Hukum Otonomi Daerah Pemekaran Wilayah S

HUKUM OTONOMI DAERAH

Pemekaran Wilayah Sebagai Kebijakan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Di Daerah

Diterbitkan Oleh R.A.De.Rozarie (Anggota Ikatan Penerbit Indonesia) Jl. Ikan Lumba-Lumba Nomor 40 Surabaya, 60177 Jawa Timur – Negara Kesatuan Republik Indonesia

www.derozarie.co.id – 081333330187

Hukum Otonomi Daerah Pemekaran Wilayah Sebagai Kebijakan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Di Daerah © Agustus 2017

Eklektikus: Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H. Editor: Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H. Master Desain Tata Letak: Eko Puji Sulistyo

Angka Buku Standar Internasional: 9786021176207

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan

Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun

tanpa izin tertulis dari R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan

menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap sebagai sumber referensi. Terima kasih

PENERBIT PERTAMA DENGAN KODE BATANG UNIK

SAMBUTAN I

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ikut bangga kepada Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., yang telah berhasil menuangkan pikiran kritis ilmiahnya da- lam sebuah buku yang berjudul “HUKUM OTONOMI DAERAH: Pemekaran Wilayah Sebagai Kebijakan Mening- katkan Kesejahteraan Masyarakat di Daerah”. Sebagaimana diketahui, pembentukan daerah otonom baru merupakan kebijakan reformatif dalam sistem pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan amanat perubahan konstitusi, seka- ligus sebagai sarana mengekspresikan prinsip-prinsip de- mokrasi. Pembentukan daerah otonom baru ini sekaligus merupakan representasi peran serta masyarakat, pemera- taan keadilan dan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan dan pedalaman.

Perubahan konstitusi tersebut juga telah membawa perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan daerah yang dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Peme- rintahan Daerah. Perubahan tersebut terkait dengan ke- wenangan daerah otonom untuk mengurus rumah tang-

ga daerahnya sendiri, hubungan antara pusat dan daerah, dan hubungan antar daerah, termasuk permasalahan ke- wilayahan yang dihadapi daerah otonom baru.

Pembentukan daerah otonom baru juga dihadapkan permasalahan baru dalam pelaksanaan desentralisasi, khususnya keterbatasan sarana prasarana dan infra- struktur penunjang penyelenggaraan pemerintahan dae- rah lainya yang digunakan untuk memberikan pelayanan masyarakat. Untuk itu kepala pemerintahan baru, diuji harus berbuat apa dan harus bagaimana mengambil kebi- Pembentukan daerah otonom baru juga dihadapkan permasalahan baru dalam pelaksanaan desentralisasi, khususnya keterbatasan sarana prasarana dan infra- struktur penunjang penyelenggaraan pemerintahan dae- rah lainya yang digunakan untuk memberikan pelayanan masyarakat. Untuk itu kepala pemerintahan baru, diuji harus berbuat apa dan harus bagaimana mengambil kebi-

Di samping itu, pembentukan daerah otonom baru juga dihadapkan pada dinamika perubahan ketatanega- raan yang sangat dinamis, terutama perubahan Undang- Undang Pemerintahan Daerah, yang diikuti dengan peru- bahan persyaratan pembentukan daerah otonom baru. Dinamika perubahan ketetanegaraan ini juga dialami pa-

da saat pembentukan Kabupaten Tana Tidung Provinsi Kalimantan Timur (sebelum dimekarkan menjadi Provin- si Kalimantan Utara), yang dimulai dari perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang digunakan seba- gai dasar pengusulannya dan Peraturan Pemerintah Re- publik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persya- ratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapu- san, dan Penggabungan Daerah. Namun pada saat penge- sahannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 ini diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebelum diubah dengan Undang-Undang Repu- blik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014, dan pergantian Pe- raturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Ta- hun 2000 dengan Peraturan Pemerintah Republik Indone- sia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pemben- tukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Peng- gabungan Daerah.

Pergantian peraturan perundang-undangan sebagai dasar pembentukan daerah otonom baru tersebut meng- undang pro kontra dan polemik berkepanjangan di ma- syarakat, terutama terkait dengan keabsahan hukum

ii ii

Akhir kata, saya sebagai dosen dan sahabat, me- nyambut baik dan mengapresiasi gagasan-gagasan ilmiah kritisnya terkait dengan pembentukan daerah otonom baru dengan segala problematikanya, yang dituangkan dalam buku yang diterbitkan ini. Semoga buku ini dapat menjadi sumber referensi bagi pihak-pihak yang membu- tuhkannya, bagi akademisi, mahasiswa, politisi, birokrat, dan masyarakat untuk melengkapi referensi, mengingat terbatasnya referensi tentang pembentukan daerah oto- nom baru. Semoga penuangan gagasan-gagasan kritis il- miah penulis tidak berhenti di buku ini, untuk itu saya berharap masih banyak buku-buku lain yang diterbitkan kembali di masa yang akan datang, terima kasih.

Jakarta, Juli 2017

Prof. Dr. I.B.R. Supancana, S.H., M.H. Direktur Regulatory Research-Jakarta

iii

SAMBUTAN II

Cogito ergo sum , ungkapan dari René Descartes yang menyatakan bahwa manusia ada karena manusia berpi- kir. Dan tentunya ia menjadi tiada ketika sudah tidak berpikir. Ungkapan René Descartes ini cocok untuk me- nggambarkan sosok Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., sebagai sosok yang tidak mau berhenti untuk berpikir. Setidak-tidaknya dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang beliau tempuh pada tingkat kesarjanaanya dari Stra- ta Satu (S-1), Strata Dua (S-2) dengan menempuh 2 (dua) Program Studi, yaitu Magister Sains dan Magister Hu- kum. Jenjang pendidikan ini dilanjutkan ke program Stra- ta Tiga (S-3) dengan gelar akademik tertinggi Doktor Hu- kum. Sosok pemikir seorang Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., terlihat dari keseriusannya menuangkan ga- gasan ilmiahnya untuk dikomunikasikan kepada masya- rakat melalui buku yang ditulisnya.

