Beyond the Violence: Menimbang Pendidikan Multikultural dalam Skema Deradikalissi

E. Beyond the Violence: Menimbang Pendidikan Multikultural dalam Skema Deradikalissi

Poin penting yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah radikalisme, terorisme, dan aksi kekerasan lainnya yang mengatasnamakan agama sepertinya memililiki watak keabadian (nature of immortality) karena selalu ada sepanjang sejarah. Dalam konteks sejarah Islam, khawarij yang disebut sebagai cikal bakal gerakan Islam yang muncul pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, memang tidak lagi digunakan sebagai nomenklatur gerakan Islam yang berhaluan keras. Tetapi doktrin yang pernah dikonstruksnya seperti hakimiyah, hijrah, jihad, dar al harb, takfir, masih dianut secara kokoh sebagai basis ideologis dan gerakan organisasi Islam radikal sampai pada era kontemporer saat ini. Bisa dikatakan, perkembangan Islam radikal yang tetap eksis hingga kini pada dasarnya merupakan kelanjutan (contiunity)--meskipun pada beberapa bagian tertentu terdapat perubahan (change)--dari sejarah radikalisme yang dimulai oleh khawarij. Watak keabadian yang menyertai perkembangan radikalisme Islam, bukan melulu karena alasan keagamaan, tetapi disebabkan oleh pertautan beberapa faktor. Anthony J. Marsela mengidentifikasi setidaknya enam faktor sebagai pemicu aksi kekerasan termasuk yang menggunakan modus teror, yaitu: (1) kemiskinan global; (2) rasisme; (3) penindasan; (4) Israel; (5) instabilitas negara; (6) negara yang nakal. 469

Keenam faktor yang disebut oleh Anthony J. Marsela mudah dijumpai di beberapa negara sehingga menyulut munculnya aksi kekerasan di antaranya yang mengatasnamakan agama. Sebagai contoh, ISIS yang menyeruak ke permukaan belakangan ini, tidak bisa dilepaskan oleh pengaruh keenam faktor tersebut, bisa semuanya atau hanya beberapa saja. ISIS yang merupakan metamorfisis al Qaeda, di antaranya memanfaatkan instabilitas Timur Tengah terutama setelah terjadi peran sipil (civil war) di Syria menyusul gelombang demontrasi terhadap rezim Basyar Assad yang berkuasa sejak 2000. 470 Dalam batas-batas tertentu, proliferasi gerakan Islam radikal dan berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama termasuk terorisme di Indonesia, juga memanfaatkan instabilitas negara menyusul runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Oleh karena itu, bila kondisi suatu negara, atau suatu daerah dalam konteks kewilayahan yang lebih mikro mengalami instabilitas, maka akan mempermudah pembentukan dan pengembangan kelompok dan organisasi radikal. Kelompok semacam ini akan cepat berkembang bila ada dukungan faktor-faktor lainnya seperti kemiskinan, penindasan, dan isu-isu inrenasional yang mudah memengaruhi sentimen keagamaan masyarakat seperti Israel vs Palestina.

466 Zuhairi Misrawi, “Mengurai Akar Ideologi Jihad: Wahabisme Sebagai Ideologi Kaum Muslimin Radikal,” Ulumul Quran: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Vol.IX/No. 3/Th. Ke-24/2013, 28. 467 Azeem Ibrahim, The Resurgence of al Qaeda in Syria and Iraq (United State Army War College Press, May 2014), ix-2. 468 Can Acun, “Neo al Qaeda:The Islamic State of Iraq and the Sham (ISIS),” Seta Perspective, No. 10, Juni 2014. 469 Anthony J. Marsela, “Reflections on International Terrorism: Issue, Concepts, and Direction,” dalam Fathalli M.

