Proses Radikalisasi

C. Proses Radikalisasi

Ahmad Tarmini Maliki, pria belia berusia 26 tahun, bukanlah warga Irak. Nama ini menarik perhatian dunia internasional karena keberaniannya menjadi pelaku bom bunuh diri untuk kepentingan Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) yang berambisi menguasai Irak. Pada 26 Mei 2014, Ahmad Tarmini Maliki menabrakan mobil yang dikendarai sendiri dengan muatan berton-ton bahan peledak ke markas tentara Irak. Aksi nekat pria belia yang datang dari Pahang, Malaysia untuk berjihad di Irak bersama ISIS, mendatangkan petaka terhadap tentara Irak. Sebanyak 25 tentara Irak tewas dalam aksi tersebut. Majalah Mingguan GATRA yang melansir berita tersebut menambahkan, selain Ahmad Tarmini Maliki yang telah mencatatkan dirinya sebagai pelaku bom diri berkebangsaan Malaysia pertama, berdatangan juga puluhan warga Malaysia lainnya ke negara-negara Islam di Timur Tengah yang sedang dilanda

398 Syaiful Arif, Deradikalisasi Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural (Depok: Koekosan, 2010), 107-134. 399 Institute for Strategic Dialogue, “Policy Briefing, Tackling Extremism: De-Radicalisation and Disengagement”, www.

counterextremism.org., diakses 30 Juli 2014. 400 Angel Rabasa et al., “Deradicalizing Islamist Extrimist” (Santa Monica: National Security Research Division, 2010), 5. 401 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naispospos (ed.), Dari Radikalisme menuju Terorisme: Studi Relasi dan Transformasi

Organisasi Islam Radikal di Jawa Tengah&D.I. Yogyakarta, (Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2012), 191. 402 Lihat laporan yang ditulis oleh International Crisis Group, “Deradikalisasi dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia”, Asia Report No. 142—19 Nopember 2009. 403 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Qur’an&Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2014). 404 Sebelum kajian yang dilakukan Nasaruddin Umar, terdapat beberapa publikasi yang bisa dipahami sebagai suatu

upaya untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi pemahaman secara radikal terhadap beberapa doktrin dalam Islam dipahami secara sempit dan menimbulkan ketegangan. Lihat, misalnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antar Umat Beragama (Yogyakarta: Penerbit Pustaka SM, 2000); Zuhairi Misrawi, Al Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme (Pondok Indah: Fitrah, 2007); Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: Kata Kita, 2009).

405 James J. F. Forest (ed.), Countering Terrorism and Insurgency in the 21 st Century: International Perspectives, Volumes 1–3 (London: Praeger Security, 2007), 15.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 167 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 167

Kematian yang dialami Ahmad Tarmini Maliki tentu mendatangkan kesedihan bagi keluarganya, sebagaimana dialami juga oleh Fadilah, seorang ibu berusia 62 tahun yang tinggal di Lamongan. Fadilah tidak dapat menahan tangis histerisnya manakala mendapatkan kabar, anak bungsunya yang bernawa Wildan, tewas di medan pertempuran di Irak. 407 Baik Ahmad Tarmini Maliki maupun Wildan tentu menyadari, pilihannya sebagai jihadis di zona yang sedang dilanda pertempuran akan mengakibatkan kematian bagi dirinya. Kendati mendatangkan risiko yang akan disambut dengan histeria tangis dan kesedihan oleh keluarga yang ditinggalkannya, Ahmad Tarmini Maliki dan Wildan tidak pernah mengurungkan niatnya sebagai seorang jihadis.

