Uji Keabsahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007

6.2. Uji Keabsahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007

Di dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, setiap produk peraturan perundang-undangan dapat dilakukan uji materi melalui lembaga pengujian peraturan perundang-undangan yang memiliki kewenangan yang sah. Pengujian peraturan perundang-undangan dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan atau tidak puas terhadap peraturan perundang-undangan. Pengujian produk hukum ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh beberapa alasan diantaranya menyangkut kewenangan, prosedur, dan juga substansi atau muatannya yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya diatur. Alasan lain juga dapat disebabkan oleh adanya kontradiksi atau pertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik secara vertikal maupun horizontal, atau dengan istlah lain telah terjadi disharmo-nisasi dan dissinkronisasi. Dengan demikian tujuan pengujian peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk mengakhiri pertentangan pendapat menyangkut keabsahan atau ketidaksesuaian produk hukum yang diuji meteri dengan peraturan perundangan lain, baik secara horizontal maupun yang secara vertikal.

Menurut A.W Bradly dan K.D. Ewing, terdapat beberapa alasan substantif yang dapat digunakan sebagai Menurut A.W Bradly dan K.D. Ewing, terdapat beberapa alasan substantif yang dapat digunakan sebagai

1. the ultra vires rule (excess of power);

2. abuse of discretionary powers yaitu berupa:

a. irrelevant considerations;

b. improper purposes

c. error of law;

d. unauthorized delegation;

e. discretion may not be fettered;

f. bresch of a local authority’s financial duties;

g. unreasonableness (irrationality);

h. propertionality.

3. failure to perform a statutory;

4. the consept of jurisdiction;

5. mistake of fact;

6. acting incompatibly with convention rights. 162 Alasan-alasan yang dikemukakan oleh A W Bradly dan Ewing tersebut nampaknya cukup memberikan pencerahan terhadap masyarakat terkait dengan alasan pengajuan uji materi terhadap produk-produk peraturan perundang-undangan di Indonesia. Terkait dengan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pengujian meteriil dan formil terhadap produk peraturan perundang-undangan ini, selanjutnya Jimly Assidiqqie, memberikan penjelasan sebagai berikut:

“Pertama, doktrin “ultra vires dapat dipakai untuk menilai berlakunya suatu peraturan perundang-

162 A W Bradley dan K D Ewing dalam Jimly Assidiqqie, Perihal Undang-Undang , Loc. Cit, hlm. 102-103.

undangan. Apabila kekuasaan dari suatu otoritas publik dianggap berlebihan atau telah melampaui kewenanganya sendiri, maka peraturan yang ditetapkan di luar kewenangan itu tidak sah, karena alasan ultra vires. Kedua, apabila pemerintah menghadapi berbagai pilihan kebijakan, dimana pilihan-pilihan itu mungkin sama-sama sah, tetapi manakala pilihan-pilihan itu sudah di ambil, sangat boleh jadi pilihan itu dinyatakan tidak sah oleh pengadilan. ” 163 Selanjutnya apabila terdapat pihak-pihak yang

tidak puas atau setidak-tidak masih menginginkan kejelasan mengenai kieabsahan pembentukan Kabupaten Tana Tidung, dan sebagai konsekuensi dari prinsip negara hukum, khsusnya terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, dan berkeinginan mengajukan uji materi terhadap undang-undang ini.

6.2.1. Uji Keabsahan Melalui Mahkamah Konstitusi

Pembahasan terhadap keabsahan pembentukan Kabupaten Tana Tidung dalam sub bab ini, dimaksudkan sebagai alternatif yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak puas terhadap pembentukan dan mungkin mempersoalkannya. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa secara kelengkapan administratif pembentukan

163 Ibid .

Kabupaten Tana Tidung berdasarkan penilaian oleh tim peneliti dinyatakan tidak lulus, karena skor yang dicapai atas indikator yang disyaratkan hanya memperoleh 1915, sementara itu skor yang disyaratkan di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 harus mencapai nilai 2.995.

Di samping itu, dalam pembentukannya terdapat perbedaan peraturan perundangan yang digunakan, bahwa pada saat pengusulannya mendasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemeka- ran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Sedang- kan dalam prosesnya terjadi penggantian Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.