Moghaddam and Anthony J. Marsella (eds.), Understanding Terrorism: Pschological Roots, Consequences, and Interventions (Washington: American Psychological Association, 2002), 19-22

470 Lihat Azyumardi Azra, “ISIS, “Khilafah”, dan Indonesia,” Kompas , Selasa, 5 Agustus 2014, 6.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 183

Perlu juga diperhatikan dukungan perkembangan teknologi informasi seperti jaringan internet yang dapat mempercepat diseminasi dan pengaruh ideologi organisasi Islam radikal bahkan melampaui batas wilayah negara tertentu sehingga berkembanglah suatu fenomena apa yang disebut dengan globalisasi atau internasionalisasi jihad.

Kompleksitas faktor-faktor pemicu aksi dari organisasi Islam radikal berimplikasi pada cara yang digunakan dalam membendung arus pergerakan organisasi Islam radikal. Negara jelas tidak bisa sendirian meskipun memiliki pusparagam dukungan baik yang keras (hard power) maupun yang lunak (soft power). Dalam kasus penanganan aksi kekerasan yang dilakukan oleh beberapa organisasi Islam radikal, pemerintah Indonesia patut diberi apresiasi karena telah membentuk berbagai institusi sehingga diharapkan mampu melakukan apa yang dikatakan Noorhaidi Hasan: “…merespons (respond) secara efektif aksi-aksi teror dan mengejar (pursue) para pelakunya dengan menggunakan pendekatan keamanan yang bertanggung jawab dan terukur.” 471

Namun negara tidak bisa berpretensi sebagai aktor tunggal dalam menyelesaikan persoalan yang diakibatkan oleh gerakan radikalisme, tanpa melibatkan institusi di luar negara, yakni institusi yang dimiliki oleh masyarakat sipil (civil society). Dengan demikian, penyelesaian terhadap persoalan radikalisme membutuhkan pendekatan secara menyeluruh atau sistemik di mana semua komponen harus bekerja secara sinergis. Salah satu institusi yang perlu dioptimalkan terkait dengan upaya membendung arus radikalisasi adalah pendidikan. Mengapa pendidikan? Lalu pendidikan seperti apa yang dapat membendung arus radikalisasi? Ekspektasi terhadap institusi pendidikan biasanya ditujukan kepada umat Islam. Disamping mempertimbangkan latar belakang keagamaan para pelaku aksi kekerasan (terorisme), ekspektasi tersebut juga didasarkan pada pertimbangan strategis, yaitu banyaknya institusi pendidikan yang dimiliki oleh umat Islam. Muhammadiyah, misalnya, memiliki 10.381 institusi pendidikan dalam semua jenjang dan jenis. Jika ditambah dengan jumlah masjid dan musolla yang dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan pendidikan, maka angka tersebut bisa bertambah. Masjid dan musolla yang dimiliki Muhammadiyah berjumlah 11.198 buah. 472 Sedangkan institusi pendidikan yang berada di bawah naungan NU jumlahnya lebih banyak daripada jumlah institusi pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah. Berdasarkan data pada laman http://www.maarif-nu.or.id, 473 NU memiliki 12.000 madrasah. Sedangkan pendidikan yang berbentuk pesantren menurut data dari http://pendis. kemenag.go.id, 474 berjumlah 27.230 dengan jumlah santri sebanyak 3.759.198 orang. Seluruh pesantren tersebut sebagian besar berafiliasi ke NU. Jika ditambahkan dengan institusi pendidikan yang dimiliki oleh ormas Islam lainnya, maka potensi untuk membendung radikalisasi semakin besar. Dengan kata lain, umat Islam sebenarnya memiliki cukup modal (capital) setidaknya secara kelembagaan untuk membendung arus radikalisasi. Maka dalam konteks peran tersebut, institusi pendidikan umat Islam perlu terlibat secara lebih mendalam lagi dalam program deradikalisasi.

