradigma Keilmuan, PTAI Riset Berbasis Pesantren.

A. Latar Peristiwa

Periode tahun 2013-2014 merupakan babakan waktu terkini yang paling strategis bagi STAI Al- Qolam Gondanglegi Malang Jawa Timur, sebuah PTAI yang berlokasi di luar kawasan perkotaan (+ 20 km ke arah selatan dari Kota Malang). Pada periode tahun tersebut, STAI Al-Qolam yang didirikan oleh komunitas pesantren pada tahun 1984 1720 itu menggagas sebuah rencana induk (master plan) transformasi PTAI secara mendasar, yakni transformasi paradigma keilmuan. Transformasi paradigma keilmuan ini digagas berjalan-seiring dengan transformasi kelembagaan yang mulai dirintis, yakni beralih status menjadi institut (ditargetkan selesai pada tahun 2015) dan universitas (ditargetkan tuntas pada tahun 2025). Transformasi paradigma keilmuan tersebut bertumpu kepada tiga konsep kunci—sebagaimana akan dijelaskan lebih gamblang nanti, yaitu: (1) institusionalisasi riset sebagai basis akademik, (2) paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan, dan (3) integrasi dengan nilai-nilai pesantren dan aswaja. Tiga konsep kunci tersebut bermuara pada rumusan paradigma “PTAI riset berbasis pesantren”. 1721 Sementara paradigma tersebut, ketika diakumulasikan dengan transformasi kelembagaan di atas, terkristalisasi menjadi sebuah rumusan visi: “Menjadi Universitas Islam Riset Berbasis Pesantren

1720 Statuta STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang Tahun 2007 (Malang: STAI Al-Qolam, 2007), hlm 12. 1721 Pencanangan “PTAI riset berbasis pesantren” memang bukan ide orisinal tulisan ini. STAI Mathaliul Falah di Pati,

Jawa Tengah, telah beberapa tahun yang lalu menggagas visi “PTAI riset berbasis nilai-nilai pesantren”. Meskipun terinspirasi oleh visi PTAI yang dikelola oleh keluarga besar K.H. Sahal Mahfud itu, tulisan ini sebetulnya bertitik tolak dari konteks dan lokalitas yang relatif berbeda, sehingga abstraksinya pun relatif berbeda.

660 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Terbaik se Jawa Timur pada tahun 2030”. 1722

Institusionalisasi riset sebagai basis

akademik

Transformasi

Paradigma integrasi-

PTAI Riset

Integrasi dengan

Visi:

nilai-nilan pesantren

Menjadi

& aswaja

Universitas Riset Berbasis Pesantren

Se Jawa Timur pada Tahun 2030

Alih status

Penjaminan mutu dan akreditasi

Gambar 1. Skema Master Plan Transformasi STAI Al-Qolam 1723

Proses realisasi dua ranah transformasi tersebut dilaksanakan oleh dua tim yang dibentuk pada penghujung tahun 2013. Pertama adalah Tim Transformasi Paradigma Keilmuan yang bertugas merumuskan dan menghasilkan naskah akademik transformasi paradigma keilmuan STAI Al-Qolam, mulai dari rancang- bangun filsafat keilmuan, visi-misi-tujuan, profil lulusan, hingga ragam strategi pencapaiannya. Kedua adalah Tim Transformasi Kelembagaan yang bertugas merumuskan sekaligus merealisasikan (1) proyek alih status menjadi institut (ditargetkan selesai pada tahun 2015) dan universitas (ditargetkan tercapai pada tahun 2025), (2) penjaminan mutu akademik pada setiap jenjang tahapan alih status tadi. Sekalipun bergerak pada ranah yang berbeda, namun kedua tim terikat dalam jejaring komunikasi dan kerjasama pada sejumlah aspek tertentu, agar substansi dan proses kedua ranah transformasi bisa selaras satu sama lain, di satu sisi, serta sesuai dengan ragam standar mutu akademik sebuah institut dan universitas, di sisi yang lain. 1724

Transformasi paradigma keilmuan adalah hal yang paling menarik dari seluruh aspek transformasi PTAI yang digagas dan dirintis oleh STAI Al-Qolam. Di mata sivitas akademika STAI Al-Qolam sendiri, transformasi paradigma keilmuan dinilai jauh lebih penting dan strategis. Transformasi kelembagaan menurut mereka harus berpijak di atas sebuah paradigma keilmuan yang memuat rancang- bangun filsafat keilmuan yang jelas. Tanpa hal itu, tegas mereka, maka transformasi kelembagaan atau alih status menjadi institut ataupun universitas tak akan bisa bermakna apa-apa selain alih status itu sendiri. 1725 Hal ini sejalan dengan skema pemikiran George R. Knight (1992) bahwa filsafat ilmu menyentuh ragam persoalan yang paling mendasar (basic issues) bagi kehidupan manusia, yaitu realitas (reality), kebenaran (truth), dan nilai (value)—disebut dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Dengan rumusan filsafat ilmu yang jelas, maka sebuah lembaga pendidikan dapat menentukan tujuan (goals)—biasanya disebut dengan visi dan misi—tertentu berikut rangkaian aksinya (sistem akademik dan manajemen kelembagaan). Sebaliknya, tanpa rumusan filsafat keilmuan yang jelas, suatu lembaga

1722 Draft Naskah Akademik Transformasi STAI Al-Qolam Menjadi “Universitas Islam Riset Berbasis Pesantren Terbaik se Jawa Timur pada Tahun 2030” (Malang: STAI Al-Qolam, 2014). 1723 Ibid.

1724 ToR Transformasi STAI Al-Qolam Menjadi “Universitas Islam Riset Berbasis Pesantren Terbaik se Jawa Timur pada Tahun 2030”, 29 Desember 2013.

1725 Dokumen Diskusi Pusat Kajian dan Budaya STAI Al-Qolam, 8 Oktober 2013.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 661 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 661

Landasan filsafat

Faktor-faktor penentu

Isu-isu pendidikan

Standar lulusan

Ontologi

Peran guru

Metode pembelajaran

visi

pendi tik

Aksentuasi kurikulum P rak

Epistemologi

Jaringan sosial lembaga

Gambar 2. Skema Georg R. Knight tentang sentralitas posisi filsafat keilmuan 1727

B. Konteks Transformasi

Seperti telah ditegaskan di muka, transformasi paradigma keilmuan menjadi “jiwa” dan titik tolak bagi transformasi kelembagaan yang dirintis oleh STAI Al-Qolam. Paradigma keilmuan yang ditawarkan adalah “PTAI riset berbasis pesantren”. Gagasan ini pada dasarnya bermula dari pertimbangan penting bahwa PTAI dan pesantren merupakan dua pusat studi yang sebenarnya sama-sama sedang mengalami krisis paradigma. Keduanya sudah terlanjur dibesarkan dalam “jeratan” paradigma keilmuan yang bersifat dikotomis-atomistik antara ilmu dan agama, antara ilmu agama dan ilmu umum, dan begitu seterusnya. 1728 Pembedaan nomenklatur pendidikan antara sekolah dan madrasah, antara PTAI dan PTU, antara kewenangan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan sebagainya, merupakan indikasi penting masih kuatnya paradigma keilmuan yang bersifat dikotomis- atomistik tadi. Itulah sebabnya, adanya fenomena “sintesa atau konvergensi antara pesantren dan perguruan tinggi”, 1729 yakni bermunculannya perguruan tinggi yang didirikan oleh pesantren di berbagai daerah di Indonesia, sebenarnya tidak dengan serta-merta menyajikan jawaban yang mendasar terhadap persoalan krisis paradigma di atas.

