TRANSFORMASI INTEGRAL
BAB 15 TRANSFORMASI INTEGRAL
1. Pendahuluan
Pada bab ini dibahas konsep transformasi fungsi dari suatu variabel ke variabel
lainnya dengan menggunakan operator integral. Misalkan f () u merupakan fungsi dari variabel u yang ingin ditransformasikan menjadi fungsi F () s dengan variabel , maka s
transformasi integral yang dimaksud didefinisikan sebagai:
T [] f () t a F () s (1)
dimana:
T [] f () t ≡ Κ ()() s , t f t dt ∫ (2)
dengan t i dan t f merupakan batas-batas integrasi dan Κ () s , t dinamakan sebagai
“fungsi kernel” bagi transformasi yang terkait. Secara khusus jika bentuk fungsi kernel yang digunakan berbentuk:
Κ, () s t ≡ Κ ( s ± t ) (3)
maka untuk tanda negatif pada argumen ruas kanan (16) transformasi integral tersebut dinamakan sebagai integral konvolusi dan integral korelasi untuk tanda positif.
Pada dasarnya, bentuk transformasi integral di atas dapat dipandang sebagai suatu cara untuk merepresentasikan fungsi ke dalam bentuk lain, tergantung dari fungsi kernel terkait, agar diperoleh bentuk yang secara matematis lebih mudah ditangani. Ada banyak macam transformasi integral dalam matematika seperti transformasi Laplace, Fourier, Weierstrass, Mellin dan lain sebagainya. Dalam Fisika, di antara semua transformasi tersebut, transformasi Laplace dan Fourier adalah yang seringkali dijumpai. Sebagai contoh, keduanya banyak digunakan dalam untuk memecahkan persamaan diferensial. Pada bab ini kita hanya akan meninjau kedua jenis transformasi tersebut.
2. Transformasi Laplace
Fungsi kernel untuk transformasi Laplace didefinisikan sebagai berikut:
− st
Κ, () s t = e (4) Κ, () s t = e (4)
− st
F () s = ∫ e f () t dt (5)
dimana s > 0 . Untuk memudahkan penulisan, diperkenalkan notasi berikut:
F = L {} f (6)
yang menyatakan bahwa fungsi F merupakan transformasi Laplace fungsi f . Sebagai contoh sederhana dari tansformasi ini kita tinjau fungsi f () t = t . Melalui
integral per bagian diperoleh:
⎡ t − st 1 − st ⎤
F () s = lim
= lim − e + 2 ( 1 − e (7)
⎢⎣ s
Sehingga dengan demikian diperoleh:
L {} t = 2 = F () s (8)
Contoh 2.1. Tentukan transformasi Laplace f () t = sin t . Kembali dengan
menggunakan teknik integral per bagian diperoleh:
= lim 2 [ − s e sin t − e cos t + 1 ] − lim
− st
− st
e sin t ∫ dt
1 − st
Dengan melakukan sedikit manipulasi diperoleh:
lim 2 ∫ e sin t dt = lim [ − s e sin t − e cos t + 1 ] (ii)
− st
1 − st
− st
atau
− st
− st
− s e sin t − e cos t + 1 ⎤
− st
lim e sin t dt lim
(iii)
Sehingga diperoleh:
∫ (iv) = 2
L {} sin t = 2 (v)
Pada prinsipnya, melalui cara yang sama dengan di atas atau dengan teknik khusus lainnya dapat diperoleh transformasi Laplace dari sebuah fungsi. Berikut adalah beberapa contoh hasil transformasi tersebut:
L {} a = (9a)
L { sin at } = 2 2 (9b)
L { cos at } = 2 2 (9c)
L { sinh at } = 2 2 (9d)
L { cosh at } = 2 2 (9e)
⎧ sinc at ⎫
⎬ = arctan
(9f)
L {} e = , s +a > 0 (9g)
− at
dimana adalah konstanta. Untuk fungsi-fungsi yang lain dapat dilihat pada tabel yang a tersedia di buku teks standar. Karena transformasi Laplace adalah transformasi linier,
maka untuk f () t = ∑ f n () t berlaku:
L {} f = ∑ F n () s (10)
dengan F n = L {} f n .