Dengan mengacu pada pemahaman terhadap arti deradikalisasi sebagaimana dikemukakan pada bagian pendahuluan tulisan ini, 475 maka setidaknya ada dua hal yang perlu dilakukan oleh institusi

471 Noorhaidi Hasan, “Ideologi, Identitas dan Ekonomi Politik Kekerasan: Mencari Model Soslusi Mengatasi Ancaman Radikalisme dan Terorisme di Indonesia,” Prisma: Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi, Vol. 29, Oktober 2010, 21. 472 Diolah dari data yang diakses dari laman http://www.muhammadiyah.or.id/content-8-det-amal-usaha.html. Diakses pada 7 Agustus 2014. 473 Diakses pada 7 Agustus 2014. 474 Diakses pada 7 Agustus 2014. 475Sebagaimana ditulis pada bagian pendahuluan tulisan ini, per definisi deradikalisasi memiliki banyak arti. International

Crisis Group mengartikan deradikalisasi: “Deradikalisasi suatu usaha mengajak para pendukung pelaku radikal meninggalkan penggunaan kekerasan yang bertujuan untuk memenagkan hati dan pikiran.” (International Crisis Group,”Deradicalisation and Indonesia Prisons,” Asia Report, No. 42, 19 November 2007, 11). Menurut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lazurdi Birru “Sebuah langkah untuk mengubah sikap dan cara pandang yang dianggap keras menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.” (lazuardibirru.wordpress.com.). Counter-Terrorism Implementation Task Force (CTITF) mengartikan deradikalisisasi sebagai: “ Suatu program yang diarahkan kepada individu radikal dengan tujuan mereintegrasikan dengan masyarakat atau setidaknya dipersuasi untuk tidak melakukan kekerasan.” (www.un.or).

184 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 184 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

radikal melalui berbagai sumber sehingga dirinya terinfiltrasi. 476 Untuk mengenal secara dini terhadap perilaku yang terinfiltrasi oleh paham radikal sebenarnya relatif mudah. Sarlito Wirawan Sarwono

dalam buku, Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi, menyebut delapan ciri individu yang terinfiltrasi ideologi radikial:

(1)menilai pemerintah Indonesia sebagai thaghut karena tidak menjalankan syariat Islam, (2) menolak menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan tidak mau memberi hormat kepada bendera Merah Putih, (3) memiliki ikatan emosional yang lebih kuat daripada ikatan emosional dengan keluarga, (4) pengajian dilakukan secara tertutup, (5) memiliki kesanggupan menyerahkan uang dalam jumlah tertentu kepada kelompok kendati diperoleh melalui cara-cara tidak benar, bahkan cenderung kriminal, (6) berpakaian khas yang diklaim paling sesuai dengan syariat Islam, (7) suka melakukan takfir (mengafirkan) individu dan kelompok lain yang tidak sehaluan, dan (8) enggan mendengarkan ceramah di luar kelompoknya walaupun pengetahuannya tentang Islam masih sangat terbatas. 477

Deteksi secara dini terhadap kaum belia perlu dilakukan karena infiltrasi paham radikal dan rekruitmen menjadi bagian dalam organisasi Islam radikal menurut sejumlah hasil penelitian lebih mudah dilakukan. Penelitian yang dilakukan Maarif Institute pada 2011 menunjukkan fenomena penting bahwa sekolah menjadi “ruang terbuka” yang bisa dimanfaatkan untuk mendiseminasikan paham apa saja. Karakteristik “ruang” sekolah yang demikian, dimanfaatkan oleh keagamaan keagamaan radikal sehingga siswa memiliki paham radikal terhadap isu-isu tertentu seperti negara Islam, penegakan syariat Islam, dan kelompok lain di luar Islam. 478 Penelitian yang dilakukan Maarif Institute memperkuat penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam Perdamaian (LaKIP) pada Oktober 2010 hingga Januari 2011. Beberapa temuan penting penelitian LaKIP sebagai berikut: (1) hampir 50% siswa setuju tindakan kekerasan atau aksi radikal demi agama; (2) 14,2% siswa setuju dengan aksi terorisme yang dilakukan Imam Samudra dan Noordin M. Top; (3) 84,8% siswa setuju terhadap penegakan syariat Islam; (4) 25,8% siswa menyatakan bahwa Pancasila tidak relevan sebagai ideologi negara. 479 Yang lebih menarik lagi adalah hasil survey yang dirilis Pusat Pengkajian Islam dan masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri syarif Hidayatullah, Jakarta pada 2008 karena paham radikal ternyata juga berkembang di kalangan guru agama Islam. Temuan survey PPIM di antaranya: (1) 68,6% menolak prinsip-prinsip non-Muslim menjadi peraturan di sekolah mereka dan 33,8% menolak keberadaan guru non-Muslim di sekolah-sekolah mereka; (2) 73,1% para guru tidak menghendaki para penganut gama lain membangun rumah ibadahnya di lingkungan mereka. 480

