Oleh: Wajidi Sayadi

Oleh: Wajidi Sayadi

Dosen IAIN Pontianak

Abstrak

Ketika idealitas dan realitas tidak ketemu, tidak sesuai, tidak relevan, bahkan dianggap bertentangan, maka di sinilah kemudian muncul problem. Apakah realitas sosial kemanusiaan tunduk dan patuh pada idealitas (min al-waqi’ ilâ an-nash) atau sebaliknya idealitas berupa konsep dalam hadis yang tunduk pada realitas (min an-nash ila al-waqi’)? Seputar problem seperti inilah yang akan dibahas dalam makalah ini dengan mengacu pada masyarakat muslim minoritas Pontianak khususnya di Kelurahan Benua Melayu Darat hanya 23% beragama Islam, selebihnya non muslim 77%. Membaca dan menafsirkan makna dan maksud hadis dengan mempertimbangkan dinamika dan fakta realitas sosial kemanusiaan inilah yang disebutkan sebagai living sunnah, sebagaimana yang terekam dalam sejarah hadis dan sunnah dalam penerapan hukum Islam dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Masyarakat muslim minoritas Pontianak yang hidup di tengah-tengah kawasan jantung bisnis Pontianak yang mayoritas adalah kaum Tionghoa beragama Budha dalam bertetangga, memilih pemimpin, dan berjihad lebih banyak mengedepankan persoalan relasi social kemanusiaan yang saling member rasa aman, nyaman, damai, dan menguntungkan, tidak terlalu banyak mempersoalkan latar belakang agama.

Kata Kunci: Sunnah, hadis, Living sunnah, masyarakat, pluralitas, dan sosial.

A. Pendahuluan

Terkadang hadis dimunculkan sebagai landasan pembenaran diri atas sikap dan perilaku. Misalnya, seorang isteri harus tunduk dan patuh pada suami dalam kondisi apa pun termasuk dalam urusan hubungan seksual. Rasulullah SAW. bersabda:

“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke “ranjang”, lalu menolak, maka semalaman dalam kemurkaan dan malaikat melaknatnya sampai pagi. (HR. Bukhari bersumber dari Abu Hurairah).

Seorang isteri yang tidak mau atau takut dilaknat malaikat, maka ia harus melayani apa kemauan suami, tidak boleh menolak. Inilah pemahaman secara tekstualnya. Hadis ini berbicara masalah relasi hubungan keluarga suami isteri. Membaca dan memahami hadis Nabi SAW. tersebut, tidak cukup semata-mata berdasarkan apa yang tertulis dalam teks, namun perlu membaca dan memahami teori atau fenomena sosial masyarakat pada zaman ketika Nabi SAW. menyabdakan hadis tersebut. Setidaknya, ada tiga fenomena yang cukup menonjol seputar relasi hubungan dan pembagian kerja suami isteri dalam kehidupan sosial. Dalam masyarakat padang pasir yang nomad, laki-laki lebih dominan daripada perempuan; berbeda dalam masyarakat agraris dengan wilayah yang subur justru memberikan peran perempuan lebih mandiri, dan lain lagi dalam masyarakat industri maju yang telah menempatkan teknologi canggih, lebih menghargai skill (keterempilan dan keahlian) daripada jenis kelamin. 1396

Kondisi dan struktur sosial ekonomi masyarakat akan mempengaruhi pola relasi hubungan keluarga antara suami isteri. Mengapa malaikat melaknat isteri yang menolak ajakan suami untuk melakukan

1396 Komaruddin Hidayat dalam Kata Pengantar dalam Nasarauddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al- Qur’an, Jakarta: Paramadina, 20011, Cet. II., h. xv.

538 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 538 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Nabi Muhammad SAW. hidup di tengah-tengah masyarakat Arab yang struktur lingkungan sosialnya bahwa laki-laki atau suami lebih dominan daripada perempuan. Isteri tinggal di rumah dan mengurusi urusan domestik, urusan rumah tangga, anak dan isteri. Sedangkan suami urusannya publik, kerjanya di luar rumah, mencari nafkah. Bahkan suami rela pergi berperang mempertaruhkan nyawa, selain karena panggilan jihad, ada juga mereka pergi berperang sebagai upaya pencarian nafkah. Jika menang peperangan, akan mendapatkan harta rampasan perang, bahkan bisa kaya mendadak. Para suami dari pagi sampai sore dan malam bekerja untuk ingin menafkahi anak dan istri yang tinggal di rumah. Ketika para suami yang sudah kerja keras datang di rumah, dan minta service atau pelayanan plus untuk melakukan hubungan seksual dari isteri, dan isteri menolak, lalu malaikat melaknat, itu adalah wajar. Bukan hanya malaikat yang melaknatnya, tapi manusia-manusia yang normal pun apalagi suami, pasti ikut protes, bahwa isteri semacam itu adalah tidak pengertian, dan tidak setia.

