ANALISIS TENSOR

BAB 11 ANALISIS TENSOR

1. Pendahuluan

Selama ini kita telah mengenal besaran-besaran fisis yang direpresentasikan secara skalar seperti temperatur misalnya, yang hanya memiliki besar, maupun secara vektorial seperti posisi, yang juga mengandung informasi mengenai arah di samping besarnya. Pada dasarnya kedua cara represtasi tersebut (skalar dan vektor), merupakan bagian dari suatu bentuk representasi yang lebih umum yang dinamakan sebagai ”Tensor”. Secara umum besaran-besaran tensor merepresentasikan kuantitas-kuantitas yang disajikan dalam bentuk matriks. Dalam hal ini, besaran skalar yang hanya dinyatakan oleh sebuah kuantitas yang memiliki harga tertentu, dapat dipandang sebagai

tensor yang direpresentasikan oleh matriks 1 × dan dinamakan sebagai tensor rank 1 − 0 yang, dan jelas sedangkan bahwa untuk besaran vektor dapat dipandang sebagai besaran

tensor dengan representasi matriks 1 × 3 atau tensor rank −. 1

Sebagai contoh besaran tensor rank − yang representasinya dinyatakan oleh 2

matriks 3 × 3 adalah tensor tekanan yang dilambangkan dengan P . Misalkan terdapat suatu volume berbentuk kubus yang pada bidang tegak lurus arah sumbu x mengalami tekanan dan geseran, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 1. Terlihat bahwa pada

bidang y − mengalami tekanan z P xx yang merupakan gaya persatuan luas F x A x , bidang y − mengalami tekanan z P xx yang merupakan gaya persatuan luas F x A x ,

tekanan dan geseran yang dimaksud dapat dinyatakan dalam bentuk matriks baris berikut:

( P xx P xy P xz ) (1)

sedangkan luas ketiga sisi tersebut dinyatakan dalam vektor berbentuk bentuk matriks kolom:

⎜ A y ⎟ (2)

Sehingga untuk memperoleh F x dapat dilakukan dengan melakukan operasi berikut: ⎛ A x ⎞

F x = ( P xx P xy P xz ) ⎜ A y ⎟

⎝ A z ⎠ = P xx A x + P xy A y + P xz A z

Perluasan bentuk di atas untuk mendapatkan gaya-gaya dalam arah F y dan F z t

dengan mudah dapat dilakukan dengan membentuk tensor tekanan P sehingga:

Dalam bentuk yang lebih sederhana, bentuk persamaan (3) dapat dituliskan sebagai:

F = P • A (6) Tensor tekanan pada persamaan (5) merupakan salah satu contoh besaran yang direpresentasikan dalam bentuk matriks, beberapa besaran lain didefinisikan dalam F = P • A (6) Tensor tekanan pada persamaan (5) merupakan salah satu contoh besaran yang direpresentasikan dalam bentuk matriks, beberapa besaran lain didefinisikan dalam

2. Indeks Boneka dan Konvesi Penjumlahan Einstein

Kembali kepada persamaan (4), jika kita gantikan indeks x , y dan dalam z r r

penulisan vektor F , A dan tensor P dengan notasi 1, 2 dan 3 berturut-turut dan

selanjutnya kita definisikan indeks-indeks baru i dan j , dimana masing-masing dapat mewakili notasi 1 atau 2 atau 3, maka persamaan tersebut dapat dituliskan dalam bentuk:

F i = ∑ P ij A j (7)

Misal, untuk F x ≡ F 1 , dengan menetapkan i = 1 sedangkan j berjalan dari 1 hingga 3,

maka diperoleh:

F 1 = ∑ P 1 i A j = P 11 A 1 + P 12 A 2 + P 13 A 3 (8)

yang serupa dengan ungkapan pada persamaan (3). Perhatikan bahwa persamaan (7) juga dapat pula dituliskan dalam bentuk:

F j = ∑ P ji A i (9)

Jelas terlihat bahwa dengan menetapkan j = 1 sedangkan kali ini i yang berjalan dari 1

hingga, 3 maka ungkapan (8) dapat diperoleh kembali. Secara khusus, indeks i dan j dinamakan indeks-indeks boneka (dummy indices), indeks boneka tersebut dapat saja

ditulisakan sebagai dan atau a b α dan β dan lain sebagainya. Pada penulisan persamaan (7) terlihat bahwa dalam ungkapan P ij A j indeks j

muncul dua kali secara berurutan. Untuk menyingkat penulisan, telah lazim digunakan suatu konvensi yang dinamakan konvensi penjumlahan Einstein (Einstein summation convention ), yang menyatakan bahwa setiap terdapat dua buah indeks boneka yang muncul berturutan maka secara implisit telah dimengerti bahwa penjumlahan terhadap indeks tersebut berlaku. Dalam konvensi ini penulisan ungkapan (7) adalah berikut:

F i = P ij A j ≡ ∑ P ij A j (10)

Perhatikan bahwa tanda penjumlahan Σ tidak digunakan lagi, karena dua indeks sama yang berurutan telah menunjukan bahwa penjumlahan terhadapnya berlaku.