Deteksi secara dini menuntut adanya suatu pola hubungan yang memungkinkan orang-orang terutama pihak pengajar memiliki kepekaan terhadap perubahan paham keagamaan individu di sekitarnya (murid dan teman). Dalam kajian psikologi sosial dikenal dua pola interaksi. Pertama, hubungan pertukaran (exchange relationship). Hubungan semacam ini lebih banyak didasarkan pada kalkulasi-kalkulasi keterpenuhan kepentingan antar-kedua belah pihak. Kedua, hubungan komunal (communal relationship). Dalam lingkungan lingkungan pendidikan, pola hubungan seperti ini perlu dikembangkan karena keterikatan antar-individu dalam suatu kelompok lebih didasarkan pada kasih

476 Tinka Veldhuis and Jorgen Staun, Islamist Radicalisation: A Root Cause Model (Netherland Institute of International Relation Clingendel, October 2009), 2.

477 Lihat Syamsul Arifin, “Deteksi Dini Infiltrasi Paham Radikal,” Suara Muhammadiyah 08/99, 16-30 April 2014. 478 Ahmad Fuad Fanani, “Fenomena Radikalisme di Kalangan Kaum Muda,” Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial,

Vol. 8, No.1, Juli 2013, 6. 479 Ibid., 7. 480 Nurrohman, “Agama, Pendidikan Karakter dan Upaya Membangun Kesadaran Berbangsa dan Bernegara,”https://

www.academia.edu/3581963/Agama_pendidikan_karakter_dan_upaya_membangun_kesadaran_berbangsa_dan_ [email protected]&email_was_taken=true (Diakses pada 8 Agustus 2014).

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 185 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 185

Kemudian langkah kedua yang perlu dilakukan oleh institusi pendidikan dalam rangka deradikalisasi adalah dengan mengembangkan suatu model pendidikan yang dapat mencegah terjadinya infiltrasi

paham radikal. Model ini perlu mengacu pada suatu desain utuh yang memuat: kerangka pandang yang mendasar (philosophical foundation) terhadap Islam; materi; model pembelajaran; serta lingkungan yang dapat menumbuhkan pengetahuan dan sikap pengakuan, toleran, dan koperatif terhadap pihak yang berbeda baik karena alasan agama, paham keagamaan, budaya, dan lain sebagainya. Bila dibuat suatu konseptualisasi, maka model pendidikan ini dapat disebut dengan model pendidikan multikultural. Dengan demikian dapat dipertegas di sini, model pendidikan yang perlu dikembangkan dalam rangka deradikalisasi adalah model pendidikan multikultural. Pada level diskursus dan praksis akademik, konsep multikultural dan multikulturalisme mendapatkan respons secara positif dan konstruktif terutama dari kalangan akademisi dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Indikator keberterimaan terhadap multikulturalisme bisa dicermati pada berbagai aktivitas akademik seperti seminar, lokakarya, penelitian, dan publikasi untuk mengekplorasi dan mengelaborasinya sebagai karakter suatu kebijakan dan model aktivitas tertentu di antaranya dalam dunia pendidikan.