Sejarah terorisme di Indonesia juga dikejutkan dengan peran para pelaku bom bunuh diri berusia belia. Jika merekonstruksi aksi teror bermotif agama di Indonesia, ada lima peristiwa sejak 2002 sampai pada 2009 yang disebut oleh Ansyaad Mbai sebagai serangan bom yang signifikan, 408 yaitu: Bom Bali pertama pada 2002; Bom Hotel J.W. Marriott pada 2003; Bom Kedutaan Australia pada 2004; Bom Bali kedua pada 2005; dan Bom Hotel J.W. Marriott serta Ritz Carlton pada 2009. 409 Sebagaimana peristiwa di Irak, aksi teror yang berlangsung sebanyak lima kali itu juga melibatkan aktor penting, yaitu pelaku bom bunuh diri. Dani Dwi Permana asal Bogor dan Nana Ikhwan Maulana asal Pandeglang adalah pelaku bom diri di Hotel J.W. Marriott serta Ritz Carlton pada 2009. Usia Dani Dwi Permana tergolong sangat belia, 17 tahun, sedang Nana Ikhwan Maulana berusia 27 tahun. Contoh nyata dari pengalaman Ahmad Tarmini Maliki, Wildan, Dani Dwi Permana, dan Nana Ikhwan Maulana memantik pertanyaan besar: Mengapa mereka memiliki cara pandang tertentu terhadap Islam yang dapat menguatkan pilihannya sebagai jihadis?

Sedikit rekonstruksi terhadap cerita nyata (true story) keempat belia rekrutan organisasi garis keras, memberikan pemahaman terhadap adanya suatu proses perubahan individu sampai pada akhirnya memilih sebagian bagian penting dalam organisasi garis keras atau radikal yang, pada sisi lain, organisasi garis keras melakukan rekruitmen dan pelatihan (tarbiyyah) terhadap individu yang disiapkan antara lain sebagai martir yang mau berjuang dengan pihak lawan (qital). 410 Ihwal keberadaan dan perkembangan kelompok keagamaan atau organisasi radikal, serta kemampuannya dalam memperkuat dan memperluas basis massa perlu dikaji. Termasuk yang perlu dikaji kemampuan organisasi radikal dalam memengaruhi individu dalam mengubah paham, orientasi, dan perilaku keberagamaannya. Proses yang dialami oleh individu ini disebut dengan radikalisasi dalam pengertian sebagaimana

406 Lihat Gatra, 25 Juni 2014. Menurut new.detik.com, sebanyak 56 Orang warga Jawa Timur telah menjadi anggota Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Mosul, Iraq. Bahkan kabar yang terbaru, ada 7 orang yang dalam satu keluarga menyusul ke Iraq untuk bergabung dengan ISIS. Lihat http://news.detik.com/surabaya/read/2014/08/07/172657/2656175/475/bin-satu- keluarga-asal-lamongan-berangkat-ke-irak-gabung-isis., diakses 12 Agustus 2014.

407 Lihat Gatra, 23 Juli 2014. 408 Ansyaad Mbai, Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia (Jakarta: AS Production Indonesia, 2014), 7. 409 Setelah pengeboman Hotel J.W. Marriott serta Ritz Carlton pada 2009, serangkaian aksi bom bunuh diri terus

berlangsung. BBC Indonesia mencatat setidaknya empat peristiwa aksi teror yang melibatkan pelaku bom diri yaitu: pertama, pada

15 April 2010, Muhammad Syarif meledakkan bom yang terpasang di tubuhnya di masjid yang terletak di dalam kompleks Mapolresta Cirebon, Jawa Barat. Serangan ini melukai 25 orang anggota polisi yang sedang bersiap untuk menunaikan ibadah

sholat Jumat,termasuk Kapolresta Cirebon AKBP Herukoco. Peristiwa terjadi pada 29 September 2010 dimana Abu Ali meledakkan bom di sepeda yang dikendarainya di dekat seorang anggota patroli Kapolres Bekasi, AKP Heri. Peristiwa ketiga terjadi

25 September 2011. Achmad Yosepa Hayat meledakkan diri di halaman Gereja Bethel Injil, Solo, Jawa Tengah. Kemudian pada

3 Juni 2013 terjadi lagi peledakan di depan Mapolres Poso yang juga melibatkan pelaku bom bunuh diri. Lihat http://www. bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/06/130603_kompilasi_bom_bunuhdiri.shtml., diakses pada 30 Juli 2004).

