ANALISIS KOMPLEKS

BAB 14 ANALISIS KOMPLEKS

1. Pendahuluan

Pada Bab 2, telah secara singkat dibahas mengenai definisi fungsi kompleks, yang

merupakan fungsi dari variabel kompleks. Misalkan f () z adalah sebuah fungsi kompleks

dengan z = x + iy merupakan variabel kompleks yang dimaksud, dengan variabel x dan y riil, maka fungsi tersebut dapat dipisahkan atas bagian riil dan imajiner-nya sebagai

berikut:

f ()()() z = u x , y + iv x , y (1) dengan u ( x , y ) dan v ( x , y ) merupakan fungsi-fungsi riil dalam bidang kompleks () x , y . Berbeda dengan fungsi-fungsi riil dengan dua variabel, fungsi kompleks tidak dapat

direpresentasikan dalam bentuk grafik. Bab ini memfokuskan diri pada pembahasan mengenai diferensiasi dan integrasi yang terkait dengan fungsi-fungsi kompleks tersebut beserta sifat-sifatnya. Dibandingkan dengan diferensiasi maupun integrasi terhadap fungsi-fungsi riil, untuk fungsi-fungsi kompleks jelas memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi, oleh karena itu apa yang disajikan dalam pembahasan selanjutnya lebih ditekankan pada hal-hal mendasar yang relatif sederhana.

2. Fungsi Kompleks Analitik

Tinjau kembali fungsi kompleks (1). Untuk membuktikan bahwa setiap fungsi kompleks dapat dituliskan dalam bentuk tersebut kita ambil sebagai contoh fungsi

x + iy

f () z = e = e (2)

yang dapat dituliskan kembali sebagai berikut:

f () z = e

x + iy

x iy = e e (3)

cos y + i sin y ) = e cos y + ie sin y

Jelas bahwa dibandingkan dengan persamaan (1) diperoleh:

x u ()

x , y = e cos y , v () x , y = e sin y (4)

Contoh 2.1. Tentukan u dan v untuk f () z = z . Karena z = zz , maka

x + iy )( x − iy ) = x + y . Dengan demikian u = x + y dan v = 0 .

Perhatikan bahwa z tidak lain merupakan jari-jari sebuah lingkaran, sehingga kurva yang dibentuk oleh fungsi tersebut dalam bidang () x , y adalah sebuah lingkaran pula.

Berdasarkan uraian fungsi kompleks dalam bentuk persamaan (1), dapat dengan mudah kita duga bahwa suatu fungsi kompleks adalah analitik, dalam artian kontinu dan memiliki turunan di bidang kompleks terkait, jika turunan-turunan parsial ∂ u ∂ x , ∂ u ∂ y

dan ∂ v ∂ x , ∂ v ∂ y terdefinisi. Sebagaimana halnya untuk fungsi riil, fungsi kompleks dikatakan analitik di titik jika memiliki turunan: z

f ′ () z = = lim

yang berharga tunggal untuk setiap . Selanjutnya definisi turunan pada ruas kanan z persamaan (5) secara eksplisit diberikan oleh:

Δ f f ( x + Δ x , y + Δ y )() − f x , y

Seperti yang diilustrasikan pada Gambar y

1, turunan di titik tersebut dapat didekati dari z

berbagai macam arah. Misalkan untuk seluruh arah turunan tersebut analitik, maka hal tersebut juga berlaku untuk turunan yang dimaksud didekati dari arah sejajar sumbu x dimana

Δy = 0 . Pada kondisi ini, ruas kanan persamaan

x (6) menjadi tereduksi dan dengan mengacu pada

Gambar 1

persamaan (1), diperoleh:

f ( x + Δ x , y )() − f x , y ∂ f ∂ u ∂ v

lim

Di pihak lain, jika titik tersebut dari arah yang sejajar sumbu y diperoleh:

f ( x , y + Δ y )() − f x , y

lim

Jelas, agar kedua limit tersebut memiliki harga yang sama, maka kondisi yang harus dipenuhi adalah:

(9a)

(9b)

Kondisi yang diberikan pada persamaan (9) dinamakan sebagai kondisi Cauchy- Riemann. Mengingat turunan pada titik tersebut berharga tunggal maka jelas bahwa secara umum:

Cara lain yang lebih umum untuk membuktikan hal di atas adalah sebagai berikut;

tinjau turunan total fungsi f () z :

df = dz (11)

Selanjutnya diferensiasi parsial terhadap x dan y menghasilkan:

dz dimana dz dx = 1 dan dz dy = i . Ingat, karena f adalah fungsi dari satu variabel, yakni

z , maka berlaku ∂ f ∂ z = df dz . Dengan demikian dari persamaan (12) diperoleh:

yang tidak lain adalah persamaan (10) dan mengimplikasikan kondisi Cauchy-Riemann (9).

Sebelum melanjutkan pembahasana, berikut adalah beberapa definisi yang perlu dipahami: Sebuah titik di dalam bidang kompleks dikatakan sebagai titik regular bagi z

fungsi f () z jika fungsi tersebut analitik padanya, dan dikatakan sebagai titik singular jika

tidak analitik. Titik singular tersebut dinamakan titik singular terisolasi jika f () z analitik

dalam suatu lingkaran kecil di sekitar titik tersebut.

Terkait dengan karakteristik dan daerah definisi bagi fungsi kompleks f () z ,

berikut adalah beberapa teorema dasar yang berguna bagi diskusi selanjutnya: Teorema I.

Jika di suatu daerah tertutup pada bidang kompleks fungsi-fungsi u () x , y , v ( x , y ) , dan turunan-turunan parsialnya terhadap x dan y kontinu dan memenuhi kondisi Cauchy-Riemann, maka f () z analitik di setiap titik di

dalam daerah tersebut.

Teorema II . Jika f () z analitik di suatu daerah, maka ia memiliki turunan untuk semua orde di titik yang berada pada daerah tersebut, sehingga dapat diuraikan

dalam deret Taylor disekitar sebarang titik z 0 yang berada dalam daerah tersebut. Deret tersebut konvergen disekitar z 0 yang limitnya mendekati titik singular.

Ilustrasi dari pernyataan Teorema II di atas diberikan oleh Gambar 2. Misalkan

dalam daerah R sebuah fungsi f () z analitik dan terdapat satu titik singular di batas

daerah tersebut. Tinjau suatu titik di R dan dua titik z z 0 dan z′ 0 yang masing-masing terkait dengan kurva lingkaran C dan C′ yang berjari-jari z − z 0 dan z − z ′ 0 . Terlihat dalam ilustrasi tersebut terlihat bahwa pada kurva C′ , termasuk didalamnya adalah titik

singular, sehingga titik z′ 0 tidak dapat digunakan sebagai acuan bagi uraian Taylor

terhadap f ( z ) . Sebaliknya titik z 0 dapat digunakan karena tidak ada singularitas

Titik Sin gular

Gambar 2

Teorema III . Jika f ()()() z = u x , y + iv x , y analitik di suatu daerah, maka u dan v memenuhi persamaan Laplace:

2 + 2 = 0 (14a)

2 + 2 = 0 (14b)

Untuk membuktikan Teorema III di atas, tinjau kondisi Cauchy-Riemann (9). Dengan melakukan diferensiasi sekali lagi terhadap u atau v untuk masing-masing variabel teorema tersebut dapat dengan mudah dibuktikan.

z Contoh 2.2. Tinjau f ()

z = e . Buktikan bahwa Teorema III berlaku. Telah

diketahu bahwa untuk fungsi tersebut terkait dengan x u = e cos y dan v = e sin y . Dapat

2 2 dengan mudah dibuktikan bahwa: x ∂ u ∂ x = e cos y dan ∂ u ∂ y = − e cos y .