Berbeda ketika lingkungan atau sistem masyarakat yang berlaku justeru sebaliknya. Misalnya, isteri yang pergi keluar rumah mencari nafkah dan suami tinggal di rumah. Sejak pagi hingga siang sampai malam hari, isteri yang bekerja keras. Ketika isteri pulang kerja, dan suami minta “jatah” melakukan hubungan seksual, lalu isteri menolak, tentu malaikat tidak mungkin berani melaknatnya, karena malaikat itu juga pasti punya pengertian.

Perbedaan situasi dan kondisi selayaknya menjadi bahan pertimbangan dalam membaca, memahami dan menerapkan sebuah hadis. Tidak semata-mata berdasarkan teks hadis, lalu dijadikan landasan utama untuk mencari pembenaran. Sungguh bijak para ahli hukum ketika merumuskan:

Penetapan suatu hokum bisa berubah sesuai perubahan zaman dan tempat. Dengan pemahaman hadis seperti ini banyak mengacu pada fenomena dan realitas sosial sebagai

bahan utama dalam living hadis sehingga hadis sebagai produk zaman “onta” 1400 tahun lalu, tetap hidup di zaman kontemporer saat ini. Secara khusus masyarakat Pontianak, cukup dikenal sebagai masyarakat yang pluralitas, ada suku Tionghoa, (lebih popular dengan sebutan China), ada Melayu, Dayak, Bugis, Jawa, Madura, dan lain-lain. Pemahaman dan penerapan hadis di tengah-tengah masyarakat seperti inilah yang menjadi pembahasan atau kajian dalam makalah ini, terutama dalam hal hubungan social dan politik. Pluralitas seperti ini terkadang menjadi bahan yang seringkali dikhawatirkan akan menjadi potensi dan ancaman terjadi pertentangan dan konflik sosial. Padahal, justru pluralitas dan kompleksitas budaya masyarakat yang sangat dinamis menjadi kekuatan positif untuk diproyeksikan kembali dalam penafsiran terhadap hadis secara dinamis. Pemahaman dan penafsiran hadis seperti inilah yang dinamakan living hadis (hadis yang hidup). Inilah yang ingin diteropong dalam masyarakat Muslim minoritas di Kota Pontianak.

Kajian dan studi tentang living hadis ini penting, agar tampak dan tetap terasa bahwa Islam ini ajarannya Rahmatan lil ‘alamin dan Shâlih li zamân wa makân.

B. Pengertian dan Perkembangan Living Sunnah

Istilah living sunnah ini tidak sepopuler dengan istilah-istilah ilmu hadis lainnya. Hal ini boleh jadi karena living sunnah ini lebih banyak pada persoalan pemahaman arti dan maksud hadis. Sementara selama ini kajian hadis masih lebih dominan pada persoalan kesahihan hadis dilihat pada aspek transmisi sanad dan proses periwayatannya. Penggunaan living sunnah ini biasa ditemukan dalam karya Fazlurrahman. 1397 Living sunnah ini merupakan bagian dari metode dalam memahami

1397Di antara karya Fazlur Rahman ialah, Islamic Methodology in History diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin, “Membuka

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 539 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 539

kreatif oleh ra’yu dan qiyas. 1399 Praktek penduduk Madinah termasuk living sunnah yang merupakan hasil kreasi ijtihad para ulama dalam memahami dan menafsirkan praktek Nabi sesuai perkembangan

zaman di Madinah. Dalam perspektif imam Malik praktek penduduk Madinah ini mempunyai otoritas dan hujjah dalam menentukan status hukum Islam. 1400

Dengan demikian, living sunnah yang dimaksudkan adalah suatu penafsiran terhadap makna dan maksud suatu hadis secara kontinyu dan progresif sesuai dengan situasi yang sedang berkembang sehingga hadis atau sunnah itu tetap hidup. 1401 Penafsirah terhadap hadis ini lebih banyak mempertimbangkan dan mengacu pada realitas sosial yang ada.

Living Sunnah Pasca Wafat Nabi Muhammad SAW.

Pada masa Nabi Muhammad SAW. harta rampasan perang dibagi langsung kepada para pasukan pejuang dan veteran yang bersangkutan dalam peperangan itu. Sesuai amanah dan pesan Allah dalam al-Qur’an.

Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil. (QS. Al- Anfal, 8: 41).

Ketika terjadi perang Khaibar dan pasukan Islam menang, Rasulullah SAW. membagi harta rampasan perang secara langsung kepada para pasukan pejuang; dua bagian untuk tiap ekor kuda dan satu bagian untuk pejalan kaki. 1402 Ketika masa khalifah Umar bin Khattab, tanah-tanah hasil rampasan perang tidak langsung dibagi sebagaimana praktek Nabi SAW. Umar bin Khattab mengambil kebijakan dengan cara membiarkan tanah-tanah rampasan perang itu sebagai asset bagi generasi muslim berikutnya dengan

Ijtihad”, (Bandung: Pustaka, 1995), Cet. III., h. 43. 1398 Fazlur Rahman ialah, Islamic Methodology in History diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin, “Membuka Ijtihad”, (Bandung: Pustaka, 1995), Cet. III., h. 43. 1399 Abdul Fatah Idris, Hadis-Hadis Prediktif & Teknis Studi Pemikiran Fazlur Rahman, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), h. 27. 1400 Yasin Dutton, Sunnah, Hadis, dan Amala Penduduk Madinah Studi tentang Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1996), 1401 M. Mansyur, dkk., Metodologi Living Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Teras,), h. 93. 1402 HR. Bukhari.