410 Tarbiyyah (rekruitmen dan pelatihan) dan qital (berjuang melawan musuh-musuh Allah) merupakan dua tahapan dari empat tahapan gerakan jihad yang dirumuskan oleh Abdullah Azzam, salah seorang ulama yang berpengaruh besar terhadap perjalanan Osma bin Laden sebagai seorang jihadis (Selain Abdullah Azzam, Osama bin Laden juga dipengaruhi oleh Faisal bin Abdelasiz, dan Ayman al Zawahiri). Selain kedua tahapan tersebut, masih ada dua tahapan lainnya dalam gerakan jihad, yaitu hijrah (pindah) dan penerapan syariah Islam dalam bingkai negara Islam. Lihat, Zachary Abuza, Militant Islam…, 5.

168 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014 168 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

The social and psychological process of increased and focused radicalization through involvement with a violent non state movement. Violent radicalization encompasses the phase of a) becoming involved with a terrorist group and b) remaining involved and engaging in terrorist activity; it in involves a process of pre- involvement searching for the opportunity to engage in violence and the exploration of competing alternatives; the individual must have both the opportuniy for engagement as well as the capacity to make a decision about that engagement. 412

Dengan demikian, proses yang dilalui oleh individu merentang dari suatu tahapan ketika sama sekali belum pernah bersentuhan dengan paham dan organisasi radikal, kemudian teradikalisasi, dan berikutnya adalah tahapan yang disebut John Morgan dengan violent radicalization. Semua perkembangan tersebut tentu saja perlu juga dikaitkan dengan fenomena yang terjadi di luar individu seperti lingkungan terdekat hingga konteks sosial yang lebih kompleks. Karena proses perubahan individu begitu kompleks, maka cara memahaminya juga perlu bergerak dari berbagai level. Alex P. Schmid, peneliti pada International Centre for Counter-Terrorism-The Hague (ICCT-The Hague), merekomendasikan tiga level unit analisis yang meliputi: level mikro (micro-level), level meso (meso-level), dan level makro (macro-level).

Causes for radicalisation that can lead to terrorism ought to be sought not just on the micro-level but also on meso- and macro-levels: 1. Micro-level, i.e. the individual level, involving e.g. identity problems, failed integration, feelings of alienation, marginalisation, discrimination, relative deprivation, humiliation (direct or by proxy), stigmatisation and rejection, often combined with moral outrage and feelings of (vicarious) revenge; 2. Meso-level, i.e. the wider radical milieu–the supportive or even complicit social surround–which serves as a rallying point and is the ‘missing link’ with the terrorists’ broader constituency or reference group that is aggrieved and suffering injustices which, in turn, can radicalise parts of a youth cohort and lead to the formation of terrorist organisations; 3. Macro-level, i.e. role of government and society at home and abroad, the radicalisation of public opinion and party politics, tense majority–minority relationships, especially when it comes to foreign diasporas, and the role of lacking socio-economic opportunities for whole sectors of society which leads to mobilisation and radicalisation of the discontented, some of which might take the form of terrorism. 413

Tiga level unit analisis seperti direkomendasikan Alex P. Schmid berimplikasi pada penggunaan beragam pendekatan keilmuan. Pada level individu, pendekatan dengan menggunakan piranti ilmu psikologi sering digunakan. Dengan menggunakan psikologi, penyebab fenomena kekerasan, baik karena dorongan naluriah maupun yang terkait dengan pemantik dari luar individu, dapat dijelaskan. Penjelasan klasik ihwal kekerasan karena dorongan dari dalam individu dilakukan oleh Sigmund Freud yang dikenal dengan model psikoanalitik. Sigmund Freud Freud melihat ihwal kekerasan lebih umum sebagai sifat bawaan manusia dan insting. Sigmund Freud kemudian menambahkan bobot analisisnya terhadap kekerasan dengan konsep energi yang ada pada diri manusia yaitu energi kekuatan hidup (eros) dan kekuatan kematian (thanatos). Insting dan dialektika kedua energi tersebut itulah yang

411Sebagaimana dikutip Shehzad H. Qazi, “A War Without Bombs: Civil Society Initiatives Againts Radicalization in Pakistan”, Institute for Social Policy and Understanding, February 2013, 2. 412 John Horgan, Walking away from Terrorism: Accounts of Disengagement from Radical and Extremist (London: Roudledge, 2009), 152. 413 Alex P. Schmid, “Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literatur Review”, International Centre for Counter-Terrorist (ICCT)-The Hague, March 2003, 4