Sehingga dengan demikian persamaan Laplace (14a) terpenuhi. Melalui cara yang sama dapat diperlihatkan pula bahwa persamaan (14b) untuk juga berlaku. v

3. Integral Kontur

Berbeda dengan definisi integral untuk fungsi riil yang batas-batasnya merupakan bilangan riil, dimana keduanya berada dalam satu garis bilangan, maka untuk integrasi fungsi kompleks batas-batas tersebut berada dalam bidang kompleks yang cara menghubungkannya ada tak-berhingga buah, sebagaimana diilustrasikan oleh Gambar 3.

Secara naif dapat diduga bahwa kontur lintasan y z f

integrasi yang berbeda secara umum membuat

C 1 integral fungsi f () z yang analitik pada lintasan

tersebut berbeda pula. Untuk membuktikannya

C 2 tinjau bentuk integral tertutup berikut

f () z dz = ( u + iv )( dx + iy ∫ ) ∫

= ∫ ( udx − vdy ) + i vdx + udy ∫ ( )

Gambar 3

6, tinjau bagian riil ruas kanan baris kedua persamaan (16):

∫ − ⎜⎜ − dxdy (17) ∫∫

( udx − vdy ) =

C Luas C ⎝ ∂ y ∂ x ⎟⎟ ⎠

Berdasarkan kondisi Cauchy-Riemann (9) dapat dengan mudah dibuktikan bahwa ruas kana integral (17) berharga nol. Melalui cara yang persis sama dapat dibuktikan pula bahwa bagian imajiner ruas kana baris kedua persamaan (16) juga memenuhi kondisi:

∫ ( vdx + udy ) = 0 (18)

Sehingga dengan demikian berlaku teorema berikut: Teorema IV . Misalkan C adalah lintasan dengan kontur tertutup yang tidak saling

berpotongan dan misalkan f () z analitik pada dan didalamnya, maka

intgrasi berikut berlaku:

f () z dz = 0 ∫ (19)

Teorema IV di atas dinamakan sebagai Teorema Cauchy-Goursat. Catat bahwa arah integrasi pada kontur yang terkait adalah searah dengan jarum jam.

Sekarang kita tinjau kontur lintasan yang

diilustrasikan oleh Gambar 4, dimana C 1 + C 3

C 1 dan C 2 + C 3 adalah lintasan-lintasan tertutup. Berdasarkan Teorema Cauchy-Goursat (19):

z i ∫ f () z dz + ∫ f () z dz = 0 (20a)

∫ f () z dz + ∫ f () z dz = 0 (20b)

Gambar 4

Jelas persamaan (20) mengimplikasikan bahwa:

∫ f () z dz = ∫ f () z dz (21)

Sehingga dengan demikian integral fungsi tersebut tidak bergantung pada lintasan yang diambil. Secara khusus integral dalam bidang kompleks yang terdefinisi pada suatu lintasan dinamakan sebagai “Integral Kontur”, yang mirip dengan integral lintas dalam Bab 6 mengenai analisis vektor.

1 +i

Contoh 2.3. Tinjau integral z dz dengan mengambil lintasan pertama C 1 ∫ adalah

0 → 1 → 1 + i dan lintasan kedua C 2 adalah garis miring 0 →1 + i . Tuliskan bentuk

inetgral yang dimaksud dalam bentuk berikut:

∫ ( x + iy )( dx + idy )( = ∫ xdx − ydy )( + i ydx + xdy ) (i)

Perhatikan bahwa batas-batas untuk x dan

z f =1 + i y adalah riil. Selanjutnya tinjau untuk

1 lintasan C

1 yang terbagi atas 0 → 1 dan

1 → 1 + i . Evaluasi integral (i) untuk

C 1 lintasan 0 → 1 dengan mengingat untuk

lintasan tersebut tersebut dy = 0 dan z i = 0 1 x

y = 0 diperoleh:

Gambar 5

xdx = x = ∫ (iii)

Sedangkan untuk lintasan 1 →1 + i , sebagaimana terlihat pada Gambar 5, dx = 0 , x = 1 , dan batas y adalah y = 0 sampai 1, sehingga:

( − y + i ) dy = ⎜ − y + iy ⎟ = − + i ∫ (iv)

0 ⎝ 2 ⎠ 0 2 Hasil akhir integrasi adalah jumlah dari integrasi untuk lintasan 0 → 1 dan 1 →1 + i :

z dz = − + i = i ∫ (v)

Berdasarkan Gambar 5, untuk lintasan C 2 , hubungan antara y dan x diberikan oleh y = , dengan x dy = dx sehingga integral terkait yang harus diselesaikan adalah:

∫ ( xdx − ydy )( + i ydx + xdy ) = i ∫ 2 xdx = ix = i (vi)

sama dengan hasil integrasi untuk lintasan C 1 . Terbukti bahwa pemilihan lintasan tidak mempengaruhi hasil akhir integrasi. Berdasarkan hal ini, integrasi langsung integral

1 +i

z dz ∫ juga memberikan hasil yang sama:

= () 1 + i = i ∫ (vii)

z dz = z

4. Integral Cauchy

Pada perumusan Teorema Cauchy-Goursat (19) pada daerah yang ditutupi oleh

kontur C fungsi f () z bersifat analitik pada batas dan didalamnya. Sekarang tinjau

bentuk integral berikut:

f () z

dz (22)

dengan f () z analitik pada dan di dalam C serta z 0 ∈ C . Jelas bahwa fungsi

f ()( z z − z 0 ) memiliki singularitas pada daerah tersebut. Untuk memecahkan bentuk

integral semacam itu, tinjau bentuk kontur yang diberikan oleh Gambar 6.

Gambar 6

Kontur pada Gambar 6 terdiri atas gabungan lintasan-lintasan C + C + + C − + C 0 ,

d imana C + dan C − adalah lintasan yang saling berlawanan, sedang kan C 0 berbentuk

lingkaran te rputus de ngan jari-jari r dengan arah putaran searah jarum jam, sehingga z

pada lingkaran tersebut dapat dituliskan sebagai

Berdasarkan pe milihan kontur tersebut jelas bahwa:

f () z

d z = 0 ∫ (25)

karena melalui pemilihan tersebut z 0 berada di luar kontur. Selanjutnya, integral (25) dapat diuraikan menjadi:

f () z

f () z

f () z

f () z

dz + ∫

dz + ∫

dz + ∫

dz = 0 (26)

Berdasarkan penulisan dalam bentuk polar (23), inetgral ke empat pada ruas kiri z persamaan (26) dapat dituliskan menjadi:

f z 0 + re

re d ϕ = i f ( z 0 + re ) d (27)

C 0 re

Jika parameter pada rentang Δ ϕ (24) diambil Δ → 0 , maka konsekuensinya, dua lintasan yang saling berlawanan C + dan C − menjadi berimpit dan integrasi keduanya menjadi:

f () z

f () z

dz +

dz = 0 (28)

Sebagai konsekuensinya:

f () z

( z 0 + re ) d ϕ = i f ( z 0 + re ) ∫ d ϕ (29)

i dz = − i f ϕ ∫ ϕ ∫

Perhatikan bah wa tanda negatif pada ruas kanan persamaan (29) meng akibatkan kontur berubah arah dari searah jarum jam menjadi berlawanan arah jarum jam, sama dengan

ruas kiri, yang dilambangkan oleh perubahan simbol lintasan dari C 0 → C 0 ′ . Di pihak

lain, jika diambil r → 0 , maka f () z → f () z 0 , sehingga persamaan (29) berubah

menjadi:

f () z

dz = 2i π f () z 0 (30)

C z − z 0 Perlu ditekankan bahwa pada lim it Δ → 0 dan r → 0 , lintasa n C menjadi tertutup dan

lintasan lainnya dapat dikatakan hilang, sehingga ruas paling kiri integral (29) menjadi integral tertutup.

