Keberlakuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007

4.2. Keberlakuan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007

4.2.1. Perspektif Pembentukan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur dan pembahasan terhadap peraturan perundang-undangan sebelumnya sebagai produk hukum yang mendasari terbentuknya Kabupaten Tana Tidung sangat penting untuk dianalisis. Hal ini dimaksudkan untuk menarik benang merah terkait dengan keabsahan pembentukan Kabupaten Tana Tidung. Sebab keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur akan sangat menentukan sah dan tidaknya pembentukan Kabupaten Tana Tidung, serta sah dan tidaknya akibat hukum dari perbuatan pemerintah Kabupaten Tana Tidung.

Analisis terhadap keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur dapat dikaji melalui tata cara pembentukannya. Sebagaimana diketahui bahwa setelah era reformasi dikeluarkan produk undang-undang yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang- undangan, syarat dan tata caranya. Undang-undang yang Analisis terhadap keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur dapat dikaji melalui tata cara pembentukannya. Sebagaimana diketahui bahwa setelah era reformasi dikeluarkan produk undang-undang yang mengatur tentang pembentukan peraturan perundang- undangan, syarat dan tata caranya. Undang-undang yang

Di samping itu, untuk mengetahui keabsahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, juga dapat dilakukan uji keabsahan dengan menggunakan standar tolak ukur atau parameter keberlakuan norma hukum. Pengujian keabsahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur dapat dilakukan sejak pengesahan, pengundangannya sampai dengan pemberlakuannya di dalam masyarakat.

Secara teoritik, dalam pengesahan undang-undang setidak-tidaknya terdapat tahapan-tahapan atau prosedur yang harus dilakukan. Menurut Jimly Assiddiqie terdapat 5 (lima) jenis tahapan, yaitu tahap pengesahan materiil; tahap pengesahan formal; tahap pengundangan; penerbitan dalam lembaran negara; pemberlakuan ”.

Tahap pengesahan merupakan langkah yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rapat paripurna terakhir yang mengesahkan tercapainya persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan peme- Tahap pengesahan merupakan langkah yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rapat paripurna terakhir yang mengesahkan tercapainya persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan peme-

Pengesahan undang-undang secara formal ini dilakukan oleh Presiden dengan menandatangani naskah undang-undang yang telah disetujui. Hal ini dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD NRI Tahun 1 945, yang selengkapnya dirumuskan “Presiden mengesahkan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang- undang” . Rumusan ketentuan pasal ini mengandung maksud, bahwa setiap rancangan undang-undang disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden.

Sehubungan dengan diundangkannya Undang- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, dapat diasumsikan bahwa Sehubungan dengan diundangkannya Undang- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, dapat diasumsikan bahwa

4.2.2. Perspektif Teori Keberlakuan Norma Hukum

Analisis terhadap keberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur dimaksudkan untuk memperoleh dasar legalitas keabsahannya, sehingga keraguan terhadap keabsahannya dapat terbantahkan atau dapat terjawab dengan memuaskan. Terkait dengan pengujian keabsahan sebuah undang-undang ini terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan, dan parameter tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Menurut J J H Bruggink, keberlakuan kaidah hu- kum dibedakan atas keberlakuan faktual atau empiris, keberlakuan normatif atau formal, dan keberlakuan evaluatif. 113 Demikian juga Gustav Radbruch yang mem- bedakan ke dalam keberlakuan yuridis, keberlakuan

J J H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 1996, hlm. 147-154.

Dalam analisis terhadap permasalahan yang dikemukakan ini, maka dipilih tiga jenis teori keberlakuan norma hukum yang akan dipergunakan sebagai pembuktian apakah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur agar memiliki tingkat validitas atau keberlakuan sebagai norma hukum yang efektif ditaati. Untuk menguji keabsahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur ini dipergunakan teori keberlakuan sosiologis, keberlakuan normatif, dan keberlakuan politis.

