Peranan dan fungsi Mamözi Aramba dalam Upacara Perkawinan

3.4 Peranan dan fungsi Mamözi Aramba dalam Upacara Perkawinan

Upacara perkawinan bagi masyarakat Nias adalah suatu kegiatan untuk menyatukan kedua insan yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dimana penyatuan tersebut berguna untuk meneruskan keturunan dan beregenerasi. Bagi masyarakat Nias, upacara perkawinan adalah hal yang penting dan spesial, karena perkawinan dilakukan sekali dalam seumur hidup. Bagi masyarakat Kristen, manusia yang telah disatukan tidak akan dapat diceraikan atau dipisahkan oleh manusia. Hal ini berlaku juga bagi masyarakat Nias, karena kebudayaan Nias pada dasarnya tidak mengenal perceraian. Menurut Bapak Man harefa, Perkawinan pada dasarnya didasari oleh hukum adat, sehingga seseorang yang kawin berarti seseorang yang mematuhi adat, dan di dalam hukum ada, tidak ada peraturan untuk berpisah, ataupun cerai. Oleh sebab itu perkawinan merupakan hal yang sakral bagi Ono Niha.

Pekawinan atau falöwa hanya dapat dilakukan jika ono Niha telah memenuhi syarat- syarat. Syarat yang pertama adalah umur dari laki-laki yang akan menikah minimal 18 tahun, dan perempuan minimal berumur 17 tahun. Syarat ini berguna agar yang melakukan perkawinan sudah termasuk dalam kategori dewasa menurut ono Niha. Syarat kedua adalah laki-laki harus bisa memenuhi permintaan dari balaki (pihak perempuan), termasuk besar jujuran (böwö) yang diminta. Syarat ketiga adalah pihak laki-laki dan perempuan harus telah

melewati tahap sidik 9 dan sudah dibaptis. Syarat keempat adalah pihak laki-laki tidak dapat meminang perempuan yang masih mempunyai ikatan hubungan darah sampai 7 generasi.

Masyarakat Nias memperbolehkan perkawinan sesama marga dengan syarat tidak ada hubungan darah yang dekat terhadap kedua pasangan tersebut (sampai 7 keturunan). Jika pihak laki-laki dan perempuan memenuhi syarat tersebut, maka upacara perkawinan dapat dilaksanakan. Berikut ini tata tertib pada upacara falöwa ono Niha.

9 Sidik adalah pengesahan dari Gereja yang menandakan bahwa anak tersebut telah diajarkan tentang firman Tuhan dan tentang agama Kristen.

(a) Fora’u tanga (salam-salaman). Setibanya di lokasi pesta (di rumah pihak perempuan), Pihak keluarga perempuan menyambut kedatangan tamu-tamu dengan bersalam-salaman. Seiring dengan berjalannya acara salam-salaman, pihak mempelai pria berjalan menemui pihak wanita, lalu keduanya berjalan bersama-sama menuju pelaminan. Setelah sampai ke pelaminan, pengantin tersebut lalu berdiri dan menghadap para undangan sambil menunggu aba-aba untuk duduk. Pada umumnya seorang protokal akan menyampaikan tata tertib upacara dengan menggunakan alat pengeras suara (microphone). Pada saat acara fora’u tanga, seperangkat Aramba pun dimainkan, yang memainkan alat musik tersebut diawali oleh keluarga dari pihak perempuan. Setelah protokol memberi aba- aba untuk melanjutkan acara, barulah kegiatan mamözi aramba dihentikan sementara.

(b) Fanunö (nyanyian gereja). Setelah mempelai wanita dan pria telah dipersilahkan duduk yang disusul dengan undangan, selanjutnya diadakan nyanyian pembukaan berupa nyanyian rohani Kristiani yang bertujuan untuk menyerahkan acara ini kepada Lowalangi (Tuhan) agar semuanya dapat berjalan dengan lancar.

(c) Fame’e bola nafo. Setelah fanunö, lalu pembawa acara memberi instruksi kepada mempelai laki-laki untuk memberikan bola nafo (sirih) kepada keluarga pihak perempuan. Lalu mempelai laki-laki memberikan bola nafo kepada ina (ibu dari pengantin perempuan), iwa (isteri dari salah seorang saudara kandung ayah pengantin perempuan), uwu (istri dari pihak paman), huwa (istri dari kakek), banua (salah seorang istri dari tokoh masyarakat sekitar yang mempunyai hubungan keluarga dengan pengantin).

(d) Femanga (jedah). Pada acara ini, pengantin laki-laki (mewakili) memberikan simbi (rahang babi) kepada sibaya (paman) sebagai bentuk penghormatan, serta memberikan waktu untuk makan kepada undangan. Dalam acara ini, kegiatan mamözi aramba dapat dilakukan sampai protokol memberi aba-aba bahwa acara dilanjutkan. Kegiatan mamözi aramba di dalam bagian acara ini merupakan kegiatan yang tidak formal dan bebas, dengan arti bahwa

Setelah acara formal tersebut, lalu protokol memberi aba-aba kepada kedua pengantin serta keluarga besarnya untuk diberikan mene-mene 10 . Pemberian mene-mene tersebut

dilakukan secara tertutup, biasanya di dalam rumah. Dalam acara ini, masyarakat tidak diperbolehkan untuk mamözi aramba karena dianggap membuat ribut nantinya.

Setelah itu lalu kedua pengantin meninggalkan rumah pihak perempuan dan pergi menuju rumah pihak laki-laki. Pada saat inilah kegiatan mamözi aramba dilakukan dari kedua mempelai keluar dari rumah sampai mereka benar-benar meninggalkan rumah si pengantin. Sesampainya di rumah pihak laki-laki, mamözi aramba kembali dimainkan sampai larut malam tergantung samözi arambanya. Kegiatan mamözi aramba yang dilakukan bersifat bebas dan diberikan kesempatan kepada orang yang mau memainkan seperangkat aramba tersebut.

Gambar 14:

Kegiatan Mamözi Aramba dalam Upacara Perkawinan

10 Mene-mene adalah nasihat dari orang tua ke orang yang lebih muda

Mamözi Aramba mempunyai fungsi dalam upacara perkawinan. Menurut Merriam (1964 : 219-227), ada 10 fungsi dan peranan musik dalam kebudayaan yaitu : (1) sebagai hiburan,(2) sebagai perlambang, (3) sebagai media komunikasi, (4) sebagai estetis, (5) sebagai reaksi jasmani, (6) sebagai pengungkapan emosional, (7) sebagai pengintegrasian masyarakat, (8) sebagai kesinambungan masyarakat, (9) sebagai pengesahan lembaga- lembaga sosial, serta (10) fungsi musik yang berkaitan dengan norma-norma sosial.

Dengan memperhatikan teori tersebut, penulis menyimpulkan bahwa terdapat 5 fungsi mamözi Aramba dalam upacara perkawinan masyarakat Nias, yaitu:

1. Fungsi Hiburan, yaitu masyarakat Nias melakukan kegiatan mamözi Aramba dalam acara tertentu pada pesta perkawinan untuk menghibur masyarakat yang hadir dalam pesta tersebut

2. Fungsi pengungkapan emosional, yaitu kegiatan mamözi Aramba dilakukan berdasarkan pengungkapan perasaan dan ekspresi bahagia yang dituangkan kedalam suatu wadah, yaitu mamözi Aramba.

3. Fungsi komunikasi, syair höli-höli mempunyai fungsi sebagai pesan kepada masyarakat agar dapat menyatukan hati menjalani acara tersebut.

4. Fungsi sebagai kesinambungan masyarakat, kegiatan mamözi Aramba merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang ada pada kebudayaan Nias.

5. Fungsi pengesahan lembaga sosial, kegiatan mamözi Aramba yang dilakukan menjadi simbol bahwa sah nya berjalannya upacara perkawinan.

Cara dan teknik mamözi Aramba dalam tiap perkawinan pada umumnya sama. Hanya saja terdapat sedikit perbedaan terhadap Höli-höli sebelum Aramba dimainkan. Fungsi höli- höli adalah sebagai sorakan untuk menyatukan hati ono Niha untuk memulai sesuatu kegiatan, ataupun acara.

3.5 Peranan dan Fungsi Mamözi Aramba sebagai Pengiring Tari Ya’ahowu Tari Ya’ahowu adalah tari yang berasal dari kebudayaan Nias, dimana tari tersebut dibawakan oleh 6-8 orang perempuan, yang bertujuan untuk menyapa para undangan ataupun tamu kehormatan yang ada. Tari ini biasanya dijadikan sebagai acara pembuka dalam acara besar yang ada di Nias, khususnya di Gunungsitoli.

Kata Ya’ahowu adalah kata sapaan dalam bahasa Nias, sama seperti Horas, Majua-jua, dan sebagainya. Kata Ya’ahowu mempunyai makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama. Selain itu ya’ahowu juga mempunya arti diberkatilah engkau. Jadi sapaan ya’ahowu merupakan sapaan yang sangat sopan bagi suku Nias.

Dalam konteks tari Ya’ahowu, mamözi aramba mempunyai peranan dan fungsi. Dalam segmen ini, penulis menggunakan sebagian teori yang dikemukakan Merriam tentang fungsi musik dalam kebudayaan ditambah dengan teori pertunjukan yang dikemukakan oleh Milton singer. Menurut Singer untuk mendeskripsikan suatu pertunjukan maka seorang peneliti harus melihat tujuh aspek yang berkaitan, yaitu (1) waktu pertunjukan yang biasanya terbatas, (2) adanya awal dan akhir pertunjukan, (3) acara kegiatan yang terorganisasi, (4) sekelompok pemain, (5) sekelompok penonton, (6) tempat pertunjukan, dan (7) kesempatan untuk mempertunjukannya. Pada bagian ini, penulis akan mendeskripsikan Tari Ya’ahowu secara umum.

Tari Ya’ahowu biasanya dilakukan pada acara adat Nias yang bertujuan untuk menyambut dan menyapa para undangan, terutama tamu-tamu terhormat yang datang pada acara tersebut. Tari Ya’ahowu ini biasanya dibawakan oleh sekelompok penari perempuan

Gambar 15: Tari Ya’ahowu pada Pesta Budaya Nias 2011 (Sumber: Dispora Kabupaten Nias Utara)

75

Tari Ya’ahowu dipertunjukkan pada awal acara, ketika para undangan dan tamu terhormat telah memasuki tempat acara adat tersebut. Tari Ya’ahowu diawali dengan pukulan göndra yang panjang sambil penari masuk dan mengambil posisinya dan membentuk sebuah formasi. Lalu, seseorang dari antara penari melakukan liwa-liwa, yaitu sambutan dari perempuan ciri khas Nias. Setelah itu barulah penari melakukan tariannya dan diiringi dengan seperangkat aramba. Setelah tarian tersebut selesai, barulah samözi aramba (pemain aramba) memberhentikan musiknya dengan cara memberi kode dari sanindra (pemukul göndra). Setelah itu salah satu penari membuat liwa-liwa lagi yang bertujuan untuk memberikan pesan kepada penonton bahwa tarian telah selesai. Setelah itu seperangkat Aramba kembali dipukul dan penari kembali ke belakang panggung. Setelah seluruh penari meninggalkan di panggung, barulah mamözi aramba dihentikan dengan pukulan penutup dari sanindra.

Tari Ya’ahowu tersebut diiringi oleh pemain aramba dimana yang berperan sebagai pemimpin adalah Sanindra. Pada umumnya mereka memakai rompi adat Nias. Ini bertujuan agar penonton bisa membedakan pemain seperangkat Aramba dengan orang biasa. Selain itu fungsi rompi tersebut agar menjadi pajangan yang salah satunya terdapat nilai seni dari segi pertunjukan (Man Harefa 6 Juni 2012).

Gambar 16:

Mamözi Aramba Sewaktu Mengiring Tari Ya’ahowu

Adapun fungsi dan peranan pertunjukan Tari Ya’ahowu dan mamözi Aramba tersebut berdasarkan teori Merriam, yaitu :

1. Sebagai wadah untuk menghibur tamu ataupun masyarakat yang hadir dalam acara tersebut.

2. Sebagai ungkapan rasa emosional melalui permainan mamözi Aramba dan gerakan tarian Ya’ahowu yang dilakukan.

3. Sebagai alat untuk melanjutkan tradisi dan ciri khas masyarakat Nias melalui kesenian pertunjukan Tari Ya’ahowu.

4. Sebagai wadah untuk memberikan pesan kepada penonton, yaitu ucapan selamat datang di acara (kebudayaan Nias) tersebut.

Dalam permainan mamözi aramba sebagai pengiring tari Ya’ahowu, tidak ada perbedaan teknik yang menonjol jika dibandingkan dengan mamözi aramba dalam upacara perkawinan. Hanya saja yang membedakannya adalah posisi berhenti atau dimainkannya aramba tersebut. Selain itu, pada konteks pertunjukan mamözi aramba harus memerhatikan