Teorema V . Misalkan f () z analitik pada dan di dalam kontur tertutup C , maka nilai

f () z 0 dim ana z 0 berada didalamnya diberikan oleh:

1 f () z

f () z 0 =

dz (31)

Integral pada ruas kanan persam aan (31) dinam akan sebagai Integral Cauchy. Perhatikan bahwa ketika mengevaluasi integral tersebut yang perlu diketahui adalah nilai

fu ngsi f pada lintasan tertutup C dan sebagai hasilnya diperoleh nilai fungsi tersebut

pada titik yang bukan berada pada lintasan tersebut, tetapi di dalam daerah yang dilingkupinya.

2 Contoh 2.4. Misalkan f ()(

z = z + i ) , tentukan f () 1 . Ambil sebagai kontur

tertutup lingkaran berjari-jari 1, yang dalam koordinat polar dapat dituliskan sebagai z i R ϕ

= i e dan dz = iR e ϕ

d ϕ , de ngan R = 1 . Dapat dibuktikan bahwa titik z = 0 berada

didalamnya dan f () z analitik pada daerah tersebut. Kemudian nyatakan dalam

representasi Euler i = e , sehingga in tegra l Cauchy (31) menghasilkan (buktikan!):

iR e = ϕ d

Hasil yang sama dapat diperoleh dengan jalan mensubstitusikan langsung z = 0 pada

fungsi yang ditinjau: 2 f ()

0 =i = − 1 .

5. Deret Laurent

Tinjau kembali fungsi kompleks f () z . Mirip dengan uraian Taylor untuk fungsi

riil, terhadap fungsi kompleks tersebut dapat pula dilakukan uraian semacam nya dalam bentuk sebagai berikut:

f () z = ∑ c n ( z − z 0 ) + ∑

n (32)

Deret (32) dinamakan sebagai deret Laurent dan deret dengan koefisien d n dinamakan

sebagai bagian utama de ret tersebut. Jelas terlihat bahwa analitik atau tidaknya f () z di

z = z 0 ditentukan oleh kehadiran koefisien d n . Sedangkan syarat bagi keberadaan deret Laurent m enghendaki konvergensi dari deret yang bersangkutan dalam suatu rentang

modulus z − z 0 . Misalkan f () z memiliki beberapa n − buah titik singula r z 1 , z 2 ,..., z n ,

dimana untuk masing-masing titik singular terkait dengan sebuah lingkaran berjari-jari R n = z n , sebagaimana yang diilustrasikan dalam Gambar 7. Maka dalam rentang antar

lingkaran terdekat memiliki deret Laurent yang berbeda.

Gambar 7

Jika koefisien d n untuk semua , maka jelas fungsi n f analitik di z = z 0 . Jika te rdapat sejumlah buah suku dengan n d n ≠ 0 , ma ka dikatakan fungsi tersebu t me miliki k utub berorde n dan jika hanya ada satu buah kutub yakni n = 1 , f dikatak an me miliki kutub sederhana dan koefisien d 1 dinam kan sebagai residu dari a f di z = z 0 . Sela in itu, jika ada tak berhingga d n ≠ 0 , maka f dikatakan memiliki singularitas esens ial.

Untuk lebih memperjelas, tinjau sebagai contoh fungsi berikut:

( ) ( )( ) z z − 1 z − 2

Terlihat bahwa fungsi tersebut m miliki tiga buah titik singular ya ni di e k z = 0 , z = 1 dan

z = 2 . Sehingga dengan demikian rentang deret Laurent yang perlu dicari adalah un tuk