Ada banyak contoh hasil eksplorasi dan elaborasi di bidang ini. Pada 2009 Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta menerbitkan buku Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme. Buku ini merupakan buah karya tulis guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dari beberapa daerah di Indonesia. Salah satu penulis pada buku tersebut bahkan berupaya mengintegrasikan PAI dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang berwawasan multikultural: “Mengintegrasikan PAI dan PKn dalam mengupayakan terwujudnya PAI yang berwawasan multikultural selayaknyalah sebuah terobosan yang seharusnya ditempuh. Apabila upaya ini terwujud, tentu saja akan banyak merubah wajah PAI yang lebih inklusif dan toleran.” 482 Institusi pendidikan yang berbentuk pesantren juga telah berupaya mengembangkan suatu kurikulum yang dilandasi oleh nilai-nilai multikultural seperti ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan Abdullah Aly. 483 Pada 2009 LP3ES menerbitkan buku, Budaya Damai: Komunitas Pesantren, yang mengangkat kajian terhadap sepuluh pesantren di lima provinsi. 484 Meskipun tidak menyebut multikulturalisme secara eksplisit, publikasi Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Islam Rahman Lil ‘Alamin, perlu disebut pada bagian ini karena mengandung afirmasi terhadap pengakuan dan penghargaan Islam terhadap berbagai manifestasi keragaman yang meliputi keragaman: individu, negara, suku bangsa, bahasa, dan agama, suatu sikap yang memperoleh penekanan dalam multikulturalisme. 485 Pendidikan yang dilandasi oleh multikulturalisme atau singkatnya disebut dengan pendidikan multikultural, menurut Donna M. Gollnick dan Philip C. Chinn merupakan

481 Shelley E. Taylor et.all., Psikologi Sosial (Jakarta: Kencana, 2009), 332. 482 Agus Iswanto, “Integrasi PAI dan PKn: Mengupayakan PAI yang Berwawasan Multikultural,” dalam Zainal Abidin

dan Neneng Habibah (ed.), Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme (Jakarta: Balai Litbang Agama Jakarta, 2009), 21.

483Abdullah Aly, Pendidikan Islam Multikultural di Pesantren: Telaah terhadap Kurikulum Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). 484 Badrus Sholeh (ed.), Budaya Damai: Komunitas Pesantren (Jakarta: LP3ES, 2009). 485 BukuIslam Rahmatan Lil ‘Alamin yang diterbitkan Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Direktorat

Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia terdiri dari tiga jilid yang dimaksudkan sebagai buku rujukan guru PAI di tiga jenjang pendidikan: Sekolah dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan.

186 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 186 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Mengintegrasikan pendidikan dengan multikulturalisme dalam konteks pendidikan yang diselenggarakan oleh umat Islam, tentu meniscayakan suatu justifikasi teologis yang dapat menunjukkan

bahwa Islam merupakan agama yang memuat nilai-nilai dan sekaligus mendukung pembentukan sikap yang ditekankan oleh mutltikulturalisme. Hal inilah yang dimaksud dengan kerangka pandang secara mendasar (philosophical foundation) terhadap Islam yang akan menjadi acuan bagi pendidikan multikultural. Sebagaimana kajian yang dilakukan Donna M. Gollnick, Philip C. Chinn, dan Hilda Herdandez, pada multikulturalisme ditekankan pengakuan terhadap berbagai manifestasi keragaman yang diperlihatkan oleh berbagai kelompok. Sementara sikap yang diperlihatkan oleh organisasi Islam radikal berbanding terbalik dengan multikulturalisme. Pertanyaannya, apakah Islam menyediakan suatu landasan teologis bagi multikulturalisme? Jawaban terhadap pertanyaan ini sangat tergantung pada cara pembacaan terhadap Islam. Cara pembacaan yang dapat mengembangkan suatu kerangka pandang Islam yang terbuka dengan nilai-nilai dasar dalam multikultural di antaranya dilakukan Nasaruddin Umar seperti dapat dibaca pada buku Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an & Hadis sebagaimana telah disinggung di bagian pendahuluan tulisan ini. Nasaruddin Umar menyebut pembacaannya sebagai pembacaan moderat dan toleran sebagai dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap pembacaan secara radikal. Pembacaan secara moderat dan toleran akan menghasilkan suatu kerangka pandang Islam yang rahmatan lil alamin, toleran, menghormati hak asasi manusia, dan emansipatoris. Kerangka pandang ini akan menstimulasi berkembangnya sikap positif terhadap perbedaan yang terdapat pada kehidupan manusia. Nasaruddin Umar menegaskan sebagai berikut:

“…Islam…menyikapi perbedaan yang terdapat pada komunitas manusia sebagai sesuatu yang alamiah yang harus dihormati dan meletakkannya pada kerangka untuk mengembangkan solidaritas dan kerja sama yang kukuh antar manusia. Jadi paparan ini memberikan suatu konklusi bahwa Islam sangat menekankan pada penciptaan dan penyebaran semangat egalitarianisme dan memahami pluralisme sebagai sebuah sunnatullah. Pada saat yang sama, Islam menentang eksklusivisme; homogenitas dan semacamnya, karena hal ini bertentantangan secara diametral dengan semangat egalitarianisme.” 488

Pada bagian lain, Nasaruddin Umar menegaskan kembali keterbukaan Islam: Sebagai sebuah agama samawi yang terakhir, Islam diturunkan untuk menciptakan tata kehidupan dunia

yang damai dan penuh kasih sayang rahmatan lil alamain. Visi ini terefleksi dalam keseluruhan teks-teks ilahiyah, baik yang berkenaan dengan masalah teologi, syariat, maupun tasawuf atau etika. Konsepsi rahmatan lil alamin ini secara tidak langsung menekankan peran Islam pada pemenuhan hak-hak dasar manusia (huquq al-insani). Hak-hak dasar manusia (huquq al-insani) tercakup dalam lima prinsip dasar, yang dikenal dengan ad-dharuriyat al-khams atau disebut juga maqashid as-syariah: yakni hifdzun ad-din (perlindungan agama), hifdzun an-nafs (perlindungan diri), hifdzun al-aql (perlindungan akal), hifdzun an- nasl (perlindungan keluarga), hifdzun al-mal (perlindungan harta). 489

Cara pandang moderat dan toleran terhadap Islam sebagaimana dikembangkan Nasaruddin Umar selanjutnya akan menjadi acuan dalam mendesain materi pembelajaran. Dalam rangka deradikalisasi, materi pembelajaran sebagai turunan dari cara pandang terhadap Islam perlu difokuskan pada doktrin- doktrin yang dikontruks melalui pembacaan secara radikal. Mengutip kembali Nasaruddin Umar,

486 Donna M. Gollnick dan Philip C. Chinn, Multicultural Education in a Pluralistic Society (Upper Saddle River; Merrill Prentice Hall: 2002), 5. 487 Hilda Herdandez, Multicultural Education: A Teacher’s Guide to Linking Context, Process, and Content (Upper Saddle River; Merrill Prentice Hall: 2001), 7. 488 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi…, 353. 489 Ibid., 379.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 187 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 187

Masih menurut mereka, semua ayat al-Qur’an dan teks hadis yang mengajak menyerukan damai terhadap orang-orang yang berdamai dengan umat Islam atau memberikan kebaikan dan keadilan kepada pihak-pihak yang tidak memerangi Islam serta tidak mengusir umat Islam dari negerinya sendiri adalah ayat dan hadis temporal yang telah berakhir masa ketetapannya. Ayat-ayat tersebut memang termuat di dalam mushaf dalam bentuk tulisan, tetapi ketentuannya sudah tidak berlaku. Seluruh ayat tersebut—yang berjumlah sekitar 140 atau 200 lebih—telah dihapus oleh satu ayat yang mereka sebut sebagai Ayat Pedang (Ayat Al-Saif). 492

