Mitologi tentang Nias

2.3.1 Mitologi tentang Nias

Sampai saat ini, belum ada yang berani menentukan dari mana asal usul Nias, semuanya masih sebuah interpetasi (penafsiran). Adapun data-data tentang asal usul dan nama-nama pulau Nias sebelum masyarakat Nias tinggal dan berketurunan di pulau tersebut yang didapat dan dirangkum penulis dari buku Hammerle, Asal-usul Masyarakat Nias (2001), ataupun wawancara dengan bapak Yas Harefa dan bapak Man Harefa. Asal-usul dan nama-nama pulau Nias dahulu adalah sebagai berikut.

a. Hulo Ge’e

Dahulu Pulau Nias dinamakan Pulau Keke atau Hulo Ge’e. Kata tersebut berasal dari kata Hulo (pulau) dan Keke atau E’e yang artinya burung Kekek, berarti Hulo Ge’e adalah Pulau burung kekek. Pulau ini dinamai sebagai pulau burung kekek karena dahulu 30 tahun yang lalu burung kekek (beo Nias) banyak di Nias. Selain itu burung kekek atau burung Beo Nias menjadi ikon pulau Nias karena dianggap sebagai burung yang pintar dan dapat berbicara mengikuti manusia. Oleh sebab itu orang luar pulau Nias menamai pulau Nias sebagai pulau burung kekek atau Hulo Ge’e (Hammerle 2001:5).

tetapi tidak dianggap suci—namun legenda ditokohi oleh manusia, meski kadangkala memiliki sifat- sifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti yang kita kenal sekarang, waktu terjadinya belu begitu lama. Dogeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya ceritera, tidak terikat oleh waktu dan ruang (lihat Bascom, 1965:3-20). Parafrase pengertian tiga bentuk ceritera rakyat ini lihat James Danandjaja (1984:50-51).

Di sisi lain, Hulö ge’e mempunyai arti yang berbeda juga. Menurut Matias Fangehao Zebua pulau Nias disebut Hulo Ge’e yang artinya pulau tangisan. Matias Zebua menganggap bahwa pulau ini adalah pulau kecil yang ditemukan orang dengan susah payah dan tangisan ditengah lautan. Kata Ge’e yang dimaksudkan disini berasal dari kata Mege-ege yang artinya menangis (Hammerle 2001:5).

b. Hulo Solaya-laya

Jika diartikan kedalam bahasa indonesia, Hulo Solaya-laya adalah pulau yang terapung- apung/ Pulau yang menari-nari. Pulau Nias adalah pulau yang tergolong kecil, dimana disekitarnya masih terdapat pulau yang lebih kecil dan bertebaran disebelah selatan dan barat. Karena dikelilingi oleh samudera yang luas, pulau ini dinilai seperti benda yang terapung- apung di tengah samudera yang gampang diombang-ambingkan oleh pukulan ombak, dan rawan bencana seperti gempa bumi, tsunami, dan sebagainya. Hal ini yang menjadikan pulau Nias disebut pulau yang mengapung atau Hulo Solaya-laya (Hammerle 2001:5). Sebutan Hulo solaya-laya bagi pulau Nias juga dapat kita temukan di dalam salah satu syair nyanyian rakyat Nias, yaitu hoho (Hammerle 2001:5). Dalam Hoho tersebut, Pulau Nias digambarkan dan disebut sebagai Hulo solaya-laya (pulau yang menari-nari).

c. Uli danö

Pulau ini dianggap orang Nias atau ono Niha sebagai tempat kelahiran mereka. Orang Nias menganggap mereka lahir dan hidup dari tanah. Jika diartikan, Uli danö adalah kulit tanah. Orang Nias menganggap mereka tinggal di tanah kelahiran mereka yang mereka sebut uli danö (Hammerle 2001:5). Sebutan ulidanö sampai sekarang masih dipakai orang Nias, khususnya masyarakat Nias yang sedang merantau ataupun tinggal di luar pulau Nias, mereka menyebut pulau Nias dengan kata Uli danö (Man Harefa 4 April 2012).