Pertimbangan penting berikutnya dari gagasan paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” adalah persoalan krisis relevansi sosial PTAI dan pesantren. 1730 Meminjam ungkapan David M. Malone (2010), kebanyakan PTAI dan pesantren saat ini cenderung menjadi “menata gading” (ivory tower) yang terlalu terfokus pada pengembangan keilmuan secara akadmik semata serta relatif abai terhadap kompleksitas

1726 George R. Knight, “Philosophy: The Most Useful of All Subjects”, The Journal of Adventist Education, Volume 54, Nomor 03, Tahun 1992, hlm. 5.

1727 Diadaptasi dari: Ibid., hlm. 7.

1728 Draft Naskah Akademik. (Malang: STAI Al-Qolam, 2014). 1729 A. Malik Fadjar, “Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesatren: Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif”, dalam Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, edisi baru (Jakarta: Dian Rakyat dan Paramadina,

2010), hlm. 121-129. 1730 Draft Naskah Akademik. (Malang: STAI Al-Qolam, 2014).

662 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 662 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Pertimbangan lainnya adalah pentingnya partisipasi aktif STAI Al-Qolam dalam trend global pendidikan tinggi dewasa ini, yaitu trend “perguruan tinggi riset” (research universities) sebagai “antitesis” trend umum “perguruan tinggi pengajaran” (teaching universities) selama ini. 1735 Trend inovatif yang bermula dari Amerika Serikat sejak pertengahan abad ke-20—terinspirasi oleh budaya riset universitas-universitas di Jerman abad ke-19—tersebut saat ini dicoba untuk ditiru oleh sejumlah universitas ternama di kawasan Eropa dan Asia Pasifik 1736 —termasuk Indonesia. 1737 Namun, hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa “berpartisipasi aktif” dalam konteks ini bukanlah “menduplikasi” secara pragmatis. Mengapa, sebab trend research universities hingga saat ini sebenarnya masih dalam proses pencarian makna (in search of meaning), sebagai akibat dari sifat elitis hasil riset perguruan tinggi, di satu sisi, serta kuatnya orientasi pasar dan kepentingan ekonomi global dewasa ini—oleh J.C.E. Gutiérrez (2008) disebut dengan “kapitalisme kelembagaan” (institutional capitalism). 1738 Itulah sebabnya, “PTAI riset berbasis pesantren” bisa mengambil peran aktif dalam proses pencarian makna tadi, yakni sebagai paradigma alternatif dalam memaknai riset dari perspektif dan sistem nilai yang berbeda.

C. Tiga Konsep Kunci

Seperti telah ditegaskan di muka, bahwa paradigma keilmuan yang digagas oleh STAI Al-Qolam,

1731 David M. Malone, “Foreword”, dalam Bo Göransson dan Claes Brundenius (ed.), Universities in Transition: The Changing Role and Challenges for Academic Institutions, ctk. I (New York, Dordrecht, Heidelberg, dan London: Springer, 2010), hlm. v.

1732 Predikat ini mengacu kepada jumlah pesantren di Kecamatan Gondanglegi. Hingga tahun 2009, terdapat tidak kurang dari 61 pesantren di kawasan ini. Jumlah ini sama dengan 23,73% dari jumlah total pesantren se kawasan Kabupaten Malang yang mencapai 257 pesantren. Lihat: Direktori Pondok Pesantren Tahun 2008/2009, http://pendis.kemenag.go.id (akses tanggal 9 September 2014). Data ini masuh belum menjangkau sejumlah pesantren baru yang berdiri sepanjang tahun 2010 hingga sekarang ini.

1733 Bappeda Kabupaten Malang, Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Malang Tahun 2011 (Malang: Bappeda Kabupaten Malang, 2012), hlm. 79-80. 1734 Abdi Purnomo, “Enam Kecamatan di Malang Jadi Sarang Narkotika”, Tempo (20 April 2007).

1735 Draft Naskah Akademik. (Malang: STAI Al-Qolam, 2014). 1736 Richard C. Atkinson dan William A. Blanpied, “Research Universities: Core of the US Science and Technology

System”, Technology in Society, Volume 30, Nomor 1, Bulan Januari 2008, hlm. 31 dan 41; Thomas J. Tighe, Who’s in Charge of America’s Reserarch Universities?: A Blueprint of Reform (New York: State University of New York Press, 2003), hlm. 1-18.

1737 Sebut saja, misalnya, Universitas Indonesia (UI) di Jakarta, ITB dan Universitas Padjadjaran di Bandung, UGM di Yogyakarta, dan ITS di Surabaya. Belakangan ini, Universitas Islam Negeri (UIN) mulai mendapatkan penguatan dari Kementerian Agama untuk bisa menjadi kampus internasional berbasis riset. Lihat: “Kemenag Dorong UIN Jadi Kampus Riset”, http://www.m.koran-sindo.com, tanggal 11 November 2013 (akses tanggal 12 September 2014).

1738 J.C.E. Gutiérrez, “In the Pursuit of Becoming a Research University”, Disertasi (Arizona: The University of Arizona, 2008), hlm. 33.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 663 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 663

