Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Kata ‘waria’ sudah menjadi makanan telinga kita sehari-hari. Memang dalam peristilahannya, waria adalah seorang laki-laki yang berbusana dan bertingkah laku sebagaimana layaknya seorang wanita. Istilah ini awalnya muncul dari masyarakat Jawa Timur yang merupakan akronim dari ‘wanita tapi pria’ pada tahun 1983-an. Paduan dari kata wanita dan pria. Sedangkan istilah lain yang lazim digunakan untuk kaum ini adalah Banci yang kemudian mengalami metamorfosa dengan melahirkan kata bencong. Wadam kependekan dari wanita adam. Istilah ini kurang begitu populer lagi. Wandu berasal dari bahasa Jawa yang mungkin artinya wanito dhudhu wanita bukan. Pernah juga ada istilah binan, namun penggunaannya juga kian berkurang menjadi kata yang umum. Kaum ini juga terkenal kreatif dalam menghasilkan kosakata baru, yang acap membingungkan kita kaum kebanyakan dikarenakan kaum semacam ini cenderung menggunakan istilah yang ditujukan bagi komunitasnya belaka. Kata ‘Waria’ inilah yang kini menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia. Waria dan diskriminasi, bagai dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Keberadaan waria ditengah masyarakat merupakan suatu fenomena yang ikut meramaikan fakta sosial baru di dalam masyarakat. Hal ini menimbulkan adanya suatu pandangan-pandangan yang beraneka ragam di dalam masyarakat, mulai dari pemberian cap bahwa mereka sampah masyarakat, penyakit sosial, berperilaku negatif, sumber penyakit hingga tidak diakui eksistensi sosialnya. Universitas Sumatera Utara Tetepi ada juga yang menilai waria sebagai manusia yang seutuhnya, sama seperti manusia lainnya. Bisa merasakan rasa sayang, senang, sakit hati dan sedih. Waria hanyalah manusia biasa. Ada stigma negatif dari masyarakat terhadap waria, sampai-sampai ada sikapnya tidak berpikir secara etis dan kritis merupakan persepsi yang kurang dari nilai-nilai kemanusiaan. Keberadaan waria di tengah-tengah masyarakat sama halnya dengan keberadaan setiap individual manusia lainnya. Ada yang bersikap baik dan ada pula yang bersikap tidak baik. Ada yang memiliki nilai-nilai moral, etika dan estetika serta sebaliknya adapula yang kurang bermoral, tidak memiliki etika dan estetika. Semua itu kembali lagi kepada sikap pribadi perorangan masing-masing individu. Kebanyakan dari kaum waria mencoret citranya sendiri. Dengan gaya hidup waria yang dinilai berlebihan dalam mengeksplorasi keerotisan. Pergaulan waria yang yang banyak memiliki teman perempuan nakal menjadikan sebagian besar kaum waria berprofesi sebagai mucikari penjual wanita. Selain itu kebanyakan dari mereka pun berprofesi menjadi seorang PSK Pekerja Seks Komersil. Hal ini membuat perspektif pandangan masyarakat semakin memburuk terhadap mereka. Menyukai sesama jenis dan identik dengan sikap yang bergonta ganti pasangan mengakibatkan penilaian masyarakat bahwa waria itu sebagai manusia yang kotor dan sumber penyakit. Dalam kenyataannya, tidak semua citr negatif yang ditujukan kepada waria itu benar. Dalam perspektif lain, tidak sedikit pula waria yang terlahir dari sentuhan keindahan masyarakat yang tanpa ragu mengakuinya. Mereka tumbuh dan berbaur dengan masyarakat tanpa menyinggung status sosialnya. Tidak sedikit dari kaum waria menjadi sukses dengan bakat-bakat serta potensi yang Universitas Sumatera Utara dimilikinya. Dengan bakat seperti kebanyakan perempuan yang dimilikinya, kaum waria banyak yang menjadi perancang busana, make up artist, artis dan pengusaha yang membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Contohnya seperti Ivan Gunawan dan juga Oscar Lawalata yang merupakan designer papan atas Indonesia, kemudian Dorce yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Banyak hal positif yang dilakukan oleh presenter yang cukup akrab menyapa para pemirsa televisi setiap harinya. Dalam kenyataannya hidup sebagai waria yakni hanya sekedar beratribut sebagaimana perempuan hidup. Sebagai waria adalah suatu kondisi kejiwaan dan kulturual sekaligus sehingga seorang waria tidak hanya sebatas merasakan dirinya waria, tetapi hidup dalam kultural itu sendiri, dalam berbagai dimensi dan ragamnya untuk diterima di dalam ruang-ruang sosial yang ada. Karena itu, sebagai waria tidak sama dengan menjadi homoseks sebagaimana yang banyak dilihat dalam konteks relasi seksual semata. Hidup sebagai waria mengandung makna bahwa waria selalu berusaha menjadi bagian dari berbagai ruang sosial. Selebihnya mereka pun memiliki ruang pribadi dan menjalin hubungan sosial antar sesama kaum waria. Mereka cenderung melakukan perkelompokan dikarenakan adanya rasa persamaan dan juga latar belakang. Komunikasi yang terjalin dalam hubungan ini bersifat lebih akrab dan juga hangat, itulah yang dinamakan dengan komunikasi antarpribadi. Dalam komunikasi antarpribadi ini, para waria menggunakan lambang- lambang tertentu ataupun berupa komunikasi dalam bentuk verbal berupa penggunaan bahasa binan atau waria. Bahasa ini memang sangat berbeda dengan tatanan bahasa Indonesia. Mereka menggunakan bahasa ini sebagai sandi dalam Universitas Sumatera Utara berkomunikasi akrab dengan sesama kaum waria, namun tidak jarang ada beberapa kata bahasa binan ini menjadi bahasa gaul dan juga populer di kalangan masyarakat. Kita lihat saja bagaimana kata “peres” bisa sangat popular digunakan sebagai pengganti untuk istilah kata gila. Memanggil teman kita dengan sebutan “Nek”, dan sebuatan pria dengan istilah ‘lekong”. Itu semua tidak hanya digunakan oleh para waria sebagai bahasa mereka berkomunikasi, namun sudah menjadi istilah umum bagi siapa saja. Bahasa waria atau bahasa binan ini memang sudah lazim didengarkan, namun lebih sering lagi, ketika kita bertemu dengan sekumpulan waria ketika mereka sedang berkomunikasi satu sama lain. Penelitian ini akan dilakuan di Kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara. Pemilihan lokasi penelitian dikarenakan wilayah ini banyak terdapat para waria yang tinggal dan juga menyewa rumahkost di daerah ini. Wilayahnya dianggap oleh para waria cukup strategis antara kota Medan dan lintas luar kota Medan. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti sejauhmana penggunaan bahasa binan dalam proses komunikasi antarpribadi di kalangan para waria di kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara. I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut, “Bagaimanakah penggunaan bahasa binan terhadap proses komunikasi antarpribadi di kalangan waria di kelurahan Sitirejo II Kecamatan Medan Amplas Sumatera Utara?” Universitas Sumatera Utara

I.3 Pembatasan Masalah