Secara teoritik pihak-pihak yang tidak puas terhadap sebuah produk perundang-undangan dapat melakukan uji materiil melalui lembaga peradilan yang berwenang. Uji materiil terhadap peraturan perundang- undangan ini disebut dengan istilah judicial review.

Judicial review oleh badan peradilan menunjukkan berjalannya mekanisme check and balances dalam peme- Judicial review oleh badan peradilan menunjukkan berjalannya mekanisme check and balances dalam peme-

dijalankan. 164 Sedangkan menurut Henry Steele Commager judicial review mengusik wewenang pembuatan kebijakan lembaga-lembaga perwakilan yang menjadi produk proses pemilihan. 165 Terusiknya wewenang

pembuatan kebijakan tersebut juga digambarkan oleh Hakim Brennan dalam perkara Church of Scientology v Woodward. Menurut Hakim Brennan judicial review tidak lebih dan tidak kurang dari penegakan negara hukum atas tindakan pemerintahan yang dilakukan; ini artinya tindakan pemerintahan dicegah untuk melampaui kewenangan dan fungsi yang diberikan. 166

Judicial review merupakan proses pengujian undang-undang yang kewenangannya diberikan kepada badan peradilan untuk menguji apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang “higher law” atau peraturan yang lebih tinggi. Terkait dengan hal tersebut, Sri Soemantri membedakan dua hak pengujian terhadap peraturan

164 Imam Soebechi, Judicial Review di Indonesia, Varia Peradilan Tahun XXVI Nomor 299 Oktober 2010, hlm. 17.

165 Ibid, hlm. 18.

Robin Creyke, Control of Government Action: Text, Cases and Commentary Lexis Nexis, Chatswood, 2009, hlm. 404.

a. hak menguji formal yaitu wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif-seperti undang-undang telah dibentuk dengan prosedur sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengertian hak menguji formal ini menunjukkan bahwa yang dinilai atau diuji adalah prosedur yang ditempuh dalam pembentukan suatu undang-undang.

b. Hak menguji materiil yaitu wewenang untuk menilai apakah substansi suatu peraturan perundang- undangan telah sesuai atau justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. 167 Jadi hak menguji materiil berkaitan dengan isi dari suatu peraturan perundang-undangan dalam hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 168

Pada hakikatnya, judicial review terhadap produk perundang-undangan yang dibuat oleh legislatif atau eksekutif merupakan salah satu bentuk jaminan terhadap

Terkait apakah kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan peraturan tertentu seharusnya bukan merupakan ruang lingkup dari uji materiil, melainkan ruang lingkup dari pengujian formil. Lihat Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 64.

168 Sri Soemantri M, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Ban- dung, 1997, hlm. 6.

konstitusi sebagai hukum tertinggi. Jaminan tersebut berupa

konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh badan legislatif maupun badan eksekutif. Melalui pranata judicial review setiap peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan nilai konstitusi. Nilai konstitusi berfungsi sebagai pedoman dan pengarah dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

perlindungan

terhadap

Dalam kaitannya dengan pembentukan Kabupatan Tana Tidung, berarti harus melakukan yudicial review terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur tersebut. Judicial review dilakukan berkenaan dengan persyaratan yang digunakan dalam usulan pembentukan Kabupaten Tana Tidung, mengingat terjadi inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum pembentukannya.

Untuk melakukan judicial review terhadap Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur dapat diajukan kepada Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945, yang memberikan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji konstitusionalitas Undang-

Undang dengan UUD NRI Tahun 1945. Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945 menentukan: (1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu; (2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

partai

Pengujian konstitutionalitas tersebut, menurut Jimly Asshiddiqie mempunyai 2 (dua) tugas pokok yakni sebagai berikut:

1. Menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan pertimbangan peran antar cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan lembaga peradilan, constitutional review dimaksudkan untuk mencegah penyahgunaan

oleh satu cabang kekuasaan; dan

kekuasaan

2. Melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan negara yang merugikan 2. Melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan negara yang merugikan