1. Institusionalisasi Riset sebagai Basis Akademik

Sebagai konsep kunci pertama, institusionalisasi riset sebagai basis akademik melalui paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” merupakan bentuk kesadaran secara institusional (institutional awareness) STAI Al-Qolam tentang arti penting riset itu sendiri bagi kebangkitan dan kemajuan sebuah peradaban. 1739 Seperti dinyatakan oleh Souleymane Bachir Diagne (2010), tolok ukur kejayaan suatu peradaban terletak pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi atau “spirit riset ilmiah” (the spirit of scientific inquiry). Spirit inilah yang, menurut Diagne, yang menjadi salah satu faktor penentu begitu maju dan hegemoniknya peradaban Barat saat ini dalam percaturan kehiduan sosial, politik, dan budaya mulai masa Renaissance hingga saat ini. 1740 Semangat dan tradisi riset ilmiah itu pula yang pernah dimiliki oleh para ilmuwan Muslim era keemasan Islam (the Islamic golden age) pada kurun abad ke-7 hingga 13. Hal ini tercermin, misalnya, dari prinsip yang mereka junjung tinggi bahwa “tinta para ilmuwan lebih baik daripada darah para syahīd” (midād al-‘ulamā’ khair min dimā’ al-syuhadā’). 1741 Dengan semangat dan tradisi tersebut, hasil-hasil riset para ilmuwan Muslim berhasil mewarnai perkembangan global ilmu pengetahuan dan teknologi ketika itu. Nama-nama tenar seperti al-Kindī (801-873), al-Farābī (870-950), Ibn al-Haytsam (965-1039), al-Bīrūnī (973-1048), Ibn Sīnā (980-1037), dan Ibn Rusyd (1126-1198) adalah sebagian kecil dari para ilmuwan Muslim yang telah menorehkan tinta emas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masa keemasan Islam. Topik riset mereka memanjang- melebar mulai dari kajian keislaman, sejarah, filsafat, ekonomi, hingga astronomi, fisika, biologi, kimia, dan kedokteran. 1742 Lebih dari itu, mereka bahkan bisa diposisikan sebagai “penyambung lidah” antara peradaban Yunani dan peradaban Barat modern. Hasil-hasil riset mereka telah memberikan inspirasi yang luar biasa bagi para ilmuan di Barat yang mendorong transformasi peradaban Barat. 1743

Menempatkan riset sebagai basis akademik secara paradigmatik menuntut adanya rekonseptualisasi Tridharma Perguruan Tinggi. Dengan paradigma “PTAI riset berbasis pesantren”, tiga pilar Tridharma Perguruan Tinggi (pengajaran, riset, dan pengabdian kepada masyarakat) sudah tidak berposisi sejajar lagi—seperti yang biasa dijumpai pada konsepsi konvensional selama ini. Riset menjadi basis bagi dua pilar lainnya saling-berkait satu sama lain dalam suatu pola relasi yang sinergis-mutualistik. Artinya, pilar pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat harus memanfaatkan hasil-hasil riset (research- based education and community service). Selain itu, agar bisa mengena dan menjawab kebutuhan sosial dan akademik, maka tema-tema riset seyogyanya beranjak dari permasalahan dalam pengajaran

1739 Draft Naskah Akademik. (Malang: STAI Al-Qolam, 2014); Dokumen Diskusi PKBB STAI Al-Qolam, 8 Oktober 2013. 1740 Souleymane Bachir Diagne, Islam and Open Society: Fidelity and Movement in the Philosophy of Muhammad Iqbal, ctk. I, edisi Bahasa Inggris (Oxford: Codesria, 2010), hlm. 42. 1741 Prinsip tersebut diadaptasi dari sebuah hadits Nabi saw. yang berstatus h adīts marfū‘. Lihat: Vartan Gregorian, Islam: A Mosaic, Not A Monolith (New York: Carnegie Corporation of New York, 2003), hlm. 29. 1742 Ahmad Sidqi, “Potret Tradisi Riset Ilmuwan Islam Klasik”, Jurnal Mlangi: Media Pemikiran dan Budaya Pesantren,

Volume 1, Nomor 2, Juli-September 2013, hlm. 95-98. 1743 Nidhal Guessoum, Islam’s Quantum Question: Reconsiling Muslim Tradition and Modern Science, edisi Bahasa Inggris, ctk. I (New York dan London: I.B.Tauris, 2011), hlm. xvi-xvii; Jonathan Lyons, The House of Wisdom: How the Arabs Transformed Western Civilization (London: Bloomsbury Publishing, 2009). Karena kuatnya keterkaitan tersebut, sejumlah intelektual di Barat bahkan mengajak Eropa bukan hanya mengakui dan berterima kasih atas jasa Islam terhadap Eropa, tetapi juga meluruskan ragam kesalahan yang telah diperbuat oleh Eropa selama berabad-abad. Dikutip dari: A. Qodry Azizi, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam (Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, ctk. V (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 145.

664 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 664 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Satu hal penting yang harus dicatat di sini adalah terkait dengan makna ideologis dari riset itu sendiri. Riset yang dimaksud dalam konteks paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” ini riset yang berorientasi kepada—meminjam pemikiran Kuntowijoyo (1998)—tiga prinsip ilmu sosial profetik, yaitu humanisasi atau emansipasi ( al-amr bi al-ma‘rūf), liberasi (al-nahy ‘an al-munkar), dan transendensi ( al-īmān bi Allāh). Dengan orientasi humanisasi, riset bertujuan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk belenggu dehumanisasi. Dengan orientasi liberasi, riset bertujuan untuk membebaskan manusia dari sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang membelenggu eksistensi dan martabat kemanusiaan. Sementara dengan orientasi transendensi— sebagai acuan utama bagi humanisasi dan liberasi, riset dimaknai sebagai ekspresi keimanan (ibadah) dalam wilayah ilmu pengetahuan serta dalam kapasitas manusia sebagai khalīfah Allah sw. di muka bumi. 1745 Dengan orientasi di atas, maka riset yang dilakukan oleh “PTAI riset berbasis pesantren” secara otomatis memiliki implikasi akademik dan praksis sekaligus. Secara akademik, riset bisa memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan, termasuk di dalamnya pengetahuan lokal (local knowledge) yang saat ini masih termarjinalisasi dalam arus besar wacana keilmuan dan tradisi akademik di perguruan tinggi. Sementara secara praksis, riset bisa mendorong transformasi sosial dalam konteks kehidupan masyarakat yang begitu kompleks dewasa ini. Implikasi akademik dan praksis ini juga tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling-berkait satu sama lain secara mutualistik. 1746

Riset

PkM

Pengembangan keilmuan

Peng-

Transformasi sosial

ajaran

Gambar 3. Konsep Baru Tridharma Perguruan Tinggi

2. Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan

Paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” STAI Al-Qolam secara tegas bertumpu kepada paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan. 1747 Secara garis besar, paradigma ini terdiri atas dua kata kunci, yakni integrasi dan interkoneksi. Menurut Amin Abdullah, paradigma integrasi dan paradigma interkoneksi sedikit berbeda. Paradigma integrasi lebih berorientasi kepada “pencampuran” dan “peleburan”, sementara paradigma interkoneksi lebih berorientasi kepada “pengakuran” dan “penjalinan

1744 Konsep baru Tridharma Perguruan Tinggi ini terinspirasi oleh paradigma yang dianut oleh Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Lihat: Marzuki Wahid, “Quo Vadis Intelektualisme PTAI?: Refleksi dan Tawaran Desain Akademik Islam Transformatif”, Makalah, disampaikan pada Workshop Sehari tentang “Ilmu Sosial Transformatif dalam Bingkai Pengembangan Masyarakat Islam Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel”. (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2 Juli 2012, hlm. 8.

1745 Kuntowijoyo, “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial”, Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies, Nomor 61, Tahun 1998, hlm. 70-76.