Contoh 2.2. Tentukan transformasi Laplace f () t = 1 − cosh t . Berdasarkan
linieritas transformasi Laplace diperoleh:
L { 1 − cosh t }{}{ = L 1 + L − cosh t }
Salah satu hal yang penting untuk dipelajari adalah transformasi Laplace terhadap fungsi turunan y & = dy dt :
L () y & = e y & () t dt ∫ (11)
− st
− st
Misalkan untuk integral per bagian u = e dan dv = y &
− st
dt , sehingga du = − s e dan
v = , diperoleh: y
− st
& ∞ − st
e y dt = e y + s e y dt ∫ (12) 0 ∫
− st
Suku pertama pada ruas kanan persamaan (12) memberikan:
e y 0 = − y () 0 = − y 0 (13) dengan y () 0 ≡ y 0 adalah kondisi awal untuk y , sedangkan suku keduanya tidak lain
− st ∞
adalah:
e y dt = L () y = Y () s ∫ (14)
− st
Sehingga dengan demikian diperoleh:
L () y & = sY () s − y 0 (15)
Melalui cara yang sama diperoleh:
2 L () &
y & = s Y () s − sy 0 − y & 0 (16)
Jelas berdasarkan transformasi Laplace (15) dan (16) serta sifat linieritas transformasi Laplace kita dapat mengaplikasikannya untuk memecahkan persamaan diferensial biasa (PDB).
Sebagai contoh, tinjau PDB berikut: t y & & +& y = e (17)
Terapkan transformasi Laplace untuk PDB (17) tersebut dan berdasarkan persamaan (9g), (15) dan (16) diperoleh: Terapkan transformasi Laplace untuk PDB (17) tersebut dan berdasarkan persamaan (9g), (15) dan (16) diperoleh:
Misalkan dan y 0 = 1 y & 0 = 0 , maka:
s ( s + 1 )( Y − s + 1 ) =
sehingga solusinya adalah:
Y () s = 2 (20)
Terlihat bahwa fungsi Y () s pada persamaan (20) di atas, sesuai dengan transfomasi
Laplace pada persamaan (9c) untuk a = 1 , sehingga dengan demikian solusi bagi PDB
(17) diberikan oleh:
y () t = cosh t (21)
Dari sini jelas bahwa transformasi Laplace dapat digunakan untuk memecahkan PDB. Tetapi perlu dicatat bahwa tidak semua PDB dapat dengan mudah diselesaikan melalui metode ini, mengingat untuk mencari transformasi balik bagi fungsi dalam domain s ke t tidak selalu mudah.
Prosedur baku untuk mencari invers dari
C 2 transformasi Laplace ialah dengan menggunakan
C 1 formulasi integral Bromwich. Tanpa membahas
penurunannya, misalkan F () s adalah fungsi yang
ingin dicari invers transformasi Laplace-nya,
maka berdasarkan formulasi tersebut fungsi f () t dapat dicari dengan memisalkan F () s → F () z
dimana z = x + iy dan selanjutnya melakukan evaluasi terhadap integral Bromwich berikut:
f () t =
F () z e dz (22)
Gambar 1
untuk t > 0 . Lintasan bagi integral Bromwich tersebut adalah suatu garis lurus C 1
vertikal dengan panjang tak-hingga sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1. Berdasarkan apa yang telah kita pelajari mengenai analisis kompleks pada Bab 14, kita vertikal dengan panjang tak-hingga sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 1. Berdasarkan apa yang telah kita pelajari mengenai analisis kompleks pada Bab 14, kita
setengah lingkaran dengan jari-jari R → ∞ . Selanjutnya dengan menguraikan integral terkait untuk masing-masing lintasan dan memanfaatkan teorema residu diperoleh:
zt ∫ F ()
zt
zt
z e dz = F () z e dz F z e ∫ dz + () = 2 i × ∫ jumlah semua residu (23) π
C 1 2 42 43
→ 0 untuk R → ∞
Dengan membandingkan persamaan (23) dengan (22) dapat disimpulkan bahwa:
zt f ()
t = jumlah semua residu dari F () z e (24)
Kembali perlu diingatkan bahwa selain dari formulasi integral Bromwich di atas, cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan memanfaatkan tabel transformasi Laplace walaupun dibutuhkan kecermatan dalam melihat bentuk transformasi balikan yang dicari.
Contoh 2.3. Tentuk invers dari F () s =s . Untuk menentukannya tinjau fungsi
kompleks berikut F () z =z , yang memiliki sebuah singularitas di z = 0 . Deret Laurent
zt
untuk fungsi 2 e z adalah:
zt
2 = 2 + + + z + .... (i)
Terlihat bahwa residu dari deret tersebut adalah , sehingga dengan demikian t f () t yang
dimaksud adalah f () t = t .