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 169 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 169

Model analisis Sigmund Freud bisa ditambahkan dengan menggunakan instinct theory (teori insting) berikutnya yaitu etologi (ethology). Berasal dari bahasa Yunani, ἦθος, ethos, “karakter”; dan –λογία, -logia, etologi mempelajari perilaku satwa atau hewan, mekanisme serta faktor-faktor penyebabnya. Tetapi menurut American Heritage Dictionary, etologi secara bergantian dikatakan sebagai studi ilmiah tentang perilaku hewan, terutama yang terjadi dalam lingkungan alam, dan etologi juga diartikan studi tentang etos manusia, dan pembentukannya. Konrad Zacharias Lorenz, ilmuwan dari Australia yang berkontribusi terhadap pengembangan studi etologis mengatakan bahwa perilaku agresif manusia yang diwujudkan dalam peperangan, kejahatan, perkelahian dan segala jenis perilaku destruktif dan sadistis ditimbulkan oleh fighting instinct atau naluri berkelahi yang terdapat dalam diri manusia. 415

Ihwal kekerasan yang dilakukan individu bisa dijelaskan juga dari perspektif teori dorongan atau drive theory (frustration-aggression) dan teori belajar sosial (the social learning theory). Hubungan antara frustrasi dan agresi telah dibahas dalam psikologi selama lebih dari setengah abad. Beberapa bahkan melihatnya sebagai “master penjelasan” untuk memahami penyebab kekerasan manusia. Premis dasar dari the frustration-aggression ( FA) hypothesis atau hipotesis FA ada dua: (1) agresi selalu diproduksi oleh frustrasi, dan (2) frustrasi selalu menghasilkan agresi. Teori ini menarik perhatian Ted Gurr yang menerapkan analisis FA secara sistematis terhadap kekerasan politik. Berdasarkan analisis FA, Ted Gurr kemudian mengembangkan tesis bahwai frustrasi sebagai salah satu deprivasi relatif (relative deprivation).

Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory) dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori ini menjelaskan perilaku manusia yang karena adanya kaitan atau kontinjensi antara perilaku dan konsekuensinya. Ketika perilaku diikuti oleh hasil yang diinginkan (reward), perilaku tersebut akan diperkuat atau dilakukan lagi. Tetapi, sebaliknya, bila perilaku diikuti oleh sesuatu yang tidak diinginkan atau menghasilkan konsekuensi berlawanan, perilaku tersebut tidak dilakukan lagi. Kemudian terkait dengan agresi, menurut teori ini seseorang tidak hanya mempelajari melalui pengalaman langsung seseorang, tetapi juga melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain, bagaimana kontinjensi tersebut terjadi dalam lingkungan seseorang. Dalam model ini, agresi dipandang sebagai perilaku yang dipelajari dari orang lain termasuk akibat yang diperoleh oleh sorang itu. 416

In the social learning system, new patterns of behavior can be acquired through, rooted in direct experience, is direct experience or by observing the behavior of others. the more rudimentary form of learning is largely governed by the rewarding and punishing consequence that follow any given action. People are repeatedly confronted with situations with which the must deal in one way another. Some of the responses that they try prove unsuccessful, while others produce more favorable effect.Through this process of differential reinforcement successful models of behavior are eventually selected from exploratory activities, while ineffectual ones are discarded. 417

Teori belajar menawarkan observational learning atau proses belajar dengan mengamati terhadap seorang “model” di dalam lingkungan seorang individu, misalnya saja teman sebaya atau anggota keluarga di dalam lingkungan internal, atau di lingkungan sosial yang lebih luas seperti tokoh publik di bidang politik, agama, pendidikan, aktivis, dan lain sebagainya. Perilaku seseorang terkadang bisa timbul melalui proses modeling yang menurut Stanly J. Baran dan Dennis K.merupakan peniruan: “The direct, mechanical reproduction of behavior.” 418 ” Dengan proses seperti itu, karena agresi adalah perilaku yang dipelajari, maka terorisme, jenis tertentu perilaku agresif, kata Kents Oots dan Thomas

414Randy Borum, “Psychology of Terrorism” (Tampa: University of South Florida, 2004), 11-12. 415 Ibid., 12. 416 Ibid., 13. 417 Albert Bandura, Social Learning Theory (New York: General Learning Press, 1971), 3. 418 Stanly J. Baran and Dannis K. Davis, Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future (Australia:

Wadsworth, 20012), 193-194.