Secara sosiologis, keberadaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, ternyata tidak perlu dipermasalahkan lagi, sebab masyarakat telah mengakui keberadaan undang-undang ini, sebagai buktinya bahwa masyarakat

114 Jimly Assiddiqie, Perihal Undang-Undang, Op. Cit.

termasuk aparat pemerintahan Kabupaten Tana Tidung mengakui keberadaan pemerintah Kabupaten Tana Tidung sebagai daerah otonom. Pengakuan semacam ini merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk menguji validitas norma hukum dalam masyarakat dengan tipologi rekognisi. Dengan pengakuan terhadap keberadaan Kabupaten Tana Tidung berarti secara tidak langsung juga mengakui berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Ka- limantan Timur.

Sebagai bukti bahwa masyarakat juga menerima keberadaan Kabupaten Tana Tidung sebagai daerah otonom yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, terbukti bahwa

masyarakat menjalankan hak dan kewajibannya yang dibebankan oleh Pemerintah Kabupaten Tana Tidung, seperti membayar pajak, mengurus perijinan, mengurus Kartu Tanda Penduduk, dan lain sebagainya. Penerimaan semacam ini sesuai dengan kriteria keberlakuan norma hukum secara sosiologis dalam tipe reception theory.

Di samping keberlakuan sosiologis untuk mengu- kur keabsahan Undang-Undang Republik Indonesia No- mor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Ta- na Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, juga diper- gunakan parameter keberlakuan yuridis, atau dalam Di samping keberlakuan sosiologis untuk mengu- kur keabsahan Undang-Undang Republik Indonesia No- mor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Ta- na Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, juga diper- gunakan parameter keberlakuan yuridis, atau dalam

Sebuah norma hukum dinyatakan berlaku apabila norma hukum tersebut tidak bertentangan dengan norma hukum yang lain. Norma hukum itu ditetapkan atau diperintahkan oleh norma hukum yang lebih tinggi, yang dalam ajaran Hans Kelsen disebut dengan stuffenbau theory , 116 atau teori norma berjenjang. Sebuah norma dikatakan tidak sah berlakunya manakala bertentangan dengan peraturan yang berada dalam hierarki yang lebih tinggi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Ti- dung Di Provinsi Kalimantan Timur, merupakan norma hukum yang diperintahkan oleh norma hukum yang lebih tinggi, dalam hal ini UUD NRI Tahun 1945. Di samping itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur tidak pernah bertentangan secara hierarkis terhadap norma hukum yang lebih tinggi, dalam hal ini tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

115 Bruggink, Op. Cit, hlm. 150. 116 Jimly Assiddiqie, Op. Cit.

Keabsahan hukum terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, juga dapat dilakukan dengan menggunakan parameter keberlakuan politis. Parameter keberlakuan politis menghendaki bahwa keberlakuan norma hukum harus memperoleh dukungan politik di parlemen, meskipun norma hukum memperoleh dukungan dan penerimaan kuat di tingkat akar rumput dan memiliki landasan yuridis yang kuat, menurut Jimly Assiddiqie tetap harus memperoleh dukungan politik yang kuat. Sebagai bukti dukungan politik terhadap Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu dengan disetujuinya Rancangan Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung oleh DPR RI dan Presiden, serta penerimaan tanpa syarat oleh DPRD Provinsi Kalimantan Timur, maupun DPRD Kabupaten Bulungan pada saat itu, serta diterimanya oleh DPRD Kabupaten Tana Tidung saat ini.