540 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 540 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

para petugas Negara, seperti hakim, fuqaha, dan guru. 1404 Demikian juga pemahaman terhadap hadis “Barangsiapa membunuh musuh di medang perang, maka ia berhak mengambil perlengkapan perang

yang dimilikinya. 1405 Pemahamannya dalam konteks sekarang adalah dia yang bersangkutan tak perlu mengambilnya, tapi negara yang memberikan bonus atau tunjangan khusus bagi para pejuang yang sangat berjasa. Tindakan dan kebijakan Umar bin Khattab ini didukung oleh Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, walau ada beberapa sahabat yang menentangnya dengan alasan bahwa itu bertentangan dengan al-Qur’an dan praktek Nabi SAW. Kebijakan Umar bin Khattab ini merupakan bagian dari cara menafsirkan al-Qur’an dan menghidupkan sunnah atau hadis sesuai dengan situasi dan kondisi untuk kemaslahatan umat.

Demikian juga hadis mengenai unta yang terlepas dari tangan pemiliknya. Nabi Muhammad SAW. melarang menangkap unta-unta tersebut. Para sahabat bertanya kepada beliau mengenai sikap terhadap unta-unta yang terlepas itu. Beliau menjawab:

“Apa urusanmu dengannya? Biarkan saja ia karena sesungguhnya unta itu mempunyai kemampuan untuk mencari sendiri air minum dan memakan daun-daunan sampai ia ditemukan kembali pemiliknya. (HR. Muslim).

Kebijakan Rasulullah SAW. membiarkan unta-unta yang terlepas dari tangan pemiliknya berlangsung hingga zaman Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Pada zaman itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan Nabi SAW., Abu Bakar dan Umar masih terjaga dan terjamin sehingga tidak ada yang berani menangkapnya dan juga karena hewan tersebut masih dianggap mampu menjaga dirinya, bisa mendatangi sumber-sumber air dan meminumnya serta bisa menyimpannya di perutnya sebanyak yang diinginkan.

Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan populasi manusia dan kebutuhannya serta situasi dan kondisinya sudah lain, maka Khalifah Utsman bin Affan bersikap dan mengambil kebijakan yang berbeda dengan Nabi SAW. mengenai masalah yang sama tersebut. Utsman bin Affan justru memerintahkan agar unta-unta yang terlepas dari tangan pemiliknya harus ditangkap dan diumumkan di depan umum tempat keramaian (untuk diketahui siapa pemiliknya), lalu (kalau tidak diketahui), maka hendaknya dijual saja. Apabila sudah dijual dan ternyata pemiliknya datang, maka serahkan uangnya kepada pemiliknya tersebut. (HR. Malik).

Kebijakan Usman bin Affan ini didukung oleh Ali bin Abi Thalib. Keduanya memahami dan 1403 Muhammad al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, (Beirut: Dar asy-Syurûq,

1989), Cet. IV., h. 134. 1404 Yusuf al-Qardhawy, as-Siyasah asy-Syar’iyyah Terjemahan oleh Kathur Suhardi, “Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam”, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), Cet. I., h. 177. 1405 HR. Bukhari.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 541 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 541

C. Living Sunnah di Masyarakat Muslim Minoritas Pontianak

Ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. jumlahnya pada zaman Nabi SAW. hingga saat ini tidak pernah bertambah dan berubah. Sedangkan masalah yang dihadapi umat Islam bertambah terus seiring dengan dinamika perkembanganbudaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Bagaimana menyikapi ayat-ayat al-Qur’an dan hadis sebagai sumber hukum dan pedoman dalam menyelesaikan problem umat yang statis, tidak bertambah, sedangkan masalah yang dihadapi umat bertambah terus? Untuk menjembatani kesenjangan dan menyelesaikan problem ini, maka di sinilah perlunya penafsiran sebagai sebuah ijtihad dengan mempertimbangkan konteks situasi dan kondisi untuk kemaslahatan dan kepentingan umat. Sebagaimana yang terjadi pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW. sikap para sahabat dalam membaca, memahami, dan menerapkan hadis-hadis Nabi SAW. sesuai perkembangan zamannya masing-masing. Di antara contoh yang dikemukakan ialah:

Di antara praktek Nabi Muhammad SAW. sehari-hari adalah bersiwak.

Nabi SAW. apabila bangun malam, ia menggosok (membersihkan) mulutnya dengan cara bersiwak. (HR. Bukhari).