170 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

Wiegele, juga bisa dipelajari. 419 Analisis psikologis terhadap perilaku individu yang terlibat dalam aksi teror terus mengalami

pemutakhiran yang antara lain dilakukan oleh Fathali M. Moghaddam dari Georgetown University. Fathalli M. Moghaddam mengembangkan suatu model analisis yang disebut “the six stage staircase to terrorism model,” 420 suatu model untuk menyoroti interaksi antara kebutuhan individu, dinamika kelompok dan dukungan masyarakat luas dalam aksi kekerasan yang menggunakan modus teror. Dengan model tersebut, proses menjadi teroris melalui berbagai tahap yang meyerupai naik tangga

To provide a more in-depth understanding of terrorism, I have used the metaphor of a narrowing staircase leading to the terrorist act at the top of a building. The staircase leads to higher and higher floors, and whether someone remains on a particular floor depends on the doors and spaces that person imagines to be open to her or him on that floor. The fundamentally important feature of the situation is not only the actual number of floors, stairs, rooms, and so on, but how people perceive the building and the doors they think are open to them. As individuals climb the staircase, they see fewer and fewer choices, until the only possible outcome is the destruction of others, or oneself, or both. This kind of “decision tree” conceptualization of behavior has proved to be a powerful tool in psychology. 421

Dalam konstruksi Fathalli M. Moghaddam, individu yang berkomitmen menjadi teroris berarti telah mencapai tangga paling tinggi, yakni tangga kelima ( fifth floor) seperti dapat dicermati pada gambar di bawah. Sebelum sampai pada tahapan kelima, individu akan melewati tahapan atau anak tangga di bawahnya yaitu: Ground Floor: Psychological Interpretation of Material Conditions; First Floor: Perceived Options to Fight Unfair Treatment; Second Floor: Displacement of Aggression; Third Floor: “Moral Engagement”; Fifth Floor: The Terrorist Act and Sidestepping Inhibitory Mechanisms.

Pada tahapan tangga paling dasar ( ground floor: psychological interpretation of material condition), menurut Fathalli M. Moghaddam, merupakan tahapan persepsi terhadap keadilan dan perlakuan yang adil. Pendakian individu ke puncak tangga terorisme sangat tergantung pada pemahamannya terhadap kondisi ketidakadilan. Faktor-faktor keterbatasan secara materi seperti kemiskinan dan kurangnya pendidikan dapat mempercepat pendakian ke anak tangga selanjutnya, yaitu tangga pertama ( first floor: perceived options to fight unfair treatment). Pada tangga pertama ini, individu mencari solusi terhadap apa yang mereka anggap sebagai perlakuan tidak adil. Kemudian pada tangga kedua ( second floor: displacement of aggression), individu mulai mengembangkan kesiapan fisik sebagai upaya mencari solusi atas ketidakadilan dengan melakukan penyerangan terhadap musuh. Dalam konteks ini, orang yang mengembangkan kesiapan untuk fisik pada akhirnya akan meninggalkan tangga kedua dan memanjat langkah lagi untuk mencoba untuk mengambil tindakan terhadap musuh. Ketika mereka naik tangga, orang-orang menjadi lebih dalam terlibat dalam moralitas yang membenarkan dan mendorong terorisme.

Pada tahapan atau tangga kedua, keseriusan individu memasuki dunia radikalisme dan terorisme semakin kelihatan. Pada tangga ketiga ( third floor) individu akan mengalami keterlibatan moral (moral engagement) yang kian meneguhkan komitmennya terlibat dalam aksi radikal termasuk teror. Menurut Fathalli M. Moghaddam, kelompok terorisme bekerja dalam kerangka moral yang bertolak belakang antara mereka dengan pihak yang menjadi sasaran dan korban terutama dari kalangan sipil.