Berdasarkan analisis dan pembuktian penggunaan parameter keberlakuan norma hukum terhadap Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, dapat ditarik kesimpulan bahwa, keberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur sebagai Berdasarkan analisis dan pembuktian penggunaan parameter keberlakuan norma hukum terhadap Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, dapat ditarik kesimpulan bahwa, keberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur sebagai

4.2.3. Perspektif Tujuan Hukum

Berdasarkan analisis yuridis pembentukan Kabu- paten Tana Tidung, secara teoritis keberadaannya cukup memiliki legalitas di dalam hukum positif, mengingat dalam berbagai perspektif yang digunakan untuk menguji validitas pembentukan Kabupaten Tana Tidung cukup didukung dengan argumentasi yang dapat dite- rima akal (rasional). Namun demikian, tidak ada sa- lahnya apabila dalam penelitian penelitian ini uji keabsahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur dari perspektif tujuan hukum, juga menggunakan parameter teori tujuan hukum. Tujuan penggunaan teori tujuan hukum dimaksudkan untuk mengetahui apakah pembentukan Kabupaten Tana Tidung tersebut memberikan manfaat kepada masyarakat, yaitu meningkatnya kesejahteraan masyarakat atau justru menyebabkan masyarakat menurun tingkat kesejahteraannya.

Hukum tidak hanya bertujuan untuk menciptakan ketertiban masyarakat saja, dengan karakter memaksa, Hukum tidak hanya bertujuan untuk menciptakan ketertiban masyarakat saja, dengan karakter memaksa,

keselarasan dan keseimbangan yang tidak dapat diketahui atau dijelaskan dengan argumentasi rasional. 118 Selanjutnya Plato membagi kebijakan ke dalam klasifikasi sebagai berikut kebijaksanaan atau kearifan; keberanian atau keteguhan hati; kedisiplinan; serta keadilan. 119 Senada dengan Plato, Ulpianus menyatakan bahwa keadilan merupakan kehendak yang terus menerus dan memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya atau keadilan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”, 120 tetapi hukum juga harus mengejar keadilan.

yang

mengandung

Keadilan dan kepastian ibarat buah si malakama, yang tidak mungkin dapat dicapai secara bersama-sama secara seimbang. Untuk mengatasi permasalahan ini kemudian muncul teori alternatif, yaitu hukum harus memberikan manfaat kepada banyak orang. Menurut teori kemanfaatan atau teori utilitarian, hukum menyandarkan pada nilai etis dan atas dasar etika inilah hukum harus mewujudkan prinsip-prinsip kemanfaatan, yang kemudian menjadi madzab utilities.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Ban- dung, 2000, hlm. 268.

W Friedmann, Legal Theory, Stevens and Sson Limited, London, 1960.

Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Ja- karta, 2001, hlm. 271.

Soetanto Soepiadhy, Keadilan Hukum, Surabaya Pagi, 28 Maret 2012.

Secara alamiah manusia memiliki kewenangan penuh untuk mengatur alam guna mewujudkan kebahagiaannya. Untuk tercapainya kebahagiaan dan kesenangan atau penderitaan, salah satunya dengan membentuk hukum. Menurut Bentham, agar supaya manusia terbebas dari penderitaan, maka manusia harus membuat keputusan, bahwa manusia harus mewujudkan kesenangan. Ajaran Bentham yang terkenal adalah bahwa hukum harus mewujudkan kebahagiaan terbesar bagi sebagian besar masyarakat.

Secara teoritis, menurut ajaran Bentham, Stuart Mill, dan David Hume, bahwa hukum harus mengejar kebahagiaan memang sangat ideal, meskipun ajaran Bentham ini tidak dapat sepenuhnya diwujudkan, sebab pada akhirnya pendapat Bentham ini tidak lepas dari kelemahan-kelemahan bahwa kebahagiaan atau kesena- ngan itu sifatnya relatif. Sehubungan dengan ajarannya itu, maka teori utilitarian terkadang disebut dengan teori kebahagiaan terbesar dan welfarisme 121 yang mengajarkan tiap manusia harus meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak.

Mendasarkan pada pendapat Santo Thomas Aquinas, Jeremy Bentham dan John Rawls, yang menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dan kebijakan hukum didistribusikan secara proporsional atas dasar harkat dan martabat manusia demi mewujudkan kesejahteraan

umum,

maka

sudah seharusnya

121 Ibid.

pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur sebagai hukum positif sedapat mungkin harus mampu meningkatkan derajat dan taraf hidup masyarakat Kabupaten Tana Tidung, khsususnya dalam mencapai tingkat kesejahteraannya dibandingkan dengan kondisi sebelum dilakukanya pemekaran.