(i) 0 < z < 1 , (ii) 1 <z < 2 dan (iii) z > 2 . Untuk rentang 0 <z < 1 , agar memudahkan ubah penulisan fungsi (33) menjadi:

f () z =

z ⎢⎣ z − 2 z − 1 ⎥⎦

Lalu lakukan uraian sebagaimana untuk uraian Taylor di sekitar z = 0 , sehingga

diperoleh:

f () z =

+ z + z + z .... = + z + z .... +

z ⎢⎣ 2 4 8 16 ⎥⎦ 4 8 16 2 z

Jelas dari bentuk deret Laurent (35) bahwa untuk rentang 0 <z < 1 , f () z memiliki

kutub sederhana dengan residu d 1 = 1 2 . Sebelum kita membahas untuk rentang

1 <z < 2 , ada baiknya ditinjau terlebih dahulu kasus rentang z > 2 . Jika secara naif kita lakukan u raian sebagaimana untuk kasus 0 <z < 1 , maka deret yang dihasilkan

akan divergen. Oleh karena itu, lakukan pengubahan berikut terhadap fungsi (33):

f () z = 2 ⎢

dengan z ~= 1 z . Selanjutnya kembali lakukan uraian untuk fungsi di dalam kurung siku

pada ruas kanan persam aan (36) di sekitar ~= z 0 seperti yang dilaku kan untuk persamaan

(35) dan diperoleh deret Laurent yang terkait sebagai berikut:

f () z = 3 + 4 + 5 + 6 + ..... (38)

Dari der et terse but segera terlihat bahwa untuk rentang z > 2 pada z = 0 , f memiliki singularitas esensial. Selanjutnya, untuk rentang 1 <z < 2 , ubah terlebih dahulu bentuk

fungsi (33) menjadi:

f () z = ⎢

dengan z ~= 1 z . Pemilihan ini dilakukan karena untuk rentang tersebut fungsi ( z − 2 )

konvergen, sedangkan ( z − 1 ) divergen, dan sebaliknya fungsi ( 1 −z 1 ) konvergen.

Kembali melalui cara yang sama diperoleh deret Laurent yang dimaksud:

f () z = ⎢ − − z − z − z + .... − ⎛+ ⎜ 1 +

z − z + .... − −

4 8 16 2 z

yang juga memiliki singularitas esensial di z = 0 dan residu d 1 = − 1 2 . Secara umum, untuk memperoleh koefisien c n dan d n dari f () z dapat diperoleh

dengan mengevaluasi integral berikut:

1 f () z

n + 1 dz (41a)

1 f () z

n + 1 dz 2 (41b) i π −

6. Teorema Residu

Perhatikan k embali inte al Cauchy (31) yang dtul gr iskan dalam bentuk berikut:

∫ F () z dz = 2 i π f () z 0 (42)

dengan F () z merupakan fungsi yang didalamnya mengandung singularitas tunggal di

titik z = z 0 yang dapa t berupa kutub sederhana atau singularitas esensial. Secara umum jika fungsi F tersebut memiliki kutub sederhana maka ia dapat diuraiakan menjadi de ret

Laurent berikut:

F () z = ∑ c n ( z − z 0 ) +

dan

F () z = ∑ c n ( z − z 0 ) + ∑

n (44)

jika memiliki sin gularitas esensial. Substitusikan uraian (43) ke dalam integral (42) diperoleh:

∫ F () z dz = ∑∫ c n ( z − z 0 ) dz + ∫

dz = 2 i π f () z 0 (45)

C n = 0 C 1 42 4 43 4 C z − z 0

Perhatikan bah wa integral pertama pada ruas tengah persam aan (45) nol berdasarkan Teorema Cauchy-Goursat (19), sehingga:

dz = 2 i π f () z 0 (46)

Kemudian kem udian kita evaluasi integral ruas kiri pada persamaan (46 ) di atas dengan

mengambil kontur i C dengan bentuk lingkaran berpusat di ϕ

z 0 dengan z = z 0 + R e dan

dz = iR e d ϕ , sehingga:

i iR e d ϕ = i d = 2 z i ∫ π ∫ (47) ϕ

dz =

sehingga:

d 1 = f () z 0 (48)

Jelas terlihat bahwa f () z 0 tidak lain adalah residu dari uraian Laurent terkait.