Berdasarkan pengamatan saya, disamping sebagai sosok pemikir dan pekerja keras yang sukses, Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., juga merupakan seorang biro- krat sejati yang meniti karir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari strata bawah. Di samping itu, juga sebagai po- litikus yang sukses mengantarkan dirinya menduduki pucuk pimpinan di Pemerintahan Kabupaten Tana Ti- dung sebagai daerah otonom baru hasil pemekaran tahun 2007. Sebagai sosok pekerja keras, dalam kepemimpinan- nya beliau telah terbukti mampu mewujudkan mimpinya

iv iv

Sebagai sosok pekerja keras dan juga pemikir yang cerdas, Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., bekerja siang dan malam menggeluti karirnya dengan pengabdian tu- lus untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya. Keberhasilannya mengantar masyarakat menjemput asa terwujudnya hidup yang lebih baik, telah dibuktikan dengan terpilihnya kembali untuk menduduki pucuk pimpinan di Kabupaten Tana Tidung untuk kedua kalinya. Dipundaknyalah semua harapan dan cita-cita masyarakat Tana Tidung disandarkan, dan atas keperca- yaan itulah segala daya upaya yang dimiliki diperta- ruhkan, untuk mensejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat di Kabupaten Tana Tidung.

Kesungguhan sosok Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., sebagai pemikir yang cerdas, antara lain juga dit- unjukkan melalui pikiran-pikiran rasional, kritis, dan ilmiah dalam menjawab isu-isu keabsahan pembentukan Kabupaten Tana Tidung. Pikiran-pikiran ilmiah kritisnya itu selanjutnya dituangkan dalam bukunya yang berjudul “HUKUM OTONOMI DAERAH: Pemekaran Wilayah Se- bagai Kebijakan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Di Daerah”. Buku ini berisikan analisis kritis terhadap kebe- radaan Kabupaten Tana Tidung yang pembentukannya Kesungguhan sosok Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., sebagai pemikir yang cerdas, antara lain juga dit- unjukkan melalui pikiran-pikiran rasional, kritis, dan ilmiah dalam menjawab isu-isu keabsahan pembentukan Kabupaten Tana Tidung. Pikiran-pikiran ilmiah kritisnya itu selanjutnya dituangkan dalam bukunya yang berjudul “HUKUM OTONOMI DAERAH: Pemekaran Wilayah Se- bagai Kebijakan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Di Daerah”. Buku ini berisikan analisis kritis terhadap kebe- radaan Kabupaten Tana Tidung yang pembentukannya

Saya selaku guru dan sekaligus sahabat birokrat berharap semoga buku ini dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat maupun para pengambil keputusan di tingkat pusat maupun provinsi terkait dengan pem- bentukan daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran wilayah. Dan tentunya sebagai seorang guru, saya sangat berharap pikiran-pikiran kritis Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., tidak berhenti pada buku ini, saya dan ma- syarakat tentunya sangat berharap lahirnya buku-buku baru yang berisi buah pikiran kritis ilmiahnya, terima ka- sih.

Jakarta, Juli 2017

Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H., M.H. Dirjen Penduk dan Capil Republik Indonesia

vi

PRAKATA

Ratio legis pemberian otonomi kepada daerah ada- lah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari cita untuk menciptakan dan meningkatkan kesejehteraan masyara- kat. Untuk itu, semenjak reformasi diambil politik hukum dalam bentuk pemekaran dan pembentukan beberapa da- erah otonom, salah satunya adalah Kabupaten Tana Ti- dung.

Pembentukan Kabupaten Tana Tidung tidak dapat dilepaskan dari aspirasi dan partisipasi masyarakat Tana Tidung yang begitu besar untuk memperjuangkan kehi- dupan yang lebih sejahtera. Semenjak terbentuk pada ta- hun 2007 hingga sekarang, tingkat kesejahteraan masya- rakat semakin baik apabila dibandingkan tahun-tahun se- belumnya. Hal tersebut menandakan bahwa pembentu- kan Kabupaten Tana Tidung telah berjalan sesuai alur- nya.

Dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tana Tidung, maka di tengah me- ngemban tugas sebagai Bupati Tana Tidung, saya me- nyajikan pemikiran terbaik dalam sebuah buku yang be- rusaha merekam permasalahan utama yang dihadapi oleh Kabupaten Tana Tidung semenjak terbentuk. Semo-

ga pikiran yang ada dalam buku ini dapat terealisasi de- mi kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tana Tidung pa-

da khususnya, dan demi kemaslahatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karya ilmiah ini tidak akan dapat terlaksana secara baik tanpa ada dukungan moral banyak pihak. Saya ya-

vii vii

Hal lainnya, saya ucapkan terima kasih sebesar- besarnya pada Prof. Dr. I.B.R. Supancana, S.H., M.H., dan Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H., M.H., yang telah memberikan sambutan sehingga buku ini semakin berharga. Tanta potentia formae est …

Tana Tidung, Juli 2017

Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H.

viii

Daftar Isi

Sambutan I

Sambutan II

Daftar Isi

Dimensi Teoritik Pembentukan Kabupaten Tana Tidung

13

BAB III

Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Sebagai Kebijakan Pemekaran Wilayah