Berdasarkan uraian mengenai teori tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan kepada sebagian besar masyarakat, nampaknya pembentukan Kabupaten Tana Tidung

berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur telah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan kepada sebagian besar masyarakat Kabupaten Tana Tidung. Hal ini tentunya sesuai dengan ajaran Bentham bahwa hukum harus memberikan kebahagiaan kepada sebagian besar masyarakat.

Dalam perspektif tujuan hukum, kemanfaatan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, dapat dinikmati setelah undang-undang itu diberdayagunakan oleh pemangku kepentingan, dalam hal ini penyelenggara Pemerintahan Kabupaten Tana Tidung. Kemanfaatan pembentukan Kabupaten Tana Tidung dapat dilihat dalam perkembangan dan kemajuan pembangunan di segala Dalam perspektif tujuan hukum, kemanfaatan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, dapat dinikmati setelah undang-undang itu diberdayagunakan oleh pemangku kepentingan, dalam hal ini penyelenggara Pemerintahan Kabupaten Tana Tidung. Kemanfaatan pembentukan Kabupaten Tana Tidung dapat dilihat dalam perkembangan dan kemajuan pembangunan di segala

4.2.4. Perspektif Asas Praduga Rechtmatig

Di dalam hukum administrasi terdapat asas yang dapat dpergunakan untuk menguji keabsahan tindakan atau perbuatan pemerintahan, yang disebut sebagai asas praduga rechtmatige. Asas ini disebut juga dengan asas vermorden van rechtmatigheid , atau disebut juga asas praesumptio iustae causa. Asas ini mengandung pengertian bahwa perbuatan atau tindakan pemerintahan tetap dianggap sah apabila tidak dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam hubungan ini Philipus Hadjon menyatakan, bahwa dengan asas setiap tindakan pemerintahan selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya. 122

Philipus M Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatig Bestuur), Yuridika, Surabaya, 1993, hlm. 1-2.

Selanjutnya mengenai apa yang dimaksud dengan rechtmatig Philipus M Hadjon menyatakan:

“Dalam hukum kita belum ada istilah baku untuk rechtmatig bestuur dan rechtmatigheid van bestuur. Kita mengenai beberapa konsep yang berkenaan dengan asas rechtmatigheid seperti onrechtmatig disebut melanggar hukum ada yang mengatakan melawan hukum (padahal hukum tidak bisa dilawan-hanya bisa dilanggar). Dalam bidang Peradilan Tata Usaha Negara onrechtmatigheid diartikan sebagai tidak sah (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), sedangkan

menurut hukum (penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). Terjemahan harafiah rechtmatigheid dengan konsep menurut hukum adalah tidak tepat dan tidak konsisten. Tidak konsisten, karena dalam petitum suatu gugatan dikatakan agar keputusan tata usaha negara tersebut dinyatakan tidak sah dan bukan dinyatakan agar tidak menurut hukum (Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). Menurut hemat saya dalam bahasa teknis hukum kita (dikaitkan dengan Pasal 53 ayat (1) tersebut) istilah rechtmatigheid mengandung makna keabsahan, dan dengan demikian rechtmatigheid- toetsing van bestuur dalam konsep hukum kita adalah pengujian keabsahan, dan rechtmatigheid van

rechtmatigheid diartikan rechtmatigheid diartikan

Galen dan Van Maarseveen, yang mengemukakan bahwa “selama tidak dibatalkan oleh hakim, penguasa telah

dianggap bertindak rechtmatig ”. 124 Memperhatikan uraian di atas, dapat ditarik kesimpula bahwa tindakan atau perbuatan pemerintahan yang tidak sah memerlukan perbuatan atau tindakan aktif dari organ atau badan yang memiliki kewenangan untuk itu, dalam hal ini hakim melalui putusannya. Senada dengan pendapat di atas, Suparto Wijoyo, menyatakan secara a contrario, selama belum diadakan tindakan pembatalan terhadap tindakan pemerintahan tersebut, selama itu pula tindakan termaksud tetap dianggapsebagai tindakan yang sah. 125

