Lahirnya Institut Suffah

3. Lahirnya Institut Suffah

Bermaksud mencontoh pola Rasulullah s.a.w pada awal perkembangan hijarahnya ke Yatsrib dengan membentuk masyarakat yang Isalam dan lembaga pendidikan serta pengkaderan, maka SM. Kartosuwiryo berusaha mendirikan sebuah lembaga

pendidikan dan pengkaderan yang bernama “Institut Suffah”. Lembaga ini diharapkan akan menjadi modal utama dalam usaha melahirkan “Darul Islam” dikemudian hari. Gagasan ini sesungguhnya sudah lama dicanangkan sejak kongres pada tahun 1937 di Surabaya. SM. Kartosuwiryo yang sungguh mengerti akan pentingnya lembaga kaderisasi kepemimpinan dan yang memberi perhatian pada bidang ini dalam brosus hijrahnya, diberi kepercayaan untuk mendirikan suatu lembaga yang direncanakan guna melatih kader- kader pimpinan Islam yang “militan” oleh kongres partai saat itu. Tetapi ketika pimpinan PSII memutar haluan politiknya ke Parlementer, maka partai tidak ada lagi minatnya terhadap rencana tersebut. Namun SM. Kartosuwiryo dengan kesungguhan hati meneuskan persiapan guna pembentukan lembaga pengkaderan dari penyesuaian itu, dengan pola Rasulullah s.a.w. Lembaga yang dimaksudkannya tidak lagi terikat dengan PSII lama. Pimpinan Abi Kusno cs yang dirasakannya telah mengkhianati perjuangan ummat Islam Indonesia, lembaga ini akan menjadi lembaga pendidikan yang terikat dan diawasi oleh PSII kedua, tegasnya PSII hijrah. Setelah rencana itu disyahkan oleh kongres PSII kedua pada Maret 1940. Didirikan “Institut Suffah” yang beralokasi di Malangbong, dengan institute ini paling tidak ada dua target yang dapat digarap. Pertama, membentuk para mujahid, kader-kader yang militan, yang kuat aqidahnya dan menguasai ilmu Islam yang nantinya mampu menggerakkan jihad fisabilillah, termasuk jihad dalam arti “fisik” menumbangkan dominasi penguasa-penguasa dzolim, dalam rangka menegakkan Daulah Islamiyyah. Kedua, menciptakan masyarakat yang Islami, dengan mulai pengenalan serta penerapan mulai dari sistem hidup dengan Islami bagi setiap pribadi, masyarakat Malangbong dan sekitarnya menjadi objek bagi pelaksanaan program ini, yang bisa diharapkan menjadi basis kekuatan dan pusat komando gerakan jihad ummat Islam dikemudian hari. Jihad adalah merupakan tindak lanjut daripada hijrah, sebab sikap hijrah tidak dianggap absah bila tidak diiringi dengan jihad. Lembaga pendidikan Suffah ini disusun menurut sistem pesantren dan madrasah, menghasilkan hubungan yang sangat erat antara guru dengan murid / siswanya. Guru disini, disamping pendidik dan pengajar juga berfungsi sebagai contoh suri tauladan (Uswatun Hasanah) bagi para siswanya dalam menerapka nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, sekaligus sebagai pemimpin dan pembimbing yang membawa para siswanya kearah mardhotillah di dunia dan akhirat. Disini para siswa akan

digamblang selama empat atau enam bulan, sehingga mereka benar-benar menjadi kader yang tangguh dan militan, yang bisa diharapkan menanamkan dan menyebarkan idea serta cita-cita Islam dikalangan masyarakat dimana mereka akan kembali. Kebanyakan yang datang menjadi siswa disini adalah para pemuda yang berasal dari daerah Parahiyangan, ada juga yang dari jauh seperti dari Banten, Wonorejo, Cirebon, bahkan dari Toli-toli dan Sulawesi Utara. SM. Kartosuwiryo, selaku pimpinan lembaga ini, beliau memegang pelajaran ilmu Tauhid, untuk menanamkan aqidah dan keyakinan pada siswa, diuraikannya pengertian kalimah (Lailaha ilallah), yang merupakan dasar serta sumber segala aspek kehidupan ummat Islam, uraiannya secar sepintas bisa kita lihat seperti di bawah ini : Artinya : Tidak ada yang maujud kecuali atas idzin dan takdir Allah, hal ini untuk membulatkan aqidah dan keyakinan bahwa setiap kejadian baik yang terjadi atau yang menjadi, baik yang disengaja oleh manusia ataupun yang tidak, baik yang sesuai dengan keinginan atau tidak, yang bersifat biasa atau luar biasa, yang manis yang pahit, yang baik maupun yang buruk, itu semua atas kodrat dan irodat Allah atas kuasa dan kehendak Allah SWT. Disini posisi makhluk termasuk manusia tidak ada peran sama sekali yang berpengaruh dalam mewujudkan sesuatu, ia hanya dijadikan salinan dan sambungan belaka. Daya ikhtiar dan akal pikiran manusia bagaimanapun besarnya tidak akan mampu mewujudkan sesuatu tanpa idzin dan kuasa Allah, ikhtiar dan akal manusia hanya berfungsi sebagai sarana dan penyambung dari kuasa dan kehendak Allah yang mutlak, karena itu manusia harus menyadari akan kelemahan dan kekerdilannya di hadapan Allah Rabbul Izzati, segala hidup dan kehidupan bergantung mutlak kepada kuasa dan kehendak Allah, manusia tidak punya daya dan kuasa sedikitpun kecuali atas kehendak dan kuasa Allah, inilah yang dikatakan Wahdatul Maujud (1). Tidak ada yang berhak disembah (di-ibadati), kecuali Allah setelah meyakini Mahdatul Maujud, artinya segala sesuatu yang maujud selain Allah, itu semua tergantung kepada qudrat dan iradat Allah, kita harus meyakini bahwa semua yang dijadikan atas takdir Allah itu tidak ada yang sia-sia, tetapi semua kejadian itu dijadikan untuk menjadi sarana dan medan pengabdian manusia kepada Allah. Seorang mukmin harus bertekad bahwa segala takdir yang terjadi pada dirinya, dimana saja, kapan saja dan bagaimana saja, akan dijadikan sarana beribadah dan mengabdi kepada Allah, sebab kalau kosong dari nilai ibadah kepada Allah, dia akan terjebak ke dalam Syirik (mengabdi kepada selain Allah atau Maksiat (durhaka kepada Allah)), hal ini disebut Wahdatul Ma’bud / Taukhidul ‘ibadah (2).

Tidak ada yang dicari untuk ditaati dan dicari untuk dihindari, kecuali perintah dan larangan Allah. Setelah meyakini bahwa setiap takdir yang datang kepada kita adalah untuk sarana ibadah (pengabdian kepada Allah), maka kita harus yakin bahwa setiap takdir yang datang kepada kita ini mengandung perintah dan larangan dari Allah yang terperinci, melaksanakan sistem hidup yang digariskan dari Allah, pada setiap tempat, setiap saat dan setiap keadaan. Kita harus berusaha untuk mewarnai kehidupan kita sehari-hari dengan warna Islam saja. Jangan sesaat pun diri kita lepas dari nilai Islam yang telah kita yakini sebagai satu-satunya Dienullah : sistem hidup yang digariskan Allah yang membawa kemaslahatan kehidupan di dunua dan akhirat. Inilah Mahdatul Matlub, artinya : kebulatan dan langkah sepanjang aturan Allah SWT. Tidak ada yang dimaksud (dituju), kecuali keridhoan Allah setelah kita berada di jalan Allah, dengan melaksanakan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan sehari-hari, jangan sampai kita menyimpang dari arah dan tujuan yang haqiqi, yaitu keridhoan Allah. Jauhkan diri kita dari sifat riya, takabur, ambisi dan tujuan-tujuan duniawi dan bisa menghapuskan nilai amal kita. Jadi kita melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi laranganNya, melaksanakan sistem-sistem Islam dan menjauhi sistem Thoghut, itu tujuannya semata-mata ikhlas mencari keridhaan Allah, bukan yang lainnya. Inilah Wahdatul Makshud (satu tujuan hanya untuk Allah). Empat perubahan diatas ini, adalah merupakan inti dari ajaran yang diterapkan dalam Institut Suffah, dalam usaha membentuk pribadi Muwahid (serba satu-satu dalam aqidah, satu dalm niat (niat ibadah), satu dalam perbuatan, yaitu menurut sistem Allah, dan satu dalam tujuan, yaitu mencari ridha Allah. Dalam istilah lain dikatakan Minallah (dari Allah) ‘alallah (di atas jalan Allah) dan Ilallah (menuju Allah)). Disamping ilmu tauhid dan ilmu-ilmu lainnya d\seperti Ubudiyyah, Akhlak Sirath Rasul, Tasawul, juga ilmu pengetahuan umum dan keterampilan diajarkan disini, seperti bahasa Belanda, bahasa Arab, bercocok tanam, menanam dan membuat anyaman. Kemudian pada awl tahun 1944 dalam masa penjajahan Jepang, Suffah meningkatkan aktifitasnya menjadi pusat pelatihan militer untuk daerah

parahyangan, dan dari sana terbentuklah kesatuan militer yang bernama “Sabilillah” yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia dikemudian hari. Demikianlah sekilas melihat dasar sistem kurikulum dan tujuan pendidikan, serta pengkaderan lembaga Suffah, yang sangat berbeda dengan sistem pendidikan isalam lainnya, semacam pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang tidak parahyangan, dan dari sana terbentuklah kesatuan militer yang bernama “Sabilillah” yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia dikemudian hari. Demikianlah sekilas melihat dasar sistem kurikulum dan tujuan pendidikan, serta pengkaderan lembaga Suffah, yang sangat berbeda dengan sistem pendidikan isalam lainnya, semacam pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah yang tidak