Sekarang tinjau untuk uraian Laurent dengan singularitas esensial. Melalui cara yang sama diperoleh:

∫ F () z dz =

n dz = 2 ∑∫ i π f () z 0 (49)

Selanjutnya ura kan integ i ral pada ruas tengah sebagai berikut:

n dz +

n dz = 2 i π f () z 0 (50) n dz = 2 i π f () z 0 (50)

d n n in iR e d ϕ = ∑∫ id

∑∫ n n − 1 i () n − 1

ϕ d ϕ (51)

Selanjutnya tuliskan kembali integral ruas kanan persamaan (51 ) dalam bentuk berikut:

i () n − 1 ϕ

id n

∑ n − 1 ∫ e d ϕ = ∑ n − 1 ∫ cos [ ( n − 1 ) ϕ ] − i sin [ ( n − 1 ) ϕ ] d ϕ = 0 (52)

Sehingga dengan demikian diperoleh kembali untuk kasus dengan singularitas esensial

F () z 0 = d 1 . Dengan cara yang serupa diperoleh pula hasil yang sama untuk kasus dengan

kutub berorde n .

y z 01

z 02 1 z

x Gambar 8

Dari sini jelas, khusus untuk kasus dengan kutub sederhana, selain dengan m enguraikannya melalui uraian Laurent, salah satu cara untuk memperoleh residu yang dim aksud dapat diperoleh melalui hubungan:

lim ( z − z 0 )() F z = f () z 0 (53)

M isalkan F () z dapat dinyatakan sebagai:

g () z

F () z =

h () z

dan lim h () z = 0 , maka residu dapat diperoleh dengan menggunakan aturan L’Hôpital: dan lim h () z = 0 , maka residu dapat diperoleh dengan menggunakan aturan L’Hôpital:

z → z 0 h ′ () z

Melalui cara yang sama, dapat dilakukan perluasan ke kasus dimana dalam kontur

yang ditinjau fu ngsi F () z memiliki n − b uah singulari tas. Untuk itu tinjau Gambar 8,

yang mi rip dengan Gambar 6, dengan n − buah kutub yang masing-masing diisolasi oleh lingkaran C n . Seperti halnya ketika merumuskan integral Cauchy (31), untuk kasus ini

didapatkan bahw a:

∫ F () z dz = 2 i π [ f ()() z 01 + f z 02 + .... + f () z 0 n ] (56)

dimana f () z 0 n adalah residu dari deret Laurent yang terkait dengan titik singular z 0 n . Pernyataan bahwa nilai in tegral kontur untuk fungsi F () z , dimana dalam kontur tersebut te rdapa t sejumlah singularitas, sama dengan 2 i π dikalikan dengan jumlah residu

dinamakan Teorema Res idu. Jika s em ua titik singular tersebut merupakan kutub sederhana, maka residunya dapat dicari me lalui hubungan (53)

7. Contoh P nerapan dalam Fisika e

Di dalam m emecahkan problem-probelem Fisika, kadang kala kita dihadapkan dengan bentuk- bentuk integral yang tidak dapat dipecahkan melal ui teknik-teknik baku yang sudah umum dikenal. Perumusan integral kontur baik dalam bentuk integral (19) dan (30) maup un teorema residu (56), sering kali dapat digunakan untuk memecahkan integral-integral tersebut.

Salah satu bentuk fungsi yang kerap diju mp ai seperti dalam spektroskopi infra merah atau pun persoalan difraksi Fraunhoffer adalah fungsi kardinal sinus (sinus cardinal ) atau “sinc” yang secara sederhana dituliskan sebagai b erikut:

sinc () x =

sin x

Fungsi tersebut, melalui aturan L’Hôpital memiliki limit:

Dalam persoalan difraksi Fraunhofer misalnya, fungsi tersebut muncul berkaitan dengan pola intensitas gelombang cahaya pada layar akibat kehadiran bukaan optik berbentuk celah, sebagaimana yang diilustrasikan pada Gambar 9.