3. Transformasi Fourier
Sedikit berbeda dengan transformasi Laplace, tinjau untuk transformasi Fourier fungsi kernel berikut:
Κ, () t ω = e (25)
dengan t i = −∞ dan t f = ∞ dan transformasi yang dimaksud diberikan oleh:
f () t = g () ω e ω d ω = F {} g ∫ (26)
dimana ω merupakan varibel riil dan ungkapan F {} g menotasikan transformasi Fourier.
Berbeda dengan invers transformasi Laplace yang terkait dengan integral Bromwich (22), maka invers dari transformasi (26) diberikan oleh (tanpa pembuktian): Berbeda dengan invers transformasi Laplace yang terkait dengan integral Bromwich (22), maka invers dari transformasi (26) diberikan oleh (tanpa pembuktian):
f () t e dt (27)
dimana kedua fungsi f () t dan F () s memenuhi teorema Parseval:
∫ g () ω d ω =
f () t dt (28)
Untuk kemudahan, selanjutnya kita akan menggunakan tanda positif untuk argumen fungsi eksponen pada transformasi Fourier (26) dan negatif untuk inversnya (27).
Misalkan kita ganti variabel boneka pada persamaan (27) dan menuliskannya kembali sebagai berikut:
g () ω =
f () s e ω ds (29)
Selanjutnya sunstitusikan kembali ke persamaan (26):
f () t =
1 i ω () t − s
f s e dsd ω (30)
Jelas agar konsistensi transformasi Fourier terjaga, maka kondisi (30) harus terpenuhi. Perhatikan bahwa untuk invers transformai Fourier terdapat faktor 1 2 π pada
kondisi konsistensi (30) yang diberikan yang mengakibatkan integral (26) dan (27) tidak simetri. Jika persamaan (30) diatur kembali penulisannya menjadi:
1 ⎡ 1 i ω () t − s ⎤
f () t =
∫ f () s e ds ⎥ d ω (31)
maka kita dapat mendefinisikan transformasi Fourier yang simetrik terhadap inversinya dengan mendefinisikan kembali ungkapan (26) dalam bentuk:
f () t =
g () ω e d ω (32)
dan inversnya diberikan oleh:
g () ω =
∫ f () t e dt 2 (33)
Kembali pada transformasi Fourier (26). Terlihat bahwa fungsi kernel exp ( ± i ω t )
tidak lain merupakan fungsi harmonik tunggal dengan ω merupakan variabel frekuensi,
sehingga dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa fungsi f () t pada persamaan (26)
merupakan penjumlahan linier atas tak-hingga buah fungsi harmonik dengan rentang
frekuensi sudut − ∞ < ω < ∞ dimana g () ω merupakan amplitudonya. Jelas bahwa
konsep transformasi Fourier dapat digunakan untuk melakukan analisis spektral dari
suatu sinyal, yang secara umum tidak periodik. Sebagai contoh tinjau fungsi g () ω
berikut:
g () ω = ⎨
⎪⎩ 0 ω > a 4
Berdasarkan persamaan (26), integral yang terkait dapat diuraikan menjadi:
0 ⋅ e d ω + 1 ⋅ e d ω + 0 ⋅ e d ω = 1 ⋅ e d ω ∫ (35) ∫ ∫ ∫
Selanjutnya dengan mengevaluasi ruas kanan persamaan (31) diperoleh:
e − e 2 sin ( a t 2 )
Sehingga dengan demikian didapatkan:
2 sin ( a t 2 )
f (){} t = F g =
= 4 a sinc ( a t 2 ) (37)
Selanjutnya kita akan meninjau transformasi Fourier untuk fungsi yang memiliki
sifat simetri khusus yakni fungsi genap (even) g e () ω dan fungsi ganjil (odd) g o () ω yang
masing-masing memiliki sifat:
g e () − ω = g e () ω (38a)
g o () − ω = − g o () ω (38b)
Untuk fungsi genap g e () ω , transformasi Fouriernya dapat dituliskan dengan mengubah
fungsi eksponen dalam bentuk Eulerian sebagai berikut:
f () t = ∫ g e () ω cos ω t d ω + i ∫ g e () ω sin ω t d ω (39)
Integral kedua pada ruas kanan persamaan (39) menjadi nol karena fungsi sin ω t merupakan fungsi ganjil dengan sifat seperti (38b), sehingga:
f () t = f e () t = g e () ω cos ω d ∫ 2 t ω =
∫ (40) g e () ω ω t d ω
cos
Perhatikan, integral pada ruas kanan persamaan (40) adalah konsekuensi dari simetri yang dimiliki. Di pihak lain, invers dari transformasi (40) sesuai dengan persamaan (27) adalah:
g e () t = ∫ f e () t cos ω t dt = ∫ f e () t cos ω t dt (41)
Sehingga, serupa dengan persamaan (30), kondisi konsistensi terkaitnya adalah:
f e () t = f e () s cos ω s ⋅ cos ω t ds d ω (42)
Terlihat bahwa faktor didepan integral pada ruas kanan adalah 2 π . Kembali dengan
mengatur penulisannya dalam bentuk berikut:
f e () t = ∫∫ ⎢ f e () s cos ω s ds ⎥ cos ω t d ω (43)
Dari sini jelas bahwa untuk fungsi genap, kita dapat mendefinisikan transformasi Fourier kosinus dan inversnya sebagai berikut:
f e () t = ∫ g e () ω cos ω t d ω (44a)
g e () ω = ∫ f e () t cos ω t dt (44b)
Melalui cara yang sama, untuk fungsi ganjil berlaku transformasi Fourier sinus berikut:
f o () t = g ∫ o () ω sin ω t d ω (45a)
g o () ω = f t sin t ∫ (45b) o () ω dt
Dapat dengan mudah diperlihathan bahwa untuk fungsi pada persamaan (37) dapat pula diperoleh dari transformasinya melalui persamaan (44a).