Siwak yang dipakai Nabi SAW. adalah pucuk ranting kayu sejenis kayu ‘arak. Mereka yang memahami hadis tersebut secara tekstual akan bersiwak dengan menggunakan pucuk ranting kayau ‘arak tersebut dan klaim sebagai sunnah Nabi SAW. Jamaah haji Indonesia ketika di Mekah atau Madinah banyak yang membeli pucuk-pucuk ranting kayu tersebut dalam satu atau beberapa ikat, dan ada juga yang sudah dikemas dalam kotak atau plastik sebagai oleh-oleh pulang ke tanah, baik untuk dipakai diri dan keluarganya maupun dibagi-bagi ke orang lain. Semua ini dilakukan dengan harapan dapat melaksanakan di antara sunnah Nabi SAW. yaitu bersiwak. Sunnah ini sangat dianjurkan bahkan hampir diwajibkan. Sebagaimana dalam sabda Nabi SAW.

Seandainya tidak menyulitkan bagi umatku niscaya saya akan perintahkan (wajibkan) bersiwak setiap hendak berwudhu. (HR. Bukhari). Dalam hadis riwayat Bukhari lainnya disebutkan oleh Nabi SAW. bersiwak setiap hendak shalat.

Siwak yang biasa dipakai di negeri Arab diambil dari ranting pohon ’arak, arjun, zaitun atau lainnya yang tidak melukai, tidak mengganggu, dan tidak mudah hancur. Siwak seperti inilah yang biasa digunakan dan dianjurkan oleh Nabi SAW. sebab memang sesuai dan relevan serta mudah didapatkan bahannya pada waktu itu. Lalu, apakah di era yang lebih modern sekaranag ini menghidupkan sunnah atau hadis seperti ini dengan cara harus menggunakan pucuk ranting kayu sejenis kayu ‘arak seperti itu?

Mempraktekkan amalan Nabi SAW. hidup bersih, rapi, tertib, dan nyaman, sebagai upaya agar sunnah tetap hidup di tengah-tengah masyarakat modern saat ini, tidak harus dengan menggunakan pucuk-pucuk ranting kayu sebagaimana yang digunakan persis sama dengan Nabi SAW. pada zaman onta 1400 tahun lebih yang lalu.

Memahami dan menerapkan hadis tersebut, sebaiknya bisa dibedakan mana sarana dan tujuan yang ingin dicapai oleh Nabi SAW. dalam hadis tersebut. Sarana atau alat itu bisa berubah-ubah sesuai perkembangan budaya, ilmu dan teknologi, sedang tujuannya tetap, tidak berubah.

542 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Siwak berupa pucuk ranting kayu adalah sarana atau alat, bukan tujuan, maka dalam kondisi sekarang ini bisa saja berubah dan diganti dengan sesuatu yang layak dan sesuai dengan perkembangan zaman saat ini dan tetap mencapai tujuannya. Apa tujuan bersiwak? Tujuannya adalah membersihkan mulut dan gigi serta dalam rangka mencapai ridha Allah. Hal ini ditegaskan Nabi Muhammad SAW.

Bersiwak adalah membersihkan mulut-gigi dan mendapatkan Ridha Allah. (HR. Bukhari). Menggunakan sikat gigi yang sudah sangat banyak diproduksi dan dijual di pasar dan pusat-pusat

perbelanjaan selama tidak merusak, tidak melukai, dan tidak terkontaminasi dengan najis, dan lain-lain, seperti merk pepsodent, oral B, dan berbagai macam merk lainnya dan bisa membersihkan mulut dan gigi bahkan menyehatkan, maka sesungguhnya sudah dapat dianggap melaksanakan dan menghidupkan sunnah Nabi SAW. Salah satu di antara kaedah memahami dan menerapkan hadis atau sunnah Nabi SAW. adalah sebagaimana disebutkan Syekh Yusuf al-Qaradhawi

”Membedakan antara sarana temporal yang berubah-ubah dan tujuan yang tetap” Salah satu di antara penyebab kekeliruan dan kekacauan dalam memahami dan menerapkan sunnah

adalah karena mencapuradukkan atau menyamakan antara tujuan yang tetap dengan sarana yang temporer bisa berubah-ubah. Bahkan memutarbalikkan saranaynya dianggap sebagai tujuan dan justru tujuannya yang sesungguhnya diabaikan. Cara seperti ini menjadikan sunnah tidak hidup, bahkan justru terkesan ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan zaman atau bertentangan dengan zaman. Sarana atau alat dianggap menjadi tujuan sebenarnya. Ada orang bertengkar bahkan tidak lagi mau datang ke masjid hanya karena di masjid itu ada beduk. Sementara sebagian lainnya tetap mempertahankan beduk sebagaimana warisan dari ulama dan tokoh agama sebelumnya. Akhirnya mereka membangun masjid baru lagi. Padahal masjid lama jamaahnya tidak terlalu banyak. Sebagian mereka beranggapan bahwa beduk adalah bid’ah. Sebagian lainnya menganggap beduk seperti menjadi tujuan karena beduk harus tetap ada. Dampaknya kemudian adalah merusak hubungan persaudaraan dan memecahbelah umat hanya karena keliru memahami dan menerapkan sunnah. Padahal beduk adalah sarana, bukan tujuan. Oleh karena itu, boleh saja diganti yang layak dan relevan dengan perkembangan kemajuan zaman. Dengan menggunakan kaedah tersebut di atas dan bisa membedakan mana sarana dan mana tujuan, tentu tidak akan salah kafrah dan keliru, apalagi sampai menyalahkan, membid’ahkan orang lain dan merusak hubungan dan persaudaraan umat.