3. Tensor dalam Koordinat Kartesis

Tidak semua kuantitas yang direpresentasikan dalam bentuk matriks dapat dikategorikan sebagai besaran tensor. Dalam Fisika, tensor memiliki karakter tersendiri yang dikaitkan dengan bagaimana ia bertransformasi dari suatu sistem koordinat ke koordinat yang lain. Untuk dapat menjelaskan bagaimana mendefinisikan sebuah tensor di dalam sistem koordinat kartesis, kita akan terlebih dahulu meninjau definisi vektor dalam koordinat tersebut.

3.1. Definisi Tensor

Tinjau vektor posisi r yang bertransformasi ke secara rotasional ke koordinat kartesis lain yang komponennya dituliskan dalam bentuk berkut:

⎛ x 1 ′ ⎞ ⎛ a 11 a 21 a 31 ⎞ ⎛ x 1 ⎞

⎜ x ′ 2 ⎟ = ⎜ a 12 a 22 a 32 ⎟ ⎜ x 2 ⎟ (11)

⎝ 2 ⎠ ⎝ 13 23 33 x

dengan M adalah matriks rotasi yang bersifat ortogonal dan memenuhi M = M , sehingga dengan demikian invers dari transformasi (11) adalah:

⎛ x 1 ⎞ ⎛ a 11 a 12 a 12 ⎞ ⎛ x 1 ′ ⎞

⎜ x 2 ⎟ = ⎜ a 21 a 22 a 23 ⎟ ⎜ x 2 ′ ⎟ (12) ⎜ x ⎟ ⎜ a a a ⎟ ⎜ ⎟

⎝ 3 ⎠ ⎝ 31 32 33 x 2 1 ′ 42 4 4 43 4 4 ⎠ ⎝ ⎠

dimana T M merupakan transpos matriks M . Telah ditunjukkan dalam Bab 10 bahwa transformasi ini menyebabkan invariannya panjang vektor tersebut:

1 ′ + x 2 ′ + x 3 ′ = x 1 + x 2 + x 3 (13) Dari dapat disimpulkan bahwa terhadap tranformasi ortogonal panjang vektor posisi tidak berubah. Berdasarkan hal ini, maka cukup beralasan jika kita mengatakan

bahwa sebuah kuantitas V dinamakan merupakan vektor kartesis jika ia bertransformasi secara ortogonal mengikuti bentuk (11) dan (12), atau dalam penulisan yang lebih kompak:

V ′ = M V dan V = M V ′ (14) Dengan memanfaatkan penulisan menggunakan indeks boneka, transformasi (14) dapat dinyatakan sebagai:

V i ′ = a ij V j (15)

Dengan memanfaatkan definisi vektor kartesis (tensor kartesis rank − 1 ) di atas, kita dapat mendefinisikan tensor rank 2 − dengan komponen sebagai berikut; tinjau 2 3

tensor T ij , i, j = 1 , 2 , 3 , yang misalkan dapat dituliskan sebagai

T ij = U i W j (16)

Asumsikan bahwa U i dan V j merupakan komponen-komponen dari vektor U dan W

yang bertransformasi secara ortogonal sebagai berikut: U ′ i = a ij U j (17a)

W i ′ = a ij W j (17b) Sehingga dengan demikian, jelas bahwa:

T ij ′ = U i ′ W ′ j = a ik U k a jl W l (18) Dengan mengatur kembali posisi masing-masing suku, persamaan (18) dapat dituliskan

kembali sebagai: T ij ′ = a ik a jl U k W l (19)

Mengingat U k W l = T kl , maka dengan demikian: T ij ′ = a ik a jl T kl (20) Perlu dipertegas bahwa penulisan lengkap persamaan (20) adalah:

T ij ′ = ∑∑ a ik a jl T kl (21)

k == 1 l 1

Khusus untuk tensor (16) yang diperoleh melalui perkalian langsung dua buah vektor, dan secara simbolik dituliskan sebagai:

t T = U ⊗ W (22)

dinamakan sebagai “dyadik” dan lambang “ ⊗ ” menyatakan operasi perkalian langsung atau direct product yang dalam bentuk matriks dituliskan sebagai:

T = ⎜ U 2 ⎟ ( V 1 V 2 V 3 ) = ⎜ U 2 V 1 U 2 V 2 U 2 V 3 ⎟ (23)

Penting untuk dicatat bahwa penulisan transformasi (20) dapat dituliskan sebagai berikut T T

ij ′ = a ik a jl T kl = a ik T kl () a jl = a ik T kl a lj , sehingga dalam bentuk matriks berbentuk:

T ′ aTa = (24)

dimana elemen dari matriks adalah a a ij dan mengingat a =a .