Secara umum, banyak suku-suku di dunia yang menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih manusiawi dari pada suku-suku lain (Hammerle 2001:7). Prinsip ini juga berlaku bagi masyarakat Nias. Hal ini terbukti dari masyarakat Nias yang menyebut dirinya Ono Niha yang artinya manusia atau anak manusia. Sedangkan orang yang bukan berasal dari Nias mereka sebut Ndrawa yang artinya orang asing. Contohnya adalah Ndrawa Hulandro (orang asing dari Belanda), Ndrawa Aceh (orang asing dari Aceh), dan sebagainya. Tetapi istilah Ndrawa ini tidak berlaku bagi orang berketurunan Cina. Masyarakat Nias menyebut orang Cina sebagai Kehai atau Gehai.

Begitu Juga dengan pulau Nias, masyarakat menyebutnya Tanö Niha. Jika diterjemahkan, Tanö Niha artinya Tanah manusia atau Tanah orang. Ini menunjukan bahwa dahulu masyarakat Nias menganggap pulau Nias tersebut adalah pulaunya manusia, dan tidak ada lagi pulau lain yang dihuni manusia selain pulau Nias (Hammerle 2001:7).

Di sisi lain pada tahun 1154, seseorang bernama Edrisi menyebut Nias adalah Niyan dalam bukunya. Begitu juga dengan Kaswini (1203-12830 yang menulis tentang Niyan (Nias) dalam bukunya (Hammerle 2001: 7). Dari data tersebut, kita bisa berpikir bahwa mungkin ada kaitannya kata antara Niyan, Niha dan Nias.

e. Payung Matahari

Dalam tesisnya di Universitas Cornell (1986) Yoshiko Yamamoto menulis bahwa orang Cina menamakan pulau Nias sebagai payung Matahari (Parasol Island). Keterangan ini diperkuat dengan ditemukannya perkampungan Cina di wilayah Gomo. Menurut Hammerle (2001:8), hal ini membuat beliau berpikir bahwa penghuni pulau Nias menggemari pemakaian payung matahari, atau payung matahari adalah sesuatu yang penting di pulau Nias. Namun menurut penulis, sampai sekarang kebenaran dari pernyataan tersebut belum

f. Ninive, Nei Ha, dan Niha

S.W. Mendröfa alias Ama Rozaman Mendröfa dalam bukunya Fondrakö Ono Niha (Hammerle 2001:8) mengatakan bahwa ada sebuah cerita yang menarik tentang asal-usul masyarakat Nias (pada tahun 1920). Cerita tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya, bisa berupa legenda ataupun mitologi semata. Adapun cerita tersebut yang berisikan sebagai berikut.

Dahulu sesudah Kota Ninive jatuh (di Persia daerah Syur), muncullah seorang raja bernama Ninus dan mendirikan kota Hilleh, kemudian beliau memperluas kerajaannya. Kerajaan ini disebut kerajaan Ninus Hilleh. Para panglima dari kerajaan ini gemar berlayar untuk mencari daerah-daerah lain untuk dijadikan bagian dari kerajaan Ninus Hilleh. Kelompok panglima yang gemar berlayar ini menamakan diri sebagai pengikut N. H. (baca Nei Ha) yang artinya pengikut Ninus Hilleh.

Tiba suatu saat pengikut N.H. tersebut menemukan suatu pulau dan menamainya pulau N.H. (baca Nei Ha). Lalu rombongan tersebut tinggal dan berketurunan di pulau tersebut. Lama kelamaan setelah beberapa generasi, keturunan-keturunan tersebut yang disebut Nei Ha berubah menjadi Niha. Keturunan-keturunan tersebut juga menamakan pulau ini menjadi Tanö Niha dan mereka adalah Ono Niha (anak N.H.).

g. Teteholi Ana’a

Teteholi Ana’a adalah kerajaan langit yang dipercaya dan diyakini masyarakat Nias pernah ada (Yas Harefa 23 Mei 2012). Menurut Drs. Haji A.M. Zebua dalam bukunya yang berjudul Umanö berpendapat bahwa kita dapat mencari asal usul Nias dari negeri Arab

- Suku Ono Niha mewajibkan sunat pada semua anak laki-laki dengan cara dipotong ujung kulit kemaluannya setelah berumur 9-14 tahun. Tradisi ini ditemukan hanya pada bangsa Arab.