Demikian juga hadis mengenai hidup berdampingan dengan non muslim. Nabi Muhammad SAW. bersabda:

Orang mukmin dan musyrik tidak boleh saling melihat api keduanya. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dari Jarir). Maksudnya, seorang muslim tidak boleh bertempat tinggal berdekatan atau berdampingan dengan

orang-orang musyrik atau non muslim dalam jarak yang sangat dekat yang seandainya salah satu pihak menyalakan api, maka pihak lain melihat api itu. Secara tekstual, hadis ini melarang umat Islam hidup bertetangga dan berbaur dengan non muslim. Hal ini akan mengesankan bahwa Islam ini adalah agama ekslusif, sangat tertutup, dan anti kerukunan hidup antar umat beragama.

Lalu bagaimana konsep hadis tersebut ketika diperhadapkan dengan realitas kontemporer saat ini, khususnya di masyarakat muslim Benua Melayu Darat Pontianak. Masyarakat muslim di sini jumlahnya

1406 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, (Virginia: al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1411 H/1990 M), Cet. III., h. 139.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 543 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 543

Dalam konteks saat ini, di Indonesia umat Islam hidup dengan tenang dan damai tanpa rasa permusuhan dengan umat agama lain, maka hidup bertetangga dengan mereka tidak masalah. Bahkan diperlukan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan bersama dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa mengorbankan prinsip ajaran Islam dalam berakidah dan beribadah serta bermuamalah. Interaksi kehidupan inilah yang terjadi dan berlaku di masyarakat muslim minoritas di Pontianak khususnya di Kelurahan Benua Melayu Darat.

Dikatakan minoritas karena hanya 23% beragama Islam dari jumlah total penduduknya 32.566 jiwa, artinya 77% non Muslim. Masyarakatnya mayoritas etnis Tionghoa yang beragama Budha 52%, beragama Kristen 9% dan beragama Konghucu hanya 0,9%. Tempat ibadah pun yang paling banyak adalah tempat ibadah Tionghoa yaitu 9 Vihara dan 2 Kelenteng, 8 gereja, sedangkan masjid hanya 5, tapi ada 11 suraunya. 1408 Secara keseluruhan penduduk kota Pontianak mayoritas muslim, mencapai 73% menurut data di kementerian Agama kota Pontianak tahun 2014.

Kelurahan Melayu Darat ini letaknya di tengah-tengah jantung bisnis kota Pontianak, terutama di jalan Gajahmada dan jalan Tanjungpura. Di kedua jalan inilah berjejeran sekitar 424 toko, 2 supermaket dan tempat-tempat bisnis lainnya serta 18 hotel, 8 Bank dan 7 Asuransi. Setiap hari raya imlek dan peringatan Cap Go Meh sepanjang Jalan Gajahmada ini ditutup total karena ditempati pestival dan pameran naga dan Barongsai terpanjang. Melihat data tersebut, maka masyarakat Benua Melayu Darat ini umumnya adalah pedagang, pebisnis serta pengusaha jasa. Relasi hubungan sosial masyarakat dan ketetanggaan dibangun atas dasar saling membutuhkan dan bisa saling membantu, terutama saling menguntungkan. Mereka lebih banyak berprinsip selain hablun minallah, juga sangat penting hablun minannas, hubungan tolong menolong sesama manusia karena membutuhkan komunikasi, perhatian, dan bantuan dari mana pun, tidak masalah agamanya. Masyarakat muslim di daerah ini tidak terlalu banyak lagi mempersoalkan agama tertentu, namun sangat menghargai terhadap sesama ajaran agama masing-masing. Kerukunan hidup antar umat beragama di wilayah ini termasuk bagus, dan tidak pernah terjadi konflik apalagi kerusuhan hanya karena agama tertentu.