Sebuah undang-undang dapat dinyatakan tidak berlaku manakala tidak berlaku hanya atas dasar kekuatan undang-undang. Dalam hukum administrasi tidak berlakunya sebuah keputusan hanya karena telah diterbitkannya keputusan sejenis yang membatalkan keputusan tersebut. Terhadap keputusan sejenis

Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih , Pidato Diucapkan pada peresmian penerimaan jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 10 Oktober 1994.

124 Van Galen dan Van Maarseveen, Dalam Suparto Wijoyo, Ka- rakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara , Airlangga Uni-

versity Press, Surabaya, 2005, hlm. 54. 125 Ibid.

mengandung pengertian bahwa keputusan atau peraturan tersebut harus dikeluarkan oleh organ atau badan atau lembaga yang mengeluarkan keputusan atau peraturan tersebut. Dengan kata lain pernyataan tidak berlakunya sebuah keputusan harus dikeluarkan oleh badan atau organ yang memiliki kewenangan untuk mencabut keputusan tersebut. Hal ini didasarkan atas asas a contrario actus, yang pada dasarnya mengandung pengertian bahwa yang berwenang membatalkan sebuah keputusan adalah pejabat yang berwenang mengeluarkan keputusan.

Dalam kaitannya dengan pembentukan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, apabila mendasarkan pada asas praduga rechtmatige (presumptio iustae causa), maka undang-undang tersebut tetap sah sebelum diadakannya undang-undang baru yang mencabut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur tersebut. Sehubungan dengan keabsa- han Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur tersebut, maka secara hukum semua akibat hukum yang dilahirkannya harus tetap dianggap sah. Dengan demikian keberadaan Kabupaten Tana Tidung sebagai daerah otonom secara yuridis tetap sah, karena sampai saat ini ini tidak atau Dalam kaitannya dengan pembentukan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, apabila mendasarkan pada asas praduga rechtmatige (presumptio iustae causa), maka undang-undang tersebut tetap sah sebelum diadakannya undang-undang baru yang mencabut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur tersebut. Sehubungan dengan keabsa- han Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur tersebut, maka secara hukum semua akibat hukum yang dilahirkannya harus tetap dianggap sah. Dengan demikian keberadaan Kabupaten Tana Tidung sebagai daerah otonom secara yuridis tetap sah, karena sampai saat ini ini tidak atau

4.2.5. Perspektif Tertib Regulasi

Konsekuensi dari “Negara Indonesia adalah negara hukum” sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh negara/pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas kenegaraan/pemerintahan harus berdasarkan dan memberikan kepastian hukum. 126 Untuk memenuhi kebutuhan hukum sebagai dasar legalitas tindakan atau perbuatan pemerintah/negara sudah tentu harus dibentuk aturan-aturan sebagai dasar hukum perbuatan atau tindakan pemerintah/negara tersebut.

Upaya nyata dalam pembentukan substansi hukum adalah melalui pembentukan peraturan prundang- undangan yang demokratis, transparan, dan sesui de- ngan prosedur atau tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. 127 Dengan pelibatan sebanyak mungkin peran serta masyarakat, diharapkan undang-

Zudan Arif Fakhrulloh, Tertib Regulasi Dalam Pembentukan Produk Hukum Nasional , Kementerian Dalam Negeri Republik Indone- sia, Jakarta, 2013, hlm. 1.

127 Ibid , hlm. 14.

undang yang dihasilkan memperoleh dukungan dari masyarakat pada saat berlakunya.