4. Fungsi Delta Dirac
Pada pembahasan mengenai transformasi Fourier masih tersisa persoalan tentang kondisi konsistensi sebagaimana yang diberikan pada persamaan (30). Untuk itu kita tinjau kembali persamaan tersebut dengan menuliskannya dalam bentuk berikut:
f () t = ∫ f () t
e d ω ⎥ dt 0 (46)
Perhatikan integral dalam kurung siku pada ruas kanan persamaan (46). Kita dapat mendefinisikan sebuah fungsi:
e 0 d ω (47)
sehingga persamaan (46) menjadi:
f () t = ∫ f ()( t 0 δ t − t 0 ) dt 0 (48)
Berdasarkan persamaan (47) jelas bahwat:
δ ( t −t 0 ) = 0 , untuk t ≠ (49) t 0
dan δ ( t − s ) dapat dikatakan tidak terdefinisi jika t = . Jika t 0 f () t 0 = 1 , maka persamaan
(48) mengimplikasikan bahwa:
∫ δ ( t − t 0 ) dt 0 = 1 (50)
Secara spesifik fungsi dengan sifat yang memenuhi kondisi (48)-(50) dinamakan sebagai fungsi delta Dirac. Fungsi ini dinamakan sesuai dengan nama perumusnya Paul
A. M. Dirac dan kerap dijumpai dalam teori kuantum. Perlu ditekankan di sini bahwa prosedur di atas bukan untuk membuktikan secara ketat kehadiran fungsi δ Dirac, − tetapi hanya untuk menunjukkan bahwa jika fungsi tersebut ada maka dengan mudah kondisi konsistensi bagi transformasi Fourier dapat ditunjukkan.
Berdasarkan fungsi tersebut kini teorema Parseval (28) dapat dibuktikan melalui cara berikut:
∫ g ()() ω g ω d ω = 2 ∫ ⎢ ∫ f () t e dt ⎥ ⎢ ∫ f () t 0 e dt 0 ⎥ d ω
= 2 0 ∫∫ f ()() t f t 0 ⎢ ∫ e d ω ⎥ dt 0 dt
= f () t ⎢ f ()( t 0 δ t − t 0 ) dt ∫ dt ∫ 0 ⎥ =
f t f ∫ dt ()() t ∴
f ∗ () t Kembali pada definisi fungsi delta Dirac (47) untuk t 0 = 0 , jika dituliskan dalam bentuk:
δ () t = ∫ ⋅ e d ω (52)
maka sesuai dengan persamaan (26), fungsi tersebut dapat dipandang merupakan hasil
transformasi Fourier untuk fungsi g () ω = 1 2 π , dengan inversnya diberikan oleh:
t e dt (53) − 1 ∞ 42 4 43 4
5. Integral Konvolusi
Sebagaimana telah disinggung pada bagian pendahuluan, misalkan fungsi kernel Κ didefinisikan dalam bentuk:
Κ () t , t 0 = g ( t − t 0 ) (54)
maka integral (2) yang dituliskan dalam bentuk:
∫ g ( t − t 0 )() f t 0 dt 0 = g ∗ f (55)
dinamakan sebagai konvolusi dari dan g f . Sedangkan
∫ f ( t − t 0 )() g t 0 dt 0 = f ∗ g (56)
Misalkan pada konvolusi (56) dilakukan transformasi variabel: t −t 0 = τ 0 (57) Misalkan pada konvolusi (56) dilakukan transformasi variabel: t −t 0 = τ 0 (57)
∫ f ( t − t 0 )() g t 0 dt 0 = − ∫ f ()( τ 0 g t − τ 0 ) d τ 0 = ∫ g ( t − τ 0 )() f τ 0 d τ 0 = g ∗ f (58)
dengan batas integrasi untuk domain τ pada t 0 = t i adalah τ i = t − t i sedangkan pada t 0 = t f adalah τ f = t − t f dimana τ < . Hubungan (58) menunjukkan bahwa operasi f τ i
konvolusi bersifat komutatif:
f ∗ g = g ∗ f (59) Salah satu sifat yang penting dari operasi konvolusi, adalah mengenai perilakunya
terhadap transformasi Laplace dan Fourier. Tinjau transformasi Laplace terhadap integral konvolusi berikut:
L ( g ∗ f ) = e g ( t − t 0 )() f t 0 dt 0 dt ∫∫ (60)
− st
dengan batas bagi integral konvolusi adalah t i = 0 dan t f = . Seperti pada pembuktian t
sifat komutatif operasi konvolusi, kembali lakukan transformasi (57) sehingga ruas kanan persamaan (60) menjadi:
0 − 0 e ∫ g ∫ ()() τ 0 f t 0 dt 0 d τ 0 (61)
dimana τ= i τ dan τ f = 0 . Perhatikan persamaan (60), terlihat bahwa untuk integrasi
terhadap t 0 akan menghasilkan sebuah fungsi dari variabel t yang memiliki rentang
0 <t < ∞ , dengan demikian berdasarkan hubungan (57) jelas bahwa τ 0 → ∞ , sehingga
integral (61) dapat dituliskan kembali sebagai:
− st
0 ∫ 0 e g () τ 0 d τ 0 ∫ e f () t 0 dt 0 (62)
Sehingga untuk persamaan (60) diperoleh:
L ( g ∗ f ) = G ()() s F s (63)
yang menunjukkan bahwa dalam transformasi Laplace integral konvolusi merupakan perkalian biasa dari transformasi Laplace dari masing-masing fungsi.
Untuk transformasi Fourier tinjau perkalian dua buah fungsi g 1 ()() ω g 2 ω :
g 0 ()() ω g 1 ω = 2 f t e ∫ 0 0 () 0 dt 0 ∫ f 1 () t 1 e 1 dt 1
= 2 ∫∫ f 0 ()() t 0 0 1 f 1 t 1 e dt 0 dt 1
Selanjutnya misalkan t 1 = t − t 0 dengan dt 1 = dt , sehingga baris kedua persamaan (64)
berubah menjadi:
2 f 0 ()( t 0 f 1 t − t 0 ) e ∫∫ dt 0 dt (65)
Kemudian dengan mangtur kembali integral (65) dalam bentuk berikut:
∫ ⎢ ∫ f 0 ()( t 0 f 1 t − t 0 ) dt 0 ⎥ e dt (66)
Jelas bahwa integral di dalam siku kurung merupakan integral konvolusi:
f 0 ()( t 0 f ∫ t 1 t − 0 ) dt 0 = f 0 ∗ f 1 (67)
Sehingga (66) menjadi:
∫ f 0 ∗ f 1 e dt = F { f 0 ∗ f 1 } (68)
2 π − ∞ 2 π dimana t i = −∞ dan t f = ∞ . Jelas, berdasarkan hubungan-hubungan di atas, diperoleh
bahwa:
g 0 ()() ω g 1 ω = F { f 0 ∗ f 1 } (69)
Melalui cara yang hampir sama, dapat diperoleh juga hubungan berikut:
f 0 ()(){ t f 1 t = F g 0 ∗ g 1 } (70)
Dalam Fisika, penerapan integral konvolusi dapat dijumpai pada analisis sinyal, optik, akustik dan semua persoalan yang menyangkut sistem-sistem yang memiliki sifat dispersif, dimana respon dari sistem akibat stimulasi dari luar tidak terjadi secara bersamaan.
REFERENSI
1. M. L. Boas, Mathematical Methods in the Physical Sciences, John Wiley, 1983. 2. S. Hassani, Mathematical Methods for Students of Physics and Related Fields, Springer, 2000. 3. M. S. Spiegel. Advanced Calculus, McGraw Hill, 1981. 4. L. A. Pipes, L. R. Harvill, Applied Mathematics for Engineers and Physicist, McGraw Hill, 1984.
5. G. B. Arfken, H. J. Weber, Mathematical Methods for Physicist, Academic Press, 1995. 6. Hans J. Wospakrik, Diktat Fisika Matematika, ITB, Tidak Diterbitkan.