Dapat disimpulkan bahwa kuantitas umum T ij merupakan sebuah tensor kartesis jika transformasinya ke dalam sistem koordinat kartesis lain mengikuti persamaan (20).

Perluasan definisi tensor untuk rank − 3 dapat dilakukan dengan mudah sebagai berikut;

bahwa 3 T

ijk merupakan sebuah tensor rank − 3 , dengan 3 komponen, dalam koordinat

kartesis jika bertransformasi secara ortogonal mengikuti: T ijk ′ = a im a jn a kl T mnl (25)

4. Tensor dalam Sistem Koordinat Umum

Kembali pada bentuk transformasi (11). Tinjau hubungan untuk x′ 1 sebagai

berikut: x 1 ′ = a 11 x 1 + a 12 x 2 + a 13 x 3 (26)

Untuk memperoleh kembali elemen matriks a 11 , a 12 dan a 13 dapat diperoleh lewat

ungkapan turunan parsial berikut:

sehingga transformasi koordinat (11) dapat dituliskan pula dalam bentuk:

⎟ ⎜ x 2 ⎟ (28)

atau atau

Perlu ditekankan bahwa hubungan (28) dan (29) diturunkan untuk kasus dimana hubungan antara komponen dalam sistem koordinat lama dan baru merupakan hubungan yang bersifat linier. Untuk kasus transformasi dari koordinat kartesis ke koordinat silinder

x = r cos θ , y = r sin θ , z = z misalnya, jelas terlihat bahwa hubungannya tidak linier, sehingga dengan demikian hubungan semacam (29) tidak dapat menghubungkan

keduanya. Tetapi, jika kita tinjau kuantitas berikut:

⎛ d x 1 ′ ⎞ ⎛ cos x 2 − x 1 sin x 2 0 ⎞ ⎛ dx 1 ⎞

⎜ d x 2 ′ ⎟ = ⎜ sin x 2 x 1 cos x 2 0 ⎟ ⎜ dx 2 ⎟ (49)

⎠ ⎝ dx

dimana x 1 = r , x 2 = θ dan x 3 = z sedangkan x 1 ′ = x , x ′ 2 = y dan x ′ 3 = z , maka dengan

mudah dapat dilihat bahwa:

sehingga dengan demikian dapat dituliskan:

dx j (51)

Berdasarkan kenyataan ini, kita dapat membuat definisi untuk vektor dalam sistem koordinat umum sebagai kuantitas yang bertransformasi menurut:

V j (52)

Khusus untuk koordinat kartesis, dapat dengan mudah dibuktikan bahwa:

Tetapi hal ini dapat saja tidak berlaku bagi transformasi koordinat umum. Berdasarkan hal ini, dalam sistem koordinat umum kita dapat membedakan jenis vektor terkait dengan bagaimana mereka bertransformasi mengikuti:

V j ∂ (54)

atau

V j (55)

r Jika V bertransformasi menurut persamaan (54), maka vektor tersebut dinamakan vektor

kontravarian, sedangkan jika menurut persamaan (55) dinamakan vektor kovarian. Jelas bahwa berdasarkan kategori tersebut, diferensial dari koordinat umum merupakan komponen dari kontravarian vektor, sebagaimana yang oleh persamaan (51)

Dari sini, serupa dengan pembahasan mengenai definisi tensor kartesis, maka tensor secara umum dalam sebarang koordinat didefinisikan serupa dengan persamaan (20). Lebih khusus lagi berdasarkan klasifiskasi bentuk kovarian dan kontravarian, maka

jenis-jenis tensor rank − 2 misalnya dapat dibagi menjadi: ∂ x ′ i ∂ x ′ j

Tensor kontravarian : T ij ′ =

T mn (56a)

Tensor kovarian : T ij ′ =

T mn (56b)

Tensor campuran : T ij ′ =

T mn ∂ (56c)

Sebagai catatan akhir, pengunaan konsep tensor yang dikaitkan dengan sifat geometri transformasi koordinat banyak dijumpai dalam Teori Relativitas Einstein.