Larangan bertetangga dalam hadis tersebut di atas pada zaman nabi SAW. adalah karena dikhawatirkan merusak akidah dan agama serta tetangga yang dimaksud adalah yang memusuhi dan merusak. Apa yang dikhawatirkan dalam hadis tersebut sama sekali tidak ada indikasi terjadi pada masyarakat muslim di Benua Melayu Darat Pontianak. Oleh karena itu, bertetangga dengan mereka tidak menjadi masalah. Bahkan masyarakat muslim di sini justru diuntungkan oleh tetangga mereka yang non-muslim terutama dalam konteks sosial ekonomi. Apalagi masyarakat dan tetangganya mayoritas suku Tionghoa beragama Budha. Agama Budha bukanlah agama dakwah. Hampir tidak ada sejarahnya, orang Islam murtad pindah ke agama Budha. Malah justru yang ada adalah banyak orang Tionghoa masuk agama Islam. Umumnya orang-orang Tionghoa ini adalah pedagang dan pebisnis. Relasi

1407 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. IV., h. 363. 1408 Hal ini berdasarkan data yang diperoleh dari Kantor Kelurahan Benua Melayu Darat Pontianak Selatan, 8 September 2014.

544 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 544 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Kuat dugaan bahwa boleh jadi cara pandang atas dasar keamanan, kenyamanan, dan keuntungan seperti inilah yang melatari sehingga dalam beberapa waktu terakhir ini di Pontianak dan Kalimantan Barat penduduknya mayoritas muslim yaitu 59%. Namun dalam pemilihan gubernur, justru yang terpilih mendapatkan suara terbanyak adalah yang beragama Katolik berlatar belakang suku Dayak dan wakil gubernur beragama Protestan dari suku Tionghoa. Demikian juga Ketua DPRD Provinsi dan Kota Pontianak adalah beragama Katolik, karena anggota perwakilan rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat kebanyakan mereka. Sebaliknya, ada juga suatu daerah yang mayoritas non muslim, tapi mereka memilih orang dari salah partai berlabel Islam berlambang Ka’bah.

Di Pontianak juga diakui bahwa beberapa komunitas muslim tertentu aktif dan bersemangat mendakwahkan bahwa memilih pemimpin harus yang seagama terutama menjelang pemilihan walikota, gubernur, dan anggota legislatif. Di antara dalil yang biasa dan sering disampaikan adalah:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). (QS. Al-Mâidah/5: 51).

Bagi masyarakat memilih pemimpin itu adalah berdasarkan pada kemampuannya memimpin, menegakkan keadilan sosial, mensejahterakan rakyat, dan menjamin rasa aman dalam bisnis dan usaha perekonomian rakyat. Tidak lagi banyak mempersoalkan keyakinan atau agama yang dianutnya. Larangan menjadikan pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nasrani dalam ayat ini harus dibaca dan dipahami dalam konteks historis social politik pada masa Nabi Muhammad SAW. ketika turunnya ayat tersebut. Dalam catatan sejarah turunnya ayat tersebut berkaitan dengan Yahudi Bani Qainuqa` yang mengkhianati perjanjian dan memerangi Rasulullah SAW. 1409

Dalam sejarah disebutkan bahwa orang-orang Yahudi datang dan mendiami Yatsrib (Madinah) sejak tahun 70 M (500 tahun sebelum lahir Nabi Muhammad SAW.) setelah kerajaaan Romawi menyerang Baitul Maqdis. Mereka mendominasi wilayah dan tempat yang menjadi sumber air sebagai bahan dan modal perekonomian masa depan. Dalam perkembangannya kemudian, orang-orang Yahudi berhasil membangun kekuatan dan kekuasaan ekonomi melalui sektor pertanian, ekonomi, politik, industri, perdagangan, managemen keuangan, dan lain-lain. 1410 Dalam kondisi dimana hegemoni Yahudi sudah tertancap dan terbangun di Madinah, orang-orang Islam dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW. datang di Madinah sehingga mereka merasa terancam. Oleh karena itu dalam berbagai kasus mereka selalu berbuat curang dan licik dalam rangka membangun, merebut dan mempertahankan hegemoni kekuasaan politik dan ekonomi mereka, seperti memakan sogok, riba, dan lain-lain. Demikian juga pengingkaran dan pengkhianatan terhadap perjanjian dengan umat Islam yang dilakukan Yahudi Bani Qainuqa` yang merupakan salah satu suku di Madinah yang sangat berpengaruh dan mempunyai andil dan peran yang sangat besar dalam suksesnya agama Yahudi di sana, seperti yang diungkapkan dalam

1409 As-Suyûthî, Lubâb an-Nuqûl, Lubâb an-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl, (Riyâdh: Maktabah ar-Riyâdh al-Hadîtsiyyah, t.th.), h. 90; as-Suyûthî, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1421 H/2000 M), Juz III h. 98.