36

BAB IV

Analisis Keabsahan Hukum Pembentukan Kabupaten Tana Tidung

142

BAB V

Pencapaian Keberhasilan Pemerintah Kabupaten Tana Tidung Dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

189

BAB VI

Uji Keabsahan Hukum Pembentukan Kabupaten Tana Tidung

234

Daftar Bacaan

261

ix

BAB I APOLOGIA

Dalam sistem ketetanegaraan Indonesia, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan sumber hukum tertinggi, sekaligus merupakan norma hukum yang bersifat fundamental dalam negara. Oleh karena itu, UUD NRI Tahun 1945 merupakan dasar hukum dan tolak ukur uji keabsahan bagi semua ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. UUD NRI Tahun 1945 juga merupakan sumber dan dasar hukum bagi terbentuknya undang-undang yang mengikat semua orang secara

langsung. 1 Oleh karenanya, setiap perubahan UUD NRI Tahun 1945 akan berpengaruh terhadap tertib hukum yang ada di bawahnya.

Dalam hubungannya dengan kedudukan konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi, James Bryce menyatakan a frame of political society, organized through and by law, that is to say on which law has established

permanent institution with recoqnized function definite rights . 2 Sedangkan C F Strong menyatakan Constituion is a colection of principles according to which the power of the

1 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Jilid. 1, Kanisius, Yogyakarta, 2007, hlm. 48.

2 C F Strong, Modern Political Constitutions, Dalam Soetanto Soepiadhy, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Prospek

Perkembangan Demokrasi , Penelitian, Program Studi Doktor Ilmu Hu- kum, Pascasarjana, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2006, hlm. 118.

government, the right of the government, and the relations

between two or ajusted . 3

Pendapat tersebut mengandung pengertian bahwa konstitusi merupakan kumpulan asas-asas yang berisi kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas); hak-hak yang diperintah; hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah, menyangkut didalamnya masalah hak asasi manusia.

Terkait dengan perubahan UUD NRI Tahun 1945, Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa

“Perubahan konstitusi tersebut (UUD NRI Tahun 1945) telah mengubah paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara yang merubah pula corak dan format kelembagaan, serta mekanisme hubungan antar lembaga

negara yang ada”. 4 Perubahan tersebut diantaranya ketentuan perundang-undangan tentang pemberian wewenang otonom kepada daerah yang lebih luas. Dengan otonomi yang luas, daerah diharapkan memiliki keleluasaan dalam mengembangkan potensi daerahnya dalam rangka mempercepat pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah.

Salah satu perubahan mendasar yang memberikan wewenang yang lebih otonom kepada daerah otonom tersebut dilakukan melalui perubahan terhadap ketentuan Pasal 18 menjadi Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945. Perubahan mendasar

3 Ibid . 4 Kata pengantar Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indo- nesia tertuang dalam naskah UUD 1945 yang telah diubah.

terhadap UUD 1945, juga dikemukakan oleh Bagir Manan, yang menyatakan bahwa baik secara struktur maupun substansi perubahan tersebut sangatlah mendasar. Secara struktur, Pasal 18 (sebelum perubahan) sama sekali diganti baru. Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan terlihat lebih rinci dibandingkan Pasal

18 sebelum perubahan. 5 Perubahan mendasar tersebut juga terlihat dengan dihapuskannya Penjelasan UUD NRI Tahun 1945, yang selama ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari UUD NRI Tahun 1945.

Mengenai pertimbangan dihapusnya penjelasan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, karena penjelasan pasal tersebut dianggap menimbulkan keganjilan, kerancuan, bahkan anomali bagi Pasal 18 itu sendiri. Dengan dihapusnya Penjelasan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 tersebut, maka satu-satunya sumber konstitusional pemerintahan daerah adalah Pasal 18, Pasal 18A dan

Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945. 6 Perubahan secara substansial dapat dilihat pada rumusan sebagai berikut: (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas

daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai Pemerintah Daerah yang diatur dengan undang- undang.

5 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum FH-UII, Yogyakarta, 2005, hlm. 7.

6 Ibid .

(2) Pemerintah Daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota diatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

(3) Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas- luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang

sebagai urusan pemerintah pusat. (6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

ditentukan

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerinta- han daerah diatur dalam undang-undang. 7 Berdasarkan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, setiap daerah diberikan kewenangan otonom untuk mengatur urusan rumah tangga daerahnya sesuai kewenangan yang dimilikinya dengan memperhatikan prakarsa masyarakat daerah setempat. Perubahan lainnya juga menyangkut kewenangan, tugas, dan kewajiban Kepala

7 Rumusan ketentuan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 setelah di- lakukan perubahan kedua.

Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD). Di samping itu, juga terkait dengan tata cara pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan pengisian keanggotaan DPRD, yang pada saat ini dilakukan dengan pemilihan secara langsung. Perubahan Pasal 18 UUD NRI Tahun l945 juga menjadi kunci pembuka bagi terbentuknya daerah otonom baru melalui pemekaran wilayah, baik tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Menurut Zudan Arif Fakrulloh, dengan semangat otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerahnya sesuai dengan kewenangannya, pemerintah daerah dapat mengelolah semua potensi daerah termasuk membuat dan membentuk produk

hukum sesuai dengan masalah yang dihadapi. 8 Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara mandiri dan secara perlahan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kewenangan tersebut diharapkan mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat, sehingga lambat laun menjadikan daerah lebih mandiri, dalam memacu terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah diharapkan mampu memotong jalur birokrasi, rentang jarak, dan

8 Zudan Arif Fakrulloh, Loc. Cit.

rentang waktu pelayanan terhadap masyarakat di daerah. 9 Setelah diubah, Pasal 18 UUD NRI Tahun l945 pertama kali dijabarkan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun l999 tentang Pemerintahan Daerah, untuk menggantikan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menunjukkan adanya perbedaan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, jika dibandingkan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Perbedaan tersebut terkait dengan kewenangan kepala daerah, kewenangan DPRD, tata cara pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta menyangkut produk-produk hukum yang dihasil- kan oleh daerah sebagai wujud kemandirian daerah.