From the perspective of the mainstream, terrorists are “morally disengaged,” particularly because of their willingness to commit acts of violence against civilians. However, from the perspective of the morality that

exists within terrorist organizations, terrorists are “morally engaged,” and it is “enemy” governments and

419 Kents Oots dan Thomas Wiegele “Terrorist and Victim: Psychiatric and Physiological Approaches,” Terrorism: An International Journal, Volume 8, Issue 1, 11. 420 Fathali M. Moghaddam, “The Staircase to Terrorism: A Psychological Exploration”, American Psychologist, February– March 2005, Vol. 60, No. 2, 161-169. 421 Ibid., 161.

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 171 Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 171

nilai moral sampai pada akhirnya berada pada kondisi moral engagement. Salah satu faktor yang membuat organisasi terorisme memiliki kekuatan adalah keberadaan individu yang berasal dari lantai dasar ( ground floor) yang mengalami frustasi dengan kondisi. Pada tangga ketiga inilah, organisasi radikal atau terorisme, kata Fathalli M. Moghaddam: “ as a “home” for disaffected individuals (mostly young, single males), some of whom are recruited to carry out the most dangerous missions through programs that often have very fast turnaround.” 423

Setelah terlibat secara moral (moral engagement) pada tangga ketiga, individu memasuki tangga krusial yaitu tangga keempat yang disebut Fathalli M. Moghaddam sebagai “solidification of categorical thinking and the perceived legitimacy of the terrorist organization”. Individu yang menaiki tangga keempat berarti memasuki dunia rahasia organisasi teroris (the secret world of the terrorist organization), dan sedikit atau bahkan tidak ada kesempatan untuk keluar hidup-hidup. Setelah mengalami pematangan melalui pembinaan dalam sistem sel pada tangga keempat, individu menyatakan kesiapan dirinya melakukan tindakan teror. Inilah pendakian puncak atau tangga kelima. Pada tangga inilah individu menyediakan dirinya sebagai aktor dalam aksi teror yang sering berdampak kematian terhadap dirinya dan warga sipil yang menjadi sasaran aksinya. 424

Model analisis Fathalli M. Moghaddam menyerupai model analisis yang dikonstruk oleh Federal Bureau Investigation (FBI) yang membagi proses radikalisasi ke dalam empat tahapan, yaitu: pre- radicalization, identification, indoctrination, and action. 425 Pada tahap pertama, pra-radikalisasi individu mengalami konversi. Proses ini biasanya terjadi setelah individu terlibat interaksi secara dinamis dengan orang lain, lembaga, peristiwa, gagasan, dan pengalaman tertentu yang menggugah perasaannya. Pada tahap kedua, identifikasi, individu mengidentifikasi dirinya dengan penyebab ekstremis tertentu dan menerima ideologi radikal yang membenarkan, mendorong, atau mendukung kekerasan terhadap pemerintah, warga sipil, atau pihak lain yang pendapatnya bertentangan dengan agenda ekstremis sendiri. Tetapi pada tahapan ini, individu tidak serta melakukan tindakan kekerasan. Pada tahap ini individu memperkuat ikatan dirinya dengan kelompok dan untuk memperkuat identitas ekstrimis individu daripada pelatihan dalam persiapan untuk serangan. Kemudian pada tahap ketiga, indoktrinasi, individu mulai menerima ideologi radikal dan kian yakin terhadap pilihannya sebagai bagian dari gerakan radikal. Indoktrinasi yang diperoleh pada tahapan ketiga sangat diperlukan pada saat individu memasuki tahapan radikalisasi paling akhir, yaitu aksi (action). Pada tahapan ini, individu mulai melakukan tindakan kekerasan atau non-kekerasan, namun selalu dilakukan dengan maksud menimbulkan kerusakan pada musuh. Beberapa individu yang mencapai tahap ini akan mencoba untuk berpartisipasi dalam serangan teroris. Keseluruhan tahapan radikalisasi menurut versi FBI disajikan pada gambar di bawah. 426

422 Ibid., 165. 423 Ibid., 165. 424 Ibid., 166. 425 Federal Bureau of Investigation Counterterrorism Division. “The Radicalization Process: From Conversion to

Jihad.” Federal Bureau of Investigation, Washington DC, May 10, 2006. 4. 426 Ibid.