1746 Draft Naskah Akademik. (Malang: STAI Al-Qolam, 2014). 1747 Draft Naskah Akademik. (Malang: STAI Al-Qolam, 2014).

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 665 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 665

Secara ontologis, paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan ini bertitik tolak dari asumsi ontologis bahwa—mengadaptasi penjelasan Amin Abdullah (2013)—suatu disiplin ilmu sama sekali tidak bisa berdiri sendiri tanpa merasa butuh bekerjasama dengan yang lainnya. Realitas kehidupan saat ini terlalu kompleks untuk bisa dijelaskan hanya oleh satu disiplin ilmu tertentu tanpa melibatkan disiplin ilmu lainnya. Asumsi ontologis seperti ini meniscayakan adanya prinsip bahwa antara berbagai disiplin ilmu (ilmu agama, ilmu sosial, ilmu alam, dan ilmu budaya), terjalin hubungan yang bercorak afirmatif, kompelemtatif, klarifikatif, verifikatif, korektif, maupun transformatif. Hal ini karena setiap disiplin ilmu pada dasarnya memang memiliki batas demarkasi yang jelas, namun tidak kaku. Garis batas tersebut memiliki pori-pori, sehingga ia dapat merembes ke dalam disiplin ilmu lainnya dan begitu pula sebaliknya (semipermeable). 1750 Watak saling merembes seperti ini sebenarnya tidak hanya berada pada ranah epistemologi keilmuan semata, melainkan juga pada ranah yang lebih luas, seperti antara agama dan budaya lokal, antara peradaban Islam dan peradaban Barat, antara keislaman, keindonesiaan, dan kemodernan, antara PTAI, pesantren, dan masyarakat, dan begitu seterusnya.

Budaya Islam

Peradaban

Al-Qolam PTAI

1748 Tentang pengertian masing-masing dari paradigma integrasi dan paradigma interkoneksi, baca: Akh. Minhaji, Tradisi Akademik di Perguruan Tinggi, ctk. I (Yogyakarta: SUKA Press, 2013), hlm. 84-85. 1749 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, ctk. III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. vii dan 107. Paradigma yang menggunakan metafora “jaring laba-laba” ini kemudian menginspirasi kalangan akademisi UIN Sunan Gunung Jati Bandung yang kemudian menggunakan metafora “roda pedati” untuk menggambarkan paradigma interkoneksitas yang dibangunnya. Lihat: Http://www.uinsgd.ac.id, artikel “Nanat Fatah Natsir: Paradigma Wahyu Memandu Ilmu dalam Pembidangan Ilmu-Ilmu Keislaman”, diunggah pada 25 Maret 2013 (akses tanggal 4 Juli 2013).

1750 Amin Abdullah, “Agama, Ilmu, dan Budaya: Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan”, makalah, disampaikan saat dikukuhkan menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) tanggal 3 September 2013 (Yogyakarta: UGM, 2013), hlm. 9-13.

666 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Gambar 4. Ilustrasi Watak Saling Merembes (Semipermeable) dalam Berbagai Ranah 1751

Adanya watak saling merembes satu sama lain tersebut dikarenakan bahwa setiap disiplin ilmu pada prinsipnya memiliki sisi obyektif dan subyektif sekaligus. Sebuah teori, sebagai contoh, yang pada awalnya diyakini obyektif berdasarkan proses dan validitasnya. Namun, ia juga bisa menjadi subyektif ketika dikaitkan dengan subyektivitas sang penemu yang tidak akan pernah bisa bebas dari unsur-unsur subyektivitas dalam dirinya, atau juga ketika teori itu kemudian diyakini oleh orang atau kelompok lain sehingga menjelma menjadi keyakinan dan ideologi. Oleh karenanya, pergumulan antara sisi obyektif dan sisi subyektif tersebut harus disempurnakan menjadi intersubjective testability, yakni ketika semua komunitas keilmuan (community of researchers) dari berbagai disiplin keilmuan ikut bersama-sama berpartisipasi menguji tingkat kebenaran penafsiran dan pemaknaan data yang diperoleh sang penemu tadi. Dua watak (saling-merembes dan pergerakan dinamis sisi obyektif-subyektif-intersubyektif) di atas jelas meniscayakan adanya daya imajinasi yang kreatif (creative imajination) dari setiap ilmuwan. Artinya, seorang ilmuwan tak boleh berhenti untuk berpikir kritis, mempertanyakan, dan meramu ulang suatu disiplin ilmu tertentu, serta mendialogkannya dengan disiplin ilmu lain. Dengan begitu, setiap disiplin ilmu bisa selalu releban dengan realitas kehidupan yang semakin kompleks saat ini. 1752

Berdasarkan asumsi ontologis di atas, maka paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” STAI Al- Qolam secara epistemologis bertumpu kepada apa yang oleh M. Amin Abdullah (2006) disebut dengan “gerakan penyatuan” (rapproachment) atau “reintegrasi epistemologi keilmuan”, baik yang terkait dengan sumber dan asal-usul (origins), cara (methods), dan tolok ukur kebenaran (validities) suatu pengetahuan. Terkait dengan sumber, asumsi dasar dari gerakan ini adalah pengakuan secara berimbang terhadap dua sumber pengetahuan, yaitu (1) pengetahuan yang berasal dari Tuhan (wahyu) dan (2) pengetahuan yang berasal dari manusia. Pengetahuan yang berasal dari Tuhan (wahyu) berwujud teks- teks Alqur’an dan al-Sunnah, sementara pengetahuan yang berasal dari manusia berwujud hasil penalaran akal, baik yang bersifat filosofis, empiris, maupun kontemplatif-intuitif. Reintegrasi epistemologi keilmuan yang oleh Amin Abdullah diistilahkan dengan “teoantroposentris” tersebut menghendaki adanya perubahan horison berpikir dari pola “diferensiasi” yang cenderung memisahkan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk antara agama dan ilmu, menuju pola “dediferensiasi” yang menghendaki sebaliknya. 1753

Dalam hal tolok ukur kebenaran (validity), paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” STAI Al- Qolam juga tidak berpaling dari gagasan reintegrasi epistemologi keilmuan. Meminjam penegasan Amin Abdullah (2006), “PTAI riset berbasis pesantren” mempertautkan secara sinergis-mutualistik tiga nalar epistemologi dalam tradisi pemikiran Islam, yaitu (1) nalar epistemologi bayānī yang bersumber kepada teks serta bergantung kepada kedekatan antara teks wahyu (nash) dan realitas, (2) nalar epistemologi burhānī yang bersumber kepada realitas (alam, sosial, humanitas, maupun keagamaan) serta bertitik tekan pada pada penalaran logis, dan (3) nalar epistemologi ‘irfānī yang bersumber kepada pengalaman langsung (direct experience) serta bertumpu kepada penghayatan dan internalisasi social skills (empati, simpati, toleransi, verstehen). 1754 Meskipun sejarah pemikiran Islam telah mencatat konflik yang panjang di antara ketiga model nalar epistemologis tadi, gagasan reintegrasi epistemologi keilmuan justru beroreintasi untuk mengakurkan ketiganya, dengan asumsi dasar bahwa ketiganya sebenarnya memiliki keterbatasan masing-masing sehingga saling membutuhkan satu sama

1751 Muhammad Adib, “PTAI Riset Berbasis Pesantren”, makalah, dipresentasikan dalam Diskusi Paradigma Keilmuan Pusat Kajian Bahasa dan Budaya (PKBB) STAI Al-Qolam pada tanggal 8 Oktober 2013, hlm. 17. 1752 Amin Abdullah, “Agama.”, hlm. 13-20.