Sebagai negative legislator yang berwenang untuk menguji konstitualitas

suatu undang-undang, Mahkamah Konstitusi memiliki peranan yang penting untuk menjaga supaya undang-undang tidak berten-tangan dengan konstitusi. Mengenai kewenangan tersebut, Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menentukan bahwa undang-undang yang boleh diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Akan tetapi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, objek pengujian menjadi lebih luas yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang yang diundangkan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai konsekuensinya apabila terbukti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur terjadi inkonsistensi, maka Mahkamah Konstitusi dapat saja menyatakan batal, karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Namun persoalannya tidak semudah dalam tataran normatif, sebab hal ini terkait dengan fakta hukum bahwa secara faktual Kabupaten Tana Tidung sudah terbentuk, dan pemerintahannya juga telah berjalan

Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 18.

Di samping itu, telah berlangsungnya pemerin- tahan di Kabupaten Tana Tidung yang sampai saat ini sudah mencapai usia 7 (tujuh) tahun, apabila dibubarkan sebagai akibat pengujian keabsahannya oleh Mahkamah Agung, tentunya akan banyak menimbulkan kerugian dan permasalahan yang sangat prinsipil, terutama terkait dengan organisasi kelembagaan dan aparat pemerintah daerah yang telah terbentuk, aset daerah dan yang lebih penting lagi menyangkut fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Oleh karena itu tentunya tidak bijaksana apabila membubarkan pemerintahan yang sudah berusia

7 (tujuh) tahun tersebut. Selain objek yang diuji, dalam pengujian undang- undang juga harus ada subjek hukum yang melakukan uji materi undang-undang, yaitu pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya suatu undang- undang atau orang yang memiliki legal standing. Selain itu, pemohon juga wajib untuk menguraikan secara jelas alasan dilakukan pengujian terhadap suatu undang- 7 (tujuh) tahun tersebut. Selain objek yang diuji, dalam pengujian undang- undang juga harus ada subjek hukum yang melakukan uji materi undang-undang, yaitu pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya suatu undang- undang atau orang yang memiliki legal standing. Selain itu, pemohon juga wajib untuk menguraikan secara jelas alasan dilakukan pengujian terhadap suatu undang-

Apabila pemeriksaan terhadap alat-alat bukti selesai, proses sidang selanjutnya adalah putusan atau vonis. Dalam perkara pengujian undang-undang terha- dap UUD NRI Tahun 1945, ada beberapa kemungkinan putusan yang akan dikeluarkan oleh Mahkamah Konsti- tusi, yaitu:

a. permohonan tidak dapat diterima apabila syarat baik objek maupun subjek tidak terpenuhi.

b. permohonan dikabulkan apabila permohonan berala- san.

c. permohonan ditolak apabila permohonan yang dimak- sud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Da- sar 1945. Sehubungan dengan adanya kanalisasi yang diberi- kan UUD NRI Tahun 1945 berupa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, maka diharapkan perdebatan mengenai keabsahan pembentukan Tana Tidung melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur tidak terjadi di luar proses-proses hukum yang telah ditentukan. Pihak-pihak yang merasa dirugikan hak konstitusional- nya dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi. Permohonan uji materi ke Mahkamah Konsti- tusi merupakan proses perdebatan mengenai keabsahan pembentukan Kabupaten Tana Tidung secara konstitu- sional.

6.2.2. Uji Keabsahan Melalui Lembaga Legislatif

Uji keabsahan sebuah undang-undang tidak hanya dilakukan dengan menggunakan mekanisme judicial review melalui lembaga peradilan yang berwenang, dalam hal ini mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diuraikan pada sub bab sebelumnya. Di samping itu, juga dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme legislatif review atau pengujian undang-undang melalui lembaga legislatif. Dalam hal menggunakan mekanisme legislatif, maka pengujian undang-undang tersebut dilakukan oleh Uji keabsahan sebuah undang-undang tidak hanya dilakukan dengan menggunakan mekanisme judicial review melalui lembaga peradilan yang berwenang, dalam hal ini mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diuraikan pada sub bab sebelumnya. Di samping itu, juga dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme legislatif review atau pengujian undang-undang melalui lembaga legislatif. Dalam hal menggunakan mekanisme legislatif, maka pengujian undang-undang tersebut dilakukan oleh