Harapan-harapan otonomi itu ternyata jauh dari kenyataan, sebab terjadi persepsi yang keliru dalam memaknai otonomi yang memberikan kewenangan luas kepada daerah. Tidak sedikit pemerintah daerah yang mengambil kebijakan sendiri dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerahnya melalui penetapan

peraturan daerah. 10 Kebijakan itu justru disalahgunakan.

9 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia No- mor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

10 Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah dan Peluang Investasi, 26 Sep 2010, html.scribd.com.

Hal ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip, bahwa apabila peraturan pusat telah menetapkan, maka

peraturan daerah menyesuaikan sebagaimana mestinya, 11 sehingga tidak terjadi pertentangan peraturan daerah dengan peraturan yang lebih tinggi.

Otonomi daerah juga telah dipersepsikan sebagai kebebasan untuk menentukan sendiri kebijakan daerah sesuai dengan selera pimpinan daerah. Bahkan ada anggapan seolah-olah tidak ada hubungan antara kabupaten/kota

dengan provinsi, dan dengan pemerintah pusat. Asumsi yang demikian sangat tidak benar, sebab sesungguhnya otonomi luas yang diberikan kepada daerah harus dipahami sebagai keleluasaan menjalankan urusan pemerintahan dengan tetap berada dalam kerangka konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan koridor hukum. Namun fakta menunjuk- kan bahwa kebijakan desentralisasi sejak diberlakukan di seluruh provinsi di Indonesia, hanya 9 (sembilan) provinsi yang mampu mengurangi angka kemiskinan. Artinya kesembilan provinsi tersebut yang mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, sedang- kan 24 (dua puluh empat) provinsi lainnya justru menga- lami peningkatan jumlah orang miskin, dan dapat diarti-

kan belum mampu mensejahterakan masyarakat. 12 Hal ini menunjukkan adanya kegagalan Undang-Undang

11 Ibid. 12 Kolom Pakar, Media Indonesia, (Jakarta), Senin, 24 September

2012, hlm. 13, kol. 4-5.

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Peme- rintahan Daerah, dalam mewujudkan kesejahteraan ma- syarakat.

Sebagian pendapat menyatakan, bahwa upaya untuk menumbuhkan ekonomi dan pendapatan daerah pada saat berlakunya undang-undang ini tidak signifikan. Banyak pejabat di daerah yang tidak kreatif dan tidak inovatif dalam menumbuhkan ekonomi dan pendapatan asli daerah. Bahkan banyak daerah yang senantiasa hanya mengandalkan sumber daya alam dengan menjual-belikan konsesi-konsesi hutan dan

pertambangan. 13 Banyak daerah yang mempermudah perijinan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hanya untuk menarik investasi tanpa mempedulikan risiko ekologis. Kebijakan demikian tidak sesuai filosofi pemberian otonomi dan desentralisasi kewenangan dari pusat kepada daerah, yang berkeinginan menjadikan daerah sebagai tuan rumah di daerahnya sendiri.

Undang-undang ini dianggap gagal dalam membawa perubahan terhadap upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat di daerah. Undang-undang ini bahkan telah menimbulkan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara pusat dengan daerah semakin nyata. Berlakunya undang-undang ini hanya menciptakan sekelompok orang kaya baru, khususnya bagi kepala daerah dan kroninya. Banyak kepala daerah menjadi raja- raja kecil di daerah dengan kewenangannya mengatur

13 Ibid .

penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Dasar hukum pembentukan daerah otonom baru tersebut diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota yang masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah. Untuk memperjelas maksud ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut, selanjutnya ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan: (1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan Undang-undang. (2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyeleng garakan urusan pemerintah, penunjukan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.

(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari suatu daerah menjadi dua atau lebih.

(4) Pemekaran dari suatu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) (4) Pemekaran dari suatu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

Pembentukan daerah otonom baru tersebut dilakukan melalui pemekaran wilayah, maupun dengan cara penggabungan daerah yang sudah ada. Tujuan pembentukan daerah otonom baru tersebut dapat dipahami dalam Penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan bahwa:

“Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksud kan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyara- kat di samping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah harus mempertim bangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wila- yah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan tujuan dibentuknya da- erah dan diberikannya otonomi daerah. ”

Ketentuan-ketentuan yang ada terkait dengan pembentukan daerah otonom baru sebagaimana dimak- sud dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan Dan Penggabungan Daerah.

Dengan pemekaran

diharapkan dapat memotong rentang birokrasi dan rentang jarak antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota. Dengan pemekaran wilayah diharapkan dapat memperpendek jarak antara masyarakat dengan pusat pelayanan masyarakat. Dengan demikian pelayanan masyarakat dapat dilakukan dengan efektif dan efisien, sesuai dengan keinginan masyarakat.

wilayah

Salah satu daerah yang melakukan pembentukan daerah otonom baru melalui pemekaran wilayah tersebut adalah Provinsi Kalimantan Timur, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Timur terdiri atas kabupaten Bulungan, Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai, Kabupaten Paser, Kota Samarinda dan Balikpapan.

Pemekaran wilayah ini didasarkan pertimbangan bahwa kabupaten dan kota yang ada telah mengalami perkembangan yang sangat cepat, sehingga dipandang perlu melakukan pembentukan daerah otonom baru melalui pemekaran Kabupaten Bulungan. Bahkan pada tahun 2014 Provinsi Kalimantan Timur telah berkembang menjadi Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Utara. Pemekaran wilayah Kabupaten Bulungan tersebut dilakukan dengan pembentukan daerah otonom baru, yaitu Kabupaten Tana Tidung.

Berdasarkan hasil penelitian aspek geografis, aspek demografis, aspek sosio ekonomi, dan sosio kultural, serta memperhatikan dimensi politik dan hukum, layak untuk dibentuk daerah otonom baru tersebut. Namun demikian Pembentukan Kabupaten Tana Tidung tersebut dalam perjalanannya menyisakan permasalahan yuridis yang memerlukan telaah dan kajian ilmiah. Tujuannya untuk memberikan pencerahan dan kejelasan keabsahan pembentukannya.

BAB II DIMENSI TEORITIK PEMBENTUKAN KABUPATEN TANA TIDUNG

2.1. Teori Negara Hukum

Hakikat negara hukum berkenaan dengan ide tentang supremasi hukum yang disandingkan dengan ide kedaulatan rakyat yang melahirkan konsep demokrasi. 14 Ide negara hukum pertama kali muncul dengan istilah “rule of law” yang diperkenalkan Albert Van Dicey. Di Amerika Serikat dikenal dengan the rule of law dan di Eropa, khususnya di Belanda dikenal istilah rechtsstaat. Ide negara hukum banyak dikaitkan dengan istilah demokrasi, yang dalam bahasa Yunani berasal dari kata “demos” dan “cratos” atau “cratein”, yang merupakan pengembangan dari istilah “nomocracy”, yang berasal dari kata “nomos” atau “nomoa” yang berarti norma dan

“cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan. 15 Ide negara hukum bertujuan untuk membatasi penggunaan kekuasaan. Pemikiran dasar konsepsi negara

14 Jimly Assidiqie, Konstitusi Sebagai Landasan Indonesia Baru Yang Demokratis, (Pokok Pokok Pikiran tentang Perimbangan Kekuasaan

Eksekutif dan Legislatif Dalam Rangka Perubahan Undang-Undang Dasar l945, Makalah, Disampaikan Dalam Seminar Hukum Nasional VII, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, 1999, hlm. 146-147.

15 Jimly Assididdiqie, “Cita Negara Hukum Indonesia Kontem- por er”, Orasi Ilmiah pada Wisuda Sarjana Hukum Universitas Sriwi- jaya Palembang, 23 Maret 2004, dalam Jurnal Simbur Cahaya, No. 25

Th. IX, Mei 2004, hlm. 166.

hukum bertujuan memberikan legalitas penggunaan wewenang penguasa agar tidak disalahgunakan. Sehubungan dengan itu, ide negara hukum sangat berkaitan dengan keinginan untuk memberikan kedaulatan tertinggi kepada hukum di dalam negara. Kekuasaan bukan terletak pada orang yang menjalankan pemerintahan, akan tetapi diletakkan pada norma hukum yang mendasari. Prinsip negara hukum mengutamakan norma yang dicerminkan dalam peraturan perundang- undangan, sedangkan prinsip demokrasi mengutama- kan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan

pemerintahan.” 16 Terdapat dua konsep negara hukum, yaitu pertama, negara hukum formil atau rechtstaat dalam arti formal, dalam konsep negara hukum ini, negara tidak banyak mencampuri urusan warga masyarakatnya. Konsep rechtsstaat dalam arti formal ini disebut sebagai konsep

negara hukum liberal. 17 Konsep rechtsstaat dalam arti formil menempatkan negara hanya sebagai penjaga malam, sehingga negara hanya berfungsi menjalankan tugas dan wewenangnya apabila terjadi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakatnya.

Ferdinant Lassale, menyatakan bahwa tugas negara hanya sebagai penjaga malam, karena tugas dan fungsi negara hanya mencegah kekacauan, hanya bersumber

16 Ibid. 17 Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Makalah , UI Press, Jakarta, l998, hlm. 2.

pada kekuasaan

halnya dalam pemerintahan raja yang mutlak. 18 Negara hanya berfungsi mempertahankan kekuasaannya, hal ini tentuya bukan tujuan negara hukum, sebab tujuan negara hukum yang sebenarnya mewujudkan kesejahteraan bagi warga masyarakatnya.

sebagaimana

Konsepsi negara hukum yang kedua adalah negara hukum materiil. Dalam konsep ini negara memiliki tugas untuk menyelenggarakan pelayanan masyarakat, negara harus mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dan tugas

ini menurut Lemaire disebut tugas bestuurzorg. 19 Negara harus menyelenggarakan social service atau memberikan pelayanan untuk kebutuhan hidup masyarakatnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

Menurut J Barent dalam bukunya Der wetenschaap der politiek menyatakan bahwa tujuan negara yang sebenarnya ialah pemeliharaan ketertiban, keamanan, serta penyelenggaraan kesejahteraan umum dalam arti yang seluas-luasnya, baik politik, ekonomi, sosial dan

kultural. 20 Sedangkan menurut Charles E Merriam dalam bukunya Sistematic Polities menyebutnya dengan istilah welfaar staat , 21 atau negara kesejahteraan.

18 Barent, J, Op. Cit., hlm. 152. 19 S F Marbun dan Moh. Mahfud, MD, Pokok-Pokok Hukum Ad-

ministrasi Negara , Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm. 45. 20 J Barent, De Wetenschap Der politiek, terjemahan L M Sitorus,

Ilmu Politik , Pembangunan, Jakarta, 1965, 49. 21 Ibid, hlm. 51.

Jacobsen dan Lipman dalam bukunya Political Science, menyebutkan bahwa tujuan yang demikian itu sebagai tujuan negara yang utama. 22 Selanjutnya dalam bukunya The Modern State, Mac Iver menyatakan bahwa tujuan pendirian negara untuk melakukan pemeliharaan ketertiban, perlindungan, pemeliharaan, dan pengemba-

ngan. 23 Berdasarkan pada pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan negara umumnya menyelengga- rakan pelayanan masyarakat mewujudkan kesejahteraan umum seluas-luasnya, dengan tetap menjaga ketertiban, keamanan, dan memberikan perlindungan bagi masyara- katnya tanpa pengecualian. Hal demikian tentunya merupakan standar tujuan yang harus dicapai oleh setiap negara hukum modern, yang tidak lagi hanya berfungsi menjalankan tugasnya apabila terjadi gangguan keama- nan dan ketertiban saja.

2.2. Teori Peraturan Perundang-Undangan

Dalam konsepsi negara hukum, perbuatan penguasa dan rakyatnya hanya dianggap sah apabila didasarkan atas hukum yang berlaku, sehingga hukum dapat dipandang sebagai ujung tombak kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk memperoleh kepastian, maka hukum harus dituangkan dalam aturan tertulis yang mewujud dalam peraturan

22 F Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Dhirwantara, Bandung, 1967, hlm. 34.

23 Ibid , hlm. 158.

perundang-undangan. Sehubungan dengan itu, berarti harus ada lembaga pembentuk formal, prosedur pembentukan formal, dan bentuk yang formal sebagai produknya. Hukum demikian ini selanjutnya disebut sebagai hukum positif.

Menurut Kaplow, pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat berkaitan dengan derajat ketepatan pengaturan detail kompleksitas isi aturan, khususnya tentang ketepatan pengaturan apa yang diperkenankan dan apa saja yang dilarang; bagaimana standar pengaturan tersebut diterapkan dan ditegakkan pada saat aturannya diundangkan dan

diberlakukan secara penuh. 24

Menurut Hakim Garuda Nusantara, terdapat dua tradisi hukum yang terkenal, yaitu tradisi continental system , dan tradisi common law system. 25 Kedua tradisi hukum ini sama-sama memiliki pengaruh dan menjadi rujukan bagi negara-negara dalam pembangunan sistem hukumnya. Common law system dikembangkan di Inggris, sedangkan tradisi continental system, lahir dan dikembangkan di negara-negara kawasan Eropa continental , seperti Belanda, Perancis dan lain sebagainya.

Kedua tradisi hukum tersebut dalam pembentukan hukumnya terdapat perbedaan yang sangat signifikan.

24 Louis Kaplow, General Characteristic of Rules, Harvard Law School and National Bureau of Economics Research, l999, hlm. 502.

25 Artidjo Al Kautsar dan M Sholeh Amin, Pembangunan Hukum Dalam Pespektif Politik Hukum Nasional , LBH Yogyakarta Bekerjasama

dengan Rajawali Pers, Jakarta, l986, hlm. 154-155.

Dalam common law system, pembentukan hukumnya lebih banyak dilakukan melalui praktek peradilan melalui putusan putusan hakim. Putusan hakim yang sudah menjadi preseden hukum, dijadikan rujukan bagi hakim- hakim berikutnya dalam memeriksa dan mengadili, serta memutus perkara-pekara yang sama. Putusan-putusan hakim ini sekaligus untuk mengetahui atau menunjukkan perkembangan ke arah mana hukum, dan rasa keadilan dalam masyarakat, sebab putusan hakim selalu mengako- modir perkembangan hukum dan keadilan dalam masya- rakat tersebut.

Pendapat senada juga dikemukakan Bagir Manan, yang menurutnya tradisi common law system berkembang melalui penanganan kasus-kasus hukum konkrit di pengadilan, dan dari kasus-kasus hukum konkrit ini kemudian dapat ditemukan kaidah hukum dan asas-asas

hukum. 26 Dalam tradisi common law system menggunakan tradisi logika berpikir induktif, yaitu ditentukan fakta hukumnya lebih dulu, baru kemudian ditarik dan dirumuskan norma dan asas-asas hukumnya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Lili Rasjidi dengan menyatakan bahwa negara-negara yang menganut tradisi common law system, kewenangan pembentukan hukum

dilakukan oleh hakim. 27

26 Ibid . 27 Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sis- tem , Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 162-163.

Mengingat pembentukan hukum melalui putusan hakim memerlukan waktu yang lama, sebab proses pemeriksaan perkara dilakukan melalui lembaga peradilan berjenjang, dan dilakukan melalui penyelesaian kasus demi kasus, maka dalam perkembangannya pembentukan hukum dalam tradisi common law system tidak selalu melalui pengadilan dengan putusan hakim atas peristiwa konkrit, tetapi juga dapat dilakukan

melalui pembentukan undang-undang oleh parlemen. 28 Pada tradisi hukum continental law system, hukum dibentuk parlemen. Dalam tradisi continental law system mengedepankan asas kepastian hukum, yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis yang diupayakan terkodifikasi dan terunifikasi. Bagir Manan menyatakan, bahwa pada negara-negara yang berada dalam continental law system selalu berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya secara tertulis, bahkan dalam suatu sistematika yang diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitab undang-undang

(kodifikasi). 29 Dalam perkembangannya, tradisi continental law system juga tidak dapat mempertahankan tradisi hukum undang-undang sebagai sumber hukum, karena sering tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan, sementara penerapan hukum oleh hakim semakin jauh dari nilai-

28 Soenaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandigan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, l991, hlm. 104.

29 Bagir Manan, Dasar Dasar Perundang-undangan Indonesia, IN- HILL.Co, Jakarta, l992, hlm. 6.

nilai keadilan, maka yurisprudensi diperg unakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam peraturan

perundang-undangan. 30 Permasalahan hukum dalam masyarakat sangat cepat mengikuti dinamika peradaban yang didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun Roscou Pound dalam teorinya ingin menempatkan hukum di depan permasalahan de- ngan meletakkan fungsi hukum sebagai law as a tool of so- cial engineering , namun fakta menunjukkan sangat tidak mungkin mendahulukan hukum di depan permasalahan hukum.

Sehubungan dengan itu, perbedaan antara kedua tradisi hukum tersebut dalam pembentukan hukum akhirnya bertemu dalam satu titik, masing-masing tradisi mempunyai kelemahan dan kelebihan dan pada akhirnya saling melengkapi, karena kedua tradisi hukum tersebut sama-sama menggunakan peraturan perundangan dan yurisprudensi sebagai sumber hukumnya. Hakim dalam pembentukan hukum melalui putusan-putusan hukum terhadap kasus-kasus konkrit, yang kekuatan mengikat- nya terbatas pada pihak-pihak yang bersengketa. Namun apabila putusan-putusan hakim tersebut diulang-ulang dalam kasus yang sama, dapat menjadi yurisprudensi dan berlaku secara umum. Putusan-putusan hakim yang berlaku umum memiliki karakter sebagai peraturan- peraturan umum, yang mengikat seperti undang-undang,

30 Sirajuddin, Legislatif Drafting Dalam Pembentukan Peraturan Perundangan , Yappika, Malang, 206, hlm. 6.

sebab putusan hakim itu mengandung asas-asas hukum umum.

Satu hal yang harus diperhatikan ketika melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah:

a. harus tahu apa yang akan diatur, terkait dengan substansi atau materi yang akan diatur,

b. mengapa hal itu perlu diatur, hal ini terkait dengan alasan-alasan yang mendasari perlunya pengaturan;

c. untuk apa diatur, hal ini terkait dengan tujuan pengaturan;

d. bagaimana mengatur, terkait dengan isi aturan atau isi norma yang terdapat dalam aturan;

e. siapa yang mengatur, hal ini berkaitan dengan kewe- nangan yang berhubungan dengan substansi atau materi yang diatur;

f. dengan apa mengatur, hal ini terkait dengan bentuk yang akan dipergunakan untuk membuat mengatur.

Di Indonesia, pembentukan hukum banyak dipe- ngaruhi oleh continental system. Hukum di Indonesia pembentukannya lebih banyak dilakukan oleh lembaga legislatif yang mewujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan formal, baik di tingkat pusat mau- pun di tingkat daerah. Namun demikian di Indonesia juga menggunakan hukum tidak tertulis untuk meleng- kapi hukum tertulis, serta menggunakan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.

Dalam rangka menghasilkan produk peraturan perundang-undangan yang ideal, seharusnya dalam Dalam rangka menghasilkan produk peraturan perundang-undangan yang ideal, seharusnya dalam

Dewasa ini, teori pembentukan peraturan perundang-undangan tidak lagi semata-mata didasarkan pada keinginan pembentuknya, tetapi harus disesuaikan dengan pemangku kepentingan atau siapa yang akan dikenai oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Metode baru ini telah banyak dianut dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya bagi produk legislasi, yaitu undang-undang dan peraturan daerah. Perancang

perundang-undangan ketika sedang menyusun

rancangan prundang-undangan pada umumnya dihadapkan berbagai persoalan yang sangat kompleks, yang menjadi pertimbangan dalam perancang perundang-undangan. Untuk memperoleh identifikasi yang baik terhadap permasalahan yang ada guna memberikan solusi yang tepat terhadap penyelesaian permasalahan tersebut, Robert B Seidman menawarkan sebuah metode yang dikenal dengan nama ROCCIPI. Nama ini sebenarnya merupakan akronim dari rule, opportuniy, capacity, communication, interset, process, dan

ideology . 31 Selanjutnya dikatakan Himawan, bahwa

31 Ibid .

metode ROCCIPI merupakan metode yang lebih mengajak para perancang perundang-undangan untuk melakukan penelitian faktual/empiris, untuk mempero- leh data langsung tentang masalah sosial yang akan diatur dalam peraturan (daerah). Maksudnya adalah perancang (perundang-undangan) dapat dengan jelas menyebutkan apa masalah sosialnya dan bagaimana hal

itu akan diselesaikan. 32 Dengan demikian undang- undang yang akan dibentuk diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan yang terjadi yang telah diidentifikasi sebelumnya.

2.3. Teori Tujuan Hukum

Tujuan hukum yang utama untuk mewujudkan keadilan. Keadilan merupakan terminologi yang tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang hukum, bahkan selalu menarik untuk dibicarakan. Keadilan merupakan makna yang hakiki dalam hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan merupakan esensi dari hukum, keadilan juga dapat diidentikkan dengan hukum. Keadilan disebut-sebut berasal dari kata justice. Menurut Institute of Justinian , istilah “justice” dirumuskan sebagai justice is the constant and continual purpose which given to

everyone his own . 33 Keadilan berkaitan dengan hak seseorang yang seharusnya diberikan oleh orang atau pihak lain,

32 Ibid . 33 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indo-

nesia , Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm. 90.

sehingga apabila seseorang tidak menerima apa yang menjadi haknya, maka kondisi demikian dapat dianggap tidak adil, bahkan tidak mencerminkan rasa keadilan. Menurut Plato, keadilan merupakan masalah kesenangan yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan antara satu orang dengan orang lainnya, akhirnya

keadilan hanyalah merupakan suatu bentuk kompromi. 34 Keadilan merupakan kebajikan yang mengandung keselarasan dan keseimbangan yang tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi rasional. 35 Selanjutnya Plato membagi kebajikan ke dalam klasifikasi kebijaksanaan atau kearifan; keberanian atau keteguhan

hati; kedisiplinan; serta keadilan. 36

Senada dengan Plato, Ulpianus menyatakan bahwa keadilan disebutnya sebagai justitia constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi (keadilan merupakan kehendak yang terus menerus dan memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya) atau tribuere cuique suum-to give every body his own , keadilan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi

haknya. 37 Ulpianus mempertegas pengertian pengakuan terhadap apa yang menjadi hak seseorang yang harus diterimakan sesuai dengan apa yang seharusnya

34 Ibid , hlm. 92 35 W Friedmann, Legal Theory, Stevens and Son Limited, London, 1960, Dalam Munir Fuady, Op. Cit. 36 Sudarsono, Ilmu Filsafat suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakar- ta, 2001, hlm. 271. 37 Soetanto Soepiadhy, Keadilan Hukum, Surabaya Pagi, 28 Ma- ret 2012.

diterima. 38 Dalam teori keadilan Aristoteles, keadilan yang demikian dikenal dengan istilah keadilan distributif.

Aristoteles juga menyatakan, bahwa keadilan itu akan tercapai apabila seseorang mentaati norma-norma hukum yang berlaku; dan seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti

persamaan hak. 39 Equal atau equality mengehendaki adanya penyamarataan dari masyarakat yang satu terhadap masyarakat yang lainnya, sehingga manakala terdapat ketidaksamaan dalam penerimaan, maka hak itu menciderai rasa keadilan.

Jeremy Bentham menyatakan bahwa keadilan akan didapatkan jika terjadi maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas, sehingga akan diperoleh suatu the

greatest happiness of the greatest number . 40 Pendapat Jeremy Bentham memperoleh kritik dari John Rawls, bahwa kebahagiaan itu bersifat utopis dan relatif, artinya kebahagiaan selalu bersanding dengan ketidakbahagiaan. Kebahagiaan tidak dapat digunakan sebagai parameter bagi ditaatinya aturan atau norma hukum, tidak semua orang yang memperoleh kesenangan selalu taat pada hukum, dan kenyataannya banyak orang yang hidupnya bahagia tetapi melanggar hukum.

38 Ibid . 39 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2006, hlm. 93. 40 Ibid , hlm. 95.

Konsep keadilan menurut Jeremy Bentham bersifat semu, selanjutnya John Rawls menyatakan, bahwa terdapat prinsip keadilan yaitu each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others; social and economic inequalities are to

be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone’s advented, and (b) attached to positions and offices open to all . 41 Ajaran utilitarian Jeremy Bentham ini diteruskan oleh John Stuart Mill, dan David Hume, yang mengajarkan bahwa kebahagiaan merupakan prinsip untuk mengukur keadilan hukum. Untuk mewujudkan kebahagiaan, maka kelembagaan negara, termasuk institusi sosial, dan institusi hukum lainya harus diukur dari manfaatnya. Selanjutnya John Stuart Mill menyatakan ”...and the test of what laws there ought to be,

and what laws ough t to be, was utility”. 42 Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila bersifat adil. Keadilan bukan hanya sekadar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan

hukum. 43 Mendasarkan pendapat Santo Thomas Aquinas, John Rawls menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dan kebijakan hukum didistribusikan secara proporsional

41 John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press, Masacusetts, 1971, hlm. 60.

42 Ibid. 43 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan

Hak Asasi Manusia , Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm. 93.

atas dasar harkat dan martabat manusia demi mewujudkan kesejahteraan umum. 44 Pemikiran ini didasarkan pada asumsi bahwa hasrat dan kehendak dari pihak

yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan bukan merupakan dasar yang eksklusif dari sebuah tertib hukum. Legislasi hukum positif mengandung pengertian keadilan, yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedural.

Keadilan prosedural berkaitan dengan prosedur yang jujur dan benar dalam melaksanakan hukum. Suatu prosedur hukum yang jujur dan benar harus memenuhi syarat-syarat, semua hukum yang dinyatakan berlaku harus diundangkan. Akibat hukum tidak boleh mencerminkan sebuah upaya pembalasan, isi hukum harus koheren dan secara substansial tidak boleh ada

pertentangan dan harus memiliki kontinuitas. 45 Untuk mempertahankan norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, maka harus ditegakkan oleh sebuah otoritas yang memiliki kompetensi untuk mempertahankannya. Penegakan hukum norma-norma dalam peraturan perundang-undangan berkaitan dengan perbuatan lahir manusia dan sama sekali tidak berhubungan dengan sikap batin manusia. Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberikan sanksi adalah

44 Ibid . 45 Ibid, hlm. 129.

perwujudan dari sikap batin yang buruk, atau menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit. 46 Gustav Radbruch membagi jenis kepastian hukum ke dalam kepastian hukum oleh karena hukum, dan