Terhadap kelompok yang ingin mengurangi jihad, Yusuf Qardhawi juga menyampaikan kritik karena pemahaman mereka justru melemahkan umat Islam di satu pihak, sementara di pihak lain, akan memudahkan pihak luar yang memiliki agenda ingin melemahkan Islam melalui penjejahan atau cara-cara lainnya. Menurut Yusuf Qardhawi, doktrin jihad tidak bisa dikurangi, apalagi dihapus. Yang perlu dilakukan oleh umat Islam pada saat ini adalah memaknai kembali jihad sesuai dengan spirit modernitas. Yusuf Qardhawi mencontohkan dakwah Islam sebagai manifestasi jihad. Menurut Yusuf Qardhawi, dakwah pada saat ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi yang sudah berkembang demikian canggih. Hal ini berbeda dengan cara dakwah pada zaman dahulu yang masih tradisional dimana dakwah dilakukan secara langsung kepada sasaran dakwah. Pada zaman sekarang, dakwah umat Islam harus mengoptimalkan fasilitas yang disediakan internet. Dengan demikian, tegas Yusuf Qardhawi, dakwah tidak lagi bisa dilakukan dengan cara berperang. 493

Setelah dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap doktrin-doktrin tertentu melalui pembacaan secara moderat dan toleran sebagaimana dikemukakan di atas, tahapan berikutnya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menanamkan doktrin-doktrin tersebut melalui kegiatan pembelajaran. Tetapi sebelum menjelaskan tahapan ini, terlebih dahulu perlu dipahami bahwa dengan dekontruksi dan rekonstruksi dimaksudkan untuk memberikan pemahaman baru terhadap doktrin-doktrin tersebut yang pada tahap berikutnya diharapkan muncul suatu sikap yang lebih terbuka dengan pihak lain tanpa perlu khawatir terhadap penggerusan identitas dirinya. Karena tidak hanya mengembangkan pengetahuan (knowledge), tetapi juga sikap (attitude), maka pemahaman terhadap doktrin-doktrin perlu mempertimbangkan model pembelajaran dalam bingkai pendidikan karakter. Pendidikan karakter ingin menegmbangkan tiga aspek pada diri manusia secara simultan yang meliputi aspek pengetahuan moral yang baik (moral knowing), perasaan yang baik (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action). 494 Pada tahap implementasi di ranah pembelajaran, pemahaman doktrin-doktrin melalui pendidikan karakter, meniscayakan: (1) keberadaan pengajar dan pendidik yang menguasai berbagai metode pembelajaran terutama yang

490 Ibid., 83-274. 491 Yusuf Qardhawi, Fiqih Jihad (Bandung: Mizan, 2010), xlvii. 492 Ibid., xlvii.

493 Ibid., l. 494Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Jakarta: Pusat Kurikulum dan

Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2011), 6.

188 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 188 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

RADIKALISASI ISLAM

1. PENDIDIKAN Pembacan radikal

MULTIKULTURAL

terhadap Islam.

2. Hard

Objektivasi pembacaan Islam

Pembacaan Moderat dan radikal.

Power

Toleran 3. Rekruitmen

pelatihan. Dekonstruksi

KEKERASAN

Kondisi dalam Moderat,

1. Wacana.

4. dan Rekontruksi

negeri (transisi Doktrin-doktrin Inklusif,

2. Ketegangan

(3) demokrasi).

dan konflik.

DERADIKALISASI

Materi Kooperatif, 5. Pengaruh

3. Terorisme.

(4) Tegas perkembangan

Pembelajaran global (isu-isu

Soft

dan Lingkungan krusial dunia Islam

Power

[Civil

[Palestina vs Israel,

Society]

globalisasi gerakan jihad (ISIS). 6. The World is Flat (Dampak teknologi infoormasi).