Tata cara atau prosedur dalam rangka pemben- tukan peraturan perundang-undangan tersebut dimak- sudkan untuk menciptakan tertib regulasi dalam pem- bentukan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka mewujudkan tertib regulasi ini, maka pada tahun 2010 telah dikeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun mengingat dalam pe- laksanaannya undang-undang ini dirasakan masih terdapat berbagai kekurangan dan belum dapat memenuhi perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, khususnya permasalahan yang timbul mengenai teknik penyusunan peraturan perundang- undangan.

Selama berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut banyak me- nimbulkan permasalahan hukum, dan permasalahan tersebut belum atau tidak dapat diselesaikan, karena Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan tidak atau belum mengatur tata cara pe- nyelesaian prmasalahan hukum tersebut. Selanjutnya mengenai permasalahan yang terjadi dalam masa berlakunya undang-undang ini antara lain: Selama berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tersebut banyak me- nimbulkan permasalahan hukum, dan permasalahan tersebut belum atau tidak dapat diselesaikan, karena Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan tidak atau belum mengatur tata cara pe- nyelesaian prmasalahan hukum tersebut. Selanjutnya mengenai permasalahan yang terjadi dalam masa berlakunya undang-undang ini antara lain:

b. multitfasir, ketidakjelasan subjek dan objek yang diatur,

sehingga menimbulkan ketidakjelasan rumusan bahasa (sulit dimengerti) dan sistematika penulisannya.

c. inkonsisten, terdapat ketentuan atau pengaturan yang tidak konsisten dalam satu peraturan perundang- undangan beserta turunannya.

d. tidak operasional, adalah peraturan yang tidak memiliki daya guna, namun peraturan tersebut masih berlaku atau peraturan tersebut belum memiliki

peraturan pelaksana.

Memperhatikan kutipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undang sedapat mungkin dapat menghindarkan terjadinya konflik

norma undang-undang, multi tafsir, inkonsistensi, dan harus operasional, artinya dapat dilaksanakan baik oleh pemerintah pusat, maupun oleh pemerintah daerah.

Tertib regulasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tediri atas kewenangan, unsur kewenangan merupakan unsur yang sangat mendasar dalam tertib regulasi, yang dalam prakteknya dapat ditemukan adanya ketidakpahaman para pembentuk produk hukum atas batas kewenangan yang dimiliki Tertib regulasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tediri atas kewenangan, unsur kewenangan merupakan unsur yang sangat mendasar dalam tertib regulasi, yang dalam prakteknya dapat ditemukan adanya ketidakpahaman para pembentuk produk hukum atas batas kewenangan yang dimiliki

diruangkan dalam perundang-undangan tersebut. Unsur kewenangan atau wewenang merupakan unsur penting dalam perbuatan pemerintah, termasuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kewenangan merupakan salah satu dasar legalitas bagi keabsahan dari perbuatan hukum publik, dalam hal ini dalam

yang

seharusnya

pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur. Apabila unsur kewenangan dalam pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur tersebut terpenuhi, maka dengan sendirinya undang-undang tersebut memenuhi syarat keabsahan, dengan demikian secara mutatis mutandis pembentukan Kabupaten Tana Tidung juga dapat dikatakan sah menurut hukum.

Istilah wewenang berasal dari kata bevoegdheid, dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea Belanda Indonesia diartikan sebagai kekuasaan, yaitu wewenang Istilah wewenang berasal dari kata bevoegdheid, dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea Belanda Indonesia diartikan sebagai kekuasaan, yaitu wewenang

Memperhatikan pendapat-pendapat di atas, pada prinsipnya dalam pembentukan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur mensyaratkan adanya kewenangan. Persyaratan kewenangan tersebut tentunya tidak diragukan lagi, sebab undang-undang ini dibentuk oleh lembaga legislatif, yaitu Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kewenangan ini didasarkan

128 N.E. Algra, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, hlm. 74.

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publis- hing, St. Paul Menesotam, 1990, hlm. 133.

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional , PT Binacipta, Jakarta, hlm. 4. 131 Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, YURIDIKA, No. 5&6 Tahun XII, September-Desember, 1997. .

