Adat istiadat Masyarakat Nias

2.3.4 Adat istiadat Masyarakat Nias

Kebudayaan Nias mempunyai adat-istiadat dan tata cara sendiri, dimulai dari sistem pemerintahan, kegiatan sehari-hari, hukum adat, dan upacara adat. Dalam sistem pemerintahan, masyarakat Nias pada zaman dahulu dipimpin oleh Tuhenori, disusul dengan Salawa. Tuhenöri adalah pemimpin dari beberapa banua (perkampungan). Tuhenöri dipilih oleh beberapa pemimpin banua yang disebut Salawa. Tuhenöri mempunyai tugas untuk memimpin dan menyatukan banua tersebut agar tetap rukun dan damai. Tradisi memilih Tuhenöri tidak lagi ditemukan. Pemimpin tertinggi yang kedua adalah Salawa, yaitu pemimpin banua. Salawa mempunyai pengertian, yaitu fa’atulö (adil), fa’atua-tua (bijaksana), fa’abölö (kuat jasmani dan rohani), fokhö (kaya atau memiliki cukup harta benda), dan salawa sofu (berwibawa). Sampai sekarang tradisi memilih Salawa masih ada di Nias (Yas Harefa 6 Mei 2012).

Ono Niha memiliki hukum-hukum adat yang berlaku. Pengesahan hukum adat tersebut disebut Fondrakö. Salah satu keunikan tradisi masyarakat Nias dahulu dalam adat

perkawinan adalah pihak laki-laki meminang perempuan dengan memberikan böwö (jujuran) berupa babi. Banyaknya babi tersebut disesuaikan dengan permintaan orangtua pihak perempuan. Semakin besar jabatan dari keluarga perempuan di kampungnya, maka semakin banyak jumlah babi yang harus diberikan sebagai jujuran. Hal ini menjadi kebanggan

Selain itu, masih banyak hukum adat yang ada di Nias. Seperti peraturan hukuman mati bagi orang yang berzinah, larangan untuk menikahi saudara yang sesama marga kecuali hubungan kekeluargaan telah melewati 7 keturunan, dan sebagainya.

Dari sistem kepercayaan, pada zaman dahulu sebelum pengaruh agama Kristen maupun Islam masuk di pulau Nias, masyarakat Nias menganut kepercayaan yang disebut sanömba adu. Sanömba berarti menyembah, adu berarti patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu. Jadi, sanömba adu berarti kepercayaan kepada patung-patung buatan manusia baik berupa kayu maupun batu-batu besar (owe). Adu ditempatkan di osali börönadu yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi sanömba adu.

Pada masa awal sanömba adu, masyarakat Nias mempercayai sistim penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Sistim penggolongan derajat manusia berdasarkan tingkat- tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan akhirat.pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Bosi adalah pedoman bagi masyarakat Nias untuk mencapai tingkat kehidupan tertinggi, termasuk disaat mereka meninggal dan tinggal di dalam tetehöli ana’a (kerajaan langit). Jika tidak melakukan hal-hal terseBut maka orang tersebut tidak akan masuk kedalam tetehöli ana’a melainkan masuk ke dalam neraka (hammerle 1995).

Adapun kedua belas tingkat derajat manusia atau bosi itu yaitu, (1) fangaruwusi (memperlihatkan kandungan), (2) tumbu (lahir), (3) famatörö döi (memberi nama), (4) famoto (sirkumsisi), (5) falöwa (menikah), (6) famedadao omo (mendirikan rumah), (8) fa’aniha mbanua (memasuki persekutuan desa), (9) famaoli (menjadi anggota adat), (10) fangai töi (mengambil gelar ), (11) fa’amokhö (kekayaan), (12) meme’e gö mbanua (menjamu orang sedesa) dan mame’e gö nöri yaitu menjamu orang dalam satu desa (Dasa Manaö 1998:195-196).

45

Dahulu masyarakat Nias mempunyai dewa yang diyakini bisa menjaga kehidupan ono Niha. Salah satu dewa yang paling tinggi adalah Dewa Si’ai. Pada waktu tertentu orang Nias memberikan sesajian sebagai tanda penghormatan kepada dewa tersebut. Untuk memberikan penghormatan kepada dewa Si’ai, Ono Niha berkumpul dan mengadakan sambua alahoita atau berkumpul di bawah kayu besar (pohon fosi atau eho). Di bawah pohon itu mereka melakukan upacara dengan cara mengelilingi pohon tersebut kemudian menyampaikan apa yang mereka inginkan. Selain dewa si’ai orang Nias juga mempercayai adanya dewa-dewa lain diantaranya, luo walangi sebagai dewa pencipta alam semesta, lature sobawi sihönö sebagai dewa pemilik dan penguasa babi, uwu gere sebagai dewa pelindung, dan penguasa para ere (pemimpin religi sanömba adu), uwu wakhe sebagai dewa penguasa tanam-tanaman, gözö tuha zangaröfa sebagai dewa penguasa air (Hammerle 1995).