1753 Idem, Islamic Studies., hlm. 97-103 dan 237. Dalam ungkapan Ibn Rusyd (1126-1198) melalui gagasan “kebenaran ganda” (double truth)-nya, kebenaran pengetahuan yang berasal dari wahyu (agama) dan kebenaran yang berasal dari akal (filsafat, hikmah, wisdom) bisa diibaratkan sebagai “dua saudara sepersusuan” (bosom sisters) yang bersinergi satu sama lain (in accord). Lihat: Guessoum, Islam’s., hlm. xix-xx.

1754.Amin Abdullah, Islamic Studies., hlm. 200-226.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 667 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 667

Untuk itu, seperti ditegaskan oleh Amin Abdullah (2006), toloh ukur kebenaran yang dikaitkan dengan status “benar” dan “salah” sebetulnya sudah tidak begitu penting lagi. Tolok ukur yang lebih penting saat ini adalah yang terkait dengan implikasi dan konsekuensi dari sebuah pendapat seseorang atau kelompok, baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. 1756 Dalam ungkapan al-Syāthibī (1328-1388), tolok ukur yang terkait dengan implikasi dan konsekuensi tersebut diistilahkan dengan prinsip “analisis dampak” ( i‘tibār al-ma‘āl) melalui analisis sosiologis antara dampak positif (mashlahah) dan dampak negatif (mafsadah), dari suatu benda ataupun perbuatan. Logikanya, sekuat apapun argumen tekstual atau muatan kemaslahatannya, jika bisa membawa implikasi yang negatif secara sosial, politik, ekonomi, dan budaya, maka sebuah pendapat ataupun tindakan tertentu tidak absah untuk disebut “benar”. 1757

Bertitik tolak dari pandangan epistemologis di atas, maka secara metodologis seluruh kegiatan pembelajaran, riset, dan pengabdian kepada masyarakat yang dicanangkan oleh STAI Al-Qolam dengan paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” lebih banyak bertumpu kepada pendekatan interdisipliner (interdisciplinary approach). 1758 Seperti dijelaskan oleh Amin Abdullah (1998), studi Islam dengan pendekatan interdisipliner harus melibatkan dengan serius tiga matra pendekatan sekaligus, yaitu (1) pendekatan linguistik-historis (linguistic-historical approach ), (2) pendekatan teologis-filosofis (theological-philosophical approach), dan (3) pendekatan sosio-antropologis (socio-anthropological approach)—termasuk juga pendekatan ilmu sosial kritis. Hubungan antara tiga matra pendekatan tersebut harus bersifat “sirkular”—tidak semata-mata “paralel”. Artinya, ketiganya harus berdialog dan bekerjasama antara satu dan yang lain sebagai tiga entitas yang berkait satu sama lain dalam kapasitasnya sebagai sebuah alat analisis yang terpadu ( unified tools of analysis). 1759

3. Integrasi dengan Nilai-Nilai Pesantren dan Aswaja

Konsep kunci ketiga ini terpatri pada dua kata terakhir (“berbasis pesantren”) dari pernyataan paradigma (paradigm statement) “PTAI riset berbasis pesantren” yang dicanangkan oleh STAI Al- Qolam. Dalam konteks paradigma ini, istilah “pesantren” tidak dipahami sebagai lembaga, melainkan sebagai sebuah “tradisi agung” (great tradition) yang mencerminkan keislaman sekaligus keaslian Nusantara (indigenous) yang turut membentuk nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia sejak masa Islamisasi paling awal (Wali Songo) hingga saat ini. 1760 Pemaknaan pesantren seperti ini sebenarnya berjangkar kuat kepada dimensi historis pesantren sendiri sebagai motor penggerak gerakan Islamisasi

1755 Cara pandang ini berbeda dengan (1) cara pandang bersifat absolutely absolute yang berujung kepada sikap kaku, rigid, tanpa kompromi, absolute truth claim, dan sebagainya), dan (2) cara pandang bersifat absolutely relative yang berujung kepada nihilisme, sekularisme, skeptisisme total, dan sebagainya. Lihat: Ibid., hlm. 81-91.

1756 Ibid., hlm. 258. 1757 Abū Ishāq al-Syāthibī, Tahdzīb al-Muwāfaqāt fī Ushūl al-Ahkām, ed. Muhammad ibn Husayn al-Jayzānī, ctk. I (Arab

Saudi: Dār Ibn al-Jayzānī, 2000), hlm. 342. 1758 Menurut Rebecca L. Jessup (2007), pendekatan interdisipliner jauh lebih baik daripada pendekatan multidisipliner, karena lebih mampu untuk mengidentifikasi ragam kesenjangan (gap) dalam menangkap realitas atau fenomena tertentu. Lihat: Rebecca L. Jessup, “Interdisciplinary versus Multidisciplinary Care Teams: Do We Understand the Difference?”, Australian

Health Review, Volume 31, Nomor 3, Agustus 2007, hlm. 330-331. 1759 M. Amin Abdullah, “Preliminary Remarks on the Philosophy of Islamic Religious Science”, Al-Jāmi‘ah: Journal of Islamic Studies, Nomor 61, Tahun 1998, hlm. 17-18. 1760 Draft Naskah Akademik. (Malang: STAI Al-Qolam, 2014); Dokumen Diskusi Pusat Kajian dan Budaya STAI Al- Qolam, 8 Oktober 2013.