2 I ~ sinc () ξ

Gambar 9

Total radiasi yang terdifraksi dapat dihitung dengan memecahkan integral berikut:

sin 2 ξ

∫ 2 d ξ (59)

d engan ξ adalah variabel posisi dan I intensitas. Melalui teknik integrasi perbagian,

2 y 2 akni d eng an mengambil u = sin ξ dan dv = 1 ξ , integral (59) dapat diubah menjadi:

Ruas kanan persamaan (60) dapat dituliskan kembali sebagai:

sin 2 ξ

dx ∫ (61)

sin x

dengan x = 2 ξ ,

IV II

I III

Gambar 10

Untuk memecahkannya ruas kanan integral (61), kita dapat lakukan dengan meninjau integral kontur berikut:

e iz

dz = 0 ∫ (62)

dengan kontur C yang dipilih diberikan pada Gambar 10. Kontur tersebut dipilih agar ti tik singula ritas di z =z 0 = 0 tidak berada dalam daerah yang dilingkupinya, sehingga

in tegral (62) berlaku.

Berdasarkan pola kontur yang dipilih tersebut, maka integral (62) dapat diuraikan m enjadi beberapa bagian, yang terkait dengan lintasan-lintasan pada Gambar 10, sebagai

b erikut:

∫ dx + ∫ i ϕ ire d ϕ + ∫ dx + ∫ i ϕ iR e d ϕ = 0 (63)

Selanjutnya tinjau integral yang terkait dengan lintasan II dengan mengambil limit r → 0 diperoleh:

i ∫ e d ϕ = i ∫ d ϕ = − i π (64)

r → 0 r → π 0 re π

dan tinjau pula integral untuk lintasan IV dengan mengambil limit R → ∞ :

iR e d ϕ ϕ lim = i e d ϕ (65)

dengan m enuliskan R exp () i ϕ = R cos ϕ + iR sin ϕ diperoleh

iR exp () i

iR cos − R sin

lim i e ϕ d ϕ = lim i e ϕ e ϕ d ϕ = 0 (66)

Sehingga dengan demikian untuk kedua limit, r → 0 dan R → ∞ , persamaan (63) menjadi:

e ix

dx − ∫ i π = 0 (67)

Dengan mengambil bagian imajiner persamaan (67) diperoleh: Dengan mengambil bagian imajiner persamaan (67) diperoleh:

dx = π (68)

Perlu ditekankan di sini, bahwa pengambilan kont ur C yang diberikan pada

Gambar 10 bukanlah satu-satunya bentuk yang dapat diambil. Kita dapat pula mengambil kontur lain sepe rti yang diberikan dalam Gambar 11. Perhatikan, da lam integral kontur terkait bentuk integral yang dicari masing ditampung didalamnya.

IV

r III

II Gambar 11

Berbeda dengan kontur sebelumnya, dalam kontur pada Gambar 11 z 0 berada di

dalam daerah yang dilingkupinya, sehingga kita dapat menggunakan teorema residu:

∫ F () z dz = 2 i π f () z 0 (69)

d iz engan F ()

z = e z dan f () z 0 = lim z F () z = 1 karena z = 0 adalah kutub sederhana.

In tegral untuk masing-masing lintasan diberikan oleh:

∫ i ire d ϕ dx ϕ + ∫ + ∫ i ϕ iR e d ϕ = 2 i π (70)

P erhatikan bahwa berbeda dengan integral (63), integral untuk lintasan

II memiliki batas dari ϕ = sampai π π 2 , dan melalui cara yang sama, untuk limit r → 0 dan R → ∞

diperoleh:

e ix

∫ dx + i π = 2 i π (71)

sehingga jelas persamaan (67) dan (68) dapat dihasilkan kembali.

S ekali lagi, sebagai catatan akhir, pemecahan bentuk integral-integral tertentu melalui penggunakan integral kontur membutuhkan tingkat kecermatan yang baik dalam memilih fungsi kompleks terkait dan bentuk konturnya s edemikian rupa sehingga bentuk integral yang dimaksud ditampung dalam pilihan tersebut. Ketepatan pemilihan akan memudahkan kita dalam melakukan evaluasi.