- Tradisi suku Nias yang menomorduakan anak perempuan dalam keluarga. Hal ini menggambarkan kabilah-kabilah Arab. - Suku Ono Niha menganut Patriachat seperti bangsa Arab - Kepercayaan suku Nias sebelum masuknya pengaruh agama Islam dan Kristen adalah

Animisme, serupa dengan yang dijumpai di Arab dahulu. - Banyak nama-nama orang dan nama-nama tempat yang bersamaan di Arab dan di Tanö Niha, antara lain :

a. Nama-nama orang : Tuha Möka, Ara, Lowalangi, Kura’a, Sirao, dll.

b. Nama-nama tempat dan sungai : Gomo, Lasara, Ma’u, Batötö, dll.

c. Bahasa : Umanö (Amanah), Mangötö-batuta, Na’ua-ma’un, Hanao-tahanut, dll.

- Suku Nias dan Arab percaya bahwa nenek moyang mereka pertama kali turun dari langit. - Suku Nias dan Arab sama-sama hidup dari perburuan dan tinggal di gunung-gunung dan sama sekali bukan pelaut. - Suku Nias menggambarkan Tanö Niha sebagai kerajaan langit (Teteholi Ana’a). Hal ini melukiskan bahwa negeri asal mereka adalah tanah tandus yang sangat miskin (gurun di Arab).

- Cara berpakaian Ono Niha yang memakai jubah bagi pria dan menutup seluruh anggota badan bagi kaum wanita. Hal ini ditemukan juga di Arab. - Kebiasaan bersyair dan penghormatan yang luar biasa terhadap leluhur menunjukkan persamaan yang amat erat antara kabilah Arab dengan suku Ono Niha. - Kebiasaan membungakan pinjaman. - Kebiasaan meminum tuak/kharm. - Kebiasaan memberi dan menerima jujuran yang besar. - Kebiasaan memakai tombak sebagai alat berburu dan berperang (suku Nias tidak

mengenal panah). - Kebiasaan menguburkan jenazah orang meninggal (tidak dibakar seperti di Bali ataupun disimpan di goa seperti Toraja). Hal\ ini terdapat pada orang-orang Arab. - Kebiasaan menghukum pezinah dengan hukuman mati (pada zaman dahulu sebelum Belanda masuk dan menjajah Nias). - Kebiasaan mengusung penganten perempuan. - Suku Nias mengenal perbudakan, setiap raja memiliki budak. Hal ini ditemukan juga

di Arab. Data-data tersebut adalah persamaan adat istiadat kerajaan di Arab zaman dahulu dengan Kerajaan di Nias yaitu Tetehöli Ana’a. Namun menurut Hammerle persamaan tersebut tidak hanya ditemukan pada kerajaan Arab saja, namun terdapat juga pada negara lain (Hammerle 2001:12). Hal ini menimbulkan kesimpangsiuran dari mana asal usul masyarakat Nias sebenarnya.

Menurut Bapak Man Harefa (2 Feb 2012) bisa jadi suku Nias berasal dari salah satu suku yang berada di wilayah ras mongoloid yang dahulu pindah ataupun terdampar di daerah/ pulau Nias. Hal ini dibuktikan dengan adanya persamaan kebudayaan dan tradisi pada salah

Dari semua informasi tersebut, belum ada yang membuktikan dari mana asal usul dan histori suku Nias sebenarnya, semua itu hanya pendapat dan interpetasi saja (Hammerle 2001:1-3). Namun setidaknya beberapa ahli telah mencoba meneliti dan melakukan berbagai kegiatan untuk mencari tahu dari mana asal usul Nias tersebut.

Selain mitologi asal-usul kebudayaan masyarakat Nias, ada juga tanggal dan waktu berdasarkan tradisi suku Nias. Pada zaman dahulu sistem waktu dan tanggal tradisi Nias tersebut dipakai dalam kegiatan masyarakat Nias sehari-hari, termasuk menjadi pedoman dalam melakukan upacara adat, seperti perkawinan ataupun pesta rakyat lainnya.