“Terhadap semua kaidah hukum dapat dilakukan kontrol atau pengawasan yang biasa disebut seba- gai mekanisme kontrol norma hukum. Kontrol ter- hadap norma hukum itu dapat dilakukan melalui pengawasan atau pengendalian politik, pengen- dalian administratif, atau melalui kontrol hukum. Kontrol politik dapat dilakukan oleh lembaga politik, mislanya oleh lembaga perwakilan rakyat atau parlemen. Dalam hal ini mekanisme kontrol- nya disebut sebagai “legislative control” atau “legisl- ative review”. Misalnya revisi terhadap suatu undang-undang dapat dilakuan melalui dan oleh lembaga perwakilan rakyat sendiri sebagai lembaga yang memang berwenang membentuk dan mengubah undang-undang yang bersangkutan. Jika dalam perjalanan waktu Dewan Perwakilan Rakyat menganggap bahwa suatu undang-undang yang telah berlaku mengikat untuk umum harus diperbaiki, maka dengan sendirinya DPR sendiri yang berwenang untuk mengambil inisiatif mengadakan perbaikan terhadap undang-undang tersebut melalui mekanisme pembuatan undang- undang. ” 170

170 Jimly Assiddiqqie, Perihal Undang-Undang, Op. Cit, hlm. 4-5.

Memperhatikan uraian dan kutipan di atas, apabila Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur dirasakan tidak sesuai, maka dapat dilakukan mekanisme legislative review, yaitu pengujian oleh legislatif, baik dengan cara melakukan perubahan, maupun pencabutan. Namun demikian perubahan atau pencabutan terhadap undang-undang tersebut, tentunya tidak serta merta membatalkan pembentukan Kabupaten Tana Tidung. Hal ini didasar- kan atas pertimbangan bahwa seandainya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 ten- tang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur tersebut diubah atau dicabut, tentunya tidak secara otomatis akan menghapus akibat hukum sebelumnya.

Di samping itu, permasalahan yang menyangkut pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur hanyalah mengenai tidak terpenuhinya persyaratan administatif, yaitu tidak tercapainya skor penilaian sebagai persyaratan pembentukan daerah otonom baru. Semen- tara itu persyaratan dan proses pembentukan undang- undang ini telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh karena itu, secara Di samping itu, permasalahan yang menyangkut pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur hanyalah mengenai tidak terpenuhinya persyaratan administatif, yaitu tidak tercapainya skor penilaian sebagai persyaratan pembentukan daerah otonom baru. Semen- tara itu persyaratan dan proses pembentukan undang- undang ini telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh karena itu, secara

Legislative review , memang merupakan salah satu cara untuk menguji keabsahan sebuah produk undang- undang yang dianggap sudah tidak sesuai lagi atau terjadi dissinkronisasi atau disharmonisasi. Legislative review merupakan proses merubah atau menyatakan tidak berlakunya sebuah undang-undang dengan menggunakan mekanisme legislatif. Dalam hal ini tentunya harus ada inisiatif usulan, baik dari pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat. Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahannya terletak pada kemauan politik pemerintah atau Perwakilan Rakyat. Apabila tidak ada inisiatif perubahan dari kedua lembaga tersebut, tentunya legislative review terhadap sebuah undang- undang tidak dapat dilakukan. Dalam hal uji materi dengan menggunakan mekanisme legislative review terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, tentunya sangat tergantung kepada kedua lembaga tersebut.

Mengharapkan inisiatif dari dua lembaga (Presiden dan/atau DPR) kiranya tidak mudah, sebab secara politis kedua lembaga ini memiliki cara pandang yang sama terhadap pembentukan Kabupaten Tana Tidung, sebab pada saat proses pembentukan Undang-Undang Repu- Mengharapkan inisiatif dari dua lembaga (Presiden dan/atau DPR) kiranya tidak mudah, sebab secara politis kedua lembaga ini memiliki cara pandang yang sama terhadap pembentukan Kabupaten Tana Tidung, sebab pada saat proses pembentukan Undang-Undang Repu-

1 Tahun 2007, menegaskan agar pembentukan daerah otonom baru termasuk pembentukan Kabupaten Tana Tidung segera dilaksanakan dengan mempercepat proses pembentukannya. Hal ini tentunya menunjukan bahwa kedua lembaga ini memiliki komitmen kuat untuk membentuk Kabupaten Tana Tidung.