Masyarakat Nias sejak menghuni pulau Nias (Tanö Niha) memiliki kepercayaan bahwa arwah-arwah para leluhur orang Nias memiliki kekuatan yang dapat melindung serta menolong mereka, sehingga mereka menyediakan tempat atau medium untuk para leluhur itu dengan membuat patung-patung dari batu. Masyarakat Nias juga percaya akan tempat-tempat tertentu adalah tempat yang keramat, dimana terdapat roh-roh yang bisa menjaga kelangsungan kehidupan ono Niha. Sebagai ungkapan rasa hormat mereka terhadap hal tersebut, mereka melakukan sembahyang pada waktu-waktu tertentu dengan memberikan persembahan-persembahan atau sesajian.

Masuknya agama Kristen di Nias yang dibawakan oleh Denninger pada tahun 1865 di Kota Gunungsitoli. Sebelumnya beliau belajar tentang adat istiadat dan bahasa Nias dengan masyarakat Nias perantau di Padang. Penginjilan dari Denninger tentang agama Kristen ternyata berhasil, lalu kemudian dilanjutkan oleh Thomas yang datang tahun 1873. Masa penting dalam pengembangan agama Kristen adalah antara tahun 1815-1930, antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan total (fangesa dödö sebua). Pada masa inilah masyarakat

Nias mulai merubah sebagian tradisi khususnya yang bertentangan dengan agama Kristen, seperti patung-patung mulai di bakar dan dihancurkan, poligami, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan, penyembuhan penyakit melalui fo’ere (dukun) dan sebagainya. Hingga kini sebagian besar orang Nias memeluk agama Kristen, (S. Zebua, 1984 : 62).

Selain agama Kristen, sebagian masyarakat Nias juga ada yang memeluk agama Islam, dimana mereka mengikuti ajaran-ajaran Islam dan mereka tidak meneruskan tradisi sanömba adu, fo’ere, mengadakan sesajian untuk roh-roh leluhur, ataupun tradisi yang bertentangan dengan hukum Islam seperti pemberian babi sebagai böwö dalam upacara perkawinan. Pada umumnya masyarakat Nias yang beragama Islam bermukim di satu daerah tertentu, seperti di Foa, Mudik, Lahewa, dan sebagainya.

Ono Niha menggunakan sistem patrilineal, yaitu mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Seluruh adat istiadat maupun marga seorang anak diikuti dari ayah. Adapun marga-marga yang ada di Nias yaitu: Amazihönö,Baeha, Baene, Bate'e, Bawamenewi, Bawaniwa'ö, Bawö, Bali, Bohalima, Bu'ulölö, Buaya, Bunawölö, Bulu'aro, Bago, Bawaulu, Bidaya, Bulolo, Baewa Ba'i menewi Boda hili, Dakhi, Daeli, Dawolo, Daya, Dohare, Dohona, Duha, Duho, Fau, Farasi, Finowa'a, Fakho, Fa'ana,Famaugu, Fanaetu, Gaho, Garamba, Gea, Ge'e, Giawa, Gowasa, Gulö, Ganumba, Gaurifa, Gohae, Gori, Gari, Halawa, Harefa, Haria, Harita, Hia, Hondrö, Hulu, Humendru, Hura, Hoya, Harimao, Lafau, Lahagu, Lahömi, Laia, Luaha, Laoli, Laowö, Larosa, Lase, Lawölö, Lo'i, Lömbu, Lamölö, Lature, Luahambowo, lazira, Lawolo,Lawelu, Laweni, lasara,laeru, Löndu go'o, lase, larosa, Maduwu, Manaö, Maru'ao, Maruhawa, Marulafau, Mendröfa, Mangaraja, Maruabaya, Möhö, Marundruri,Mölö, Nazara, Ndraha, Ndruru, Nehe, Nakhe, Nadoya, Nduru, Sadawa, Saoiagö, Sarumaha, Sihönö, Sihura, Sisökhi, Saota, Taföna'ö, Telaumbanua, Talunohi, Tajira, Wau, Wakho, Waoma, Waruwu, Wehalö, Warasi, Warae, Wohe, Zagötö, Zai, Zalukhu, Zamasi, Zamago, Zamili, Zandroto, Zebua, Zega, Zendratö, Zidomi, Ziliwu,

Ziraluo, Zörömi, Zalögö, Zamago zamauze. Marga-marga tersebut diletakkan di belakang nama ono Niha sesuai marga ayahnya. Bagi sesama marga, masyarakat Nias memanggilnya dengan istilah Mado (Hammerle 2001:84).

Dahulu masyarakat Nias memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berladang dan berburu. Hal ini disebabkan karena mereka tinggal di pedalaman pulau Nias. Namun seiring perkembangan zaman, masyarakat Nias mulai berinisiatif untuk mencari pekerjaan lain, dengan menyadap karet, bertani dan menjadi nelayan. Pada zaman sekarang, masyarakat Nias mayoritas berprofesi sebagai PNS (pegawai negeri sipil), bahkan itu menjadi salah satu pekerjaan yang paling difavoritkan di pulau Nias (Man Harefa 7 juni 2012). Selain PNS, sebagian masyarakat Nias bekerja sebagai wira usaha, pedagang, tentara, polisi, dan sebagainya.