1410 Khalîl `Abd al-Karîm, Quraisy min al-Qabîlah ilâ ad-Daulah al-Markaziyyah, Diterjemahkan oleh M. Faisol Fatawi, ”Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan”, (Yogyakarta: LKiS, 2002), Cet. I h. 121-124.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 545 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 545

Dengan demikian, asbâb an-nuzûl ayat tersebut di atas jelas bahwa larangan menjadikan mereka sebagai pemimpin terkait dengan pengkhianatannya terhadap ikatan perjanjian yang telah disepakati dengan umat Islam. Seorang pengecut, pengkhianat, ingkar janji, dan sifat-sifat yang hanya mementingkan keuntungan sendiri dan golongannya serta menghancurkan umat dan kepentingan bersama, maka ia tidak layak dijadikan pemimpin. 1412 Dengan demikian, pelarangan untuk mengangkat seorang pemimpin bukan karena agamanya, akan tetapi lebih pada sifat, sikap dan karakternya. Prof. Quraish Shihab juga mengatakan bahwa ayat-ayat yang melarang kaum muslimin mengangkat awliyâ’ (pemimpin-pemimpin yang menangani persoalan umat Islam) dari golongan Yahudi dan Nasrani serta selain mereka, harus dipahami dalam konteks kepentingan ekonomi dan politik. 1413 Orang-orang Yahudi Bani Qainuqa` diusir dari Madinah karena pelanggaran dan pengkhianatannya terhadap perjanjian yang telah disepakati dengan Nabi SAW. serta permusuhannya dengan umat Islam. 1414 Sementara orang- orang Yahudi dari Khaibar tidak diusir, karena mereka tidak memusuhi umat Islam. Bahkan Nabi SAW. membiarkan mereka tinggal di Madinah dan mengelola lahan pertanian dengan ketentuan hasilnya dibagi dua; sebagian mereka ambil dan sebagiannya diserahkan ke Bait al-Mal untuk kepentingan umat Islam. 1415

Demikian juga masalah jihad dalam teks hadis dengan realitas masyarakat, khususnya masyarakat muslim minoritas, hidup di tengah-tengah masyarakat non-muslim lainnya yang mayoritas. Bagaimana bisa berjihad? Jihad adalah tema dan perbincangan diskursus yang tetap menarik dan aktual karena setiap saat dan momen tertentu jihad tetap menjadi kewajiban bagi umat Islam. Namun di sisi lain, ada yang merasa ngeri dan berpikiran negatif ketika menyebut istilah jihad, karena asumsinya jihad itu pasti kekerasan dan membunuh atau dibunuh. Kalau mau mati syahid sebagai mati mulia harus berani berjihad dalam pengertian berperang di jalan Allah. Pada komunitas tertentu di masyarakat muslim masih ada yang menggunakan semboyan ”’isy kariman au mut syahidan” (hidup mulia atau mati syahid). Di antara hadis yang menyemangati sebagai perintah berjihad ialah sabda Nabi Muhammad SAW.:

“Berjihadlah terhadap orang-orang musyrik dengan harta, diri dan lidah kalian.” (HR. Abu Daud, Nasai, dan Ahmad).

Bagaimana memahami dan menerapkan hadis seperti ini di tengah-tengah masyarakat muslim pluralitas dan minoritas dari penganut agama lainnya. Masyarakat muslim minoritas di Pontianak khususnya di Benua Melayu Darat ini tinggal di perkampungan dan kawasan bisnis. Cara pandang dan pemikirannya, dan karakteristiknya bisa dipengaruhi oleh praktek kehidupan sehari-harinya dalam dunia sosial ekonomi, dan budaya serta lingkungannya, yaitu mereka lebih mengedepankan bagimana bisa hidup aman, nyaman, damai dan selalu beruntung. Bagi mereka adalah bagaimana mencari kawan dan relasi yang dapat memberi rasa aman, selamat, dan keuntungan sebanyak-banyaknya, bukan mencari

1411 Isi perjanjian orang-orang Yahudi dengan Nabi SAW. terdiri atas 12 point. Inti perjanjian itu adalah membangun toleransi dan kerjasama saling menjaga dan membantu terutama jika ada yang menyerang Madinah. Lalu kemudian Yahudi Bani Qainuqa` yang dikenal sebagai suku pemberani dan brutal yang pertama kali melanggar dan mengkhianati perjanjian perdamaian dengan Nabi SAW. itu. Lihat, Shafî ar-Rahmân al-Mubârakfûrî, ar-Rah îq al-Makhtûm Terjemah Rahmat, ”Sejarah Hidup Muhammad; Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Robbani Press, 2002 M), Cet. III h. 261-262 dan 328-331.

1412 Wajidi Sayadi, Kajian Asbab an-Nuzul Menuju Tafsir Sosial, (Pontianak, STAIN Pontianak Press, 2009), h. 100. 1413 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996),

Cet. IV h. 362. 1414 Akram Dhiya’ al-`Umarî, as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah Muhawalah li Tathbiq Qawa`id al-Muhaddits fi Naqd Riwayah as-Sirah an-Nabawiyah Diterjemahkan oleh Abdul Rosyad Shidiq, “Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif”, (Jakarta: Dar al-Falah, 2004 M), Cet. I hal. 313—318.

1415 Akram Dhiya’ al-`Umarî, as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah: …, hal. 348-349. Sejarah ini didasarkan pada hadis riwayat Bukhari, Muslim, dan Abu Daud.