172 | Paper AICIS XIV - Balikpapan 2014

PRE-RADICALIZATION

ACTION Motivation/conversion

IDENTIFICATION

INDOCTRINATION

Individual knowingly • Jilted Believer

Individual accepts the

Immersion into a

engages in • Acceptance

cause

group

exstremist activity Seeker

• Increased

• Social

Operational activities • Protest

isolation from

• Terrorist

of facilitation Conversion

former life

• Strengthening

Recruitment • Faith

• Begin to accept

social identity

Financing Reinterpretation

new social

• Increased vetting

Preparation Stimulus

Key Component

• Training Camp

Planning • Self

• Overseas

• Surveillance

Execution • Other

experience

activity

• Religious training

• Finance

Opportunity

• Basic para-

Individual convinced

• Mosque

military training

that action is required

• Internet

to support the cause

• School • Employment • Prison

CONVERSION/

TERRORISM REINTER- PRETATION

ACCEPTANCE

CONVICTION

NO ACTION

PROPENSITY FOR

READY FOR

Model lain yang dapat digunakan untuk mengurai proses radikalisasi adalah model yang menekankan pada apa yang disebut dengan eksklusi sosial radikalisasi (the social exclusion aspects of radicalisation) 427 sebagaimana visualisasi pada gambar di bawah 428 . Menurut model ini, radikalisasi terjadi karena adanya individu yang mengalami eksklusi sosial 429 , yakni pengeluaran atau terputusnya individu dari suatu sistem masyarakat yang tidak mendapatkan pengakuan secara layak oleh masyarakat tersebut dengan beberapa faktor penghambat yang pada ahirnya individu kehilangan kesempatan untuk bersaing memenuhi kebutuhan dirinya sendiri menjadi layaknya masyarakat seperti pada umunya. Singkatnya individu merasa mereka telah diperlakukan tidak adil oleh sistem dan dalam hubungannya dengan perasaan tidak berdaya politik dan keterasingan budaya, ekstremisme agama atau ideologi memainkan peran katalisasi, dan menyediakan individu yang sudah terasing dengan identitas bersama, dan dengan pembenaran pseudo-etis bagi mereka untuk melampiaskan amarah yang sudah ada dan permusuhan terhadap masyarakat/pemerintah bahwa mereka merasa telah dirugikan mereka dan orang lain seperti mereka.

427 Sebagaimana dikutip oleh Kate Barrelle dari Virginie Andre, “Globalization: A New Driving Force in Southern Thailand,” in David Wright-Neville and Anna Halafoff, eds., Terrorism and Social Exclusion: Misplaced Risk–Common Security [Cheltenham: Edwared Elgar Publishing, 2010], pp. 116–135). Lihat paper yang ditulis Kate Barrelle, “Disengagement from Violent Extremism” (http://artsonline.monash.edu.au/radicalisation/ files/2013/03/conference-2010-disengagement-from-violent-extremism-kb.pdf. Diakses pada 2 Agustus 2014).

428 Ibid. 429 Untuk memahami lebih lanjut tentang konsep eksklusi sosial, lihat Amartya Sen, “Social Exclusion: Concept, Aplication,

and Scrutinity” (Social Development Papers No. 1, Office of Environment and Social Development Asian Development Bank, June 2000).

Subtema: Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems | 173

Becoming a Terroist

Individual crossos H

Point at which individual Point at which Violence Threshold : commits to violence individual retreats into

Individual crossos

Alienation Treshold :

∫ = population size a small group of like

minded people

Preparation for attack

Individual is

Begins to

Begins to

society’s

from

with society B Individual joins

a radical Experiences

foundational

D mainstream

group/sect, moderate

values

Blames others

society

Intense period alienation

for alienation

from society

and faled

of in-group

ambitions

socialisation