668 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 668 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Pemaknaan pesantren sebagai “tradisi agung” (great tradition) inilah yang kemudian—seperti ditegaskan oleh Martin van Bruinessen (1994)—menjadi titik pembeda antara pesantren yang berbasis tradisi, di satu pihak, dengan pesantren yang didirikan oleh kalangan modernis, reformis, ataupun fundamentalis. 1763 Pesantren sebagai “tradisi agung” inilah yang mengakar kuat di masyarakat serta melakukan proses transformasi sosial dengan ragam strategi kebudayaan yang berbasis keislaman, di satu sisi, serta mengakomodir lokalitas sosial-budaya, di sisi yang lain. Dari pesantren sebagai “tradisi agung” ini pula lahir nilai-nilai luhur pesantren dan aswaja ( ahl al-sunnah wa al-jamā‘ah (aswaja) yang berpengaruh besar dalam membentuk karakter bangsa ini. Nilai-nilai luhur tersebut tercakup dalam cara berpikir, cara bersikap, dan cara berperilaku, baik dalam konteks kehidupan personal, interaksi sosial, maupun visi kebangsaan. 1764 Sebut, saja, misalnya kecintaan terhadap ilmu, kepercayaan kepada berkah, keikhlasan, kerendah-hatian, kesederhanaan, kemandirian, kerelaan untuk menderita untuk mencapai tujuan (tirakat), penghormatan kepada orang tua dan guru, persaudaraan, kebersamaan, kesetiakawanan, kesediaan berkorban untuk orang lain, dan sebagainya. 1765 Sementara dalam konteks visi kebangsaan, “tradisi agung” pesantren mewariskan prinsip-prinsip aswaja, yaitu tawassuth (moderat), i‘tidāl (proporsional), tawāzun (seimbang), tasāmuh (toleran), rahamatan li al-‘ālamīn (menebar rahmat kepada seluruh alam semesta), dan amar ma‘ruf nahi munkar (menegakkan kebenaran dan memberantas kebatilan). 1766

Namun, pemaknaan “pesantren” sebagai “tradisi agung” di atas sama sekali tidak mengabaikan sama sekali makna pesantren sebagai lembaga. Artinya, pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan saat ini rata-rata masih memiliki ragam kelemahan krusial, baik dalam hal metodologi, kemandirian ekonomi, maupun daya aksestabilitas terhadap kemajuan teknologi. Hal ini masih belum ditambah dengan fenomena krisis paradigma dalam kaitannya dengan relasi pesantren dengan masyarakat sekitarnya. Kebanyakan pesantren saat ini terlalu terfokus kepada kajian keilmuan an sich—itu pun dengan orientasi pengulangan ( qirā’ah mutakarrirah)—sehingga terjadi penumpukan keilmuan yang

1761 Dikutip dari: Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, ctk. VIII (Jakarta: LP3ES, 2011), hlm. 35-36. 1762 Muhammad Mustafied, “Strategi Kebudayaan Walisongo: Bagaimana Implementasinya di Era Globalisasi- Neoliberalisme?”, makalah, dipresentasikan pada acara Diskusi dan Bedah Buku Atlas Walisongo Karya Agus Sunyoto di STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang, tanggal 25 Mei 2014, hlm. 1-2.

1763 Martin van Bruinessen, “Pesantren and Kitab Kuning: Maintenance and Continuation of a Tradition of Religious Learning”, dalam Wolfgang Marschall (ed.), Texts from the Islands: Oral and Written Traditions of Indonesia and the Malay World (Berne: University of Berne, 1994), hlm. 121.

1764 Draft Naskah Akademik. (Malang: STAI Al-Qolam, 2014). 1765 Diintisarikan dari: Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, ctk. I (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 137-138; A. Rofik dkk., Pemberdayaan Pesantren: Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, ctk. II (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 44; Abd. Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren: Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai

dan Sistem Pendidikan Pesantren, ctk. I (Yogyakarta: LKiS, 2013), hlm. 44-47. 1766 Disaripatikan dari: Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan Aspirasi, ctk. I (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 428; Abd A‘la, Pembaruan Pesantren, ctk. I (Yogyakarta: LKiS, 2006), hlm. 87; Ali

Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, ctk. I (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 101.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 669 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 669

D. Ilustrasi Operasional

Paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” seperti telah dijelaskan di atas pada akhirnya dikristalisasi menjadi visi STAI Al-Qolam:

“Menjadi Universitas Islam Riset Berbasis Pesantren Terbaik se Jawa Timur pada Tahun 2030”. 1769

Mengapa, sebab unsur-unsur yang termuat di dalamnya sudah memenuhi definisi dari sebuah visi, yaitu—seperti dikatakan oleh Ralph D. Stacey (1993)—“gambaran keadaan masa depan (a picture of s future state) yang realistis, kredibel, atraktif, dan inspiratif serta mampu memotivasi semua elemen sebuah organisasi untuk mencapainya”. 1770 Perumusan visi STAI Al-Qolam berdasarkan paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” merupakan langkah operasional paling awal dan strategis untuk membangun apa yang oleh Jenkins dan Healey (2005) disebut dengan “kesadaran institusional” (institutional awareness) tentang sentralitas posisi riset sebagai basis akademik, sehingga seluruh sivitas STAI Al-Qolam bisa termotivasi untuk terlibat secara aktif dalam aspek perencanaan strategis yang diperlukan berikut realiasinya. 1771 Tentu saja, seperti disinggung oleh George R. Knight (1992), paradigma keilmuan memang bukan satu-satunya faktor penentu (the sole determinant) dalam merumuskan sebuah visi. Masih ada faktor penentu lain yang tidak bisa dikesampingkan, seperti dinamika politik, modal sosial, kondisi ekonomi, dan harapan stakeholders. 1772 Itulah sebabnya, untuk merumuskan visi di atas, STAI Al-Qolam telah melakukan berbagai kegiatan pertemuan, diskusi, sarasehan, dan workshop yang tidak hanya menghadirkan tenaga ahli semata, melainkan juga melibatkan semua unsur stakeholders terkait, mulai dari sivitas akademika (pejabat struktural, dosen, karyawan, dan mahasiswa), alumni, wali mahasiswa, tokoh masyarakat, hingga masyarakat pengguna lulusan. 1773

Perumusan visi STAI Al-Qolam berdasarkan paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” memang berimplikasi keharusan adanya perubahan yang cukup mendasar dalam sistem akademik STAI Al-

1767 Sudirman Tebba, “Dilema Pesantren: Belenggu Politik dan Pembaharuan Sosial”, dalam M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, ctk. I (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 281. 1768 Draft Naskah Akademik. (Malang: STAI Al-Qolam, 2014).

1769 Ibid. 1770 Ralph D. Stacey, Strategic Management and Organisational Dynamics: The Challenge of Complexity to Ways of

Thinking about Organisations, ctk. VI (Harlow: Edinburgh Gate, 2011), hlm. 83. 1771 Alan Jenkins dan Mick Healey, Institutional Strategies to Link Teaching and Research, ctk. I (York: The Higher Education Academy, 2005), hlm. 25. 1772 Knight, “Philosophy.”, hlm. 7. 1773 Dokumen Kegiatan Pusat Kajian Bahasa dan Budaya STAI Al-Qolam Tahun 2013/2014 (Malang: STAI Al-Qolam,

670 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Qolam. Dalam hal ini, tulisan ini akan mengilustrasikan dua hal saja yang dianggap paling penting serta telah dilakukan oleh STAI Al-Qolam sekalipun masih dalam tahap awal. Dua hal tersebut adalah (1) perumusan tujuan (goals) dari visi berdasarkan paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” berikut (2) perumusan kerangka kurikulum sebagai salah satu aspek strategi pencapaiannya (actions).