546 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 546 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Bahwa jihad masa kini bukanlah bagaimana mati di jalan Allah, akan tetapi jihad masa kini ialah bagaimana bisa hidup di jalan Allah. 1416

Oleh karena itu, membaca hadis tentang perintah jihad seperti di atas, selain membaca teksnya juga membaca dan mempertimbangkan realitas sosial kemanusiaan kontemporer. Misalnya, kata َأَنْفُسِكُمْ

dalam hadis tersebut seringkali hanya diartikan nyawa, sehingga terkesan berjihad dengan nyawa, artinya mati demi jihad. Padahal maknanya adalah diri secara totalitas yang di dalamnya termasuk pikiran, tenaga, semangat, kemauan, dan emosional. Dengan demikian, jihad tidak hanya identik dengan perang dan kekerasan, akan tetapi bagaimana melibatkan secara totalitas dalam menyelesaikan berbagai problem social, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain-lain, misalnya memberantas atau mengurangi kemiskinan, busung lapar, kekurangan gizi, kebodohan, anak-anak putus sekolah, pengangguran, dan persoalan social dan kemanusiaan lainnya. Sykeh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya Fath al-Mu’in mengatakan di antara makna jihad adalah:

jihad adalah memberikan kesejahteraan terhadap sesame anggota masyarakat, baik muslim maupun non- muslim dengan memenuhi kebutuhan pokok yang meliputi sandang, pangan, papan, dan kesehatan. 1417

Jihad adalah kewajiban bagi umat islam yang berlangsung terus dari zaman nabi Muhammad rasulullah SAW. hingga kini, hanya saja makna dan bentuk jihad itu bermacam-macam. Di antaranya konteks masa kini di masyarakat yang pluralitas dan minoritas, aman dan damai, adalah bagaimana mewujudkan kesehteraan sosial. Memaknai jihad seperti ini menjadikan hadis atau sunnah Nabi SAW. tetap hidup di tengah-tengah masyarakat muslim minoritas dan pluralitas.

Daftar Pustaka

Abdul Fatah Idris, Hadis-Hadis Prediktif & Teknis Studi Pemikiran Fazlur Rahman, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012.

Abd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, Jakarta: KataKita, 2009.

Akram Dhiya’ al-`Umarî, as-Sîrah an-Nabawiyyah ash-Shahîhah Muhawalah li Tathbiq Qawa`id al- Muhaddits fi Naqd Riwayah as-Sirah an-Nabawiyah Diterjemahkan oleh Abdul Rosyad Shidiq,

“Seleksi Sirah Nabawiyah: Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif”, Jakarta: Dar al- Falah, 2004 M, Cet. I.

Fazlur Rahman ialah, Islamic Methodology in History diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin, “Membuka Ijtihad”, Bandung: Pustaka, 1995, Cet. III.

Jamal al-Banna, al-Jihad, Dialihbahasakan oleh Kamran A. Irsyadi, “Revolusi Sosial Islam Dekonstruksi Jihad dalam Islam”, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Khalîl `Abd al-Karîm, Quraisy min al-Qabîlah ilâ ad-Daulah al-Markaziyyah, Diterjemahkan oleh M.

1416 Jamal al-Banna, al-Jihad, Dialihbahasakan oleh Kamran A. Irsyadi, “Revolusi Sosial Islam Dekonstruksi Jihad dalam Islam”, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005); Abd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: KataKita, 2009), h. 390.

1417 Dikutip oleh Abd Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: KataKita, 2009), h. 389.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 547

Faisol Fatawi, ”Hegemoni Quraisy; Agama, Budaya, Kekuasaan”, Yogyakarta: LKiS, 2002, Cet. I. M. Mansyur, dkk., Metodologi Living Qur’an dan Hadis, Yogyakarta: Teras, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung:

Mizan, 1996. Muhammad al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, Beirut: Dar

asy-Syurûq, 1989, Cet. IV. Nasarauddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 20011,

Cet. II. Shafî ar-Rahmân al-Mubârakfûrî, ar-Rah îq al-Makhtûm Terjemah Rahmat, ”Sejarah Hidup Muhammad;

Sirah Nabawiyah, Jakarta: Robbani Press, 2002 M, Cet. III. As-Suyûthî, Lubâb an-Nuqûl, Lubâb an-Nuqûl fi Asbâb an-Nuzûl, Riyâdh: Maktabah ar-Riyâdh al-

Hadîtsiyyah, t.th. as-Suyûthî, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1421 H/2000

M, Juz III. Wajidi Sayadi, Kajian Asbab an-Nuzul Menuju Tafsir Sosial, Pontianak, STAIN Pontianak Press, 2009. Yasin Dutton, Sunnah, Hadis, dan Amala Penduduk Madinah Studi tentang Sumber Hukum Islam,

Jakarta: Akademika Pressindo, 1996. Yusuf al-Qardhawy, as-Siyasah asy-Syar’iyyah Terjemahan oleh Kathur Suhardi, “Pedoman Bernegara

dalam Perspektif Islam”, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999. Cet. I. Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, Virginia USA: al-Ma’had al-

‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1411 H/1990 M, Cet. III.

548 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014