Dalam perspektif substansi, pemekaran wilayah melalui pemben-tukan daerah otonom baru, dalam hal ini pembentukan Kabupaten Tana Tidung secara konstitu- sional merupakan materi yang menjadi kewenangan badan legislatif nasional (Presiden bersama DPR). Hal ini tertera di dalam Pasal 18 ayat (1), yang selengkapnya dirumuskan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai Pemerintah Daerah yang diatur dengan undang- undang ”. Selanjutnya ketentun Pasal 18 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 tersebut diperjelas di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang dirumuskan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.

Keharusan pengaturan substansi pemekaran wilayah baik dengan cara penggabungan maupun dengan cara pembentukan daerah otonom baru dengan produk hukum undang-undang ini lebih dipertegas lagi di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang selengkapnya dirumuskan “Pembentukan Keharusan pengaturan substansi pemekaran wilayah baik dengan cara penggabungan maupun dengan cara pembentukan daerah otonom baru dengan produk hukum undang-undang ini lebih dipertegas lagi di dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang selengkapnya dirumuskan “Pembentukan

Mendasarkan pada uraian di atas, dapat dikemu- kakan pendapat bahwa secara substansial pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur tidak melanggar substansi yang menjadi kewenangan lembaga legislatif, dalam hal ini Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

4.2.6. Pespektif Alasan Strategis Nasional

Sebagaimana diketahui dan juga telah dijelaskan di dalam uraian terdahulu, bahwa pembentukan Kabupaten Tana Tidung berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur secara administratif tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan.

Dalam hal ini tidak memenuhi skor yang disyaratkan di dalam lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Kabupaten Tana Tidung hanya mencapai skor sebanyak 1915, artinya sangat jauh dari ketentuan yang disyaratkan dalam lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemeka- ran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Di dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentu- kan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Pengga- bungan Daerah dengan merujuk Undang-Undang Repu- blik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerin- tahan Daerah, disebutkan bahwa:

“Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indo- nesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pembentukan daerah otonom baru, dimungkinkan dengan memekarkan daerah dan harus

memenuhi syarat-syarat kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Dengan demikian jelas bahwa usul pembentukan daerah tidak dapat diproses apabila hanya memenuhi sebagian syarat saja, seperti halnya sebagian besar dari usul-usul atau faktor memenuhi syarat-syarat kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Dengan demikian jelas bahwa usul pembentukan daerah tidak dapat diproses apabila hanya memenuhi sebagian syarat saja, seperti halnya sebagian besar dari usul-usul atau faktor

selanjutnya dilakukan penilaian dengan menggunakan skoring untuk menentukan rasio kecukupan persyaratan pembentukan daerah otonom baru tersebut. Penilaian indikator tersebut dilakukan dengan mentabulasikan data observasi masing-masing indikator yang dilakukan oleh tim peneliti yang dibentuk untuk itu. Selanjutnya skor tersebut dijumlahkan untuk menentukan kelayakan pembentukan daerah otonom baru. Apabila skornya tidak mencapai jumlah yang disyaratkan, maka proses pembentukan daerah otonom baru tersebut tidak dapat dilanjutkan.

Di dalam lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, terdapat 7 kriteria/syarat, 19 indikator, dan 43 sub indikator. Selanjutnya syarat dan Di dalam lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, terdapat 7 kriteria/syarat, 19 indikator, dan 43 sub indikator. Selanjutnya syarat dan

Berdasarkan penilaian indikator dan sub indikator yang dilakukan oleh tim yang dibentuk untuk melakukan penelitian terkait dengan persyaratan administratif pembentukan Kabupaten Tana Tidung, hanya mencapai skor 1915, yang berarti tidak memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan. Apabila mendasarkan penjelasan dalam lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, maka proses pembentukan Kabupaten Tana Tidung harus dihentikan. Namun dalam kenyataannya proses tersebut tetap diteruskan dan memperoleh legalitas dengan dikeluar- kannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur.

Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti, bahwa dalam rangka pemekaran wilayah, di samping harus memenuhi persyaratan teknis, persyaratan administratif, persyaratan kewilayahan, dan persyaratan yuridis, harus pula mempertimbangkan persyaratan khusus. Bahkan persyaratan khusus ini mengesamping- kan persyaratan administratif, yang dalam hal ini dapat Berdasarkan informasi yang diperoleh peneliti, bahwa dalam rangka pemekaran wilayah, di samping harus memenuhi persyaratan teknis, persyaratan administratif, persyaratan kewilayahan, dan persyaratan yuridis, harus pula mempertimbangkan persyaratan khusus. Bahkan persyaratan khusus ini mengesamping- kan persyaratan administratif, yang dalam hal ini dapat

Pembentukan Kabupaten Tana Tidung berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, apabila dikaitkan dengan kepentingan nasional strategis dapat dipahami me- ngingat Kabupaten Tana Tidung, yang sebagian besar luas wilayahnya terdiri atas hutan yang kaya akan sumber daya alam, seperti kayu, bahan galian tambang emas, minyak bumi, batu bara, serta sumber daya laut dan lain sebagainya, merupakan potensi besar untuk dikelolah bagi kepentingan nasional. Pengelolaan sumber daya alam yang ada di kawasan hutan dan lautan yang menjadi wilayah Kabupaten Tana Tidung ini dapat memberikan keuntungan bagi pemerintah Kabupaten Tana Tidung sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), maupun kepentingan pemerintah pusat sebagai sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), untuk dipergunakan sebagai pembiayaan pem- bangunan.

Zudan Arief Fakrulloh, Staf Ahli Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia , Tanggal 18 Oktober 2014.

Mengingat wilayah Kabupaten Tana Tidung yang memiliki kekayaan alam yang melimpah tentunya memiliki posisi strategis bagi kepentingan nasional. Oleh karena itu, pembentukan Kabupaten Tana Tidung dimaksudkan untuk dapat lebih mengefektifkan pengelolaan sumber daya alam yang ada untuk kepen- tingan pembangunan nasional. Atas dasar pertimbangan inilah kemungkinan pengabaian persyaratan adminis- tratif, yaitu skor yang tidak mencapai persyaratan minimum, tetap dilakukan dalam pembentukan Kabu- paten Tana Tidung.

Di samping alasan kepentingan nasional strategis, pembentukan Kabupaten Tana Tidung juga dapat saja didasarkan atas alasan bahwa wilayah Kabupaten Tana Tidung merupakan salah satu bagian wilayah Negara Republik Indonesia, yang terdapat di bagian utara Pulau Kalimantan. Secara secara tidak langsung wilayah Kabupaten Tana Tidung berbatasan dengan negara tetangga Malaysia. Daerah perbatasan tentunya sangat rawan, mengingat selama ini isu pelanggaran di wilayah perbatasan sering mewarnai polemik perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia. Pembentukan Kabupaten Tana Tidung sebagai daerah otonom baru diharapkan mampu melakukan pengawasan terhadap wilayah perbatasan, sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik perbatasan.

Alasan penyelesaian konflik dapat saja merupakan salah satu alasan pembentukan Kabupaten Tana Tidung, Alasan penyelesaian konflik dapat saja merupakan salah satu alasan pembentukan Kabupaten Tana Tidung,

Untuk menyelesaikan konflik horizontal dan bahkan konflik vertikal dengan Pemerintah Daerah, diharapkan pembentukan Kabupaten Tana Tidung berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

34 Tahun 2007 t tentang Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Di Provinsi Kalimantan Timur, diharapkan juga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik perbatasan dengan Malaysia. Sebab dengan dibentuknya kabupaten ini secara tidak langsung akan memudahkan dilakukannya pengawasan perbatasan oleh pemerintah, melalui

dengan demikian pengawasan akan lebih efektif. Setidak-tidaknya Pemrintah Daerah dapat melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran perba-

Pemerintah

Daerah, Daerah,