1. Perumusan Tujuan (Goals)

Berdasarkan visi yang berpijak di atas paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” di atas, maka penyelenggaraan pendidikan STAI Al-Qolam bertujuan mencapai hal-hal sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

a. Terciptanya sistem pengolaan lembaga pendidikan tinggi yang berkualitas, profesional, transparan, dan akuntabel.

b. Terbentuknya masyarakat ilmiah yang bertakwa, berkepribadian luhur sesuai dengan nilai-nilai pesantren dan aswaja, berwawasan keilmuan yang integratif-interkonektif, dan berpola pikir yang kritis dan kreatif.

c. Tercapainya kualitas kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang berbasis riset serta bertumpu kepada paradigma keilmuan integrasi-interkoneksi dan pendekatan interdisipliner.

d. Tercapainya kualitas kajian dan riset sebagai basis akademik yang berorientasi kepada humanisasi, liberasi, dan transendensi.

e. Tercapainya kualitas pengabdian kepada masyarakat yang berorientasi kepada konservasi kebudayaan lokal, serta kepada penguatan kemandirian masyarakat pada aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

f. Terlaksananya pengembangan tradisi keilmuan pesantren yang mampu memperkuat kapasitas transformasinya dalam melestarikan tradisi, di satu sisi, dan mengakomodir modernitas, di sisi yang lain.

2. Tujuan Khusus; terciptanya sarjana Islam santri yang:

a. Bertakwa dan berkepribadian luhur sesuai dengan nilai-nilai pesantren dan aswaja.

b. Berwawasan keilmuan yang integratif-interkonektif serta berpola pikir yang kritis, kreatif, dan inovatif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tradisi pesantren.

c. Memiliki kepekaan sosial untuk melakukan pemberdayaan dan pengembangan masyarakat sekitarnya.

d. Memiliki kompetensi utama yang menjadi konsentrasi keahlian program studi. 1774

Hal terpenting dari pernyataan tujuan (statement of goals) di atas adalah tujuan khusus yang berkaitan dengan profil lulusan seperti apa yang ingin dihasilkan oleh STAI Al-Qolam dengan

paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” yang dibangunnya. Dari tujuan khusus itu, bisa dipahami bahwa STAI Al-Qolam melalui paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” yang dibangun dan dikembangkannya bertujuan untuk menghasilkan “sarjana santri” sebagai sosok intelektual yang bisa diposisikan sebagai “intelektual publik” (public intellectual), yaitu—seperti dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2005)—“sosok intelektual yang selalu bergerak keluar dari kungkungan minat intelektual yang sempit, memberikan perhatian dan kepedulian yang besar kepada masalah-masalah publik, dan menjadi pembawa suara moral dan etis bagi publik”. Kebalikan dari intelektual publik adalah “intelektual privat”

1774 Draft Naskah Akademik. (Malang: STAI Al-Qolam, 2014).

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 671

(privat intellectual) yang cenderung sibuk dan puas dengan dunia intelektualnya sendiri. 1775 Intelektual publik juga dikarakterisasi oleh Amin Abdullah (2006)—meskipun tidak secara eksplisit menyebut term tersebut—sebagai sosok intelektual yang dalam kapasitas dan profesi apapun tidak terkurung dalam “sangkar profesi yang terpisah dari masyarakat” (isolated profession), melainkan juga dituntut untuk sekaligus berfungsi sebagai penggagas dan pelopor transformasi sosial dengan muatan etik yang memihak kalangan mustadh‘afīn dan lingkungan yang sehat. 1776

2. Perumusan Kerangka Kurikulum

Hal kedua dari ilustrasi operasional paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” STAI Al-Qolam adalah terkait dengan desain kurikulum sebagai salah satu bentuk “strategi kebudayaan” untuk mencapai tujuan (goals) di atas. Melalui serangkaian kegiatan workshop pada awal tahun 2014, STAI Al-Qolam merumuskan desain Kurikulum “PTAI riset berbasis pesantren” 1777 yang berbeda secara mendasar dengan, misalnya, pedoman kurikulum yang diterbitkan oleh Kopertais Wilayah IV Surabaya. Dalam konteks sistem pendidikan nasional, mendesain kurikulum sendiri yang distingtif sesuai dengan paradigma keilmuan yang dianut adalah absah adanya. Mengapa, sebab Peraturan Pemerintah Nomor

19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah memberi kebebasan penuh kepada perguruan tinggi untuk mengembangkan sendiri kurikulumnya, mulai dari kerangka dasar, struktur kurikulum, sebaran mata kuliah, silabusnya, hingga desain pembelajarannya.

Penting untuk dicatat bahwa rumusan kurikulum “PTAI riset berbasis pesantren” STAI Al-Qolam bertumpu di atas prinsip “pembudayaan riset sedini mungkin”. 1778 Sekedar ilustrasi, universitas- universitas riset di Amerika Serikat bertumpu kepada prinsip “tahun pertama berbasis riset” (inquiry- based freshman year). Dengan prinsip ini, mahasiswa pada tahun pertama telah diperkenalkan dengan horison baru, cara berpikir kritis, dan metodologi riset yang memberi mereka “sensasi petualangan belajar” (a sense of the adventure of learning). Hal ini tentu saja berbeda dengan universitas konvensional yang mengisi tahun pertama belajar dengan program pengulangan (remediation programs), di mana materi yang diajarkan sebenarnya sudah pernah dipelajari oleh mahasiswa pada jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya. Selanjutnya, pengalaman belajar tahun pertama yang berbasis riset tersebut kemudian diperkuat pada tahun-tahun belajar berikutnya, dengan ragam kegiatan akademik yang banyak bertumpu kepada model pembelajaran berbasis riset (inquiry-based learning), pembelajaran kolaboratif (collaborative learning), pendekatan interdisipliner (interdisciplinary approach), dan pengalaman menulis dan berbicara (writing and speaking expectations). Pada akhirnya, seluruh proses belajar ditutup dengan tugas akhir (capstone experience) kulminasi seluruh pengalaman belajar berbasis riset yang telah dirasakan sejak tahun pertama. 1779

Dengan prinsip “pembudayaan riset sedini mungkin”, maka perumusan kurikulum STAI Al-Qolam dengan paradigma “PTAI riset berbasis pesantren” secara garis besar bisa digambarkan sebagai berikut. Pada semester I dan II, mahasiswa menerima sejumlah mata kuliah yang bisa disebut sebagai “Rumpun Perspektif” 1780 yang memuat semacam pengantar paradigmatik serta memberikan cakrawala baru dan

1775 Azyumardi Azra, Dari Harvard sampai Makkah, ctk. I (Jakarta: Penerbit Republika, 2005), hlm. 199. 1776 Amin Abdullah, Islamic Studies., hlm. 401. Dalam konteks ini, intelektual publik sebagai kebalikan intelektual privat

bisa disejajarkan—meski tidak bisa sepenuhnya disamakan—dengan intelektual organik vis a vis intelektual tradisional gagasan Antonio Gramsci (1971) atau juga intelektual amatir (amateurism) vis a vis intelektual profesional (professionalism) tawaran Edward W. Said (1993). Lihat: Edward W. Said, Representations of the Intellectual: The 1993 Reith Lectures, ctk. I (New York: Vintage, 1994), hlm. 11 dan 82-83.

1777 Dokumen Workshop Kurikulum “PTAI Riset Berbasis Pesantren” STAI Al-Qolam Tahun 2014 (Malang, STAI Al- Qolam, 2014). 1778 Ibid.

1779 The Boyer Commission on Educating Undergraduates in the Research University, Reinventing Undergraduate Education: A Blueprint For America’s Research Universities (York: State University Press, 1998), hlm. 19-28. 1780 Penyebutan “Rumpun Mata Kuliah Perspektif” dalam hal ini mengambil inspirasi dari rumusan kurikulum Institut

672 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 672 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

II dan III, mahasiswa menerima mata kuliah “Rumpun Metodologi”, meliputi semisal Metodologi Penelitian Kualitatif, Statistik I dan II, dan Metodologi Penelitian Kuantitatif. Rumpun ini kemudian dilanjutkan dengan (1) riset kelompok mulai awal semester IV hingga akhir semester VI di bawah bimbingan dosen mata kuliah metodologi dan dosen lain yang ditunjuk oleh Program Studi, dan (2) Metodologi PAR dan Metodologi Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pada semester VI. Setelah memiliki cakrawala berpikir dan kemampuan analisis, maka mahasiswa mulai semester IV hingga VI menerima mata kuliah (1) “Rumpun Studi Keislaman”, meliputi Studi Alqur’an, Studi Hadits, Studi Ilmu Kalam, Studi Tasawuf, Studi Fikih, dan Studi Kitab Kuning I hingga IV (Studi Kitab Kuning I dan II difokuskan kepada kajian teks, Studi Kitab Kuning III pada bibliographical review, sementara Studi Kitab Kuning

IV pada kajian khazanah Nusantara), dan (2) “Rumpun Keahlian Program Studi”, mulai dari teori hingga praktik. 1781

Rumpun Keahlian Perspektif

Rumpun

Rumpun

Rumpun Studi

Metodologi

Keislaman

Program Studi

• Disusun oleh Prodi • Studi Aswaja

• Studi Pesantren

• Metpen Kualitatid

• Studi Alqur’an

• Diakhiri dengan • Agama & Sains

• Statistik I & II

• Studi Hadis

KKN, PPL, dan • Studi Filsafat

• Metpen Kuantitatif

• Studi Tasawuf

skripsi. • Studi Ilmu Sosial

• Riset Kelompok

• Studi Ilmu Kalam

(awal smt IV – akhir

• Studi Fikih

• Studi Maqashid

smt VI)

• Studi Kitab Kuning

Syari’ah

• Met. PAR (disajikan

I, II, III, dan IV

• Studi Pancasila &

smt VI)

Kewarganegaraan

• Met. PTK (disajikan

• Pengantar Studi

smt VI)

Islam (PSI)

Disajikan smt I dan II

smt III, IV dan V

smt IV, V dan VI

Gambar 5. Desain Kurikulum “PTAI Riset Berbasis Pesantren”

E. Penutup

Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa transformasi paradigma keilmuan STAI Al- Qolam menjadi “PTAI riset berbasis pesantren” merupakan sebuah “mimpi” (dream); bukan “khayalan”, melainkan “cita-cita” yang kemudian dikristalisasi menjadi sebuah visi. Semua itu berangkat dari sebuah kesadaran kolektif dan institusional tentang (1) arti penting riset bagi kebangkitan dan kemajuan peradaban, (2) urgensi paradigma keilmuan progresif yang mampu melampaui paradigma dikotomis- atomistik yang begitu dominan saat ini, dan (3) sentralitas reaktualisasi, internalisasi, dan integrasi nilai- nilai luhur pesantren dan aswaja ke dalam seluruh aspek dan dimensi dunia akademik STAI Al-Qolam. Dengan paradigma tersebut, STAI Al-Qolam kemudian merumuskan sebuah visi “Menjadi Universitas

Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon Jawa Barat, meskipun dilakukan sejumlah modifikasi sesuai dengan lokalitas yang berbeda. Lihat: Marzuki Wahid, “Quo Vadis.”, hlm. 11-12.

1781 Draft Kurikulum“PTAI Riset Berbasis Pesantren” STAI Al-Qolam Tahun 2014 (Malang, STAI Al-Qolam, 2014).

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 673

Islam Riset Berbasis Pesantren Terbaik se Jawa Timur pada Tahun 2030” berikut ragam strategi dan kebijakan akademik untuk merealisasikannya.

Apa yang diilustrasikan oleh tulisan ini jelas masih merupakan proses awal semata dari rangkaian upaya sivitas akademika STAI Al-Qolam merealisasikan visi mereka. Masih banyak hal lain yang harus dilakukan untuk benar-benar menjadi research university, terlebih-lebih yang berdistingsi basis pesantren. Sebut saja, misalnya, (1) konsolidasi akademik, di antaranya meliputi riset, fasilitas pembelajaran, dan penerbitan, (2) konsolidasi administrasi dan manajemen, di antaranya mencakup kualitas SDM, etos kerja, rasa memiliki (sense of belonging), dan sebagainya, (3) konsolidasi pengembangan kelembagaan, baik struktural maupun non-struktural (4) konsolidasi bidang kerjasama (networking). 1782 Melakukan semua itu tentu tidak akan mudah. Akan dijumpai berbagai kendala, di samping ragam kelemahan yang dimiliki selama ini. Namun, semua kelemahan yang dimiliki serta ragam kendala yang akan dihadapi bukan sebuah alasan bagi STAI Al-Qolam untuk meraih “mimpi”-nya itu. Usaha tanpa kenal lelah secara terus-menerus, dengan memanfaatkan secara optimistik segala kekuatan (strengths) dimiliki dan peluang (opportunities) yang ada, adalah kunci terpenting untuk meraihnya. Adalah relevan untuk ditulis di sini, judul inspiratif sebuah buku motivasi yang ditulis oleh Norman Vincent Peale, yakni You Can, if You Think You Can (1987).

Pada akhirnya, harus diakui bahwa tulisan ini masih terlalu jauh dari sempurna. Di sana-sini masih banyak kelemahan dan kekurangan yang tentu saja perlu dicermati secara kritis-konstruktif. Namun, terlepas dari itu semua, semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi siapapun yang membacanya, terutama yang sedang merasa “gelisah” terhadap realitas dunia pendidikan kita saat ini. Āmīn. Wallāhu a‘lam bis-shawāb