6.2.3. Ringkasan

Berdasarkan analisis yuridis normatif pembentukan Kabupaten Tana Tidung berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur telah memenuhi asas keabsahan hukum, karena telah memperhatikan berbagai aspek dan berbagai ketentuan persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang ada pada saat dilakukannya pengajuan, diantaranya:

1) Pembentukan Kabupaten Tana Tidung telah sesuai dengan prinsip pemekaran wilayah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerinta- han Daerah.

2) Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia No- mor 22 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerinta- han Daerah, tidak berpengaruh secara signifikan, sebab kedua undang-undang tersebut pada prinsipnya sama-sama mengatur mengenai pemekaran wilayah. Di samping itu, meskipun terdapat perubahan kebija- kan terkait dengan persyaratan pemekaran wilayah, namun dalam perubahan Undang-Undang Pemerin- tahan Daerah pada ketentuan peralihan ditegaskan bahwa “Pembentukan Daerah Provinsi, Kabupa- ten/Kota yang telah memenuhi seluruh persyaratan tetap diproses sesuai ketentuan sebelum Undang- Undang tersebut diundangkan ”;

3) Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 dengan Peraturan Pemerintah Republik Indo- nesia Nomor 78 tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, baru efektif berlaku pada bulan Desember 2007, sementara pengesahan pembentukan Kabupa-ten Tana Tidung melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pemben- tukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kali- mantan Timur telah efektif berlaku terlebih dahulu, yaitu pada bulan Agustus 2007.

4) Dalam perspektif konsep konflik norma hukum dengan mendasarkan pada asas lex superiori derogate legi priori, maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabu- paten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur 4) Dalam perspektif konsep konflik norma hukum dengan mendasarkan pada asas lex superiori derogate legi priori, maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabu- paten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur

5) Dalam perspektif sosiologis dan politis, Pemben-tukan Kabupaten Tana Tidung telah memperoleh dukungan dari masyarakat, DPRD Kabupaten Bulungan, DPRD Provinsi Kalimantan Timur, DPR Pusat, Pemerintah Kabupaten Bulungan, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Pemerintah Pusat;

6) Mendasarkan teori keberlakuan norma hukum, kebe radaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur telah memenuhi syarat keberlakuan norma hukum, yaitu keberlakuan yuridis, bahwa undang-undang tersebut tidak melanggar hierarkis, keberlakuan filosofis, bahwa undang-undang ini terbukti sesuai dengan filosofi pembentukan daerah otonom baru, dalam hal ini mampu mendekatkan jarak antara pusat pemerin- tahan dengan masyarakat dalam rangka pelayanan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan ma- syarakat; dan keberlakuan sosiologis, bahwa undang- 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur telah memenuhi syarat keberlakuan norma hukum, yaitu keberlakuan yuridis, bahwa undang-undang tersebut tidak melanggar hierarkis, keberlakuan filosofis, bahwa undang-undang ini terbukti sesuai dengan filosofi pembentukan daerah otonom baru, dalam hal ini mampu mendekatkan jarak antara pusat pemerin- tahan dengan masyarakat dalam rangka pelayanan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan ma- syarakat; dan keberlakuan sosiologis, bahwa undang-

7) Analisis dengan mendasarkan pada teori tujuan hu kum, dapat ditemukan bahwa Pembentukan Kabu- paten Tana Tidung telah terbukti memberikan manfaat dan

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama dengan dilaksanakan pembangunan yang mampu

meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat, yang berarti telah sesuai dengan tujuan hukum, yaitu memberikan kemanfaatan bagi banyak orang. Hal ini tentunya sesuai dengan teori keman- faatan dalam teori tujuan hukum, serta menunjukkan adanya kemampuan menjalankan otonomi dan de- sentralisasi dengan baik bagi pemerintahan Kabu- paten Tana Tidung sebagai daerah otonom baru.

8) Asas praduga rechtmatige bahwa Pembentukan Kabu- paten Tana Tidung sah demi hukum dan tetap berlaku sepanjang tidak ada pembatalan terhadap Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur.