Waktu dan Tanggal Menurut Orang Nias

2.3.2 Waktu dan Tanggal Menurut Orang Nias

Dahulu masyarakat Nias sama sekali tidak mengenal waktu dan tanggal kabisat yang telah distandarisasikan seperti sekarang. Masyarakat Nias melihat waktu dan tanggal berdasarkan arah matahari, bintang dan bulan. Tradisi ini dipakai sebagai pedoman bagi masyarakat Nias untuk melakukan kegiatan sehari-hari, dari pergi bekerja, memanen, ataupun melakukan upacara-upacara adat, seperti owasa, pesta perkawinan, pesta rakyat, dan sebagainya. Begitu juga dengan melakukan kesenian tradisional, seperti mamözi Aramba, masyarakat Nias melakukan kegiatan tersebut dengan melihat waktu yang sesuai dengan tradisi yang ada, contohnya mamözi Aramba pada perkawinan dipakai disaat Laluo wongi (pagi hari) sampai talu mbongi (tengah malam), dan disaat Aefa talu mbongi (lepas tengah malam) mamözi Aramba tidak lagi dimainkan (Man Harefa 6 Februari 2012). Adapun kalender harian (waktu) bagi masyarakat Nias yang dikutip dan dirangkum dari buku jejak cerita rakyat Nias oleh Victor Zebua (2010) adalah:

- 00.00 WIB : Talu mbongi (tengah malam).

- 01.00 WIB : Aefa talu mbongi (lepas tengah malam). - 02.00 WIB : Samuza kiarö (waktu terjaga pertama). - 02.00-02.30 WIB : Miwö manu siföföna (ayam berkokok pertama kali). - 03.00 WIB : Miwo manu mendrua (ayam berkokok kedua kali). - 04.00 WIB : Miwo manu si tatalu (ayam berkokok pertengahan). - 05.00 WIB : Miwo manu si fadoro ( ayam berkokok beruntun dan

bersahutan). - 05.00 WIB : Möi Zamölö (penyadap aren mulai bekerja). - 05.15 WIB : Miwo manu safuria (ayam berkokok untuk terakhir kalinya). - 05.30 WIB : Afusi newali (perkarangan rumah mulai terang). - 05.30-06.00 WIB : Muhede riwi (jangkrik berbunyi). - 06.00 WIB : Tumbu Luo (matahari terbit). - 06.30 WIB : Ahulö wongi, mofanö niha ba halöwö (pagi sekali, orang pergi

bekerja). - 07.30 WIB : Aefa zi möi tou, te’anö niha ba halöwö (orang siap buang air, para pekerja semua sudah berkumpul).

- 08.00 WIB : Otufo namo (embun pagi mengering). - 10.00 WIB : Aukhu zino (udara mulai panas). - 11.00 WIB : Mangawuli zimohalöwö (pekerja pulang). - 12.00 WIB : Laluo (tengah hari). - 13.00 WIB : Ahole yöu (matahari miring ke utara). - 15.00 WIB : Aso’a yöu (matahari tumbang ke utara). - 16.00 WIB : Alawu Adogo (matahari jatuh mendekat). - 17.00 WIB : Mangawuli zimili ba danö (pekerja pulang ke rumah).

- 17.30 WIB : Mondra’u manu (menangkap ayam, memasukkan ayam ke dalam kandang). - 17.30-18.00WIB : Manuge manu (ayam hinggap di kandang). - 18.30 WIB : Ogömi-gömi (gelap). - 19.00 WIB : Mondrino gö (memasak makanan). - 20.00 WIB : Asoso gö, inötö wemanga (makanan sudah masak, waktunya

makan). - 21.00 WIB : Manga niha sara (waktu makan malam yang telat). - 22.00 WIB : Mörö Niha (waktunya tidur). - 23.00 WIB : Ahono mörö niha (orang tidur terlelap). - 23.30 WIB : Saraö tö mbongi ( malam tinggal sepertiga lagi). Dari data-data tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa dahulu tidak ada

masyarakat Nias yang bertanya “jam berapa sekarang.” Hal ini disebabkan karena masyarakat Nias sudah bisa merasakan waktu di saat mereka melihat matahari, bulan, dan sekeliling mereka. Berbeda dengan sekarang yang seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, masyarakat Nias sudah menjadikan jam yang distandarisasikan (Waktu Indonesia bagian Barat) sebagai pedoman untuk melakukan kegiatan sehari-hari.

Selain kalender harian, dahulu masyarakat Nias juga mempunyai kalender tahunan. Tetapi kalender tahunan ono Niha berbeda dengan kalender tahunan Gregorian yang kita pakai sampai sekarang (V. Zebua 2010:5). Kalender tahunan masyarakat Nias berpedoman pada rasi bintang yang di sebut Sara Wangahalö. Menurut masyarakat Nias (Agner Moller 1976), salah satu asal usul Sara Wangahalö adalah berdasarkan cerita yang dirangkum dari Victor Zebua (2010) sebagai berikut:

Menurut cerita masyarakat Nias, dahulu Ndroma dan isterinya Simarimbaua mempunyai 11 anak. Tiba suatu saat kesebelas anak itu pergi berburu untuk mencari

Bintang Sara Wangahalö ini berperan penting bagi adat-istiadat masyarakat Nias. Hal ini disebabkan karena ketergantungan ono Niha melihat bintang tersebut untuk menjadi pedoman memanen, ataupun mulai berburu (Viktor Zebua 2010:5). Ketka bintang Sara muncul di ufuk timur, orang Nias turun ke hutan belukar. Mereka mamohu tanö nowi atau mamago tanö (menandai tanah huma-ladang). Tanah yang dipilih dibersihkan agar dapat ditanami. Masa menanam padi berlangsung ketika posisi bintang Sara setinggi matahari di pukul 08.00 hingga puku 10.00. Masa menuai saat bintang Sara dilangit sebelah barat, setinggi matahari pukul 02.00 hingga 04.00 sore. Bintang ini kelak hilang di ufuk barat, kemudian muncul kembali di ufuk timur. Bintang ini berlangsung selama 12 kali bulan terang, artinya dalam waktu satu siklus, bintang in berlangsung 12 bulan (V. Zebua 2010:6).

Posisi Sara ditentukan berdasar posisi matahari. Menurut kearifan lokal Nias, satu jam waktu edar matahari setara dengan satu bulan waktu edar Sara Wangahalö. Karena matahari beredar dari timur ke barat selama 12 jam dalam sehari, maka kurun waktu jam posisi matahari identik dengan kurun waktu bulan posisi Sara Wangahalö. Sara Wangahalö terbit diufuk timur awal April, dan terbenam di ufuk barat awal Maret. Dengan demikian, kurun waktu satu siklus peredaran Sara Wangahalö relatif dapat dipadankan denghan kurun waktu setahun kalender Gregorian (V. Zebua 2010:7).

38

Gambar 1 : Peredaran Sara Wangahalö

Sekitar awal April Sara Wangahalö terbit di ufuk timur, terlihat saat matahari terbenam. Dua bulan kemudian, bila bintang ini berada pada posisi matahari pukul delapan (sekitar Juni), orang mulai menanam padi. Periode terbaik menanam padi hingga Sara Wangahalö berada pada posisi pukul sepuluh (sekitar Agustus). Sementara periode terbaik menuai saat posisi Sara Wangahalö berada pada posisi matahari pukul dua hingga empat sore, terlihat saat matahari terbit (sekitar Desember-Februari). Tenggang waktu usai mamasi (musim menuai padi) hingga terbenamnya Sara Wangahalö di ufuk barat (sekitar Februari- Maret) dipakai untuk pembersihan lahan.

Lahan itu kemudian dijadikan ladang ubi yang lazim digarap kaum wanita. Periode ini disebut inötö otalua halöwö saukhu (masa senggang kawasan pertanian). Dalam periode ini diselenggarakan berbagai acara penting masyarakat tradisional Nias, seperti perkawinan, pendirian rumah, pesta pengangkatan gelar seperti Owasa, maupun pesta rakyat atau Fondrakö.

Kurun waktu satu bulan pasti berlangsung 30 hari. Masyarakat Nias juga mempunyai nama-nama hari sepanjang satu bulan. Hari pertama adalah ketika bulan sabit terlihat di ufuk barat saat matahari terbenam. Selama 15 hari, setiap hari penampakan bulan berubah hingga menjadi tuli (purnama). Menurut Viktor Zebua (2010) nama-nama hari itu adalah :

- Sambua desa’a : bulan pertama (hari pertama) -

Dombua desa’a : bulan kedua (hari kedua)

Tölu desa’a : bulan ketiga (hari ketiga)

- Öfa desa’a : bulan keempat (hari keempat) -

Melima desa’a : bulan kelima (hari kelima)

- Me’önö desa’a : bulan keenam (hari keenam) -

Mewitu desa’a : bulan ketujuh (hari ketujuh) -

Mewalu desa’a : bulan kedelapan (hari kedelapan) -

Meziwa desa’a : bulan kesembilan (hari kesembilan) -

Fulu desa’a : bulan kesepuluh (hari kesepuluh) -

Mewelazara desa’a : bulan kesebelas (hari kesebelas) -

Melendrua desa’a : bulan keduabelas (hari keduabelas) -

Feledölu desa’a : bulan ketigabelas (hari ketigabelas) -

Fele’öfa desa’a : bulan keempatbelas (hari keempatbelas) -

Tuli : purnama (bulan kelimabelas) Selanjutnya bulan masuk fase mati selama 15 hari. Secara berurutan hari-hari bulan mati atau dimulai dari hari ke 16, yaitu: -

: hari ke enambelas -

Sulumo’o

Mendrua akhömi : hari ketujuhbelas -

Medölu akhömi : hari kedelapanbelas -

Mendröfa akhömi : hari kesembilanbelas

- Melima akhömi : hari kedua puluh -

Me’önö akhömi : hari kedua puluh satu -

Mewitu akhömi : hari kedua puluh dua -

Mewalu akhömi : hari kedua puluh tiga -

Meziwa akhömi (zikho) : hari kedua puluh empat -